Rumusan Masalah Competing Power And Claim Legitimation On Forest Resources: Case Of Forest Restoration In Batang Hari District, Jambi Province
terdapat sedikitnya 106 konflik agraria di berbagai wilayah Indonesia, kemudian di tahun 2011 terjadi peningkatan drastis, yaitu 163 konflik agraria yang ditandai
dengan tewasnya 22 petaniwarga tewas di wilayah-wilayah konflik tersebut, maka sepanjang tahun 2012 ini, terdapat 198 konflik agraria di seluruh Indonesia.
Luasan areal konflik mencapai lebih dari 963 411.2 ha, serta melibatkan 14 1915 kepala keluarga KPA 2012.
Konflik agraria menjadi niscaya saat sebagian orang terancam haknya atas penguasaan lahan karena persoalan agraria adalah persoalan hidup dan
penghidupan manusia Tauchid 2009. Saat hak seseorang atas penguasaan lahan terancam maka hak atas isi perutnya pun menjadi terancam sehingga menjadi
wajar apabila seseorang berontak dan berjuang untuk mendapatkan kembali apa yang menjadi sumber penghidupannya. Nafas hidupanya telah terganggu,
sehingga tidak ada cara lain kecuali harus melawan Migdal 1979, Wolf 1983; Scots, 1989 dalam Hartoyo et al. 2008.
Beberapa hasil studi dan penelitian menyatakan bahwa karakteristik sengketa tanah bukan akibat dari kelangkaan atas tanah. Menurut Fauzi 1999
sebab utama segketa agraria adalah akibat suatu ekspansi besar-besaran dari modal yang difasilitasi oleh hukum dan kebijakan pemerintah. Sama halnya
dengan hasil penelitian Zainudin 2012 yang menyimpulkan bahwa konflik antara pemerintah dan komunitas terjadi karena adanya ketidakadilan atau
ketimpangan penguasaan sumberdaya alam dimana posisi masyarakat adat yang menggantungkan hidup dari sumberdaya alam berbasis tanah secara sistematis
diperlemah, sementara sektor swasta berskala besar yang bergerak di bidang industri seperti perkebunan, kehutanan, dan pertambangan mendapatkan
dukungan dari negara. Keberpihakan pada modal besar untuk mengoptimalkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari lahan yang tersedia, mengabaikan
eksistensi masyarakat akar rumput yang sangat bergantung hidupnya pada lahan tersebut dan memanfaatkanya hanya untuk sekedar bertahan hidup atau
memperoleh kehidupan yang layak Zainudin 2012. Barangsiapa memiliki atau menguasai lahan terutama lahan yang subur, maka ia akan memperoleh surplus
yang semakin besar luas dan semakin subur lahan, maka surplus yang diterima semakin banyak. Sebaliknya, mereka yang tidak memiliki atau menguasai lahan
akan semakin mengalami tekanan hidup Fauzi 1999.
Rezim Orde baru dicirikan dengan kebijakan-kebijakan lebih bertumpu pada pembangunan ekonomi. Menurut Li dalam Darmanto dan Setyowati 2012,
untuk mencapainya negara menggunakan dua strategi, yaitu pertama pertumbuhan yang menekankan aspek pengelolaan sumberdaya alam. Kedua, pemerintah
melaksanakan kebijakan untuk memfasilitasi sektor swasta dan pertumbuhan ekonomi berorientasi ekspor dan sangat tergantung dari produksi barang-barang
pabrik World Bank 1994 dalam Darmanto dan Setyowati 2012. Sementara itu, masyarakat dianggap memiliki sifat-sifat terbelakang, bodoh, dan kurang disiplin
yang perlu mendapatkan „pembangunan‟. Status masyarakat seperti ini membuat mereka rentan diusir dan dipindahkan, baik oleh negara maupun oleh swasta yang
mendapatkan izin dari negara. Bahkan, era Orde Baru yang sangat sentralis- militeristik, pengusiran yang dilakukan menggunakan cara-cara kekerasan yang
membuat ketakutan dan trauma yang mendalam, bagi masyarakat-masyarakat di pedalaman.
Para penguasa lahan bermodal besar memiliki legitimasi yang sah atas penguasaan sejumlah luasan lahan karena dilindungi oleh hukum dan kebijakan
pemerintah yang pada umumnya kebijakan tersebut diproduksi oleh pihak pemilik modal tersebut sebagai hasil advokasinegosiasi mereka kepada
pemerintah. Sementara itu, kaum marginal menguasai tanah secara informal sehingga tidak legible dalam perekonomian fomal. Menurut Des Soto dalam
Sohibudin 2012 lah
an tersebut hanya sebagai “modal mati milik orang miskin” sehingga rentan diserobot oleh pihak lain karena kurang menggiurkan untuk
dijadikan aset ekonomi produktif. Sebagian ahli melihat permasalahan agraria disebabkan karena
ketidakpastian yang ditetapkan oleh negara dan pihak-pihak terkait di dalamnya. Lembaga negara hanya bisa mengklaim kewenangannya atas sebagian besar
wilayah Indonesia, namun pada praktiknya tidak mampu menunjukkan kemampuannya mengelola wilayah yang luas tersebut serta tidak mampu
menyediakan jaminan penguasaan dan pengelolaan yang dibutuhkan baik oleh masyarakat setempat maupun kepentingan industri kehutanan Contreras 2006
dalam Zainudin 2012. Mengacu pada Rencana Kehutanan Tingkat Nasional 2010 di Indonesia terdapat 41.05 juta ha kawasan hutan yang tidak berhutan yang
mengindikasikan adanya tingkat konflik yang terjadi di lapangan
2
. Sementara itu, sedikitnya sebanyak 30 ribu desa secara definitif berada di kawasan hutan KPA
2012. Di satu sisi, kehidupan masyarakat desa tersebut tentu saja masih bergantung pada hutan baik tanah maupun sumber daya-sumber daya di atasnya.
Di sisi lain, harapan terhadap peran hutan sebagai sistem penyangga kehidupan dan penghasil jasa lingkungan terus meningkat, terutama setelah isu perubahan
iklim yang bersumber dari perubahan penggunaan lahan berkembang menjadi agenda politik global. Seiring dengan menguatnya wacana global dalam kegiatan
konservasi, konflik dalam kawasan hutan menjadi konflik yang cukup dominan mengingat hutan masih menjadi tumpuan hidup sejumlah besar masyarakat.
Perlawanan akan isu konservasi dan wacana global lingkungan pun menjadi niscaya, terlebih dengan menguatnya gerakan-gerakan perlawanan petani dan
masyarakat adat yang dimotori oleh banyak LSM.
Impelementasi pembangunan kehutanan di Indonesia diakui masih menghadapi sejumlah permasalahan yang fundamental dalam struktur tatakelola
dan tatakuasa kehutanan. Beberapa akar masalah yang berkaitan dengan
pembangunan kehutanan antara lain rendahnya kemantapan kawasan hutan akibat lambatnya proses pengukuhan kawasan hutan; lemahnya kebijakan penanganan
konflik tenurial dan lemahnya kapasitas penegakan hukum bidang kehutanan; lemahnya kapasitas institusi pengelola hutan di tingkat tapak, serta keruwetan
birokrasi penyelenggaraan kehutanan. Dari berbagai hasil evaluasi kinerja yang telah dilakukan banyak pihak, keseluruhan akar masalah tersebut bersumber pada
kesalahan paradigma penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Indonesia.
3
Hadirnya konsesi usaha restorasi di kawasan hutan produksi eks HPH PT Log di Provinsi Jambi khususnya di Desa Bungku, Kecamatan Bajubang,
2
Kartodiharjo, Hariadi 2013 “ Kehutanan Indonesia Baru: Peran Insan Kehutanan bagi Kehutanan
Masa Depan ” Draft Policy Paper Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, 2013.
3
ibid
Kabupaten Batang Hari dihadapkan persoalan tatakelola dan tatakuasa kehutanan yang masih lemah. Ketidakpastian hak dalam penguasaan sumberdaya di
Indonesia menjadi celah bagi munculnya beragam aktor untuk menguasai hutan. Perusahaan restorasi mendapatkan legitimasi mengelola hutan negara dari
pemerintah pusat di tengah menguatnya otoritas daerah untuk mengelola sumberdaya di daerahnya. Disamping itu, banyak masyarakat yang masih terjerat
kemiskinan membutuhkan lahan untuk keluar dari kemiskinan tersebut. Masyarakat tersebut berlindung di bawah otoritas desa yang juga memiliki
kepentingan memperluas wilayah teritori desa yang sudah banyak dikepung oleh berbagai perusahaan. Fakta adanya beberapa bagian areal hutan yang ditetapkan
sebagai hutan restorasi sudah berwujud perkampungan dan perkebunan masyarakat yang ditetapkan sebagai bagian dari wilayah desa menandakan adanya
tumpang tindih klaim atas sumberdaya. Bagaimana tumpang tindih klaim atas lahan tersebut bisa terjadi?