commit to user
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pangan  merupakan  kebutuhan  pokok  manusia  yang  pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam UU
No.7  Tahun  1996  tentang  pangan.  Hal  ini  menjadikan  pangan  sebagai komoditas  penting  dan  strategis.  Kecukupan  dan  ketersediaan  pangan  akan
menentukan kualitas sumber daya manusia dan ketahanan bangsa. Kecukupan dan  ketersediaan  pangan  berkaitan  dengan  ketahanan  pangan.  Menurut
Peraturan  Pemerintah  RI  No.  68  Tahun  2002  tentang  ketahanan  pangan, disebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi
rumah  tangga  yang  tercermin  dengan  tersedianya  pangan  yang  cukup,  baik jumlah  maupun  mutunya,  aman,  merata,  dan  terjangkau  Made,  2008:  52.
Dalam  pengertian  tersebut  pemenuhan  kebutuhan  pangan  dapat  disediakan melalui hasil produksi dalam negeri atau impor.
Indonesia kaya akan beraneka ragam sumber bahan pangan baik nabati maupun  hewani  untuk  pemenuhan  kebutuhan  gizi  masyarakat,  sehingga
kondisi  ini  sangat  mendukung  untuk  mencapai  ketahanan  pangan  yang mantap.  Ketahanan  pangan  sangat  erat  kaitannya  dengan  peran  strategis
sektor  pertanian.  Secara  empiris  peran  sektor  pertanian  tidak  hanya berkontribusi  dalam  aspek  penyediaan  food  availability,  tetapi  juga
memproduksi pangan dan secara  global merupakan gantungan nafkah utama sekitar  36    penduduk  dunia.  Bahkan  untuk  negara  berkembang  angkanya
1
commit to user
lebih  tinggi  lagi,  berkisar  antara  40  –  50    Sumaryanto,  2009:  7.  Di Indonesia menurut BPS 2009:  51, sampai dengan bulan Februari, dari total
104,49  juta  penduduk  usia  15  tahun  ke  atas  yang  bekerja,  terdapat  sekitar 43,03  juta  penduduk  41,2    yang  bekerja  di  sektor  pertanian,  kehutanan,
perburuan dan perikanan.  Perkembangan  sektor pertanian  sebagaimana  yang terdapat  pada  kebijakan  pembangunan  pertanian  Indonesia,  lebih  menitik
beratkan  pada  produksi  makanan  pokok  sebagian  besar  penduduk  Indonesia yaitu beras.
Beras  merupakan  komoditas  yang  sangat  penting  dan  strategis  bagi bangsa  Indonesia.  Beras  menjadi  penting  karena  merupakan bahan  makanan
pokok  masyarakat  Indonesia,  dan  menjadi  strategis  karena  dapat mempengaruhi  stabilitas  ekonomi  melalui  inflasi  dan  stabilitas  nasional
gejolak  sosial  Hasyim,  2007:  3.  Sebagai  bahan  makanan  pokok,  maka kebutuhan  beras  setiap  saat  harus  dapat  dipenuhi  dan  perlu  diupayakan
ketersediaanya dalam jumlah yang cukup, mutu yang baik, aman dikonsumsi, dan mudah diperoleh dengan harga yang dapat dijangkau oleh seluruh lapisan
masyarakat. Sebagai bahan pangan pokok, beras memiliki peran yang sangat penting
dalam  kehidupan  masyarakat  Indonesia  dipandang  dari  aspek  ekonomi, tenaga kerja, lingkungan hidup, sosial, budaya dan politik. Begitu pentingnya
beras  sehingga  pengelolaannya  harus dilakukan  secara  berhati-hati,  terutama dalam  hal  kebijaksanaan  perberasan  yang  ditetapkan  pemerintah.  Dalam
sejarah  perberasan  Indonesia,  pemerintah  mempunyai  peran  besar  dalam
commit to user
mengatur  ekonomi  perberasan  nasional  Saifullah,  2001:  1.  Salah  satu campur  tangan  pemerintah  dalam  ekonomi  perberasan  adalah  melalui
Keputusan Presiden No. 114UKep1976 pada tanggal 10 Mei 1967 tentang pembentukan  Badan  Urusan  Logistik  Bulog.  Badan  ini  dibentuk  sebagai
lembaga  pembeli  tunggal  untuk  beras  Kepres  No.  2721967  sedangkan Bank  Indonesia  ditetapkan  sebagai  penyandang  dana  tunggal  untuk  beras
Inpres  No.  11968  Emperadani,  2005:  2;  Himateta,  2010:  1.  Kebijakan pemerintah  membentuk  Bulog  tidak  terlepas  dari  situasi  ekonomi  saat  itu.
Memasuki  1967,  krisis  ekonomi  terus  berlanjut  sehingga  hampir menghancurkan  sendi-sendi  pokok  kehidupan  bangsa.  Negara  dihadapkan
pada  masalah  kosongnya  stok  pangan  di  gudang-gudang  BPUP  Badan Pelaksana  Urusan  Pangan,  habisnya devisa  negara,  dan  tingkat  inflasi  yang
membumbung tinggi Darwis, 2010: 2. Bulog  dalam  perkembangannya mengalami  beberapa  perubahan  fungsi
dan  tugas.  Selain  sebagai  pengelola  cadangan  pangan,  Bulog  juga  diberi kewenangan sebagai importir tunggal gula pasir dan gandum, serta distributor
gula  pasir,  kedelai,  dan  tepung  terigu.  Bahkan  selama  tahun  1977  –  1979, Bulog  mendapat  tugas  menerapkan  kebijakan  harga  dasar  untuk  jagung,
kedelai,  kacang  tanah,  dan  kacang  hijau.  Perubahan  tugas  dan  fungsi  yang dituangkan  dalam  beberapa  Keputusan  Presiden  ini  menjadikan  Bulog  tidak
hanya menangani bidang perberasan nasional saja, tetapi juga mengendalikan harga  dan  mengelola  persediaan  gula,  gandum,  terigu,  kedelai,  pakan  dan
commit to user
bahan  pangan  lainnya  Emperadani,  2005:  3;  Darwis,  2010:  2;  Himateta, 2010: 1; Saifullah, 2001: 1-2.
Berbagai  kebijakan  yang  dikeluarkan  pemerintah  ini  diharapkan mendukung perberasan nasional. Instrumen yang dibentuk pemerintah adalah
penetapan  pengendalian  harga  dasar  gabah  yang  setiap  tahun  disesuaikan dengan  masukan,  inflasi,  dan  faktor  lainnya.  Bulog  juga  dibentuk  untuk
mengamankan  harga  dasar  gabah  dan  stabilitas  domestik,  selain  itu  juga diberi  hak  monopoli  impor  pengadaan  pangan.  Melalui  berbagai  kebijakan
ini, ekonomi perberasan dalam negeri dapat ditangkal dari gejolak perubahan global. Akan tetapi mulai tahun 1997, kondisi perberasan nasional mengalami
perubahan dikarenakan Indonesia mengalami krisis ekonomi. Krisis ekonomi yang  dipicu  oleh  krisis  moneter  ini  memberikan  dampak  yang  luas  terhadap
perekonomian  Indonesia.  Untuk  mengatasi  krisis  tersebut,  pemerintah melakukan  pembenahan  di  bidang  moneter  salah  satunya  dengan  menerima
bantuan dana moneter dari IMF Irawan, 2002: 3-5. Pemerintah banyak melakukan perubahan kebijakan untuk memulihkan
situasi  ekonomi  bangsa  dan  mengembalikan  kepercayaan  masyarakat Indonesia  maupun  global.  Perubahan  kebijakan  juga  terjadi  pada  sektor
perberasan  yang  pada  akhirnya  juga  berpengaruh  terhadap  Bulog  Gaybita, 2008:  3.  Tugas  pokok  Bulog  kemudian  diperbarui  melalui  Keppres  RI  No.
191998  tanggal  21  Januari  1998  tentang  tugas  pokok  Bulog,  yaitu  hanya mengelola  beras  saja  sedangkan  komoditas  lainnya  diserahkan  kepada
mekanisme  pasar  Darwis,  2010:  2.  Perlindungan  kepada  petani  melalui
commit to user
harga  dasar  tetap  menjadi  prioritas  utama.  Sedangkan  peran  dalam  menjaga stabilitas  harga  konsumen mulai  berkurang  sejalan  dengan  terus  tertekannya
harga  beras  domestik.  Sebaliknya,  peran  Bulog  untuk  membantu  kelompok miskin yang rawan pangan semakin menonjol Gaybita, 2008: 3.
Adanya kebijakan baru ini dipandang sebagai era liberalisasi komoditas pangan.  Sebab,  sejak  Kepres  tersebut  dibuat  tugas  pokok  Bulog  hanya
mengelola  beras.  Kemudian  melalui  Keppres  No.  1032001  tanggal  13 September  2001,  pemerintah  mengatur  kembali  tugas  dan  fungsi  Bulog.
Bulog hanya melaksanakan tugas pemerintahan di bidang manajemen logistik sesuai  peraturan  perundangan-undangan  yang  berlaku  dengan  kedudukan
sebagai  lembaga  pemerintah  non  departemen  yang  bertanggung  jawab langsung kepada presiden Darwis, 2010: 1; Perum Bulog, 2010: 1.
Sejak  berdirinya  Bulog  sampai  terjadinya  krisis  ekonomi,  manajemen Bulog  tidak  banyak  berubah  dari  waktu  ke  waktu,  meskipun  ada  perbedaan
tugas  dan  fungsi  dalam  berbagai  periode.  Pada  awal  berdirinya  status  Bulog adalah  sebagai  Lembaga  Pemerintah  Non  Departemen  LPND  berdasarkan
Keppres  RI  No.  39  tahun  1978.  Akan  tetapi,  krisis  ekonomi  yang  terjadi  di Indonesia pada tahun 1997 menimbulkan tekanan yang sangat kuat agar peran
pemerintah  dipangkas  secara  drastis  sehingga  semua  kepentingan  nasional termasuk  pangan  harus  diserahkan  sepenuhnya  kepada  mekanisme  pasar.
Tekanan tersebut terutama mucul dari negara-negara maju pemberi pinjaman khususnya  AS  dan  lembaga  keuangan  internasional  seperti  IMF  dan  World
Bank Perum Bulog, 2010: 1.
commit to user
Banyaknya  tekanan  tersebut memberi  konsekuensi  bahwa  Bulog  harus berubah  secara  total.  Adanya  perubahan  kebijakan  pangan  pemerintah  dan
pemangkasan  tugas  dan  fungsi  Bulog  seperti  yang  tertuang  dalam  beberapa Keppres  dan  SK  Menperindag  sejak  tahun  1998,  serta  Keppres  RI  No.  103
tahun  2001  menegaskan  bahwa  Bulog  harus  beralih  status  menjadi  BUMN selambat-lambatnya  Mei  2003,  merupakan  faktor  pendorong  untuk
melakukan  perubahan  pada  Bulog.  Selain  hal  tersebut,  fakor  lainnya  adalah berlakunya  beberapa  UU  baru,  khususnya  UU  No.  5  Tahun  1999  tentang
larangan  praktek  monopoli,  dan  UU  No.  22  Tahun  1999  tentang  Otonomi Daerah  yang  membatasi  kewenangan  Pemerintah  Pusat  dan  dihapusnya
instansi  vertikal.  Selanjutnya  Bulog  melakukan  berbagai  kajian-kajian  baik oleh intern Bulog maupun pihak ekstern. Berdasarkan hasil kajian, ketentuan
dan dukungan politik DPR RI, disimpulkan bahwa status hukum yang paling sesuai  bagi  Bulog  adalah  Perum.  Dengan  bentuk  Perum,  Bulog  tetap  dapat
melaksanakan tugas publik yang dibebankan oleh pemerintah terutama dalam pengamanan  harga  dasar  pembelian  gabah,  pendistribusian  beras  untuk
masyarakat  miskin  yang  rawan  pangan,  pemupukan  stok  nasional  untuk berbagai  keperluan  publik  menghadapi  keadaan  darurat  dan  kepentingan
publik  lainnya  dalam  upaya  mengendalikan  gejolak  harga.  Disamping  itu, Bulog  dapat  memberikan  kontribusi  operasionalnya  kepada  masyarakat
sebagai  salah  satu  pelaku  ekonomi  dengan  melaksanakan  fungsi  usaha  yang tidak  bertentangan  dengan  hukum  dan  kaidah  transparansi.  Berdasarkan  hal
ini  maka  sejak  tanggal  20  Januari  2003  LPND  Bulog  secara  resmi  berubah
commit to user
menjadi  Perum  Bulog  berdasarkan  Peraturan  Pemerintah  RI  No.  7  Tahun 2003  yang  kemudian  direvisi  menjadi  PP  RI  No.  61  Tahun  2003  Darwis,
2010: 1; Perum Bulog, 2010: 1. Berlakunya  UU  No.  22  Tahun  1999  dan  UU  No.  25  Tahun  1999  yang
selanjutnya  direvisi  menjadi  UU  No.  32  Tahun  2004  tentang  Pemerintahan Daerah,  menjadikan  urusan  di  sektor  perberasan  diserahkan  kepada
pemerintah  daerah.  Hal  ini  dikarenakan  secara  teknis  beras  merupakan produk  sektor  pertanian  yang  merupakan  salah  satu  bidang  kewenangan
pemerintah  daerah.  Berdasarkan  hal  ini  maka  pemerintah  daerah  secara proaktif  harus  berperan  dalam  menangani  persoalan  perberasan  yang  terjadi
di  daerahnya.  Ini  disebabkan  sejak  perubahan  status  Bulog  dari  LPND menjadi  Perum,  harga  sejumlah  komoditas  pangan  termasuk  beras  selalu
mengalami perubahan. Pemerintah tidak lagi bisa mengendalikan harga sebab harga  terbentuk  berdasarkan  mekanisme  pasar.  Perubahan pada  harga  beras,
tidak banyak mempengaruhi permintaan beras, hal ini disebabkan orang akan berusaha  mempertahankan  kuantitas  beras  yang  dikonsumsinya  meskipun
harga  beras  mengalami  perubahan  yang  besar.  Akan  tetapi  perubahan  harga beras  yang  berkepanjangan  tentu  akan  merugikan  masyarakat  sebagai
konsumen. Keseimbangan antara ketersediaan pasokan beras dan permintaan konsumen merupakan hal yang dapat menjaga stabilitas harga beras.
Ketersediaan  pasokan  beras  di  pasar  tidak  luput  dari  dukungan pemerintah  terutama  pada  teknis  produksi,  sarana  dan  prasarana  usaha  tani,
penanganan pasca panen, serta berbagai kebijakan mikro dan makro. Pada era
commit to user
otonomi  daerah  sekarang  ini,  manajemen  sistem  kebijakan  perberasan  yang menjadi  tanggung  jawab  pemerintah  daerah  adalah  sistem  kebijakan  yang
menyangkut  aspek  penyediaan  sarana  dan  prasarana  usahatani,  misalnya menyangkut pembangunan jaringan irigasi, penyediaan bibit unggul, fasilitas
penanganan  pasca  panen  yang  memadai  dan  penyuluhan  pertanian  tentang informasi  pasar  dan  teknologi  Sutrisno,  2009:  2.  Dengan  adanya  otonomi
daerah  ini  diharapkan  pemerintah  daerah  dapat  memberikan  dukungan  yang lebih  baik  pada  para  pelaku  sektor  perberasan,  karena  tidak  lagi  tergantung
pada  pemerintah  pusat.  Pemerintah  daerah  dapat  lebih  mengoptimalkan sumber  daya  daerah  yang  dimiliki  untuk  memenuhi  kebutuhan  pangan
masyarakat  sehingga  kesejahteraan  rakyat  menjadi  lebih  terjamin.  Demikian juga  yang  terjadi  di  Kabupaten  Sukoharjo  sebagai  salah  satu  kabupaten
penghasil beras di propinsi Jawa Tengah. Jawa  Tengah  merupakan  salah  satu  propinsi  pemasok  kebutuhan beras
nasional.  Produktivitas  padi  yang  terbesar  di  propinsi  Jawa  Tengah  adalah Kabupaten  Sukoharjo  BPS,  2009:  207.  Menurut  data  Badan  Ketahanan
Pangan  Kabupaten  Sukoharjo  pada  tahun  2009  total  produksi  bersih  beras sebesar 210.726,38 ton. Produksi  bersih beras tersebut berasal dari produksi
padi  sebanyak  357.525  ton  yang  diperoleh  dari  lahan  sawah  dengan  luas panen  50.448  ha  dan  rata-rata  produktivitas  70,87  kuha.  Total  produksi
bersih  beras  ini  mampu  mencukupi  kebutuhan  penduduk  843.127  jiwa, bahkan masih terdapat kelebihan sebanyak 132.417 ton.
commit to user
Selama  kurun waktu 6 tahun, yaitu tahun 2005-2010,  luas  lahan panen dan  produksi  padi  di  Kabupaten  Sukoharjo  mengalami  fluktuasi.  Selain
karena  perubahan  luas  lahan  panen,  curah  hujan  atau  iklim  juga  sangat mempengaruhi  budidaya  tanaman  padi  yang  pada  akhirnya  akan  ikut
berpengaruh pada jumlah hasil panen atau produksi padi. Perkembangan luas lahan panen, produktivitas, dan produksi padi di Kabupaten Sukoharjo dapat
dilihat pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1.  Luas  Panen,  Produktivitas  dan  Produksi  Padi  di  Kabupaten
Sukoharjo Tahun 2005 – 2010 Tahun
Luas Panen Ha Produktivitas KuHa
Produksi Ton 2005
2006 2007
2008 2009
2010 46.440
49.422 46.171
48.248 50.448
51.876 64,43
65,24 69,88
69,90 70,87
64,70 299.206
322.426 322.656
337.244 357.525
335.638
Sumber : Sukoharjo Dalam Angka 2010 BPS, 2010 Sebagaimana disajikan pada Tabel 1, dapat diketahui bahwa luas panen,
produktivitas,  dan  produksi  padi  selama  tahun  2005  –  2010  cenderung mengalami  peningkatan.  Kondisi  ini  tentu  sangat  mendukung  untuk
menjamin  ketersediaan  beras  guna memenuhi  kebutuhan  pangan masyarakat di Kabupaten Sukoharjo. Jumlah penduduk yang cenderung meningkat setiap
tahunnya tentu akan berpengaruh pada peningkatan permintaan beras sebagai bahan pangan utama. Permintaan yang terus meningkat tentu harus diimbangi
dengan ketersediaan beras yang cukup untuk memenuhi permintaan tersebut. Perkembangan  penawaran,  permintaan,  dan  surplus  beras  di  Kabupaten
Sukoharjo selama tahun 2005 – 2010 terdapat pada Tabel 2 berikut ini.
commit to user
Tabel 2.  Penawaran,  Permintaan  dan  Surplus  Beras  di  Kabupaten  Sukoharjo Tahun 2005 – 2010
Tahun Jumlah
Penduduk jiwa
Penawaran Ton
Permintaan Ton
Surplus Ton
2005 2006
2007 2008
2009 2010
821.213 826.289
831.613 837.279
843.127 849.016
167.287,872 177.413,144
170.016,216 190.569,488
196.239,792 165.172,568
76.266,05 76.737,46
77.231,90 77.758,10
70.763,65 71.257,91
91.021,82 100.675,68
92.784,31 112.811,38
125.476,14 93.914,65
Sumber : Badan Ketahanan Pangan, 2010 Surplus yang terdapat pada Tabel  2 di atas menunjukkan bahwa masih
terdapat  kelebihan  produksi  beras  dikurangi  dengan  konsumsi  beras.  Hal  ini mengindikasikan  bahwa  pemerintah  Kabupaten  Sukoharjo  dapat  memenuhi
permintaan  beras  masyarakat.  Surplus  beras  tersebut  selanjutnya  dapat diperdagangkan  untuk memenuhi  kebutuhan masyarakat  yang  berada di  luar
Kabupaten  Sukoharjo.  Hal  ini  juga  dapat  menunjukkan  bahwa  pemerintah daerah  telah  menerapkan  kebijakan-kebijakan  yang  mendukung  sektor
perberasan dan berhasil mengoptimalkan sumberdaya pertanian yang terdapat di  Kabupaten  Sukoharjo.  Kondisi  surplus  ini  diharapkan  dapat  terus
berlangsung, akan tetapi hal ini tidak dapat dipastikan sebab adanya desakan pengurangan  luas  lahan  pertanian  dan  perubahan  iklim  yang  tidak  menentu.
Sisi  lainnya  adalah  pertambahan  jumlah  penduduk  yang  semakin  meningkat tentu  membutuhkan  bahan  pangan,  terutama  beras,  yang  semakin  banyak
pula. Selama tahun 2005 – 2010, kondisi permintaan dan penawaran beras di
Kabupaten  Sukoharjo  cenderung  mengalami  perubahan.  Perubahan  yang
commit to user
terjadi pada tahun-tahun sebelumnya ini dapat digunakan untuk meramalkan kondisi  tahun  berikutnya  dengan  menggunakan  metode  Box-Jenkins
ARIMA.  Pada  metode  ARIMA,  hasil  peramalan  sangat  dipengaruhi  oleh kondisi variabel terikat pada periode sebelumnya, atau merupakan nilai-nilai
time-laged  dari  variabel  tak  bebas  yang  disebut  autoregressive.  Selain  itu, pada  metode  ini  juga  memperhitungkan  adanya  hubungan  ketergantungan
antara  nilai-nilai  kesalahan  yang  berurutan,  yang  dikenal  dengan  moving average.  Berdasarkan  pertimbangan  ini,  selanjutnya  dengan  menambahkan
variabel  dummy  untuk  menguji  pengaruh  pelaksanaan  otonomi  daerah terhadap  penawaran  dan  permintaan  beras  di  Kabupaten  Sukoharjo,  maka
dapat dilakukan analisis tentang peramalan penawaran dan permintaan beras. Analisis  peramalan  permintaan  dan  penawaran  ini  menjadi  penting  untuk
perencanaan  kebijakan  di  sektor  perberasan.  Pemerintah  daerah  selanjutnya dapat  menyusun  perencanaan  kebijakan-kebijakan  untuk  mendukung
penawaran dan permintaan beras di Kabupaten Sukoharjo.
B. Perumusan Masalah