Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

dalam hutan yang merupakan wilayah terjadinya sengketa. Peneliti mengamati bagaimana proses-proses pembangunan kampung yang dilakukan secara gotong royong dan swadaya oleh masyarakat. Proses pembangunan kampung di dalam hutan dilakukan masyarakat secepat mungkin untuk mendukung klaim mereka terhadap wilayah desa yang diperlukan sebagai tempat bernaung dan mendapatkan penghidupan. Di tengah keterbatasan program pembangunan, umumnya pembangunan kampung dilakukan melalui modal yang diperoleh dari dalam kampung itu sendiri. Sebagai contoh, jika ada anggota masyarakat yang ingin membangun rumah, proses membangun rumah dilakukan secara gotong royong oleh seluruh masyarakat kampung sebagaimana konsep borongan. Upah dari borongan tersebut digunakan untuk membangun sarana-sarana umum, seperti tempat ibadah dan bangunan sekolah. Umumnya borongan dilakukan di malam hari karena siang hari masyarakat pergi mengurus ladang-ladangnya. Hasil pengamatan memperlihatkan betapa keras upaya masyarakat untuk membangun wilayah hidup yang aman dari gangguan pihak manapun. Pengamatan juga dilakukan terhadap aktivitas nafkah yang dilakukan masyarakat dalam rangka bertahan hidup di wilayah konflik. Aktivitas nafkah yang dilakukan masyarakat diantaranya adalah pemanenan buah sawit dan getah karet, memproduksi arang, gesek kayu, menanam tanaman palawija yang ditumpangsarikan dengan tanaman sawit yang baru ditanam, termasuk proses-proses transaksi dengan para tengkulak desa. Adapun wawancara mendalam dilakukan terhadap sejumlah informan dan responden. Informan penelitian ini diantaranya adalah anggota konsorsium organisasi bidang pelestarian burung di Indonesia, pihak perusahaan restorasi, Dinas Kehutanan dan Dinas Perkebunan tingkat Provinsi Jambi dan tingkat Kabupaten Batang Hari, Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Batang Hari, Pemerintah Daerah Pemda Batang Hari dan LSM nasional Serikat Tani Nasional STN, LSM lokal Jambi CAPPA, LSM lokal desa Forum Masyarakat Bungku Formasku, Camat dan staf Kecamatan Bajubang, Kepala Desa dan mantan Kepala Desa Bungku, sekretaris desa dan mantan sekrtetaris Desa Bungku, pegawai dan mantan pegawai perusahaan terutama perusahaan restorasi dan perusahaan perkebunan sawit, seluruh kepala dusun, tokoh masyarakat, tokoh adat, masyarakat pendatang, masyarakat adat, tokoh-tokoh RT yang terlibat konflik, masyarakat yang terlibat konflik. Selain mewawancari informan, peneliti juga melakukan wawancara mendalam terhadap sejumlah responden subjek penelitian sebagai kasus yang diambil untuk mewakili kasus dalam menentukan tipologi masyarakat di Desa Bungku. Beberapa responden tersebut diantaranya adalah beberapa orang dari kelompok masyarakat SAD, migran awal yang datang ke Desa Bungku tahun 1970an, migran awal yang datang ke Desa Bungku tahun 1980an, migran „trans sosial‟ di ketiga wilayah pembukaan hutan yang dilakukan secara organisir, serta migran akhir yang datang hanya untuk menginvestasikan modal. Pertama kali peneliti melakukan pemetaan terhadap wilayah desa dengan seluruh pamong desa, yaitu kepala desa, sekretaris desa, BPD, dan seluruh kepala dusun yang ada di Desa Bungku. Peneliti selalu mengambil kesempatan terlibat dalam kegiatan-kegiatan pemerintah desa, seperti rapat dan sebagainya. Rapat desa seringkali dihadiri oleh camat, petugas trantrib kecamatan, serta intel dari plosek Bajubang. Pembahasan rapat selalu terkait mengenai wilayah dan kependudukan. Dalam kesempatan pertemuan-pertemuan desa, peneliti mengidentifikasi pihak-pihak yang terkait dengan konflik, terutama informan kunci untuk melakukan wawancara lebih mendalam terhadapnya. Informan kunci yang didapatkan adalah mantan kepala desa serta tantrib kecamatan yang merupakan ketua formasku tim enam Desa Bungku tim yang dibentuk kepala desa untuk menyelesaikan konflik di Desa Bungku. Untuk mendapatkan cerita lengkap mengenai konflik di Desa Bungku peneliti melakukan beberapa kali wawancara terhadap kedua informan tersebut. Keterbatasan wawancara dengan dua informan tersebut disempurnakan dengan mewawancarai informan lainnya, seperti sekdes dan mantan sekdes, para kasi dalam struktur pemerintahan desa yang terlibat dalam proses-proses penyelesaian konflik di desa. Peneliti juga mewawancari keseluruhan kepala dusun yang ada di Desa Bungku. Sebisa mungkin wawancara dilakukan di dalam dusun tersebut untuk juga mengetahui kondisi setiap dusun yang ada. Untuk lebih memahami permasalahan yang ada di setiap dusun, peneliti juga mewawancarai ketua RT dan masyarakat yang ada di setiap dusun. Sementara itu, untuk pendalaman kasus peneliti memilih dua dusun yang merupakan wilayah sengketa dengan perusahaan restorasi, yaitu Dusun Kunangan Jaya 1 dan Dusun Kunangan Jaya 2. Tak hanya berhenti di tingkat level desa, wawancara juga dilakukan terhadap sejumlah pejabat daerah di level kabupaten dan provinsi.

3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data selama mengacu pada topik penelitian, yaitu pertarungan klaim atas sumberdaya. Data yang dianalisis mencakup data primer dan sekunder. Data primer yang dianalisis tak hanya bersumber dari data hasil wawancara, namun dikombinasikan juga data hasil pengamatan. Data yang dianalisis juga mencakup hasil-hasil studi sebelumnya berkaitan dengan topik penelitian yang sama. Terdapat tiga jalur analisis data kualitatif, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan Sitorus 1998. Reduksi data adalah proses pemilihan, perumusan perhatian dan penyederhanaan, pengabstratakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan lapangan. Reduksi data merupakan proses panjang yang dilakukan peneliti terutama dalam hal mengabstraksikan dan mentarformasi data kasar dalam kerangka pikir teori-teori konflik. Dalam hal ini, data ditajamkan, digolongkan, dan data-data yang tidak perlu dibuang hingga menghasilkan kesimpulan akhir yang diambil. 4 PROFIL LOKASI PENELITIAN: KONTESTASI PERKEBUNAN, KEHUTANAN, DAN KEPENDUDUKAN Sektor kehutanan dan perkebunan dipandang pemerintah sebagai sektor strategis di Provinsi Jambi. Pada sektor kehutanan, Jambi merupakan provinsi yang memiliki taman nasional terbanyak di Indonesia dan memiliki hutan dataran terendah di Sumatera. Potensi yang besar pada sektor kehutanan menjadikan Provinsi Jambi diusulkan sebagai Provinsi Percontohan Untuk Mekanisme REDD+ oleh pemerintah provinsi kepada Presiden RI. Tidak hanya sektor kehutanan, sektor perkebunan di Provinsi Jambi juga merupakan sektor yang dianggap memberikan kontribusi terbesar dalam perekonomian daerah. Sumber penerimaan daerah dari sektor perkebunan dan kehutanan saling bersaing. Sementara itu, sejak masa kesultanan, Jambi merupakan wilayah yang berpenduduk heterogen. Jambi menjadi terbuka bagi para pedagang terutama sejak abad ke15 yang terus berlanjut hingga abad ke-18 Scholten 2008. Pedagang dari berbagai suku bangsa di dunia masuk ke wilayah Jambi, seperti pedagang dari Cina, Persia, Melayu, Makassar, Jawa dan terlibat dalam perdagangan di Jambi. Bahkan leluhur keluarga sultan adalah orang asing yang berasal dari Turki Scholten 2008. Heterogenitas penduduk terus meningkat seiring dengan banyaknya masyarakat yang terus masuk ke wilayah Provinsi Jambi. Mulai tahun 1970, Provinsi Jambi menjadi wilayah yang ditetapkan pemerintah sebagai wilayah tujuan transmigrasi. Program transmigrasi di Jambi, khususnya di Kabupaten Batang Hari masih berjalan hingga tahun 2008 Disnakertrans 2011. Adanya program transmigrasi tersebut semakin mewarnai dinamika kependudukan di Jambi yang membawa konsekuensi pada tingginya persaingan masyarakat dalam penguasaan sumber-sumber agraria, baik antar masyarakat maupun anatar masyarakat dengan industri-industri perkebunan dan kehutanan yang ditempatkan pemerintah sebagai sektor yang strategis. Kontestasi perkebunan, kehutanan, dan kependudukan dalam konteks penguasaan sumber- sumber agraria dapat dilihat dari mulai level provinsi, kabupaten, hingga level akar rumput, yaitu desa dan dusun di Provinsi Jambi.

4.1 Provinsi Jambi

Provinsi Jambi terletak diantara 0 45 l - 2 45 l Lintang Selatan dan antara 101 10 l - 104 55 l Bujur Timur dengan luas mencapai 5.1 juta ha atau 53435 km 2 . Batas-batas Provinsi Jambi adalah sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Riau dan Kepulauan Riau, sebelah Selatan berbatasan dengan Sumatera Selatan, Sebelah Barat berbatasan dengan Bengkulu dan Sumatera Barat, dan sebelah Timur berbatasan dengan Laut Cina Selatan. Secara umum, tipologi lanskap Jambi terbagi atas tiga bagian wilayah, yaitu wilayah dataran tinggi, wilayah dataran sedang, dan wilayah dataran rendah. Lebih dari 60 tipologi dataran di Jambi adalah dataran rendah. Sisanya merupakan dataran sedang dan dataran tinggi yang luasnya hampir berimbang.