Periode Pertama 1971 sampai 1995 : Era Penguasaan Hutan Negara oleh Swasta
resmi dikembalikan kepada pemerintah. Baru pada tahun 2009 dan tahun 2010, secara resmi izin pengelolaan hutan sebagian beralih kepada perusahaan restorasi
dan perusahaan HTI. Saat penguasaan beralih kepada perusahaan restorasi dan perusahaan HTI banyak wilayah hutan yang sudah dikuasai masyarakat yang
mulai massif membuka lahan hutan untuk dijadikan lahan pertanian dan pemukiman pada sekitar tahun 1995.
Secara historis, hutan di sekitar Bungku merupakan ruang jelajah masyarakat SAD Bathin sembilan. Sesuai namanya, Bungku berasal dari kata
Sungai Bungkul yang letaknya berada diantara hulu Sungai Bulian
9
dan hulu Sungai Bahar
10
. Secara berkelompok, SAD Bathin Sembilan mendiami wilayah di sekitar aliran sungai-sungai di antara Bahar dan Bulian. Karena wilayah PT Log
merupakan wilayah jelajah hidup masyarakat SAD Bathin Sembilan, pada tahun 1987 PT Log mengadakan program pembinaan suku terasing dengan membangun
rumah-rumah sosial untuk SAD. Pemerintah melakukan pembinaan suku terasing dan mempercayakan pelaksanaannya kepada PT Log untuk SAD yang berada di
dalam wilayah HPH.
Periode tahun 1971 sampai 1998 ini menunjukan adanya fenomena dimana hutan yang menjadi ruang jelajah hidup masyarakat adat diklaim sebagai
hutan negara yang diserahkan penguasaanya kepada swasta besar penghasil kayu. Negara menteritorialisasi kawasan hutan sebagai kawasan hutan negara dan lebih
mempercayakan pengelolaan hutan kepada swasta dengan mengesampingkan keberadaan SAD Bathin Sembilan. Pembangunan hutan berorientasi pada
pertumbuhan semata. Sementara itu, hak masyarakat adat yang sudah hidup turun temurun di atasnya, harus mengalah pada rencana pengembangan kehutanan
tersebut Colchester et al. 2011. Nasionalisasi kawasan hutan oleh negara menjadi pintu masuk investasi swasta untuk mengeksploitasi hutan. Sementara
itu, masyarakat yang sudah tinggal didalamnya diabaikan yang membuat mereka rentan tersingkirkan.
Dalam rangka menudukung keberhasilan bisnis kehutanan tersebut, pemerintah membangun rumah-rumah sosial untuk memukimkan masyarakat asli
SAD Bathin Sembilan yang tinggal berpindah-pindah menguasai kawasan hutan. Hadirnya program pembangunan rumah sosial menjadikan masyarakat SAD
Bathin Sembilan terbatasi ruang gerak hidupnya dalam memanfaatkan sumberdaya hutan.
Pada tahun 1987 PT Log mengadakan program pembinaan suku terasing SAD. Program ini ditindaklanjuti oleh Harmoko dengan turun langsung ke
Bayu Lincir pada tahun 1988. Pemerintah ingin membina suku terasing dan mempercayakan pelaksanaan pembinaan suku terasing kepada PT Log
karena termasuk ke dalam wilayah HPH PT Log. Direktur PT Log berjanji ke Harmoko untuk membuat sekolah, perumahan, masjid, dan balai untuk
9,2
Bulian merupakan istilah yang juga digunakan untuk Ibu Kota Kabupaten Batang Hari, yaitu Muara Bulian dan Sungai Bulian berada di Kabupaten Batang Hari. Sementara itu Bahar
merupakan istilah yang juga dijadikan sebagai wilayah administratif yang sejak tahun 2000 menjadi bagian wilayah hasil pemerakaran, yaitu Kabupaten Muaro Jambi. Desa Bungku menjadi
batas antara pemekaran Kabupaten Batang Hari menjadi dua kabupaten dengan Kabupaten Muaro Jambi, sehingga ditingkat lokal desa batas-batas administratif kabupaten menuai persoalan.
suku terasing. Tetapi faktanya hingga saat ini hanya sumur bor dan balai untuk SAD yang terealisasi.
RBY, 60 tahun Keberpihakan pada modal besar untuk mengoptimalkan keuntungan yang
sebesar-besarnya atas sumberdaya hutan, mengabaikan eksistensi masyarakat akar rumput yang sangat bergantung hidupnya pada ketersediaan sumber-sumber
agraria tersebut. Masyarakat akar rumput umumnya memanfaatkan sumberdaya hanya untuk sekedar bertahan hidup atau memperoleh kehidupan yang layak. Hal
ini menjadi pemicu awal terbukanya jurang ketimpangan yang semakin menganga lebar. Para penguasa lahan bermodal besar memiliki legitimasi yang sah atas
penguasaan sejumlah luasan lahan karena dilindungi oleh hukum dan kebijakan pemerintah. Sementara itu, kaum marginal masyarakat adat menguasai tanah
secara informal sehingga tidak legible. Dalam perekonomian fomal oleh Des Soto dalam Sohibudin, 2012 sumberdaya agraria jika dikuasi oleh masyarakat hanya
dipandang sebagai “modal mati milik orang miskin” sehingga rentan diserobot oleh pihak lain karena kurang menggiurkan untuk dijadikan aset ekonomi
produktif.
Meskipun demikian, teritorialisasi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap kawasan hutan tidak sepenuhnya menghilangkan keberadaan masyarakat
SAD Bathin Sembilan yang tinggal di dalamnya. Masyarakat SAD Bathin Sembilan masih dibiarkan hidup menjelajahi kawasan hutan, terutama di areal
yang sudah ditebangi pohonnya oleh perusahaan. Jika pun tidak berada di areal hutan yang sudah ditebangi, masyarakat SAD Bathin Sembilan menjelajah hutan
lain yang masih „aman‟ dari penguasaan pihak lain.