Aktor dan Jaringan-jaring Kekuasaan dalam Diskursus RE

mencapai 30 juta hektar Zuhri 2012 dalam Burung Indonesia 2012. Restorasi Ekosistem juga telah diidentifikasi dalam Dokumen Strategi Nasional REDD+ sebagai upaya yang dapat berkontribusi mengatasi deforestasi dan degradasi hutan selain juga memberikan manfaat co-benefits dari ekosistem hutan UKP-PPP 2011 dalam Burung Indonesia 2012. Kementrian Kehutanan mengeluarkan produk kebijakan berupa IUPHHK- RE untuk mengakomodir setiap perusahaan yang ingin melakukan kegiatan restorasi ekosistem di hutan produksi. Kegiatan restorasi ekosistem yang dilakukan oleh pemegang izin konsensi IUPHHK-RE dapat mengambil berbagai bentuk tujuan, diantaranya jasa lingkungan, stok karbon, penangkaran atau penyelamatan spesies langka yang terancam punah, dan berbagai bentuk kegiatan pemanfaatan hutan lainnya yang tak semata berorientasi pemanfaatan hasil hutan berupa kayu. Pihak perusahaan restorasi menyadari betul bahwa areal izin konsesi yang diberikan kementrian kehutanan dihadapkan pada tumpang tindih klaim atas lahan tersebut. PT RE mengakui sebelum masuk, sudah ada masyarakat yang menguasai hutan yang sebelumnya sudah memenangkan perkara pidana dengan PT Log sebagai pemegang konsesi sebelumnya. Bahkan terdapat suku batin sembilan yang merupakan masyarakat asli yang lebih berhak memiliki lahan hutan. b. Alur Cerita Diskursus Restorasi Ekosistem Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem IUPHHK-RE adalah kebijakan baru sebagai sebuah produk diskursus penyelamatan hutan dan penekanan terhadap laju deforestasi. Fokus utama alur- cerita diskursus ini adalah menyelamatkan hutan dataran rendah sumatera satu- satunya yang terdegradasi. Hutan dataran sumatera yang kaya akan biodiversitas. Jika hutan tersebut rusak akan mengancam hilangnya bergam spesies langka. Oleh karena itu hutan dataran rendah sumatera perlu untuk di-restore dalam arti hutan dikembalikan kepada kondisi seperti semula hutan itu ada sebagai habitat dari beragam spesies langka hingga tercapai keseimbangan ekologi. Secara aplikatif, IUPHKK-RE berbeda dengan IUPHKK-HA dan atau IUPHKK HT yang hanya berorentasi pada pemanfaatan kayu semata. Gagasan yang terkontruksi dari munculnya kebijakan izin usaha restorasi ekosistem RE 17 adalah sebagai berikut: 1. Restorasi Ekosistem berhadapan dengan hutan produksi yang rusak, harus ada keberanian untuk memulihkan kondisi hutan 2. Restorasi ekosistem bukan merupakan aktivitas konservasi dalam arti konvensional. Namun konservasi yang lebih mutakhir yang didalamnya ada proses pemanfaatan, bukan sekedar perlindungan poetic interest. 3. IUPHHK-RE merupakan izin usaha pemanfaatan hasil hutan yang mencakup 3 jenis IUPHH sekaligus, yaitu pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil hutan non kayu dan pemanfataan hasil hutan jasa lingkungan dalam satu unit hutan produksi. 17 Sebagaimana yang disampaikan Prof. Dudung Darusman pada Seri Diskusi bertajuk “Konsep, Kebijakan, dan Implementasi Restorasi Ekosistem RE: Lesson Learned, Prospek dan Tantangan”. Institu Pertanian Bogor, 07 Mei 2013. Kerjasama Burung Indonesia dan Institut Pertanian Bogor. 4. Selama ini pemanfaatan hutan alam masih bersifat single-product. RE mengarahkan adanya pemanfaatan hutan produksi yang bersifat multiple- product, tidak hanya memanfaatkan kayu, tapi juga hasil-hasil hutan lainnya. Oleh karena itu izin usaha RE dalam pengelolaannya harus berbasiskan ekosistem hingga tercapai keseimbangan hayati. Orientasi pengembangan usaha yang bersifat multiple-product selain lebih bernilai ekonomi tinggi, juga menghindari adanya pengabaian local-knowledge, lebih mampu menesejahterakan masyarakat dan lebih mengedapankan partisipasi masyarakat. 5. Restorasi Ekosistem masih harus berprinsip produksi dengan konsep mandiri, menguntungkan, mampu menggerakan ekonomi wilayah dengan memanfatkan hasil hutan dan peluang pasar yang ada. Bukan sekedar konservasi untuk dilihat saja. 6. Pengelolaan RE tidak boleh eksklusif, akan tetapi harus inklusif. Pemegang konsensi harus melibatkan masyarakat, tidak hanya melibatkan masyarakat dalam kegiatan restorasi penanaman, namun juga dalam kegiatan pemanenan. Hasil hutan yang ada milik pemegang konsensi namun pemanenan bisa dilakukan oleh masyarakat yang dibayar dengan pendekatan business to business. Kerjasama masyarakat dengan pola saling menguntungkan. Oleh karena itu, dalam menciptakan akseptabilitas diskursus restorasi eksositem menggagas adanya nilai ekonomis dalam kegiatan restorasi ekosistem yang tidak hanya menekankan pada isu konservasi. Restorasi ekosistem juga berorientasi pada pemanfaatan nilai ekonomi hutan yang tidak hanya berorientasi pada single-product, yaitu kayu, akan tetapi berorientasi multiple-product untuk menciptakan keunggulan komparatif nilai ekonomi hutan, yang tidak hanya dimanfaatkan oleh pemegang konsensi, tapi oleh masyarakat sekitar areal restorasi ekosistem hingga tercapai kesejahteraan. Diskursus restorasi ekosistem membangun diskursus yang lebih umum yang dekat dengan diskursus resource management yang dikembangkan Escobar 1998. Diskursus resource management merupakan perspektif globalosentrik yang biasanya memainkan tiga wacana penting sehingga penjaminan terhadap adanya konservasi dan biodiversitas terwujud. Ketiga wacana tersebut adalah 1 Ilmu-ilmu konservasi dan biodiversity yang terus dikembangkan, 2 pembangunan berkelanjutan, dan 3 pemberian manfaat melalui hak-hak intelektual dan bentuk-bentuk mekanisme lainnya. Perspektif ini didominasi oleh institus global seperti Bank Dunia dan NGO negara-negara utara seperti World Conservation Union, World Resources Institute dan World Wild Fund. Dalam hal ini perusahaan restorasi mebawa isu faktor sosial ekonomi dalam wacana restorasi eksosistem dengan mendasarkan kegiatan usahanya pada empat pilar, yaitu: 1 kawasan hutan yang mantap dan aman, 2 rehabiliras nilai ekonomi hutan produksi, 3 restorsi habitat flora dan fauna, 4 dan pembangunan sosial ekonomi berkelanjutan. Meskipun demikian, keempat pilar kegiatan tersebut tidak sepenuhnya terimplementasi di lapangan. Kenyataanya, wacana konservasi PT. RE masih bersifat tradisional yang fokus pada pemisahan hutan dengan masyarakat dan dekat dengan istilah eco-imprealism Kirkby 2000 dalam Witmer and Briner 2007. Perusahaan restorasi membangun konstruksi lawan sebagai perambah yang merusak hutan meskipun tawaran solusi yang diberikan adalah ide kemitraan dimana memaksakan masyarakat yang memiliki kepentingan livelihood agar melakukan strategi nafkah yang selaras dengan alam, yaitu menanam pohon jernang dan tanaman kayu keras lainnya. Diskursus restorasi ekosistem meciptakan kredibilitas dan kepercayaan melalui upaya membangun argumen yang masuk akal melalui diskusi ilmiah dengan para ahli dari isntitusi perguruan tinggi dari berbagai disiplin ilmu dan institusi kepemerintahan dari berbagai sektor. Selain itu, diskurus ini juga memainkan otoritasnya sebagai pihak yang sah menguasai hutan restorasi melalui IUPHKK-RE tersebut. Oleh karena itu, praktik dari diskursus ini juga melakukan upaya-upaya pengaman areal restorasi dari pihak musuh melalui pendekata ligitasi hukum. 2. Diskursus Keadilan Agraria

a. Aktor dan Jaring-jaring Kekuasaan dalam Diskursus Keadilan Agraria

Khusus di lokasi sengketa Dusun Kunangan Jaya 1 dan Kunangan Jaya 2, Masyarakat migran yang masuk membuka areal hutan eks HPH PT Log untuk pemukiman dan pertanian melakukan jejaring kekuasaan dengan sejumlah aktor lain. Pertama, dalam mendapatkan lahan masyarakat mendapatkan lahan umumnya membeli dari masyarakat SAD Bathin Sembilan dengan konstruksi gagasan bahwa masyarakat adat SAD Bathin Sembilan adalah pihak yang sah memiliki hutan sebagai lahan adat yang sudah dikuasai secara turun-temurun. Selain itu, masyarakat mendapatkan lahan dengan mengikuti program pembukaan lahan yang dimotori aktor perintis hutan spekulator yang mengkonstruksikan gagasan bahwa proses pembukaan lahan dilakukan secara prosedural dan membela kepentingan masyarakat golongan lemah yang terdesak oleh kemiskinan. Setelah mendapatkan lahan baik dengan cara membeli dari suku Bathin Sembilan atau dengan ikut serta dalam program pembukaan lahan, masyarakat membentuk satu perkampungan yang merepresentasikan adanya proses intergrasi antara masyarakat adat bathin Sembilan dan masyarakat migran. Secara administratif perkampungan dijadikan sebagai wilayah RT atau wilayah dusun yang diakui oleh pemerintah desa lengkap dengan perangkat-perangkatnya. Dalam hal ini peran pemerintah desa menjadi sangat vital bagi masyarakat migran yang mengakui keberadaan mereka secara sah dari pemegang otoritas lokal. Setelah hadirnya perusahaan restorasi, masyarakat berjejaring dengan sejumlah LSM yang konsen dengan isu keadailan agraria, mengingat jaminan perlindungan yang di miliki pemerintah hanya produk kebijakan lokal yang tidak kuat secara hukum sehingga tidak mampu memberikan jaminan yang sah secara legal formal berdasarkan aturan negara. Setelah berintergrasi dengan LSM masyarakat memainkan wacana keadilan agraria sebagaimana wacana yang digaungkan LSM. Dusun Kunangan Jaya 1 didampingi oleh LSM lokal CAPPA dan Dusun Kunangan Jaya 2 didampingi oleh LSM Nasional STN.

b. Alur-Cerita Diskursus Keadilan Agraria Diskursus KA

Sejumlah LSM masuk kepada masyarakat setelah masyarakat berkonflik dengan PT RE. Oleh karena itu, diskursus keadilan agraria banyak berasal dari wacana LSM yang konsen dalam isu keadilan agraria. Fokus utama diskursus keadilan agraria adalah penekankan pada ideologi keberpihakan kepada kelompok masyarakat lemah yang dihadapkan pada ketidakadilan dalam pengaturan tataguna lahan. Bagi penganut diskursus ini perusahaan restorasi dianggap sama saja dengan perusahaan lainnya, menjual karbon mengorbankan masyarakat. Diskursus ini mengangkat masyarakat sebagai korban kebijakan dimana trend pembangunan dan ekonomi nasional saat ini terutama di Provinsi Jambi lebih berbasis pada investasi sumberdaya. Penguasaan sumberdaya alam yang diperuntukan bagi koorporasi-koorporasi sangat besar porsinya yang kemudian menimbulkan kesenjangan antara korporasi dan rakyat. Terlebih masyarakat semakin berkembang dan jumlahnya kebutuhan lahan semakin meningkat. Diskursus ini membangun gagasan tanah terutama hutan itu sejatinya harus dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kepentingan kemakmuran rakyat. Maka hadirnya perusahaan restorasi menjadi ganjil dimana hutan di serahkan pengelolaannya kepada donor internasional bukan kepada masyarakat. Bagi diskursus ini rezim pemerintahan saat ini adalah tak lebih sebagai pelaksana neo- kolonialisme imperium. Dalam rangka membangun akseptabilitas, diskursus keadilan agraria memainkan alur cerita Hak Asasi Manusia HAM dimana setiap warga negara Indonesia memiliki hak-hak hidup yang sama dan mendapatkan kesejahteraan. Lahan hutan dapat menjadi solusi keluar dari kemiskinan secara mandiri -ketika penguasaan lahan-lahan oleh masyarakat semakin sempit -tanpa harus membenai pemerintah melalui program-program pengentasan kemiskinan. Isu HAM menjadi semakin kuat ketika praktek-praktek kekerasan dilakukan oleh perusahaan restorasi untuk mengusir masyarakat. Sementara itu, kredibiltas dan kepercayaan yang dibangun dalam diskursus ini berbeda antara kasus di Dusun Kunangan Jaya 1 dan Kunangan Jaya 2. Dalam kasus Dusun Kunangan Jaya 1, karena terdapat banyak masyarakat adat SAD Bathin Sembilan, kredibilitas dan trust yang diciptakan mengarah kepada penguatan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal. Diskursus ini memberikan tekanan wacana global HAM atas tindakan kekerasan pihak lawan dan mendorong adanya suatu standar internasional 18 yang perlu mengakui keberadaan masyarakat adat dan lokal dalam setiap penerapan kebijakan di tengah-tengah masyarakat. Pada kasus Dusun Kunangan Jaya 2 kredibiltas dan trust dibangun melalui aksi simbolik jalan kaki dari Jambi hingga Jakarta serta aksi jahit mulut yang dilakukan oleh petani di Dusun Kunangan Jaya 2 dan didampingi oleh LSM STN. Aksi ini dilakukan sebagai simbol kesungguhan petani di Dusun Kunangan Jaya 2 untuk mempertahankan kehidupannya di lahan hutan yang diklaim oleh perusahaan restorasi. Diskursus Keadilan Agraria membangun diskursus yang lebih umum, yaitu diskursus cacah. Relasi yang terjalin dengan rumit dan panjang membuat 18 Salahsatunya adalah wacana FPIC. FPIC adalah suatu standar yang menetapkan suatu hak masyarakat adat untuk menentukan bentuk-bentuk kegiatan apa yang mereka inginkan pada tanah mereka berlandaskan hukum-hukum intrenasional. Hak masyarakat untuk mendapatkan informasi Informed sebelum Prior dan sebuah program atau proyek pembangunan dilaksanakan dalam wilayah mereka, dan berdasarkan informasi tersebut, mereka secara bebas tanpa tekanan Free menyatakan setuju consent atau menolak atau dengan kata lain sebuah hak masyarakat adat untuk memutuskan jenis kegiatan pembangunan macam apa yang mereka perbolehkan untuk berlangsung dalam tanah adat mereka.