Tipe 1: Masyarakat Adat SAD Bathin Sembilan

sana. Di dalam kerungan kubur tidak boleh di dozer. Kalo perusahaan mau membuka boleh, namun untuk kerungan kuburan itu gak boleh. Kuburannya ada di tebing sungai bahar, muara jentikan. Muara Jentik itu anak Sungai Bahar. MTP, Tokoh Adat SAD Bathin 9 Sebagaimana yang dituturkan tokoh tertua SAD Bathin Sembilan di Desa Bungku, Semikat merupakan tokoh pertama yang membangun dusun dan tokoh pertama yang membangun pemukiman berbentuk atap dari nipah dan alas dari kayu. Sementara itu sistem pemerintah desa adat mangku mulai terbentuk sekitar tahun 1960 dan kemudian beralih menjadi desa definitif bernama Desa Bungku pada tahun 1983. Meskipun desa definitif terbentuk tahun 1983. Pada Tahun 1970, sekitar 38 kepala keluarga Masyarakat asliSAD yang hidup terpencar-pencar dimukimkan oleh pemerintah melalui program pembangunan rumah-rumah sosial untuk SAD. Histori yang dibangun oleh masyarakat adat tersebut merupakan proses- proses pemeliharaan identitas sosial local citizenship. Ditengah massifnya kehadiran perusahaan dan pendatang ke Desa Bungku, identitas sosial sebagai masyarakat adat merupakan hal yang strategis untuk tetap mendapatkan pengakuan dalam penguasaan sumber-sumber agraria di Desa Bungku. Namun, pada akhirnya pengutaan klaim adat terkadang juga diperluas menjadi national citizenship mengingat intergrasi masyarakat adat dengan masyarakat luar menjadikan mereka sulit dibedakan sehingga pada kondisi tertentu klaim adat menjadi sulit dimunculkan.

5.3.2 Tipe 2: Masyarakat PendatangMigran

Kehadiran para migran di Desa Bungku setidaknya dimulai pada Tahun 1970-an bertepatan dengan hadirnya HPH ke wilayah Desa Bungku. Banyak migran masuk ke Desa Bungku sebagai upaya mencari penghidupan, baik sebagai peker ja HPH maupun sebagai perantau yang mencari wilayah „bukaan hutan‟. Massifnya penduduk yang masuk ke Desa Bungku juga terjadi saat hadirnya perusahaan sawit yang mengkonversi hutan menjadi perkebunan sawit pada sekitar tahun 1987. Hutan yang menjadi ruang jelajah SAD yang tidak memiliki kepastian hak secara hukum negara banyak beralih dari masyarakat SAD Bathin Sembilan kepada masyarakat pendatang yang umumnya merupakan pekerja HPH dan perkebunan sawit swasta. Massifnya industri kehutanan dan perkebunan mendorong adanya mobilitas penduduk masuk yang tinggi ke Desa Bungku. Tak hanya industri, namun juga program transmigrasi menjadi pemicu tingginya mobilitas masuk masyarakat ke Desa Bungku. Setidaknya, terdapat 3 wilayah yang dibuka untuk program transmigrasi yang mengelilingi Desa Bungku, yaitu Kilangan di sebelah utara, Sungai Bahar dan Durian Luncuk di sebelah timur, serta Muara Jangga di sebelah Barat. Wilayah Bungku yang luas, menyebabkan banyak lahan-lahan hutan dikonversi menjadi perkebunan dan pemukiman oleh para migran. Upaya mengkonversi hutan menjadi pertanian dan pemukiman disertai dengan adanya proses membangun kelembagaan formal desa sebagai upaya melegitimasi penguasaannya atas sumberdaya hutan tersebut. a. Masyarakat Migran Awal Kategori kelompok masyarakat migran awal adalah masyarakat yang datang ke Desa Bungku sekitar tahun 1970-an hingga tahun 2000-an. Sebelum Bungku ditetapkan menjadi desa definitif, para migran datang ke sekitar Desa Bungku melakukan hubungan pernikahan dengan anak perempuan SAD Bathin Sembilan. Sebelum melakukan proses pernikahan, seorang migran biasanya melebur dengan kehidupan SAD dengan menjadi anak angkat ketua kelompok SAD Bathin Sembilan dengan mengikuti setiap bentuk aktivitas nafkah dan ritual adat yang dilakukan oleh SAD tersebut. Dengan menjadi semendo, migran tersebut dapat menguasai lahan. Masyarakat migran awal berasal dari berbagai etnis, yaitu Palembang, Melayu Jambi, dan sebagian besar berasal dari Jawa. Selain melakukan hubungan perkawinan dengan SAD Bathin Sembilan, migran awal Desa Bungku juga merupakan buruh logging di perusahaan HPH pada tahun 1970an dan buruh perusahaan sawit pada tahun 1980-an. Menyadari bahwa tidak akan selamanya bisa bekerja di perusahaan, masyarakat migran pekerja pun membeli tanah kepada SAD dengan uang tunai. Bahkan sebelum SAD Bathin Sembilan mengenal uang, proses mendapatkan lahan dilakukan dengan cara menukarnya dengan beras. Setelah desa definitif, migran awal juga membuka sendiri hutan untuk lahan pertanian atas izin kepada kepala desa. Rencana hendak pindah ke Prabumulih bekerja di Pabrik Kertas sambil buka-buka warung. Namun, saat hendak pindah mendapatkan berita di TV pabrik kertas tersebut kebakaran. Tidak jadi pindah ke prabumulih. Kami akhirnya merantau ke muara bulian ikut kakak ipar. Sampai di Bulian, kami menjelajah sendiri hutan mengikuti arah bunyi mesin di sekitar Bungku. kami pun menemui Pak Kades dan izin menggarap kebun dengan menggunakan surat-surat dari Desa. Kepala desa memberikan izin untuk membuka lahan seberapun luasnya semampunya, namun untuk mengeluarkan surat pak kades tidak bersedia karena seakan-akan jual hutan. Kalo mau motong karet sudah banyak karet Pak kades yang bisa dipotong. Lahan Pak Kades waktu itu sangat luas, sekarang sudah habis dijual. Dahulu orang kebanyakan bekerja ambil kayu gesek, karena pekerjaan memotong karet dianggap pekerjaan orang malas. Penghasilan motong karet gak seberapa besar dibandingkan dengan gesek. Migran non-pekerja dari Palembang Sekitar tahun 1996, pengalihan lahan dari masyarakat SAD kepada masyarakat migran mulai dilakukan melalui transaksi tunai yang disertai dengan bukti dokumen tertulis. Pada saat dimulainya periode pemerintahan Kepala Desa Bungku kedua, SAD yang memiliki lahan di Desa Bungku diberikan surat pengakuan kepemilikan lahan yang disebut sebagai surat segel. Ketika lahan tersebut dijual kepada pendatang, surat segel tersebut ikut berpindah tangan kepada pemilik baru. Hal ini dilakukan untuk mengamankan kepemilikan masyarakat terhadap lahan ditengah semakin banyaknya perusahaan-perusahaan yang hadir di Desa Bungku. Bukti tertulis, diharapkan masyarakat sebagai bukti legal formal penguasaan atas sejumlah lahan. b. Masyarakat Migran “Trans Sosial”