Bekerjanya Kekuasaan dan Otoritas dalam Pertarungan Klaim atas Sumberdaya
satu sama lain. Akan tetapi menurut Antoro 2010 relasi kekuasaan yang setara tersebut tidak pernah terjadi, yang muncul justru penguatan watak hubungan
mutualistik antara negara dan pasar sebagai agen kapitalisme negara-kapitalis, sejalan dengan marjinalisasi masyarakat Gambar 15.
Gambar 15 Struktur pengusaaan SDA empiris Sitorus dan Wiradi 1999 dalam Antoro
. 2010
Pada kasus sumberdaya hutan di kawasan hutan restorasi ekosistem, terdapat hubungan lebih kompleks, yaitu munculnya golongan sosial baru serta
terfragmentasinya golongan sosial tersebut yang masing-masing membawa perbedaan kepentingan terhadap sumberdaya agraria. Hubungan-hubungan yang
lebih kompleks diantara aktor-aktor yang berkepentingan dapat dilihat pada Gambar 16 di bawah:
Negara Pasar
Masyarakat SDA
Keterangan:
Hubungan Negara dan Pasar yang Kapitalistik Hubungan Negara-Kapitalis dengan masyarakat yang hegemonik melalui marjinalisasi
Hubungan Produksi Negara Kapitalis dengan SDA yang berorientasi pasar Hubungan Produksi masyarakat dengan SDA yang melamah
Gambar 16 Struktur penguasaan sumberdaya hutan kasus hutan restorasi
ekosistem di Kabupaten Batang Hari, Jambi Pengelolaan hutan oleh negara kementrian kehutanan kini banyak
dipengaruhi oleh wacana lingkungan global yang banyak dibangun dan dikembangkan oleh LSM konservasionisme. Dengan menguatnya isu global
lingkungan terutama dalam hal cadangan karbon, maka upaya konservasi dilakukan dengan pendekatan pasar melalui produk kebijakan izin usaha
pemanfaatan hasil hutan yang tidak hanya berorientasi kayu, akan tetap berorientasi pada hasil hutan dalam bentuk lainnya, yaitu jasa lingkungan serta
produk kehutanan lain seperti obat-obatan dan madu. Dalam hal ini, negara menjalin
hubungan mutualistik
dengan LSM
konservasionis untuk
mengkonstruksi produk kebijakan baru mengkonservasi sumberdaya hutan dengan pendekatan profit oriented. Dana sumbangan internasional pun mengalir
tidak langsung melalui negara akan tetap disalurkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar melalui badan usaha yang dibentuk oleh LSM dalam rangka
menguasai hutan negara dengan menjalankan usaha restorasipemulihan ekosistem hutan. proverty relation antara LSM-negara-swasta terbentuk pada
level regulasi.
Hubungan produksi negara-swasta-LSM terhadap sumberdaya agraria dalam bentuk konservasi untuk mendukung wacana lingkungan global berhadapan
dengan menguatnya gerakan masyarakatpetani yang juga dimotori oleh LSM beraliran populisme dengan fokus menyuarakan keadilan agraria dan
dihapuskanya tataguna lahan yang timpang. Agenda politik lingkungan global
Elit Lokal LSM
Masyarakat Swasta
Negara
SDA LSM
LSM Elit
Global
Nasional Lokal daerah
Lokal grass root Donor Internasional
Cama
Keterangan Hubungan Mutualistik
Hubungan Mempengaruhi Otoritas konservasionisme yang berorientasi pasar
Utilitarianisme yang menguat Otoritas wilayah desa
Hubungan Konfliktual
berhadapan dengan persoalan struktural kemiskinan dan ketimpangan lahan dimana banyak masyarakat yang menggantungkan nafas hidupnya pada
ketersedian lahan. Konsekuensinya terjalin hubungan konfliktual antara Negara- swasta-LSM dengan masyarakat yang didukung oleh LSM dan sejumlah elit
lokal. Dominasi wacana global dalam pengelolaaan hutan di Indonesia merupakan kekerasan yang melembaga yang mencuat menjadi tindakan kekerasan atau
kekerasan yang terlihat pembakaran, pengusiran, penangkapan. Pada akhirnya konflik terwujud dalam pertarungan wacana dan pertarungan fisik.
Posisi masyarakat dikuatkan dengan hadirnya elit
19
lokal yang mendapatkan pelimpahan wewenang dari pusat untuk mengatur wilayahnya
setelah hadirnya era otonomi daerah
20
. Elit lokal mengakomodir dan menjamin keberadaan
masyarakat sebagai
sumber legitimasi
kekuasaan untuk
mempertahankan kekuasaan. Elit lokal desa terutama yang memiliki otoritas penuh terhadap wilayah desa mengembangkan web of power terhadap elit di
tingkat lebih atas dalam hal penguasaan sumber-sumber agraria. Jejaring kekuasaan dibangun dengan berbagai institusi negara yang distribusi kekuasaan
serta wewenang yang tersebar. Meskipun negara Kementrian Kehutanan Pusat memiliki wewenang penuh dalam pengelolaan hutan yang melintasi batas
administartif kabupaten dan provinsi, namun elit lokal desa yang memiliki otoritas penuh terhadap wilayah desa menjalin hubungan kekuasaan dengan institusi
negara lain pada aras daerah, yaitu dengan camat, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Dinas Pertanian, Dinas Pendidikan yang juga memiliki wewenang
menjalankan aktivitas kedinasannya sesuai tupoksinya. Dalam hal ini, struktur kuasa negara menjadi bersifat tidak stabil dan ambigu. Peratarungan kuasa dalam
struktur institusi negara juga sering terjadi, terutama hal itu terlihat dalam proses penyusunan RTRW khususnya di level pemerintahan daerah. Kaitannya dengan
penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria. Ribot dan Peluso 2003 telah memberikan catatan mengenai hal ini dimana pengakuan atas akses berbasis hak
malalui hukum, adat, dan konvensi seringkali melahirkan ambiguitas kemenduaan. Ambiguitas terjadi ketika hak pada satu sumberdaya yang sama
dialokasikan kepada beberapa pihak.
Property relation eksis pada level hukum dan regulasi, norma budaya, nilai-nilai sosial dan hubungan sosial Lund 2011. Masyarakat dalam hal ini
terbagi atas masyarakat migran yang sudah menjadi masyarakat lokal desa dan masyarakat adat. Jauh sebelum ada kerajaan, pemerintah kolonial dan negara-
bangsa Indonesia, sudah ada komunitas-komunitas lokal tradisional yang memiliki kuasa atas tanah dan penduduk Eko 2008. Oleh karena itu, masyarakat
adat merupakan masyarakat yang mendapatkan pengakuan sosial sebagai masyarakat yang berhak atas penguasaan sumberdaya agraria di kawasan hutan
yang menjadi wilayah jelejahnya. Privilege pengakuan sosial terhadap masyarakat adat menjadi strategi masyarakat pendatang untuk melakukan property relation
dengan masyarakat adat terjalin pada level hubungan sosial melalui perkawinan. Kemudian untuk lebih mengukuhkan ekisistensinya, masyarakat pendatang
menjalin authority relation dengan pemerintah desa.
19
Elit merupakan posisi yang dipertahankan dengan kekuasan Lauer 2003 dan tipe elit yang dimaksud adalah elit pemerintah.
Dalam hal ini, konflik terjadi tidak hanya antara pihak yang memiliki otoritas dan yang tidak memiliki otoritas, akan tetapi konflik terjadi diantara para
pemegang otoritas dengan sumber otoritas yang berbeda-beda dengan kuasa negara yang ambigu dan tidak stabil. Tarik menarik antara pemerintah dengan
masyarakat lokal yang terus menerus berlangsung sebenarnya merupakan bentuk pertarungan antara negara dan modal dengan masyarakat lokal memperebutkan
kuasa atas tanah dan penduduk Eko 2008. Desa dengan penduduk dan kekayaannya selalu menjadi medan tempur antara rakyat dengan raksasa negara
dan modal. Negara dan modal selalu berkepentingan mempunyai otoritas mengendalikan tanah dan penduduk desa untuk tujuan-tujuan akumulasi kapital
yang lebih besar.
7 PENUTUP