Latar Belakang Competing Power And Claim Legitimation On Forest Resources: Case Of Forest Restoration In Batang Hari District, Jambi Province
produk diskursus penyelamatan hutan akibat laju deforestasi yang tinggi. Kebijakan baru tersebut pertama kali disahkan melalui SK.159Menhut-II2004.
Satu tahun setelah dikeluarkannya kebijakan tersebut, tahun 2005 ditetapkan lokasi hutan produksi yang dicadangkan untuk kegiatan restorasi yang
diberikan pertama kali kepada sebuah konsorsium. Konsorsium tersebut terdiri atas tiga organisasi non pemerintah di bidang pelestarian burung. Agar dapat
menjadi pemegang izin konsesi restorasi ekosistem, konsorsium tersebut membentuk suatu badan usaha bernama mengingat kegiatan restorasi ekosistem
hutan dilakukan di kawasan hutan produksi sebagai suatu jenis kawasan hutan yang bisa dimanfaatkan hasilnya secara ekonomi. Oleh karena itu, izin konsesi
restorasi ekosistem hanya dapat diberikan kepada suatu badan usahaperusahaan swasta.
Berdasarkan sejarah penguasaan lahan secara umum, areal konsesi restorasi ekosistem merupakan kawasan eks PT Inh 5 yang berada di Provinsi
Sumatera Selatan dan eks HPH PT log yang berada di Provinsi Jambi. Berdasarkan surat keputusan penunjukan lokasi pencadangan areal perusahaan
restorasi yaitu SK No 83Menhut-II2005, luas areal yang dicadangkan untuk perusahaan restorasi adalah 101
. 355 ha dengan perincian sekitar 40
. 705 ha
merupakan areal status hak PT log di Provinsi Jambi dan sekitar 60 .
650 ha merupakan eks areal status hak PT Inh 5 di Provinsi Sumatera Selatan Selatan.
Pada akhirnya, luas kawasan konsesi restorasi ekosistem yang diberikan kepada perusahaan restorasi adalah 98
. 555 ha yang ditetapkan melalui dua surat
keputusan izin usaha. Seluas 52 170 ha terdefinisi di Provinsi Sumatera Selatan sesuai SK Menhut 293Menhut-II2007 dan seluas 46
. 385 ha terdefinisi di
Provinsi Jambi sesuai SK Menhut 327Menhut-II2010. Khusus untuk Jambi, lokasi konsesi restorasi ekosistem secara administratif mencakup dua kabupaten.
Sebagian besar areal restorasi berada di Kabupaten Batang Hari, khususnya Desa Bungku Kecamatan Bajubang. Sisanya, sebagian kecil kawasan restorasi berada
di Kabupaten Sarolangun.
Dengan alasan untuk mengontrol penduduk dan sumberdaya alam, negara seringkali menetapkan, memetakan, membatasi, serta mengkategorisasi kawasan
hutan. Undang-undang No. 5 Tahun 1967 bahkan menetapkan tiga perempat dari luas lahan di Indonesia sebagai hutan Darmanto dan Setyowati 2012. Oleh
karena itu, wilayah NKRI harus terbagi atas kawasan hutan dan non kawasan hutan. Di sisi lain, secara administratif wilayah NKRI juga dibagi habis oleh desa-
desa. Kenyataan di lapangan, terutama untuk desa-desa di pedalaman muncul persoalan tata batas antara masyarakat di sekitar hutan dengan para rimbawan atau
pihak-pihak tertentu yang diberi hak mengelola hutan. Dalam narasi masyarakat, hutan tersebut menjadi wilayah desa yang dapat terus dimanfaatkan. Sementara,
dalam narasi rimbawan, masyarakat sering kali dipandang sebagai pihak yang mengancaman kelestarian dan menghambat produktivitas hutan.
Ketika pemerintah menetapkan kawasan hutan produksi yang terdegradasi eks perusahaan logging sebagai hutan restorasi di Kabupaten Batang Hari,
kawasan tersebut secara administratif berada di Desa Bungku yang wilayahnya terus diperluas dengan pemukiman dan pertanian masyarakat. Oleh karena itu,
sebelum hak penguasaan lahan dialihkan dari PT Log kepada perusahaan restorasi masyarakat sudah terlebih dahulu menguasai hutan. Hingga tahun 2005, sebesar
1107 ha lahan eks PT Log sudah dikuasai masyarakat dan setiap tahun jumlah
luasan hutan areal pencadangan restorasi yang dikuasai masyarakat terus mengalami peningkatan, yaitu pada tahun 2005 mengalami peningkatan sebesar
361 ha, pada tahun 2006 mengalami peningkatan seluas 2 .
366 ha dan pada tahun 2007 mengalami peningkatan sebesar 6379 ha. Artinya, sejak perusahaan restorasi
resmi mendapatkan hak izin merestorasi hutan secara sah dari pemerintah tahun 2007 di Sumatera Selatan, luas lahan yang sudah dikuasai masyarakat adalah
sebesar 10 264 ha. Sementara itu, pada saat perusahaan mendapat izin resmi di Provinsi Jambi pada Tahun 2010, jumlah lahan yang dikuasai masyarakat masih
terus mengalami peningkatan hingga mencapai luas sekitar 13 564 ha. Penguasan masyarakat terhadap areal hutan eks PT Log tidak berhenti pada saat
ditetapkannya perusahaan restorasi sebagai pemegang izin yang sah menguasai hutan tersebut. Penguasaan masyarakat terhadap hutan terus terjadi. Penguasaan
lahan oleh masyarakat atas lahan hutan terdiri atas berabagai kelompok masyarakat dan memiliki riwayat keagrarian tersendiri dalam penguasaan lahan
hutan yang berbeda antar kelompok masyarakat.
Hingga tahun 2012 luas hutan di sekitar Desa Bungku yang ditetapkan sebagai areal restorasi yang dikuasai masyarakat mencapai 18 362 ha. Areal hutan
tersebut telah dikonversi menjadi pemukiman dan lahan pertanian masyarakat. Pertanian yang dilakukan masyarakat pada umumnya adalah padi, palawija,
hortikultura, kebun karet, serta kebun sawit yang sangat bertolak belakang dengan kepentingan restorasi. Kelompok-kelompok masyarakat yang menguasai beberapa
bagian wilayah areal yang ditetapkan sebagai areal hutan restorasi terdiri dari masyarakat asli dan masyarakat migran. Masyarakat asli adalah SAD Bathin
Sembilan dengan basis sistem penghidupan berburu serta melakukan sistem pertanian ladang berpindah. Kedua, masyarakat migran yang datang dari berbagai
daerah di Indonesia dengan basis sistem penghidupan berkebun karet dan sawit. Beberapa bagian areal konsesi restorasi ekosistem yang sudah dikuasai
masyarakat umumnya merupakan hasil pengembangan wilayah Desa Bungku. Areal hutan yang dibuka oleh masyarakat untuk pertanian dan pemukiman
ditetapkan sebagai wilayah dusun sebagai bagian dari wilayah desa dan aktif mendapatkan program-program pembangunan, baik dari pemerintah daerah
maupun pemerintah pusat.
Kondisi tersebut menunjukan adanya tumpang tindih klaim atas wilayah hutan. Adanya tumpang tindih klaim atas lahan multiple claims of agrarian right
tersebut memunculkan adanya sengketa agraria yang cukup tinggi dan berimplikasi pada konflik terbuka yang terjadi antara masyarakat dan perusahaan
restorasi. Dalam hal ini, konflik dapat dilihat sebagai salah satu akibat atau hasil dari pilihan strategi yang ditempuh untuk merealisasikan tujuan, yaitu klaim atas
sumberdaya yang aman dari klaim pihak lain Maring 2012.
Kegiatan restorasi ekosistem di Provinsi Jambi sebagai kegiatan restorasi pertama di Indonesia yang kini sedang dipertaruhkan di kancah dunia, terutama
untuk dinegosiasikan agar bisa menarik surplus dari negara maju dalam skema perdagangan karbon. Namun, dalam upaya menarik perhatian negara maju
tersebut, Indonesia harus berhadapan dengan persoalan struktural ketimpangan penguasaan lahan dan kemiskinan di sekitar hutan. Jika kehadiran pengelolaah
hutan bebasis restorasi tersebut tidak merubah banyak relasi antara masyarakat- hutan, maka konflik perebutan sumberdaya hutan tetap tak bisa dihindarkan.
Terlebih gerakan masyarakat yang semula terpinggirkan dalam mandapatkan
manfaat dari sumberdaya hutan semakin menguat pasca tumbangnya rezim Orde baru.
Konflik perebutan sumberdaya hutan justru semakin menguat mengingat narasi konservasi perusahaan restorasi masih bersifat tradisional yang fokus pada
pemisahan hutan dengan masyarakat dan dekat dengan istilah eco-imprealism Kirkby 2000 dalam Witmer and Briner 2007. Perusahaan restorasi dan dinas
kehutanan dengan tegas menyatakan akan mengusir masyarakat yang dianggap sebagai perambah hutan dalam rangka menudukung wacana global. Sementara,
masyarakat
dengan advokasi
sejumlah LSM
bersikeras akan
tetap mempertahankan lahan yang telah dikuasainya atas nama perjuangan
ditegakannya keadailan agraria. Ketegangan yang tinggi antara perusahaan restorasi dan masyarakat, bahkan diwarnai dengan adanya aksi kekerasan seperti
penembakan, pembakaran, penggusuran, penangkapan hanya semakin menambah potret buram pengelolaan hutan di Indonesia.