kelamin. Sedangkan satu variabel yaitu lama usahaternak tidak berpengaruh nyata terhadap keputusan peternak untuk menggunakan biogas. Interpretasi dari setiap
nilai pada tabel tersebut dijelaskan sebagai berikut :
1. Jumlah ternak
Nilai p-value yang diperoleh 0.004 yang lebih kecil dari taraf nyata 5 0.05 sehingga signifikan pada taraf kepercayaan 95 dan disimpulkan tolak H
. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah ternak berpengaruh nyata terhadap
keputusan peternak untuk menggunakan biogas. Koefisien jumlah ternak benilai positif yang artinya semakin banyak jumlah ternak yang dimiliki maka
peternak akan semakin cenderung untuk menggunakan biogas. Hasil yang diperoleh sesuai dengan hipotesis awal, semakin banyak jumlah ternak maka
semakin banyak pula limbah yang dihasilkan sehingga diperlukan suatu teknologi untuk memanfaatkan keberlimpahan limbah tersebut, salah satunya
dengan menggunakan biogas. Variabel jumlah ternak memiliki nilai odd ratio 1.944 yang artinya peluang peternak yang memiliki jumlah ternak lebih
banyak akan cenderung untuk menggunakan biogas sebesar 1.944 kalinya
dibandingkan tidak menggunakan biogas. 2.
Konsumsi gas elpiji
Nilai p-value pada variabel konsumsi elpiji lebih besar dari taraf nyata 5 sehingga tidak signifikan para taraf kepercayaan 95. Namun, masih
signifikan para taraf nyata 15 karena nilai p-value yang dihasilkan yaitu 0.136 lebih kecil dari taraf nyata 15 0.15, sehingga variabel ini signifikan
pada taraf kepercayaan 85. Nilai koefisien bertanda positif sehingga semakin banyak konsumsi gas elpiji atau dengan kata lain semakin tinggi
biaya yang dikeluarkan peternak untuk membeli elpiji maka kecenderungan peternak untuk menggunakan biogas semakin besar, hal ini sesuai dengan
hipotesis awal bahwa konsumsi elpiji berhubungan positif dengan keputusan peternak untuk menggunakan biogas. Nilai odd ratio yang dihasilkan sebesar
1.000 yang artinya peluang peternak dengan konsumsi energi lebih banyak memiliki kecenderungan 1.000 kali untuk menggunakan biogas dibandingkan
tidak menggunakan biogas.
3. Jenis kelamin
Hasil model logistik diperoleh nilai p-value 0.032 yang lebih besar dari taraf nyata 5 0.05 yang berarti tolak H
, artinya variabel jenis kelamin berpengaruh nyata terhadap peluang keputusan menggunakan biogas. Jenis
kelamin memiliki nilai koefisien positif yang sesuai dengan hipotesis awal, sehingga peternak yang berjenis kelamin laki-laki lebih cenderung untuk
menggunakan biogas. Hal ini dikarenakan proses pemanfaatan limbah ternak menjadi biogas terbilang pekerjaan yang cukup berat karena harus
mengangkat kotoran dengan jumah yang cukup banyak ke bak penampungan. Selain itu, usahaternak merupakan kegiatan yang cukup berat jika hanya
diikerjakan oleh perempuan, karena kegiatan pemeliharaan seperti mencari pakan hijauan ke tempat yang cukup jauh kemudian memikulnya sampai ke
kandang, membutuhkan kekuatan laki-laki yang cenderung lebih besar daripada perempuan. Nilai odd ratio variabel jenis kelamin sebesar 22.938
yang artinya peluang peternak laki-laki untuk menggunakan biogas 22.938 kali dibandingkan tidak menggunakan biogas.
4. Tingkat pendidikan
Pendidikan yang tinggi akan menjadikan peternak lebih peduli terhadap kondisi lingkungan di sekitar lokasi peternakannya dan lebih memahami
bagaimana penanganan limbah yang baik dan benar sekaligus dapat menghasilkan manfaat. Nilai p-value yang diperoleh dari model logit yaitu
0.073 yang lebih kecil dari taraf nyata 10 0.1 sehingga variabel tingkat pendidikan signifikan pada taraf kepercayaan 90. Nilai koefisien variabel
tingkat pendidikan bertanda negatif yang artinya semakin tinggi tingkat pendidikan peternak maka semakin cenderung untuk tidak menggunakan
biogas. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis awal bahwa dengan pendidikan yang tinggi peternak akan semakin cenderung untuk menggunakan biogas.
Nilai negatif pada koefisien dapat mengindikasikan bahwa dengan pendidikan
tinggi pola pikir masyarakat akan cenderung lebih praktis dan alokasi waktu
yang dimiliki peternak akan cenderung digunakan untuk kegiatan lain yang memberikan penghasilan lebih besar dibanding sektor peternakan. Variabel
tingkat pendidikan memiliki nilai odd ratio 0.655 yang artinya semakin tinggi
tingkat pendidikan peternak, maka peluang untuk tidak menggunakan biogas 0.665 kali dibandingkan menggunakan biogas.
5. Lama usahaternak
Berdasarkan hasil pengolahan data, variabel lama usahaternak tidak berpengaruh nyata terhadap keputusan peternak untuk menggunakan biogas.
Hal ini dapat dilihat dari nilai p-value yaitu 0.915 yang lebih besar dari taraf nyata 5, 10, dan 15 sehingga disimpulkan terima H
. Berdasarkan kenyataan yang ada di lapangan, tidak ada kecenderungan bahwa lama
usahaternak dapat meningkatkan peluang peternak untuk menggunakan biogas. Hal ini terbukti bahwa terdapat peternak responden yang sudah lama
menjalankan usahaternak sapi perahnya namun tidak menggunakan biogas. Faktor-faktor pendorong bagi peternak untuk memanfaatkan limbah
kotoran ternaknya menjadi biogas juga dipengaruhi oleh fasilitas yang diperlukan untuk membangun instalasi biogas, salah satunya adalah lahan. Peternak yang
tidak memiliki lahan yang cukup untuk membangun instalasi biogas terpaksa tidak dapat memanfaatkan limbah ternaknya untuk dijadikan biogas. Menurut
ketua Kelompok Ternak Mekar Saluyu, bantuan biogas dari pemerintah sudah sering ada, namun peternak terkendala oleh ketersediaan lahan atau jarak yang
cukup jauh antara kandang dan rumah peternak. Kendala yang dirasakan oleh peternak sapi perah di Kampung Areng juga hampir sama dengan kendala yang
dihadapi oleh peternak di daerah lainnya. Salah satunya penelitian di Desa Jatisarono Kecamatan Nanggulan Kabupaten Kulon Progo yang dilakukan oleh
Rahayu et.al 2011. Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa teknologi biogas sebenarnya telah berkembang sejak lama namun aplikasi penggunaannya
sebagai sumber energi alternatif belum berkembang secara luas. Beberapa kendalanya antara lain disebabkan karena kurangnya “technical expertise” tidak
berfungsinya reaktor biogas akibat kebocoran atau kesalahan konstruksi, desain reaktor
yang tidak “user friendly”, penanganan masih manual, dan biaya konstruksi yang cukup mahal.
Penelitian biogas yang dilakukan oleh Nurlina et.al 2011 pada kelompok ternak Harapan Jaya Desa Haurngombong Kecamatan Pamulihan Kabupaten
Sumedang juga menjelaskan hal-hal yang dirasakan peternak sebagai kendala dalam menggunakan biogas terutama dalam hal :
1. Harus mengaduk dan memasukkan kotoran ke dalam digester jika api gas
sudah kurang produksi gas methan oleh bakteri berkurang karena pasokan kotoran ternak sebagai pembentuk gas methan berkurang.
2. Api yang dihasilkan dari biogas terkadang tidak mencukupi kebutuhan gas
untuk memasak dan lain-lain, sehingga ada beberapa peternak yang masih menggunakan gas elpiji selain biogas.
3. Biaya pembuatan instalasi biogas digester, dll yang cukup mahal.
4. Kendala secara teknis dikarenakan proses perawatan peralatan yang
digunakan dan aliran kotoran ternak ke dalam digester yang harus rutin dilakukan oleh peternak.
Penelitian yang dilakukan oleh Sugandi di Kampung Parabon Desa Warnasari, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung menunjukkan beberapa
hambatan dalam penggunaan teknologi biogas, di antaranya budaya masyarakat yang cenderung malas untuk mengumpulkan kotoran ternak, bahkan seringkali
kotoran ternak dibuang begitu saja. Kondisi ini menyebabkan lingkungan menjadi tercemar dan semakin tidak nyaman.
VII. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap usahaternak sapi perah tipe I dan II, dapat disimpulkan bahwa :
1. Hasil analisis tingkat pendapatan menunjukkan bahwa pendapatan
usahaternak sapi perah tipe I lebih besar dibandingkan usahaternak sapi perah tipe II. Rata-rata selisih pendapatan atas biaya total diantara kedua
jenis usahaternak tersebut sebesar Rp
146 273 per bulan untuk setiap satuan ternak
. Rata-rata nilai RC rasio yang dihasilkan dari usahaternak sapi perah tipe I dan usahaternak sapi perah tipe II masing-masing sebesar 1.25
dan 1.14 yang nilainya lebih besar dari satu, sehingga usahaternak menguntungkan.
2. Rata-rata nilai penghematan konsumsi energi responden peternak yang
menggunakan biogas sebesar Rp 55 300 per bulan. Penghematan tersebut berasal dari pengurangan pembelian gas elpiji dan minyak tanah BBM
dikarenakan adanya substitusi penggunaan energi dengan memanfaatkan limbah ternak sapi perah menjadi biogas, sedangkan selisih konsumsi
energi antara peternak tipe I dan tipe II sebesar Rp 182 560 per bulan. 3.
Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5, 10, dan 15 terhadap keputusan peternak untuk menggunakan biogas, yaitu
jumlah ternak, konsumsi gas elpiji, tingkat pendidikan responden, dan dummy jenis kelamin.
Saran
Beberapa saran yang dapat disampaikan dari hasil penelitian ini antara lain : 1.
Dalam menjalankan usahaternak sapi perah sebaiknya peternak memanfaatkan limbah ternaknya untuk dijadikan biogas, karena dapat
memberikan tambahan penerimaan yang dapat digunakan untuk keperluan rumah tangga lainnya.
2. Sebaiknya kelompok peternak melakukan pengolahan sludge yang
dihasilkan dari ampas biogas untuk dijadikan pupuk organik yang kemudian dikemas secara menarik, sehingga nilai jualnya lebih tinggi.
Dengan melakukan pengolahan ampas biogas secara berkelompok, maka biaya serta modal pengolahan yang diperlukan tidak terlalu berat jika
dibandingkan dengan pengolahan secara individu. 3.
Peternakan sapi perah memiliki potensi besar dalam pengembangan energi alternatif, sehingga kedepannya perlu dilakukan pengembangan
penggunaan biogas untuk peralatan lainnya, seperti generator, alat pemotong rumput, dan penerangan atau energi listrik yang dibantu oleh
pemerintah dan
stakeholder terkait,
sehingga mengurangi
ketergantungan peternak terhadap energi listrik dari PLN. 4.
Instalasi biogas dari limbah ternak sapi perah yang ada di Kampung Areng merupakan bantuan dari pemerintah untuk mengupayakan
penggunaan energi ramah lingkungan berbasis masyarakat. Sebaiknya, pemerintah terus mendukung pengusahaan sapi perah dan pemanfaatan
limbah untuk dijadikan biogas dengan melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya pemanfaatan limbah
sebagai salah satu energi alternatif terbarukan. Selain itu, perlu dilakukan monitoring dan pengontrolan terhadap instalasi biogas yang
saat ini digunakan oleh peternak, apakah ada kerusakan atau gangguan dalam pengoperasiannya.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad FA. 2011. Analisis pendapatan usahatani dan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi susu sapi perah peternak Desa Cibeureum
Kabupten Bogor [skripsi]. Bogor ID : Institut Pertanian Bogor. Agassi E. 2013. Analisis faktor-faktor yang memengaruhi pemindahan ibukota
negara [skripsi]. Bogor ID : Institut Pertanian Bogor. Anisa A. 2008. Analisis fungsi dan biaya efisiensi usahaternak sapi perah di
wilayah kerja SPBU Lembang Kabupaten Bandung [skripsi]. Bogor ID : Institut Pertanian Bogor.
Bintoro HMH. 2008. Sampah Kota, Kompos, dan Banjir. Bogor ID : IPB Press.
[BPPT] Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Outlook Energi Indonesia 2013 [internet].
[diacu 2014
Juni 22].
Tersedia pada
: http:www.drn.go.idfilesBPPT2020Outlook20Energi20Indonesi
a202013.pdf. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Jumlah populasi penduduk indonesia tahun
2010 [internet]. [diacu 2014 Februari 15]. Tersedia pada : http:www.bps.go.idtab_subview.php?kat=1tabel=1daftar=1id_sub
yek =12notab=1. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga
Berlaku Menurut Lapangan Usaha pada Tahun 2013 [Internet]. [diunduh 2014 Mei 2]. Tersedia pada: http:bps.go.idtab_subview.php?kat
=2tabel=1daftar= 1id _subyek=1 1notab=1.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Populasi Sapi Nasional [Internet]. [diunduh 2014 Juni 22]. Tersedia pada: http:www.bps.go.idtab subview.php?tabel
=1daftar=1 id_subyek=24notab=12. Daniel M. 2004. Pengantar Ekonomi Pertanaian. Jakarta ID : Bumi Aksara.
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Malang. 2011. Populasi sapi potong dan sapi perah di masing-masing kecamatan di Kabupaten Malang.
Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat. 2012. Populasi Ternak di Jawa Barat [internet].[diunduh 2014 Juni 22]. Tersedia pada : http:disnak.jabarprov
.go.id index.phpsubblogindexMTA3. [DITJENNAK] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2013.
Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2013.
[internet]. [diunduh 2014 Agustus 25]. Tersedia pada : http:www.bps.go.idjournal.
Emawati S. 2011. Profitabilitas Usahatani Sapi Perah Rakyat di Kabupaten Sleman. Jurnal Sains Peternakan. 92 : 100-108
Erwidodo. 1993. Kemungkinan Deregulasi Industri Persusuan Indonesia. Makalah Seminar. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.