mengekspansi kawasan hutan terutama saat HPH meninggalkan lokasi operasi pada sekitar Tahun 1993 sampai 1994. Sementara itu, Tahura ditetapkan oleh
Dinas Kehutanan Kabupaten Batang Hari pada tahun 2001 instrumen SK Menhut Nomor 94Kpts-II2001 tanggal 15 Maret 2001. Oleh karena itu, saat ditetapkan
menjadi Tahura, kawasan hutan tersebut sudah banyak dirambah oleh masyarakat.
Masyarakat mendasarkan klaimnya pada kepememilikan individu, dimana proses penguasaan lahan dilakukan melalui jual beli yang difasilitasi oleh
pemerintah desa. Sekalipun membuka hutan dilakukan sendiri, maka proses membuka hutan dilakukan atas izin tokoh setempat, baik tokoh adat maupun
tokoh pemerintah desa. Proses pembukaan hutan dijamin melalui SKTT yang dikeluarkan oleh pemerintah desa.
5.5.2 Tipe 2: Klaim Properti Swasta VS Klaim Properti Komunal
Pertarungan klaim ini terjadi antara swasta dengan masyarakat keturunan SAD Bathin Sembilan. Arena pertarungan klaim berada di areal PT AP yang
mendapatkan izin HGU mulai tahun 1986 seluas 20 ribu ha. Sekitar tahun 2010, di dalam luasan HGU yang diberikan oleh pemerintah tersebut, ditemukan bukti
keberdaan tiga perkampungan SAD Bathin Sembilan, yaitu Dusun Pinang Tinggi, Dusun Padang Salak, dan Dusun Tanah Menang yang tergusur oleh perusahaan.
Bahkan diantara ketiga dusun yang berada di dalam HGU PT AP tersebut, terdapat perkampungan SAD yang mendapatkan pembinaan dari pemerintah masa
odre baru. Ketiga perkampungan tersebut tergusur dengan hadirnya PT AP terkecuali wilayah yang mendapatkan pembinaan dari pemerintah. Saat
pengusiran dilakukan perusahaan, mayoritas masyarakat SAD melarikan diri keluar dari areal HGU PT AP. Setidaknya ada sekitar 8 kepala keluarga yang
bertahan di dalam wilayah HGU. PT AP terus melakukan penanam sawit di areal perkampungan SAD dengan justifikasi bahwa areal tersebut akan diberikan
kepada masyarakat sebagai kebun kemitraan.
Pada tahun 2012, atas dukungan sejumlah LSM, keturunan SAD Bathin Sembilan sebanyak 900 kepala keluarga dengan mengatasnamakan diri sebagai
SAD113 melakukan pendudukan atas lahan sawit di dalam HGU perusahaan seluas 3 350 ha. Pendudukan kebun sawit perusahaan merupakan upaya merebut
kembai secara paksa hak-hak properti mereka atas sumberdaya agraria yang sudah berwujud perkebunan sawit. Masyarakat SAD 113 menuntut dikembalikannya
properti komunal mereka atas sumberdaya di dalam aeral HGU PT AP tersebut secara sah. Upaya mendapatkan pengakuan legalitas dilakukan melalui advokasi
LSM kepada sejumlah pemegang otoritas baik di tingkat lokal maupun nasional.
5.5.3 Tipe 3: Klaim Properti Swasta VS Klaim Klaim Kepemilikan Adat
Tipe tumpang tindih ini terjadi di lahan izin lokasi PT AP. Status hukum izin okasi HGU PT AP tersebut dianggap oleh elit lokal sebagai izin yang tidak
sah. Pada akhirnya elit lokal Tim 6Formasku tersebut memobilisasi masyarakat untuk melakukan upaya pendudukan lahan atas HGU yang tidak sah tersebut.
Upaya pendudukan kebun sawit perusahaan dilakukan atas nama SAD Bathin
merupakan eks hutan yang dikuasi pemegang HPH. Namun, di lapangan masyarakat menunjukan bekas tempat penggergajian kayu yang ditinggalkan oleh HPH.
Sembilan yang dianggap memiliki hak atas lahan sawit tersebut. Lahan yang dianggap oleh masyarakat sebagai HGU mati tersebut ditanami sawit oleh PT AP
atas nama PT MSP dan JMT seluas 2.150 Ha sejak tahun 2003.
PT AP hampir menguasai hampir sebagian besar wilayah di Desa Bungku sehingg banyak masyarakat SAD yang terusir dari kawasan hutan ketika akan
dikonversi menjadi perkebunan sawit. Saat era desentralisasi dimulai, Tahun 1999 masyarakat mulai melakukan penuntutan terhadap perusahaan yang dimotori oleh
elit lokal dan didampingi oleh beberapa LSM. PT AP akhirnya bersedia menggati lahan SAD yang tergusur, yaitu seluas 650 ha di wilayah Penyerokan Bukit
Makmur dan seluas 550 Ha di wilayah Johor Baru II dengan pola kemitraan. Pada Tahun 2001 disepakati oleh perusahaan dan masyarakat bahwa akan diadakan
kebun kemitraan dengan pola KKPA, yaitu 70 : 30.
Mengingat kebun kemitraan yang dijanjikan perusahaan tidak juga diberikan kepada masyarakat, dalam rangka melakukan penuntutan lahan
masyarakat kepada perusahaan, pada tahun 2006 pemerintah desa membentuk LSM lokal Desa Forum Masyarakat Bungku Formasku. Dalam hal ini Formasku
menempuh sejumlah upaya dalam melakukan penuntutan kepada perusahaan mulai dari mepelajari dokumen perusahaan, membentuk tumenggung SAD Desa
Bungku, memobilisasi sumberdaya finansial serta massa untuk melakukan pendudukan lahan perusahaan.
Akhirnya, pada sekitar tahun 2012 masyarakat melakukan pendudukan lahan dengan melakukan pemanen sawit masal yang ditanam oleh perusahaan
tersebut. Hingga penelitian ini dilakukan masyarakat yang digerakan oleh sejumlah elit lokal yang tergabung dalam lembaga formal Formasku masih
melakukan pemanenan terhadap lahan sawit PT AP tersebut. Dalam upaya mendapatkan legalitas atas akses tersebut masyarakat melakukan tuntutan ke
Pengadilan Negeri Muara Bulian untuk dikembalikannya lahan secara sah kepada masyarakat.
5.5.4 Tipe 4: Klaim Properti Swasta VS Klaim Kepemilikan Individu
Tipe tumpang tindih ini terjadi pada dua arena. Arena pertama adalah arena pertarungan kliam antara pemegang konsesi HTI WNAAS dan masyarakat
pendatang di Dusun Kunangan Jaya 2 Camp Gunung. Luas keseluruhan HTI WNAAS adalah 22 525 ha yang mencakup dua Kabupaten, yaitu Batang Hari
dan Sarolangun. Sebagian besar kawasannya merupakan kawasan eks HPH PT AP yang banyak dikonversi oleh masyarakat mulai tahun 1999. Sementara itu izin
HTI keluar pada Tahun 2009. Masyarakat yang masuk menguasai lahan secara terorganisir dengan melibatkan pemegang otoritas lokal ketua RT, Dusun, hingga
Kepala Desa. Masyarakat yang menguasai lahan di atas lahan konsesi HTI merupakan masyarakat pendatang sehingga masyarakat mendasarkan klaimnya
sebagai warga negara yang memiliki hak-hak sipil dan berhak atas penguasaan lahan negara.
Arena kedua tipe tumpang tindih ini adalah arena pertarungan antara perusahaan restorasi dengan masyarakat Kunangan Jaya 1. Perusahaan restorasi
mendapatak izin lokasi RE di Jambi pada tahun 2010 dengan kondisi hutan yang sudah banyak dikuasai masyarakat, terutama sejak tahun 2000. Perusahaan
restorasi mendapatkan hak merestorasi hutan dari negara di wilayah desa yang sudah aktif melakukan pembangunan desa.