Teori Akses Ribot dan Peluso 2003
manfaat dari sumberdaya tersebut. Cara-cara penguasaan sumber-sumber agraria oleh para pihak dilihat melalui teori akses yang dikembangkan oleh Ribot dan
Peluso 2003.
Akses didefinisikan oleh Ribot dan Peluso 2003 sebagai kemampuan mendapatkan manfaat dari sesuatu barang, yaitu:
Ribot dan Peluso 2003: “...ability to benefit from things –including material objects, persons,
institutions, and symbol. By focusing on ability, rather than rights as in property theory, this formulation brings attention to a wider range
of social relationships that can constrain or enable people to benefit
from resources without focusing on property relations alone.” Oleh karena itu, teori akses fokus pada hubungan sosial yang lebih luas
yang dapat memungkinkan sesorang atau kelompok mendapatkan manfaat dari sumberdaya alam, tanpa hanya fokus pada hubungan kepemilikan. Teori akses
memetakan proses dinamika dan hubungan akses terhadap sumberdaya alam yang menempatkan kepemilikan hanya bagian dari satu set hubungan akses antara satu
sama lain. Teori akses bertujuan memfasilitasi analisis dasar mengenai siapa sebenarnya yang mendapatkan manfaat dari sesuatu dan melalui proses apa
mereka mampu melakukan itu? Atau dengan pertanyaan lebih sederhana sederhana siapa dapat menikmati apa? dengan cara apa dan kapan? Ribot dan
Peluso 2003.
Teori akses mencoba mengurai seperti apa tingkat kekuasaan range of power yang terwujud melalui berbagai macam mekanisme, proses, dan hubungan
sosial. Tingkat kekuasaan range of power tersebut dapat mempengaruhi kemampuan orang untuk mendapatkan manfaat dari sumberdaya. Kekuasaan
tersebut menyusun setiap helaian materi, budaya, dan ekonomi politik dalam satu ikatan dan jaringan kekuasaan yang mengkonfigurasi akses terhadap sumberdaya.
Institusi atau pihak-pihak yang berbeda satu sama lain akan memiliki sekumpulan kekuasaan bundle of power dan membentuk jaring-jaring kekuasaan webs of
power. Oleh karena itu, analisis akes juga membantu memahami kenapa beberapa oranginstitusi mendapatkan manfaat dari sumberdaya meskipun mereka
memiliki hak atau pun tidak memiliki hak terhadap sumberdaya tersebut.
Ribot dan Peluso 2003 membedakan konsep akses dengan konsep hak kepemilikianpenguasaan atas sumberdaya yang mengacu pada teori hak properti
the theory of property rights yang membatasi kepentingan orang atau kelompok sosial tertentu atas sumberdaya melalui sekumpulan hak a bundle of rights.
Akses merupakan sekumpulan kekuasaan bundle of power dan jaringan kekuasaan webs of power yang memungkinkan orang mendapatkan, mengontrol,
dan memelihara akses terhadap sumberdaya. Sementara properti merupakan hak untuk mengklaim yang diakui dan didukung oleh masyarakat secara hukum,
budaya, dan konsensus. Akses merupakan sekumpulan kekuasaan dan jaringan kekuasaan yang memungkinkan orang mendapatkan, mengontrol, dan memelihara
akses lebih menekankan pada konsep kemampuan ability. Sementara itu, properti merupakan hak untuk mengklaim yang diakui dan didukung oleh
masyarakat secara hukum, budaya, dan konsensus yang lebih fokus pada klaim
yang didefinsikan sebagai hak. Dengan demikian, walaupun tidak memiliki hak, namun jika memiliki akses seseorang atau sekelompok orang bisa mendapatkan
manfaat dari suatu sumberdaya. Darmanto dan Setyowati 2010 menguatkan teori akses dalam temuan studinya di Hutan Siberut bahwa banyak faktor yang
menyediakan jaminan dalam penentuan arus keuntungan sumberdaya hutan yang lebih daripada hanya sebatas pengakuan hak-hak secara legal, hak atas properti
tidaklah cukup untuk menjamin bahwa manfaat sumberdaya alam akan jatuh ke tangan masyarakat lokal.
Ribot dan Peluso 2003 menjelaskan mekanisme akses terbentuk melalui adanya akses berbasis hak right-based access dan sejumlah faktor-faktor lain
yang terangkum dalam mekanisme akses relasional dan struktural structural and relational access mechanisms. Akses berbasis hak right-based access
merupakan akses yang disetujui melalui hukum, adat, dan konvensi. Akses barbasis hak mengandung pengertian bahwa akses sebagai implikasi adanya
keterlibatan masyarakat, negara atau pemerintah yang memberikan klaim.
Pengakuan atas akses berbasis hak melalui hukum, adat, dan konvensi seringkali melahirkan ambiguitas kemenduaan. Hukum pada umumnya dibuat di
bawah sebuah pemerintahan tunggal di dalam satu periode sejarah tunggal yang kontradiksi satu sama lain. Ambiguitas terjadi ketika hak pada satu sumberdaya
yang sama dialokasikan kepada beberapa pihak. Contoh di Thaliand, kementrian kehutanan tidak mengakui keberadaan masyarakat migran yang mengikuti
program transmigrasi dan mendapatkan fasilitas kesehatan dan sekolah dari kementrian registrasi dan migrasi.
Terkadang politik atau hukum yang baru tidak secara jelas menggambarkan semua bentuk kekuasaan dengan hak-hak khusus sehingga
konflik terjadi disepanjang pemecahan masalah ambiguitas tersebut. Dalam hal ini umumnya sistem manajemen sumberdaya kolaborasi dijalankan namun batasan
hak dan akses tidak ditetapkan dengan jelas. Sebagai contoh atas nama desentralisasi atau partisipasi. Pendekatan co-management mengklaim telah
membawa masyarakat ke dalam proses partisipatori namun gagal mentransfer hak atas hutan kepada masyarakat itu sendiri. Ambiguitas memainkan sebuah
pernanan penting dalam sistem legitimasi yang tumpang tindih, dimana flularitas legal, adat, dan konvensi gagasan hak digunakan untuk mengklaim hak.
Mengingat, Setiap aktor berusaha meningkatkan manfaat yang mereka punya. Jadi hak yang didefiniskan melalui hukum, adat dan konvensi adalah sebuah
mekanisme yang dapat membentuk siapa yang mengontrol dan menjaga akses.
Selain akses legal yang diakui secara hukum, adat, dan konvensi, terdapat pula akses ilegal. Ilegal dalam hal ini juga merupakan akses berbasis hak dimana
ketika manfaat didapatkan melalui mekanisme ilegal. Ilegal merupakan bentuk akses langsung yang didefinsikan berlawanan dengan bentuk-bentuk hukum, adat-
istiadat dan konvensi. Ilegal adalah menikmati manfaat dari sumberdaya bukan melalui persetujuan secara sosial oleh negara atau masyarakat. Contohnya,
mencuri yang juga dapat menjadi bentuk akses langsung terhadap sumberdaya.
Akses Ilegal beroperasi melalui paksaan dan tersembunyi, membentuk relasi disepanjang upaya mendapatkan, mengontrol, dan menjaga akses.
Seseorang bisa secara ilegal menjaga akses mereka dengan cara menguatkan hubungan dengan pihak yang memiliki kontrol terhadap akses. Umumnya
pegawai pemerintah dari cabang militer, yang secara sembunyi menggunakan
kekuasaan mereka untuk melindungi akses personal terhadap sumberdaya. Cara- cara legal bukan satu-satunya cara berbasis hak untuk mendapatkan, mengontrol,
dan menjaga
manfaat sumberdaya.
Kekerasan dan
pencurian juga
dipertimbangkan sebagai mekanisme akses yang menolak hak. Selain itu akses berbasis hak, terdapat faktor tambahan yang mengarah
pada mekanisme akses struktural dan relasional yang membentuk bagaimana manfaat didapatkan, dikontrol dan dijaga. Kemampuan mengambil manfaat dari
sumberdaya dimediasi oleh paksaan-paksaan yang ditentukan oleh kerangka ekonomi-politik dan budaya yang spesifik di dalam mana akses terhadap
sumberdaya disuarakan. Dengan mengacu kepada ide Blakie yang mengatakan bahwa akses sangat dipengaruhi oleh modal dan identitas sosial. Ribot dan Peluso
2003 mengembangkan ide Blakie dengan merumuskan bagaimana teknologi, modal, pasar, pengetahuan, otoritas, identitas sosial dan hubungan sosial dapat
membentuk dan mempengaruhi akses. Teori akses menempatkan power di dalam konteks sosial dan ekonomi politik yang membentuk kemampuan orang untuk
mendapatkan manfaat dari sumberdaya.
Peluso dan Ribot 2003 mengemukakan bahwa hak muncul sebagai klaim
yang dilegitimasi oleh seperangkat pengakuan sosial yang mewujud sebagai hukum, adat kebiasaan, dan konvensi. Seperangkat pengakuan sosial ini
merupakan konsensus yang menjadi titik tolak praktik-praktik hegemoni dengan cara-cara represif dan koersif Peluso 2006 maupun penundukan-penundukan
secara halussubtle ways Li 2002 dalam Antoro 2010. Namun, adanya hak pengelolaan hutan oleh swasta atau bahkan negara tidak serta-merta bisa begitu
saja mengusir masyarakar sekitar hutan karena masyarakat pun memiliki dasar hak yang kuat dan terlegitimasi sehingga klaim menjadi tumpang tindih multiple
based of agrarian right.