Tipe 2: Klaim Properti Swasta VS Klaim Properti Komunal

Sembilan yang dianggap memiliki hak atas lahan sawit tersebut. Lahan yang dianggap oleh masyarakat sebagai HGU mati tersebut ditanami sawit oleh PT AP atas nama PT MSP dan JMT seluas 2.150 Ha sejak tahun 2003. PT AP hampir menguasai hampir sebagian besar wilayah di Desa Bungku sehingg banyak masyarakat SAD yang terusir dari kawasan hutan ketika akan dikonversi menjadi perkebunan sawit. Saat era desentralisasi dimulai, Tahun 1999 masyarakat mulai melakukan penuntutan terhadap perusahaan yang dimotori oleh elit lokal dan didampingi oleh beberapa LSM. PT AP akhirnya bersedia menggati lahan SAD yang tergusur, yaitu seluas 650 ha di wilayah Penyerokan Bukit Makmur dan seluas 550 Ha di wilayah Johor Baru II dengan pola kemitraan. Pada Tahun 2001 disepakati oleh perusahaan dan masyarakat bahwa akan diadakan kebun kemitraan dengan pola KKPA, yaitu 70 : 30. Mengingat kebun kemitraan yang dijanjikan perusahaan tidak juga diberikan kepada masyarakat, dalam rangka melakukan penuntutan lahan masyarakat kepada perusahaan, pada tahun 2006 pemerintah desa membentuk LSM lokal Desa Forum Masyarakat Bungku Formasku. Dalam hal ini Formasku menempuh sejumlah upaya dalam melakukan penuntutan kepada perusahaan mulai dari mepelajari dokumen perusahaan, membentuk tumenggung SAD Desa Bungku, memobilisasi sumberdaya finansial serta massa untuk melakukan pendudukan lahan perusahaan. Akhirnya, pada sekitar tahun 2012 masyarakat melakukan pendudukan lahan dengan melakukan pemanen sawit masal yang ditanam oleh perusahaan tersebut. Hingga penelitian ini dilakukan masyarakat yang digerakan oleh sejumlah elit lokal yang tergabung dalam lembaga formal Formasku masih melakukan pemanenan terhadap lahan sawit PT AP tersebut. Dalam upaya mendapatkan legalitas atas akses tersebut masyarakat melakukan tuntutan ke Pengadilan Negeri Muara Bulian untuk dikembalikannya lahan secara sah kepada masyarakat.

5.5.4 Tipe 4: Klaim Properti Swasta VS Klaim Kepemilikan Individu

Tipe tumpang tindih ini terjadi pada dua arena. Arena pertama adalah arena pertarungan kliam antara pemegang konsesi HTI WNAAS dan masyarakat pendatang di Dusun Kunangan Jaya 2 Camp Gunung. Luas keseluruhan HTI WNAAS adalah 22 525 ha yang mencakup dua Kabupaten, yaitu Batang Hari dan Sarolangun. Sebagian besar kawasannya merupakan kawasan eks HPH PT AP yang banyak dikonversi oleh masyarakat mulai tahun 1999. Sementara itu izin HTI keluar pada Tahun 2009. Masyarakat yang masuk menguasai lahan secara terorganisir dengan melibatkan pemegang otoritas lokal ketua RT, Dusun, hingga Kepala Desa. Masyarakat yang menguasai lahan di atas lahan konsesi HTI merupakan masyarakat pendatang sehingga masyarakat mendasarkan klaimnya sebagai warga negara yang memiliki hak-hak sipil dan berhak atas penguasaan lahan negara. Arena kedua tipe tumpang tindih ini adalah arena pertarungan antara perusahaan restorasi dengan masyarakat Kunangan Jaya 1. Perusahaan restorasi mendapatak izin lokasi RE di Jambi pada tahun 2010 dengan kondisi hutan yang sudah banyak dikuasai masyarakat, terutama sejak tahun 2000. Perusahaan restorasi mendapatkan hak merestorasi hutan dari negara di wilayah desa yang sudah aktif melakukan pembangunan desa.