Antara Diskursus Konservasionis, Eco-populis, dan Developmentalis

mengidentifikasi mekanisme yang mana tiga diskursus yang direproduksi pada tingkat yang berbeda, mulai dari lokal ke internasional. Secara umum perbedaan ketiga disukrusus dapat dilihat pada Matriks 2. Matriks 2 Perbedaan Diksursus Konservasi, Ekopopulis dan Developmentalis Konservasi Eco-populis Developmentalis Tipe pendukung - Konservasi LSM - Biologi, ekologi - Budaya antropologi - Advokasi LSM - pengembangan organisasi negara,LSM, Donor - ekonomi Argumen sentra dari alur cerita Minimal sebuah wilayah terganggu alam perlu dipertahankan untuk menghindari hilangnya spesies dan untuk menjaga keseimbangan ekologi, termasuk fungsi hidrologi hutan Masyarakat lokaladat adalah hanya sebagai penjaga lingkungan. Mereka telah membuktikan bawah dapat melestarikan hutan lebih baik dari pada negara Peningkatan populasi dan kemiskinan adalah penyebab utama deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati. Penangilangan kemiskinan penting untuk menyelamatkan lingkungan Prioritas misi Konservasi alam, perlindungan terhadap spesies langka Memberikan orang lokal untuk mempertahankan gaya hidup tradisional Pengentasa kemiskinsn Posisi pendukung Alam dan spesies langka Hak pribumi Kemiskinan Posisi lawan - Orang lokal melihat sebagi kerusakan sumber daya alam - Eco-populis LSM melihat sebagai mengabaikan kebutuhan ekologi - Negara dan sector swasta melihat menghilangkan masyarakat lokal - Konservasionis melihat mengabaikkan hak manusia - Eco-populis melihat romantisasi dan instrumentalizing masyarakat setempat - Konservasionis dilihat sebagai mengabaikan kebutuhan untuk mengentas kemiskinan Relasi keilmuan Ilmu alam konservasi, biologi, ekologi, hidrologi sebagai dasar yang tidak diragukan lagi untuk argumentasi Ilmu kritik postmodern. Ketergantungan pada kualitas studi ilmu sosial. Penilaian yang tinggi pada pengetahuan lokal Ketergantungan pada teknis disiplin agronomi, teknik,dll dan ilmu sosial- ekonomi, Sumber: Witmer and Birner 2007 Sementara itu, untuk memastikan interpretasi aktor terhadap realitas mendapatkan dukungan, dapat dilihat dari 1 kredibilitas 2 aksestablitias, 3 kepercayaan Witmer and Birner 2007. Kredibilitas tidak hanya tergantung pada masuk akalnya argumen, tetapi juga pada otoritas para penulis. Penerimaan mengimplikasikan bahwa posisi ini dianggap sebagai menarik atau perlu. Kepercayaan menyebabkan keraguan penindasan dan dapat diturunkan, misalnya, dengan mengacu pada prosedur di mana sebuah definisi realitas dicapai.

2.5 Kerangka Pemikiran

Pada saat kawasan hutan di Jambi, khususnya di sekitar wilayah Desa Bungku Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batang Hari ditetapkan sebagai kawasan hutan negara state property dan diberikan pengelolaannya kepada swasta dalam bentuk HPH, maka pada saat itu wilayah jelajah masyarakat SAD Bathin Sembilan beralih penguasaannya menjadi rezim swasta private property. Pada saat itu pula masyarakat SAD Bathin Sembilan harus beradaptasi dengan banyaknya usaha-usaha kehutanan dan perkebunan di sekitar mereka. Implikasinya mulai terjadi interaksi masyarakat SAD dengan masyarakat non SAD. Saat penguasaan rezim swasta berpindah dari HPH PT Log yang memanfaatkan hasil hutan berupa kayu menjadi areal restorasi perusahaan yang melakukan upaya-upaya merestorasi hutan yang mulai rusak, sempat terjadi adanya kekosongan penguasaan yang menyebabkan ketidakpastian hak-hak sumberdaya hutan di sekitar Desa Bungku. Ketidakpastian penguasaan sumberdaya hutan tersebut menyebabkan areal hutan menjadi sumberdaya akses terbuka open access yang menarik berbagai aktor yang berkepentingan terhadap hutan untuk menguasai hutan tersebut. Sebagian aktor menjalin relasi kuasa dengan masyarakat SAD yang menguasai sumberdaya hutan jauh sebelum negara hadir untuk menguasai hutan, sebagian lagi menjalin relasi dengan negara yang memiliki otoritas formal dalam pengaturan sumberdaya alam, terutama hutan. Sejumlah aktor, dalam hal ini adalah elit lokal, masyarakat, perusahaan, negara, serta LSM yang memiliki sejumlah power untuk mengakses sumberdaya di sekitar Desa Bungku, terutama sumberdaya hutan. Wilayah Desa yang tidak memiliki batas teritori yang jelas tersebut bersinggungan dengan beragam konsesi perusahaan yang hadir. Beragam mekanisme akses terhadap sumberdaya ditempuh sesuai dengan power yang dimiliki oleh masing-masing aktor sebagaimana kerangka analisis mekanisme akses Ribot dan Peluso 2003. Aktor negara dan swasta pada umumnya menggunakan mekanisme akses melalui right based access yang mengacu pada aturan-aturan hukum formal negara yang berlaku. Saat penguasaan hutan banyak ditinggalkan oleh para pemegang HPH, maka pemerintah mengeluarkan legitimasi formal pengalihan penguasa hutan baik berupa state property Tahura maupun private property HTIREHGU berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku. Sementara aktor masyarakat dan atau NGO umumnya menggunakan mekanisme akses terhadap sumberdaya melalui mekanisme relasional dan struktural. Jika pun menggunakan mekanisme akses berbasis hak, maka masyarakat umumnya berlindung pada jenis sumber hukum yang berbeda dengan yang digunakan oleh aktor swasta dan negara. Begitupula dengan aktor elit lokal kerap memiliki dasar justifikasi sendiri atas akses terhadap sumberdaya melalui mekanisme right based access dengan bersandarkan pada sumber hukum yang berbeda dengan yang digunakan oleh aktor masyarakat, NGO, swasta, dan negara. Dengan mendasarkan aksesnya pada undang-undang dan aturan hukum yang berlaku setiap aktor berusaha melegitimasi aksesnya. Sebagaimana kerangka analisis Sikor dan Lund 2009, setiap aktor yang memiliki kemampuan mengakses sumberdaya, berusaha menjadikan aksesnya sebagai properti. Upaya menjadikan akses sebagai properti dilakukan dengan menjalin relasi otoritas. Proses menjadi akses sebagai properti salah satunya dilakukan dengan cara melihat bagaimana otoritas dibentuk, dikuatkan, bahkan dihancurkan. Ribot dan Peluso 2003 memandang bahwa hubungan akses selalu berubah tergantung pada posisi dan kekuasaan individu atau kelompok di dalam berbagai macam hubungan sosial. Bisa jadi seseorang memiliki power yang lebih dalam satu jenis hubungan sosial tertentu, atau pada moment sejarah tertentu. Mengingat pola akses berubah sepanjang waktu maka akses harus dilihat melalui proses. Dapat dilihat melalui mana individukelompokinstitusi mendapatkan, mengontrol, dan menjaga akses di dalam keadaan kondisi politik dan budaya tertentu. Hubungan kausal secara sistematik dapat ditelusuri melalui sejarah dan spasial. Dalam hal ini, pertarungan kuasa dan legitimasi klaim atas sumberdaya hutan dilihat dengan pendekatan sejarah, dimana dilihat terlebih dahulu bagaimana dinamika pengusaaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria di Desa Bungku sehingga dapat diketahui mengapa tumpang tindih klaim atas sumberdaya hutan bisa terjadi? Pada akhirnya tumpang tindih klaim atas lahan melahirkan konflik karena ketika masing-masing pihak berusaha meneguhkan klaimnya, pada saat yang sama ia sedang menghilangkan klaim orang lain atas sumberdaya yang sama. Upaya meneguhkan klaimnya atas sumberdaya salah satunya ditempuh dengan cara menjadikan power sebagai otoritas agar klaimnya diakui secara legal berdasarkan hukum dan peraturan undang-undang. Bahkan upaya meneguhkan klaim juga dilakukan melalui perang wacana serta kekerasan yang tidak bisa dihindari. Secara sederhana, kerangka pemikiran penelitian ditunjukan pada Gambar 1 di bawah ini. Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian Open Access Private Property Private Property State Property States Privates Local Elites Migran Communitie s Habitat and Niche SAD Bathin 9 Communities Authority and Property Relation Authority and Property Relation NGO Competing Claim Discourses war, violences, etc Right based Access Structural and Relational mechanism of access