Tabel 20 Selisih Penerimaan Usahaternak per Bulan di Desa Haurngombong
Keterangan Usahaternak
biogas Rpbulan
Usahateernak Non Biogas
Rpbulan Selisih
Rpbulan Persentase
Penerimaan Tunai 1 675 570
1 391 280 284 290
16.97 Penerimaan Non Tunai
325 561 185 610
139 951 42.99
Total Penerimaan 2 001 131
1 576 890 424 241
21.20
Sumber : Hermawati 2012
Komposisi biaya tunai yang dikeluarkan peternak di Desa Haurngombong, baik biogas maupun non biogas lebih tinggi dibandingkan biaya non tunainya
dikarenakan besarnya ongkos tenaga kerja. Berdasarkan nilai total penerimaan, total biaya produksi, dan keuntungan, maka diperoleh selisih pendapatan atas
biaya tunai usahaternak biogas dan non biogas di Desa Haurngombong sebesar Rp 143 191 per bulan.
Tabel 21 Analisis Ekonomi Pendapatan Usahaternak di Desa Haurngombong
Keterangan Peternak Sapi
Perah Biogas Peternak Sapi Perah
Non Biogas Selisih
Penerimaan 2 001 131
1 576 890 424 241
Biaya Tunai 709 757
640 552 69 206
Biaya Non Tunai 981 700
769 856 211 844
Total Biaya 1 691 457
1 410 407 281 050
Pendapatan atas Biaya Tunai
1 291 134 936 339
355 036 Pendapatan atas Biaya
Total 309 674
166 483 143 191
Sumber : Hermawati 2012
6.1.4 Analisis RC rasio usahaternak sapi perah tipe I dan II di Kampung
Areng
Salah satu metode untuk menentukan keberhasilan suatu usaha adalah menggunakan analisis RC rasio. Analisis ini menggunakan komponen
penerimaan dan biaya untuk melihat tingkat efisiensi suatu usaha. Analisis RC rasio dibagi menjadi analisis RC rasio atas biaya tunai dan biaya total. Komponen
analisis RC rasio pada usaha peternakan di antaranya total penerimaan usahaternak sapi perah yang dihasilkan dari penjumlahan penerimaan tunai dan
non tunai, total biaya tunai, total biaya non tunai, dan total biaya usahaternak sapi perah secara keseluruhan. Nilai RC rasio pada usahaternak sapi perah tipe I dan II
dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22 Rata-rata RC Rasio Usahaternak Sapi Perah Tipe I dan II
Tipe usahaternak
Total Penerimaan
Rpbulan Total biaya
tunai Rpbulan
Total biaya Rpbulan
RC biaya tunai
RC biaya
total Tipe I
1 716 781 626 520
1 371 625 2.74
1.25 Tipe II
1 622 617 658 152
1 423 734 2.47
1.14
Sumber : Data Primer diolah 2014
Berdasarkan tabel data RC rasio di atas, maka kedua jenis usahaternak yang dijalankan menguntungkan karena nilai RC rasio yang dihasilkan lebih
besar dari satu. Interpretasi nilai RC rasio biaya tunai untuk usahaternak sapi
perah tipe I adalah setiap Rp 1 yang dikeluarkan untuk biaya tunai maka peternak
memperolah penerimaan sebesar Rp 2.74, sedangkan pada usahaternak sapi perah tipe II yaitu setiap Rp 1 yang dikeluarkan peternak untuk biaya tunainya maka
penerimaan yang diperoleh sebesar Rp 2.47, sehingga selisih RC rasio atas biaya tunai diantara kedua tipe usahaternak tersebut sebesar 0.27. Interpretasi RC biaya
total yaitu setiap satu rupiah yang dikeluarkan untuk biaya total maka peternak memperoleh penerimaan sebesar Rp 1.25 pada usahaternak sapi perah tipe
I ,sedangkan pada usahaternak tipe II setiap Rp 1 yang dikeluarkan peternak untuk
membiayai seluruh input produksi usahaternaknya maka diperoleh penerimaan sebesar Rp 1.14.
6.3 Konsumsi Energi Peternak Sapi Perah Tipe I dan II di Kampung
Areng
Pemanfaatan limbah ternak sapi perah yang ada di Kampung Areng masih terbatas hanya untuk keperluan rumah tangga sehari-hari, yaitu untuk memasak
dan penerangan. Berdasarkan data hasil wawancara, hampir seluruh responden menggunaan biogas untuk memasak, dan hanya 2 peternak saja yang
menggunakan biogas untuk lampu penerangan, itu pun hanya digunakan ketika mati lampu dan tidak digunakan sebagai sumber energi listrik utama. Menurut
sebagian responden, alasan masih sedikitnya peternak yang menggunakan biogas untuk lampu penerangan adalah kapasitas digester biogas yang dimiliki peternak
berukuran 4 m
3
yang belum mencukupi untuk menghasilkan energi listrik. Dua peternak yang sudah menggunakan biogas untuk lampu penerangan memiliki
tambahan digester berukuran 6 m
3
dan 8 m
3
yang menghasilkan gas yang cukup untuk dikonversi menjadi energi listrik.
Sumber energi yang digunakan oleh responden untuk memasak di antaranya kayu bakar, minyak tanah, dan gas elpiji. Seluruh peternak pengguna biogas
menggunakan gas yang dihasilkan dari pengolahan kotoran ternak untuk keperluan memasak. Berdasarkan data yang diperoleh, sekitar 77 peternak
biogas masih menggunakan gas elpiji untuk memasak, namun gas elpiji tersebut hanya dijadikan cadangan jika gas yang dihasilkan dari biogas habis ketika malam
hari. Selain itu, gas elpiji yang digunakan hanya sebagai tambahan jika responden mengadakan syukuran yang membutuhkan gas lebih banyak untuk memasak.
Meskipun masih ada peternak biogas yang menggunakan gas elpiji untuk keperluan memasak sehari-hari, namun penggunaannya tidak sebanyak ketika
belum menggunakan biogas. Jika sebelum ada biogas, responden pengguna biogas menghabiskan 2 hingga 4 tabung gas elpiji untuk satu bulan, sedangkan saat ini
setelah adanya biogas penggunaan gas elpiji berkurang menjadi setengahnya menjadi 1 hingga 2 tabung per bulann, bahkan ada yang sama sekali tidak
menggunakan gas elpiji karena sudah tercukupi dari biogas. Untuk kebutuhan penerangan, seluruh peternak baik peternak biogas maupun non biogas masih
menggunakan listrik dari PLN karena pemanfaatan biogas menjadi energi listrik masih sangat terbatas.
Tabel 23 Penggunaan Sumber Energi Peternak Responden
Jenis Energi Peternak Tipe I
Peternak Tipe II Total
Biogas 31
31
Gas elpiji 24
24 48
Kayu bakar 3
2 5
Minyak tanah 4
4
Listrik PLN 31
27 58
Sumber : Data Primer diolah 2014
Adanya pemanfaatan biogas untuk kebutuhan memasak telah berdampak pada pengurangan konsumsi energi yang bersumber dari gas elpiji, kayu bakar,
dan minyak tanah pada responden yang menjalankan usahaternak sapi perah tipe I. Perubahan jumlah konsumsi energi responden dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24 Perubahan Jumlah Konsumsi Energi Responden Peternak Di kampung Areng
Sumber Energi Peternak Tipe I
Peternak Tipe II
Sebelum Sesudah
Gas elpiji tabung 2.36
1.21 2.63
Kayu bakar pikul 4.31
2 7.78
Minyak tanah liter 2
12
Sumber : Data Primer diolah 2014
Berdasarkan tabel di atas, jumlah penggunaan energi untuk masing-masing sumber energi pada peternak yang menjalankan usahaternak sapi perah tipe I
mengalami penurunan. Rata-rata pengurangan penggunaan gas elpiji pada peternak yang menjalankan usahaternak sapi perah tipe I sebesar dua kali lipat
dari penggunaan awal, begitu pun dengan penggunaan kayu bakar. Dapat dilihat pada tabel di atas, jika dihitung berdasarkan selisih penggunaan sebelum dan
sesudah penggunaan biogas, rata-rata penghematan penggunaan kayu bakar per bulan sebanyak 2.31 pikul. Satuan yang dipakai untuk kayu bakar adalah pikul
karena peternak mencari sendiri kayu bakar di hutan dan membawanya ke rumah dengan cara dipikul.
Pada usahaternak sapi perah tipe II penggunaan gas elpiji dua kali lipat lebih banyak dibandingkan usahaternak sapi perah tipe I. Untuk penggunaan minyak
tanah, pada peternak tipe I sudah tidak ada yang menggunakan minyak tanah sebagai sumber energi untuk memasak, namun pada peternak tipe II masih ada
peternak yang menggunakannya namun dengan jumlah yang sedikit. Hal ini disebabkan selain karena harga minyak tanah yang tinggi dan penggunaannya
yang lebih boros dibandingkan gas elpiji, juga karena sulitnya mendapatkan minyak tanah akibat program konversi minyak ke gas yang diberlakukan
pemerintah. Mayoritas peternak baik yang manjalankan usahaternak sapi perah tipe I maupun tipe II menggunakan kayu bakar untuk memasak air untuk mandi
sapi, dan hanya beberapa peternak saja yang menggunakan kayu bakar untuk memasak. Jumlah penggunaan kayu bakar pada usahaternak sapi perah tipe II
hampir empat kali lipat lebih banyak dibandingkan usahaternak sapi perah tipe I. Secara umum penggunaan energi pada usahaternak sapi perah tipe II lebih besar
dibandingkan usahaternak sapi perah tipe I, hal ini dikarenakan pada usahaternak sapi perah tipe II tidak ada penghematan dari penggunaan biogas. Harga konversi
untuk masing-masing energi yang digunakan adalah gas elpiji sebesar Rp 22 000 per tabung dan minyak tanah Rp 15 000 per liter.
Pemanfaatan limbah ternak sapi perah menjadi biogas menghasilkan penghematan energi pada usahaternak sapi perah tipe I. Rata-rata konsumsi gas
elpiji pada responden usahaternak sapi perah tipe I dua kali lipat lebih hemat dibandingkan responden usahaternak sapi perah tipe II. Responden yang
menjalankan usahaternak sapi perah tipe I memperoleh penghematan konsumsi
energi setelah penggunaan biogas rata-rata sebesar Rp 55 300 per bulan. Penghematan tersebut dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga
lainnya. Tabel 25 Rata-rata Biaya Konsumsi Energi Responden
No. Sumber Energi
Peternak Tipe I Rpbulan Peternak Tipe II
Rp bulan Sebelum
Setelah 1
Gas elpiji 51 920
26 620 57 860
2 Kayu bakar
3 Minyak tanah
30 000 180 000
4 Total
81 920 26 620
237 860 5
Selisih sebelum dan setelah
55 300 6
Selisih peternak biogas dan non biogas
182 560
Sumber : Data Primer diolah 2014
Penelitian mengenai pemanfaatan teknologi biogas juga dilakukan oleh Singh pada tahun 2003. Singh melakukan penelitian mengenai kontribusi
teknologi biogas terhadap kesejahteraan penduduk yang tinggal di wilayah perbukitan di Nepal. Responden yang menjadi objek penelitiannya mencakup tiga
etnis yang tinggal di wilayah tersebut, yaitu Etnis BrahminChhetri, Etnis Tamang, dan etnis lainnya Etnis Magar dan Etnis Newar. Hasil penelitian Singh
menunjukkan penurunan penggunaan energi dari kayu bakar yang cukup signifikan akibat penggunaan biogas.
Tabel 26 Perbedaan Jumlah Konsumsi Kayu Bakar di Wilayah Perbukitan Nepal
Etnis Jumlah
pengguna biogas
Sebelum bhribulan
Setelah bhri.bulan
Perbedaan bhribulan
Persentase Brahmin
Chhetri 26
340.7 136.7
204.0 59.8.3
Tamang 7
89.2 34.5
54.7 61.3
Lainnya 2
20.2 7.3
12.9 63.8
Total 35
450.1 178.5
271.6 60.3
Rata-rata 12.86
5.1 7.76
Sumber : Field Survey 2000 Note: 1 Bhri = 30 kg
Berdasarkan tabel di atas dapat terlihat penurunan penggunaan kayu bakar yang cukup drastis. Ertnis BrahminChhetri merupakan etnis dengan jumlah
pengurangan konsumsi kayu bakar paling tinggi. Konsumsi kayu bakar pada Etnis BrahminChhetri sebelum menggunakan biogas adalah sebanyak 13.1 bhri per
rumah tangga dan setelah menggunakan biogas berkurang lebih dari dua kali lipatnya menjadi 5.26 bhri per rumah tangga, sehingga nilai penghematannya
sebanyak 7.85 bhri per rumah tangga. Sedangkan pada Etnis Magar dan Etnis Newar yang termasuk ke dalam etnis lainnya, pengurangan konsumsi biogasnya
lebih kecil dibandingkan Etnis BrahminChhetri dan Etnis Tamang yaitu sebanyak 6.45 bhri per rumah tangga, hal ini dikarenakan jumlah pengguna biogas pada
Etnis ini lebih sedikit dibandingkan etnis lainnya. Penelitian yang dilakukan Singh di wilayah Perbukitan Nepal menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian
yang dilakukan di Kampung Areng, yaitu adanya penghematan jumlah energi dari kayu bakar setelah penggunaan biogas.
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan limbah ternak sapi menjadi biogas memberikan
dampak ekonomi yang positif bagi pendapatan peternak. Adanya sludge yang dihasilkan dari ampas biogas juga memberikan manfaat lain bagi lahan pertanian.
Selain itu, dengan adanya penggunaan biogas dari kotoran sapi dapat mengurangi ketergantungan peternak terhadap energi yang tidak terbarukan.
6.4 Identifikasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Keputusan Peternak
untuk Memanfaatkan Biogas
Nilai manfaat yang dihasilkan dari melimpahnya limbah usahaternak sapi perah menjadikan pertimbangan bagi peternak untuk memanfaatkannya menjadi
produk yang lebih bernilai. Selain itu, adanya eksternalitas negatif yang
ditimbulkan berupa pencemaran udara dan air serta adanya program bantuan biogas dari pemerintah telah menjadikan dorongan tersendiri bagi peternak untuk
memanfaatkan limbah ternak sapi perah menjadi biogas. Faktor-faktor yang diduga memengaruhi keputusan peternak untuk memanfaatkan limbah ternak sapi
perah menjadi biogas diuji menggunakan uji regresi logit. Model regresi logistik yang digunakan adalah uji binomial dengan dua
kategori binary logistic regression pada variabel terikatnya, yaitu bernilai 1 jika memanfaatkan biogas, dan bernilai 0 jika tidak memanfaatkan biogas. Variabel-
variabel penjelas yang diduga memengaruhi keputusan peternak untuk memanfaatkan biogas, di antaranya lama usahaternak X
1
, jumlah ternak X
2
, konsumsi gas elpiji X
3
, tingkat pendidikan peternak X
4
, dan variabel dummy jenis kelamin X
5
. Hasil pengujian dengan menggunakan program
IBM SPSS Statistics 2
1 ditampilkan pada Tabel 27. Tabel 27 Hasil Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemanfaatan Biogas
No Variabel Koefisien
p-value ExpB
1 Konstanta
-1.702 0.365
0.182 2
Lama usahaternak 0.006
0.915 1.006
3 Jumlah ternak
0.665 0.004
1.944 4
Konsumsi gas elpiji 0.000021
0.136 1.000
5 Jenis kelamin
3.133 0.032
22.938 6
Tingkat pendidikan -0.408
0.073 0.665
Sumber : Data Primer diolah 2014 keterangan : nyata pada 5
nyata pada 1 nyata pada 15
Uji kecocokan model dilakukan dengan menggunakan Hosmer-Lemeshow Test. Berdasarkan nilai Hosmer and Lemeshow Test, dihasilkan nilai p-value
0.468 yang lebih besar dari taraf nyata 5 0.05, maka dapat disimpulkan
tolak H
0,
sehingga model logistik fit dan layak untuk digunakan. Nilai Overall Percentage sebesar 81.0 yang artinya secara keseluruhan 81 model regresi
logistik dapat memprediksi secara tepat faktor-faktor yang memengaruhi keputusan peternak untuk menggunakan biogas. Model logit dituliskan sebagai
berikut :
Li = ln
i 1- i
= -1.702 + 0.006LU + 0.665JT + 0.000021KE – 0,408TP + 3.133D1
Berdasarkan tabel di atas, terdapat empat variabel bebas yang berpengaruh nyata yaitu jumlah ternak, konsumsi elpiji, tingkat pendidikan, dan dummy jenis
kelamin. Sedangkan satu variabel yaitu lama usahaternak tidak berpengaruh nyata terhadap keputusan peternak untuk menggunakan biogas. Interpretasi dari setiap
nilai pada tabel tersebut dijelaskan sebagai berikut :
1. Jumlah ternak
Nilai p-value yang diperoleh 0.004 yang lebih kecil dari taraf nyata 5 0.05 sehingga signifikan pada taraf kepercayaan 95 dan disimpulkan tolak H
. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah ternak berpengaruh nyata terhadap
keputusan peternak untuk menggunakan biogas. Koefisien jumlah ternak benilai positif yang artinya semakin banyak jumlah ternak yang dimiliki maka
peternak akan semakin cenderung untuk menggunakan biogas. Hasil yang diperoleh sesuai dengan hipotesis awal, semakin banyak jumlah ternak maka
semakin banyak pula limbah yang dihasilkan sehingga diperlukan suatu teknologi untuk memanfaatkan keberlimpahan limbah tersebut, salah satunya
dengan menggunakan biogas. Variabel jumlah ternak memiliki nilai odd ratio 1.944 yang artinya peluang peternak yang memiliki jumlah ternak lebih
banyak akan cenderung untuk menggunakan biogas sebesar 1.944 kalinya
dibandingkan tidak menggunakan biogas. 2.
Konsumsi gas elpiji
Nilai p-value pada variabel konsumsi elpiji lebih besar dari taraf nyata 5 sehingga tidak signifikan para taraf kepercayaan 95. Namun, masih
signifikan para taraf nyata 15 karena nilai p-value yang dihasilkan yaitu 0.136 lebih kecil dari taraf nyata 15 0.15, sehingga variabel ini signifikan
pada taraf kepercayaan 85. Nilai koefisien bertanda positif sehingga semakin banyak konsumsi gas elpiji atau dengan kata lain semakin tinggi
biaya yang dikeluarkan peternak untuk membeli elpiji maka kecenderungan peternak untuk menggunakan biogas semakin besar, hal ini sesuai dengan
hipotesis awal bahwa konsumsi elpiji berhubungan positif dengan keputusan peternak untuk menggunakan biogas. Nilai odd ratio yang dihasilkan sebesar
1.000 yang artinya peluang peternak dengan konsumsi energi lebih banyak memiliki kecenderungan 1.000 kali untuk menggunakan biogas dibandingkan
tidak menggunakan biogas.