Gambaran bagaimana kontestasi antara perkebunan, kehutanan, dan kependudukan terlihat nyata pada kasus di Desa Bungku. Desa Bungku memiliki
wilayah yang sangat luas. Luasnya wilayah tersebut menjadikan Desa Bungku sebagai arena yang mewadahi beragam pertarungan antara kehutanan,
perkebunan, dan kependudukan. Lehih rinci, gambaran kontestasi perkebunan, kehutanan dan kependudukan dijelaskan pada Bab 5 dan Bab 6.
5 DINAMIKA PENGUASAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA AGRARIA DI DESA BUNGKU
Rezim properti umumnya terbentuk dengan adanya kebijakan negara dalam menetapkan status suatu kawasan. Namun, penetapan atas status kawasan
seringkali bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan siapa sebenarnya yang menguasai atau mendapatkan manfaat dari sumberdaya dalam kawasan tersebut?.
Dalam teori akses Ribot dan Peluso 2006 kemampuan mendapatkan manfaat dari suatu sumberdaya dinamakan sebagai akses yang dipengaruhi oleh
sekumpulan kuasa a bundle of powers.
Bab ini membahas bagaimana penetapan rezim properti negara atas suatu sumberdaya tidak serta merta menghilangkan akses masyarakat terhadap
sumberdaya tersebut. Namun sebaliknya, membuka akses bagi masyarakat lebih luas untuk menguasai dan mendapatkan manfaat dari sumberdaya hutan. Terdapat
faktor-faktor yang mempengaruhi kuasa masyarakat untuk dapat mengakses sumberdaya hutan. Kemampuan akses terhadap sumberdaya yang dimiliki
masyarakat disertai dengan upaya melegitimasi akses sehingga menjadi properti yang diakui. Pada akhirnya, upaya masyarakat menjadikan akses sebagai properti
berhadapan dengan kebijakan pemerintah yang justru memberikan properti kepada swasta, sehingga muncul adanya tumpang tindih klaim atas penguasaan
sumberdaya agraria.
Dinamika penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria dilihat untuk mengkaji mengapa tumpang tindih klaim bisa terjadi, terutama antara masyarakat
dan perusahaan restorasi. Mengingat, sebagian besar areal restorasi ekosistem hutan di Provinsi Jambi masuk ke dalam wilayah administratif Desa Bungku,
Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batang Hari. Oleh karena itu, persoalan tumpang tindih klaim antara masyarakat dan perusahaan restorasi tak lepas dari
konteks dinamika yang terjadi di Desa Bungku.
5.1 Sejarah Penguasaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Agraria di Desa Bungku
Sejarah penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria dilihat berdasarkan rentang waktu hadirnya HPH di Desa Bungku, yaitu sejak tahun
1971. Pada tahun 1971 terjadi penguasaan hutan negara oleh swasta private property. Sejak saat itu, hampir seluruh wilayah Desa Bungku merupakan
kawasan hutan yang dikuasai oleh pemegang konsesi HPH. Padahal hutan di sekitar Desa Bungku merupakan wilayah jelajah hidup masyarakat adat yang
menguasai hutan secara turun temurun. Hutan tersebut diklaim sebagai hutan negara yang kemudian diberikan penguasaanya oleh negara kepada swasta untuk
dieksploitasi. Penguasaan swasta terbentuk melalui berbagai produk kebijakan izin usaha seperti HPH, HTI, atau HGU. Setelah hutan habis dieksploitasi oleh
swasta, umumnya kawasan hutan dikembalikan menjadi kawasan lindung yang mengharuskan diproteksi dari keberadaan manusia.
Sementara itu, dalam narasi masyarakat SAD Bathin Sembilan hutan adalah milik mereka sebagai ahli waris nenek moyang yang turun temurun tinggal
di dalam hutan. Seiring dengan semakin terbukanya kehidupan masyarakat SAD Bathin Sembilan dengan masyarakat luar membuat masyarakat SAD Bathin
Sembilan mudah menjual hutan kepada masyarakat luar. Hal ini menunjukan adanya perbedaan pemaknaan atas sumberdaya hutan antara masyarakat SAD
Bathin Sembilan dengan pemerintah. Berdasarkan pemaknaan masing-masing atas hutan, pemerintah kemudian membuka akses sumberdaya hutan kepada swasta,
sementara masyarakat SAD Bathin Sembilan membuka akses tersebut kepada masyarakat luarpendatang. Kondisi ini menyebabkan sejarah penguasaan
sumberdaya hutan di Desa Bungku menjadi penuh dinamika. Berikut dipaparkan tiga periode sejarah penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di sekitar
Desa Bungku.
5.1.1 Periode Pertama 1971 sampai 1995 : Era Penguasaan Hutan Negara oleh Swasta
Tahun 1970 merupakan tahun yang dikenal dengan tahun pembabatan hutan, terutama di luar Jawa ketika penebangan hutan mulai diserahkan kepada
pemegang HPH Wiranto et al. 2004. Upaya eksplotasi sumberdaya alam digerakkan oleh adanya dukungan peningkatan penanaman modal asing PMA
melalui UU No. 1 Tahun 1967 maupun penanaman modal dalam negeri PMDN melalui melalui UU No. 6 Tahun 1968 Nurjayana 2005. Sementara itu di bidang
pengusahaan sumber daya hutan dibentuk instrumen hukum yang dimulai dengan pembentukan UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kehutanan. Kemudian, untuk melaksanakan ketentuan mengenai pengusahaan hutan yang mendasari kebijakan pemberian konsesi eksploitasi sumber daya
hutan, maka dikeluarkan PP No. 21 Tahun 1970 yunto PP No. 18 Tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan HPH dan
HPHH. Segera setelah peraturan pemerintah ini dikeluarkan, kegiatan eksploitasi sumber daya hutan secara besar-besaran dilakukan pemerintah, terutama di
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya Papua, melalui pemberian konsesi HPH dan HPHH kepada pemilik modal asing maupun modal
dalam negeri dalam bentuk Badan Usaha Milik Swasta BUMS maupun kepada Badan Usaha Milik Negara BUMN Nurjayana 2005. Hutan di sekitar Desa
Bungku merupakan hutan yang terkena dampak adanya kebijakan yang berpihak pada modal tersebut. Hampir seluruh hutan di Desa Bungku dikuasi oleh
pemegang HPH, terutama HPH PT Log.
Perusahaan Log mulai melaksanakan kegiatan pengusahaan hutan pada tahun
1971 berdasarkan
legitimasi SK
Mentri Pertanian
Nomor 408KptsUm91971 tanggal 23 September 1971. Perusahaan tersebut
mendapatkan Addendum FANAD004II1983 tanggal 24 Pebruari 1983 untuk perubahan status dari semula status PMA menjadi PMDN. Perusahaan Log di
Provinsi Jambi kemudian diperpanjang pada tahun 1993 dan 1997 melalui legitimasi SK Mentri Kehutanan Nomor 116kpts-II1993 tanggal 25 Februari
1993 dan SK Nomor 674kpts-II1997 tanggal 10 Oktober 1997. Berdasarkan SK perpanjangan HPH dari Mentri Kehutanan No.116kpts-II1993 PT Log
mengusahakan hutan seluas 70 269 Ha di Provinsi Jambi Cahyana 2000.
Secara de jure PT Log diberikan hak mengelola hutan negara selama 40 tahun, yaitu tahun 1971 sampai 2011. Namun, menjelang tahun 1998 PT Log
menelantarkan izin lokasinya sehingga tahun 2008 izin lokasi PT Log secara