perlahan, hal tersebut dapat semakin meminggirkan posisi masyarakat adat yang membawa pada kerentanan sistem nafkah. Karakter asil sistem nafkah masyarakat
adat adalah pertanian rotasi yang saat ini tidak lagi mendapatkan tempat. Masyarakat adat akan bertahan jika mampu beradaptasi dengan pertanian modern
berbasis modal, yaitu perkebunan sawit dan karet unggul. Sementara itu, jika penguasaan beralih kepada swasta, baik swasta bebasis konservasi maupun
produksi hutan, tidak akan memberikan ruang yang cukup untuk masyarakat adat membangun sistem nafkah seperti sedia kala. Karena dalam narasi global, sistem
pertanian tradisional slash and burn menjadi penyebab utama deforestasi.
5.5 Tipologi Tumpang Tindih Klaim Atas Sumberdaya Agraria di Desa Bungku
Tumpang tindih klaim atas sumberdaya di Desa Bungku menyebabkan ketidakpastian nafkah bagi masyarakat. Sebagaimana telah dipaparkan di atas,
hampir keseluruhan wilayah administratif Desa Bungku yang sudah berwujud pemukiman dan lahan garapan tumpang tindih dengan klaim swasta, bahkan
dengan negara itu sendiri. Berdasarkan hasil identifikasi lapangan, terdapat sedikitnya empat tipologi tumpang tindih klaim atas lahan di Desa Bungku yang
masih berstatus sengketa bahkan sudah mencuat menjadi konflik terbuka. Berikut situasi mengenai keempat tipologi tumpang tindih klaim atas lahan tersebut lihat
juga Gambar 13 di bawah ini.
Gambar 13 Ilustrasi Tumpang Tindih Klaim atas Sumberdaya Agraria
5.5.1 Tipe 1: Klaim Kepemilikan Negara VS Klaim Kepemilikan Individu
Tumpang tindih tipe ini terjadi karena adanya pertarungan klaim antara negara dan masyarakat. Arena pertarungan klaim berada di areal hutan negara
yang berfungsi sebagai hutan pelestarian, yaitu Taman Hutan Raya Tahura. Secara faktual, sebagian wilayah yang kawasan Tahura tersebut sudah banyak
dikuasai oleh masyarakat. Sebesar 70
15
Lahan Tahura sudah dikuasi warga dengan ditanami karet dan sawit serta pemukiman yang sudah permanen.
Tahura termasuk ke dalam bagian ruang jelajah hidup SAD Bathin Sembilan, terutama SAD Bathin Sembilan dari Desa Singkawang yang berbatasan
dengan Desa Bungku. Kepala Desa Bungku pertama merupakan semendo yang banyak menguasai lahan-lahan di Tahura. Sejak tahun 1980an, Kepala Desa
tersebut memberikan izin siapa saja yang datang untuk membuka hutan sebelum ditetapkan oleh negara sebagai kawasan Tahura. Berdasarkan keterangan warga,
Tahura sebelumnya merupakan kawasan HPH
16
. Banyak masyarakat masuk
15
Angka tersebut berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Bagian Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan Kabupaten Batang Hari, Provinsi Jambi 2013
16
Peneliti mengkonfirmasi hal ini kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Batang Hari, namun tidak ada data yang ditunjukan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Batang Hari bahwa kawasan Tahura