Aktor dan Jaring-jaring Kekuasaan dalam Diskursus Keadilan Agraria
tataguna lahan. Bagi penganut diskursus ini perusahaan restorasi dianggap sama saja dengan perusahaan lainnya, menjual karbon mengorbankan masyarakat.
Diskursus ini mengangkat masyarakat sebagai korban kebijakan dimana trend pembangunan dan ekonomi nasional saat ini terutama di Provinsi Jambi lebih
berbasis pada investasi sumberdaya. Penguasaan sumberdaya alam yang diperuntukan bagi koorporasi-koorporasi sangat besar porsinya yang kemudian
menimbulkan kesenjangan antara korporasi dan rakyat. Terlebih masyarakat semakin berkembang dan jumlahnya kebutuhan lahan semakin meningkat.
Diskursus ini membangun gagasan tanah terutama hutan itu sejatinya harus dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kepentingan kemakmuran rakyat.
Maka hadirnya perusahaan restorasi menjadi ganjil dimana hutan di serahkan pengelolaannya kepada donor internasional bukan kepada masyarakat. Bagi
diskursus ini rezim pemerintahan saat ini adalah tak lebih sebagai pelaksana neo- kolonialisme imperium.
Dalam rangka membangun akseptabilitas, diskursus keadilan agraria memainkan alur cerita Hak Asasi Manusia HAM dimana setiap warga negara
Indonesia memiliki hak-hak hidup yang sama dan mendapatkan kesejahteraan. Lahan hutan dapat menjadi solusi keluar dari kemiskinan secara mandiri -ketika
penguasaan lahan-lahan oleh masyarakat semakin sempit -tanpa harus membenai pemerintah melalui program-program pengentasan kemiskinan. Isu HAM menjadi
semakin kuat ketika praktek-praktek kekerasan dilakukan oleh perusahaan restorasi untuk mengusir masyarakat.
Sementara itu, kredibiltas dan kepercayaan yang dibangun dalam diskursus ini berbeda antara kasus di Dusun Kunangan Jaya 1 dan Kunangan Jaya
2. Dalam kasus Dusun Kunangan Jaya 1, karena terdapat banyak masyarakat adat SAD Bathin Sembilan, kredibilitas dan trust yang diciptakan mengarah kepada
penguatan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal. Diskursus ini memberikan tekanan wacana global HAM atas tindakan kekerasan pihak lawan
dan mendorong adanya suatu standar internasional
18
yang perlu mengakui keberadaan masyarakat adat dan lokal dalam setiap penerapan kebijakan di
tengah-tengah masyarakat. Pada kasus Dusun Kunangan Jaya 2 kredibiltas dan trust dibangun melalui
aksi simbolik jalan kaki dari Jambi hingga Jakarta serta aksi jahit mulut yang dilakukan oleh petani di Dusun Kunangan Jaya 2 dan didampingi oleh LSM STN.
Aksi ini dilakukan sebagai simbol kesungguhan petani di Dusun Kunangan Jaya 2 untuk mempertahankan kehidupannya di lahan hutan yang diklaim oleh
perusahaan restorasi.
Diskursus Keadilan Agraria membangun diskursus yang lebih umum, yaitu diskursus cacah. Relasi yang terjalin dengan rumit dan panjang membuat
18
Salahsatunya adalah wacana FPIC. FPIC adalah suatu standar yang menetapkan suatu hak masyarakat adat untuk menentukan bentuk-bentuk kegiatan apa yang mereka inginkan pada tanah
mereka berlandaskan hukum-hukum intrenasional. Hak masyarakat untuk mendapatkan informasi Informed sebelum Prior dan sebuah program atau proyek pembangunan dilaksanakan dalam
wilayah mereka, dan berdasarkan informasi tersebut, mereka secara bebas tanpa tekanan Free menyatakan setuju consent atau menolak atau dengan kata lain sebuah hak masyarakat adat
untuk memutuskan jenis kegiatan pembangunan macam apa yang mereka perbolehkan untuk berlangsung dalam tanah adat mereka.