pada hak bukan pada power itu sendiri. Otoritas berhubungan dengan properti mengingat hak, tugas, dan kewajiban memerlukan dukungan melalui otorititas
politik legal.
Properti adalah gambaran lebih luas dari akses terhadap sumberdaya apakah diakui secara legal atau tidak. Semenatar itu, otoritas politik legal adalah
bagian dari gambaran luas mengenai kekuasaan, apakah terlegitimasi atau tidak. Oleh karena itu, dalam melihat pertarungan sumberdaya alam yang vital tidak
hanya fokus pada investigasi mengenai bagaimana kekayaan terdistribusi, akan tetap investigasi juga fokus pada bagaimana otoritas pemerintah muncul, solid,
dan surut karena proses-proses legitimasi, ekslusi, inklusi, serta kekerasan.
Properti adalah tentang hubungan sosial diantara aktor-aktor -baik individu atau kelompok- berkenaan dengan objek sesuatu yang bernilai sehingga dikatakan
pula sebagai property relation. Oleh karena itu, property relation eksis pada level hukum dan regulasi, norma budaya, dan nilai-nilai sosial, hubungan sosial.
Bagaimanapun orang mendapatkan dan mengamankan hak atas tanah tampak melalui proses terang-terangan. Beberapa pertarungan aturan normatif perlu
dibawa untuk mengemban, menanggung, atau memperoleh legitimasi klaim. Proses pengakuan identitas politik sebagai keanggotaan dan klaim terhadap lahan
dan sumberdaya lain sebagai properti secara simultan bekerja untuk mengilhami insitusi menyediakan beberapa pengakuan dengan legitimasi dan pengakuan
dengan otoritasnya. Proses pencarian otoritas untuk mengklaim poperti juga memiliki pengaruh jaminan kekuasaan untuk institusi politik-legal pemegang
otoritas.
Legitimasi merupakan faktor pembeda antara properti dan akses. Property relation merefleksikan pengaruh satu set hukum dan norma yang memberikan
legitimasi klaim terhadap sumberdaya. Institusi mencari legitimasi atas kekuasaan yang bekerja dengan mengacu kepada hukum, budaya, dan kelayakan
administrasi. Kompetisi di sekitar akses menjadi titik awal terjadinya pertarungan properti dimana setiap pihak mencoba mengamankan kepemilikan mereka melalui
pengakuan dari insitusi politik legal. Dalam hal ini, persaingan antar kelembagaan mendukung klaim dan pemberian sangsi pihak-pihak rival. Dengan demikian
terjadi persaingan untuk memperoleh otoritas bagi kelembagaan masing-masing. Persaingan ini mengundang proses-proses negosiasi pada level keseharian sampai
pada konflik-konflik politik dan legal, yaitu melalui mana pihak-pihak mengejar kepentingan mereka. Melibatkan usaha-usaha legalistik dan perjuangan politik,
melibatkan interaksi antara struktur power lokal dan non-lokal, dimana simbol- simbol politik dan budaya dari kekuasaan dan otoritas dimainkan.
Perjuangan di sekitar sumberdaya alam dalam konteks institusi yang flular adalah proses everyday state formation. Sehingga, kontestasi penguasaan dan
legitimasi klaim sumberdaya berkaitan tiga hal yaitu power, authority, dan state formation yang dilihat melalui praktek legitimasi, teritorial, dan kekerasaan.
2.4 Studi Ekologi Politik Dalam Pertarungan Kuasa Atas Sumberdaya Hutan
Penelitian ini hendak melihat bagaimana pengaruh wacana lingkungan global dalam persoalan tatakelola hutan di Indonesia yang masih banyak
berhadapan dengan persoalan tatakuasa yang dinamis di Indonesia. Ekologi politik menelusuri istilah lingkungan yang dikonstruksikan oleh aktor dan
bagaimana relasi terjadi Adger et al. 2001. Relasi antar aktor dari tingkat lokal sampai global dilihat dan bagaimana mereka memainkan fungsi lingkungan,
pengambilan keputusan, dan hirarki kekuasaan. Oleh karena itu, kerangka teori dalam studi ekologi politik mencakup analisis studi empiris dalam konteks lokal
dan pertautannya dengan analisis struktur politik ekonomi yang lebih luas di tingkat regional, nasional, dan skala global Blaikie dan Brockfiled 1978 dalam
Darmanto dan Setyowati 2012. Dengan demikian, kasus sengketa lahan di kawasan restorasi ekosistem bisa dipahami melalui pengkajian interkasi pihak-
pihak kunci di tingkat lokal dan sehari-hari serta menempatkannya dalam konteks ekonomi politik lokal dan global.
Pendekatan analisis ekologi dimulai sejak akhir 1970. Bryant 1998 membagi perkembangan pendekatan-pendekatan ekologi politik dalam tiga fase.
Fase pertama adalah pendekatan struktural yang menekankan pada konflik lingkungan lokal dalam istilah relasi kelas dan surplus ekstraksi yang terhubung
dengan produksi kapitalis global Neomarxian. Fase kedua, pendekatan aktor yang menempatkan otonom negara, rumahtangga, dan penekanan pada
perlawanan aktor grassroot yang berelasi membentuk jaringan-jaringan relasi kekuasaan atas sumberdaya alam Neoweberian. Fase ketiga adalah pendekatan
post-strukturalis yang mengangkat teori wacana, pengetahuan, dan kekuasaan sebagai analisis dengan menekankan jalinan kuasa dan pengetahuan dalam
menentukan arah dan peta perubahan lingkungan Foucauldian. Ketiganya tidak meninggalkan relasi ekonomi politik dan proses-proses ekologis lihat juga dalam
Antoro 2010.
Sementara itu, kerangka analisis diskursus dalam kajian ekologi politik sudah banyak disusun. Diantara kerangka analisis diskursus tersebut adalah 1
Diksursus Lingkungan Global yang mengkaji diskursus utama yang terkait dengan empat masalah lingkungan, yaitu: deforestasi, desertifikasi, penggunaan
keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim; 2 Knowledge and Nature dalam Ekologi Politik Konservasi dan Keanekaragaman Hayati yang dikembangkan oleh
Escobar 1998; 1999; dan 3 Diskursus Konservasionis, Eco-populis, dan Developmentalis dalam Pengelolaan Keanekaragaman Hayati yang dikembangkan
oleh Witmer and Birner 2007. Berikut penjelasan ketiga kerangka analisis diskursus tersebut.
2.4.1 Ekologi Politik dalam Diskursus Lingkungan Global
Pada dekade terakhir kebijakan dan aksi lingkungan internasional dan nasional telah didominasi oleh isu-isu umum yang terdefinisi sebagai masalah
lingkungan global. Adger et al. 2001 mengidentifikasi diskursus utama yang terkait dengan empat masalah lingkungan global yaitu: deforestasi, desertifikasi,
penggunaan keanekaragaman hayati dan perubahan iklim. Wacana ini dianalisis dalam hal pesan yang terkandung dalam istilah yang digunakan, struktur narasi
dan resep kebijakan. Dalam setiap empat isu lingkungan tersebut terdapat diskursus global environmental managementdiskursus managerial GEM
mewakili pandangan dunia technocentric dimana blue print berdasarkan intervensi kebijakan eksternal dapat memecahkan dilema lingkungan global. Keempat isu
tersebut juga memiliki diskursus populis yang kontras menggambarkan aktor lokal sebagai korban intervensi eksternal sehingga memunculkan degradasi dan