Tipe 4: Klaim Properti Swasta VS Klaim Kepemilikan Individu

Tipe masyarakat di wilayah sengketa ini adalah masyarakat migran „trans sosial‟ yang menadapatkan lahan melalui program pembukaan lahan terorganisir yang dimotori oleh aktor perintis hutan pada Tahun 2005. Selain itu, di areal konsesi restorasi yang diberikan pemerintah, juga terdapat pemukiman masyarakat SAD Bathin Sembilan yang saat masa penguasaan HPH PT Log mendapatkan pembinaan dan bebas melakukan aktivitas perburuan serta peratanian ladang berpindah di sekitar areal HPH. Wilayah pemukiman SAD di areal perusahaan restorasi tersebut bernama Simpang Macan. Masyarakat SAD simpang macan yang merasakan dampak kehadiran perusahaan restorasi bergabung dengan migran trans sosial dalam melakukan tutuan dikembalikannya hak masyarakat kepada perusahaan restorasi. Selain dua kelompok masyarakat di atas, terdapat kelompok-kelompok lain yang bersengketa dengan perusahaan restorasi. Wilayah tersebut belum mendapatkan kepastian wilayah administratif akibat pemekaran wilayah kabupaten yang dilakukan pada tahun 2000. Umumnya klaim kelompok masyarakat terhadap lahan di areal perusahaan restorasi adalah klaim kepemilikan individu yang melakukan program pembukaan lahan secara terorganisir dan menjadi bagian dari wilayah desa yang definitif

5.6 Perbedaan Mekanisme Akses dan Sumber Otoritas dalam Melegitmasi Klaim atas Sumberdaya Agraria

Uraian di atas menunjukkan bahwa penetapan rezim properti negara atas suatu sumberdaya tidak serta merta menghilangkan akses masyarakat terhadap sumberdaya tersebut. Namun sebaliknya, membuka akses bagi masyarakat lebih luas untuk menguasai dan mendapatkan manfaat dari sumberdaya hutan. Teritorialisasi yang dilakukan negara terhadap kawasan hutan dengan memberikan hak penguasaan kepada swasta, tidak serta merta menghilangkan properti masyarakat SAD Bathin Sembilan untuk memanfaatkan sumberdaya hutan. Walaupun menjadi terbatasi, masyarakat adat masih dapat menguasai hutan yang masih luas di Desa Bungku dan tetap menjalin hubungan ko-eksistensi dengan swasta HPH. Dalam narasi masyarakat adat, hutan adalah milik mereka sebagai ahli waris nenek moyang yang turun temurun tinggal di dalam hutan. Seiring dengan semakin terbukanya kehidupan masyarakat SAD Bathin Sembilan dengan masyarakat luar membuat masyarakat SAD Bathin Sembilan mudah menjual hutan kepada masyarakat luar. Merujuk pada teori akses Ribot dan Peluso 2006, pihak swasta mengakses sumberdaya hutan di Desa Bungku melalui mekanisme akses berbasis hak right-based access. Akses tersebut sudah menjadi properti yang mendapatkan pengakuan legal menurut hukum formal negara. Sementara itu, masyarakat mengakses sumberdaya hutan melalui mekanisme struktural dan relasional, yaitu melalui membangun relasi sosial dengan masyarakat adat dan membentuk identitas sosial sebagai warga Desa Bungku. Upaya pembentukan identitas sosial melalui keanggotaan suatu grup warga Desa Bungku belum sepenuhnya mendapatkan pengakuan. Meskipun demikian, kemampuan akses masyarakat juga diperkuat oleh sejumlah power lain, yaitu pengetahuan, teknologi, relasi sosial, serta akses terhadap sumber otoritas lain. Masyarakat pendatang banyak mengakses hutan terutama pada periode open access dimana kontrol negara atas kawasan hutan bersifat lemah. Periode open access di Desa Bungku menyebabkan terjadinya tragedy of the commons. Tragedi sumberdaya bersama tragedy of the common memandang bahwa masyarakat tidak memiliki pranata sosial yang efektif untuk menegakan perlindungan terhadap sumberdaya alam Hardin 1986. Menurut Hardin 1986 sumberdaya harus menjadi privat atau dikontrol oleh otoritas pemerintah pusat untuk menjamin keberlanjutan penggunaannya. Dalam hal ini, Hardin tidak menyinggung kemungkinan adanya rezim komunal Berkes dan Farvar 1989 yang mengatur pola-pola pengusaan sumberdaya. Selain itu, fakta dilapangan menunjukkan bahwa terdapat relasi kuasa yang kompleks diantara sejumlah aktor sehingga muncul pola-pola pengusaan sumberdaya yang bersifat tumpang tindih Belajar dari Desa Bungku, tragedy of the common yang terjadi tidak hanya menimbulkan deforestasi yang tinggi, akan tetapi juga menimbulkan tumpang tindih klaim atas penguasaan sumberdaya agraria. Tumpang tindih terjadi disebabkan oleh beralih penguasaan lahan kepada masyarakat pendatang yang banyak terjadi pada periode open access. Para pendatang tersebut berupaya meligitmasi penguasaanya atas sumberdaya melalui sumber otoritas yang berbeda dengan sumber otoritas yang didapatkan oleh perusahaan. Sumber otoritas yang digunakan pendatang umumnya berasal dari produk kebijakan otonomi daerah yang banyak memberikan pelimpahan otoritas kepada pemerintah daerahdesa. Era otonomi daerah bahkan memungkinkan dibentuknya sumber otoritas baru dalam melegitimasi penguasaan atas sumberdaya. Hal ini menjadi celah bagi elit lokal dalam melakukan politik teritorialisasi melalui proses „mendesakan‟ hutan. Pada negara berkembang yang memiliki sumber hukum yang bersifat flurar, kontestasi akses menjadi semakin nyata terjadi Lund dan Sikor 2009. Dinamika kontestasi akses ada pada keamanan hak terhadap sumberdaya dimana aksesnya diakui sebagai properti yang terlegitimasi oleh institusi politik formal suatu negara. Oleh karena itu, Setiap aktor yang mempunyai kemampuan akses terhadap sumber-sumber agraria di Desa Bungku berusaha menjadikan akses tersebut menjadi properti. Upaya setiap aktor dalam menjadikan aksesnya sebagai properti dilakukan dengan bersandar pada sumber hukum yang berbeda-beda dan sesuai dengan tafsir masing-masing. Dalam pandangan Lund dan Sikor 2009 konsekuensi adanya perjuangan mendapatkan sumberdaya alam dalam konteks institusi yang flular merupakan proses everyday state formation. Berikut bentuk- bentuk everyday state formation yang dilakukan sejumlah aktor dalam upaya perjuangan mendapatkan sumberdaya agraria di Desa Bungku: 1. LSM Formasku sebagai LSM resmi di tingkat Desa dengan akta notaris Nomor 15, Tanggal 16 Januari 2006 ditugaskan kepala Desa untuk menyelesaikan konflik masyarakat dengan PT AP. Dengan mendapatkan otoritas yang diberikan pemerintah lokal tersebut, LSM Formasku mengatur masyarakat untuk melakukan pendudukan atas lahan sawit perusahaan. Disamping itu LSM formasku juga memiliki wewenang mengatur sirkulasi buah sawit yang dipanen masyarkat di lahan sengketa. Untuk menjadikan lahan yang diduduki sah secara hukum, LSM formasku menempuh sejumlah proses hukum dengan mengajukan tuntutan ke pengadilan atas penyimpangan-penyimpangan hukum yang dilakukan PT AP.