4.2. Aktivitas Anggota Rantai Pasokan
Aktivitas anggota rantai pasokan akan dibahas pada sub bab berikut.
4.2.1 Aktivitas Petani Akar Wangi
Petani akar wangi di Kabupaten Garut tersebar di kecamatan Samarang, Bayongbong, Cilawu, dan Leles. Berdasarkan keputusan
Bupati Kabupaten Garut Nomor : 520SK. 196-HUK96 tanggal 6 Agustus 1996, ditetapkan luas areal perkebunan akar wangi dan
pengembangannya oleh masyarakat seluas 2.400 Ha, namun pada kenyataannya saat ini hanya terdapat 2.318 Ha areal perkebunan akar
wangi yang tersebar di tersebar di empat kecamatan, yaitu Kecamatan Samarang seluas 1.141 Ha, Kecamatan Bayongbong seluas 112 Ha,
Kecamatan Cilawu seluas 240 Ha, dan Kecamatan Leles seluas 750 Ha. Luas garapan perkebunan akar wangi dalam setahun tercatat 2.318 Ha
yang memproduksi minyak sebanyak 75 ton. Luas areal dan produksi
akar wangi di Kabupaten Garut disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Luas Areal dan Produksi Akar Wangi di Kabupaten
Garut Kecamatan
Ha Ton
Cilawu 240,00
8,00 Bayongbong
112,00 3,70
Samarang 1.141,00
37,40 Pasirwangi
75,00 2,50
Leles 750,00
23,40 Jumlah
2.318,00 75,00
Sumber : Dinas Perkebunan Kabupaten Garut 2010 Karakteristik petani akar wangi dibagi menjadi dua, yaitu petani
individu dan petani kelompok. Petani ada yang bertindak sebagai penyuling yang disebut petanipenyuling dan petani murni. Petani
individu relatif lebih sedikit dibandingkan dengan petani kelompok. Berdasarkan hasil survey, 72 persen petani telah tergabung dalam
kelompok tani dan 28 persen merupakan petani individu . Petani yang tergabung kedalam kelompok tani terdiri dari, 32 persen yang
berbentuk Persekutuan Komanditer CV, dan 40 persen lainnya tidak berbadan hukum.
Berdasarkan data
Dinas Perkebunan
2010, kegiatan
pengembangan akar wangi melibatkan 1.203 orang sebagai pemilik Kepala Keluarga dan 52.717 orang Tenaga Kerja. Mereka tergabung
dalam 33 Kelompok Tani yang tersebar di Kecamatan Samarang 9 Kelompok Tani, Leles 12 Kelompok Tani, Cilawu 10 Kelompok Tani
dan Bayongbong 2 Kelompok Tani. Jumlah pengolah atau penyuling sebanyak 30 unit usaha yang tersebar di Kecamatan Samarang dan
Pasirwangi 11 unit usaha, Leles 12 unit usaha, Bayongbong 5 unit usaha, dan Cilawu 2 unit usaha.
Kelompok tani yang memiliki jumlah anggota terbanyak yaitu Kelompok Tani Sinar Wangi dengan jumlah sebesar 200 anggota. Satu
kelompok tani diketuai oleh seorang penyuling yang berperan sebagai pemberi modal sekaligus pembina teknik budidaya bagi anggotanya.
Anggota kelompok tani menyediakan sarana produksi tanaman seperti pupuk, bibit, dan tenaga kerja. Kesepakatan umum antara petani dan
penyuling adalah petani harus menjual hasilnya kepada pemberi modal penyuling. Namun ada beberapa penyuling yang memberi kebebasan
kepada anggotanya untuk menjual hasil panen kepada penyuling atau pengumpul akar wangi lain, dengan ketentuan petani dapat membayar
pinjaman modal yang diberikan. Pertanian akar wangi di Garut dimulai sejak tahun 1918. Status
kepemilikan lahan budidaya terdiri dari lahan milik sendiri, dan lahan sewa. Luas lahan budidaya yang dimiliki petani pun bervariasi. Gambar
8 menunjukkan luas lahan budidaya yang dimiliki petani akar wangi. Petani yang memiliki luas lahan 5-10 ha merupakan petani dengan
jumlah terbanyak yaitu sekitar 40 persen. Hal tersebut mengindikasikan bahwa rata-rata petani adalah petani berskala kecil. Satu hektar lahan
rata-rata mampu memproduksi 10 sampai 21 ton dengan kapasitas satu kali panen sebesar 3 ton, sehingga satu hektar akan memerlukan panen
lebih dari tiga kali. Lama usaha budidaya akar wangi yang dijalankan petani rata-rata
sudah mencapai sekitar 10-20 tahun. Para petani umumnya bergerak di
usaha akar wangi secara turun-temurun. Gambar 7 menunjukkan lama usaha budidaya akar wangi di Kabupaten Garut.
Gambar 7. Lama Usaha Budidaya Petani dengan jumlah terbanyak yaitu petani yang memiliki luas
lahan lebih dari 5 lima hektare, dengan persentase sebesar 40 persen. Gambar 8 menunjukkan luas lahan budidaya yang dimiliki petani akar
wangi.
Gambar 8. Luas Lahan Budidaya Budidaya tanaman akar wangi dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu, 1 sistem monokultur, dan 2 sistem tumpang sari. Sebagian besar tanaman akar wangi dibudidayakan dengan sistem tumpang sari, karena
dapat menghemat penggunaan pupuk. Sebanyak 84 persen petani melakukan sistem budidaya tumpang sari dengan tanaman kol, tomat,
kentang, kubis, cabai, dan singkong. Budidaya akar wangi dimulai dengan pembibitan. Bibit akar
wangi diperoleh dengan cara memisahkan daun dan akar, setelah itu diambil bonggol akarnya untuk ditanam kembali. Bibit yang digunakan
adalah akar yang berasal dari tanaman yang tidak berbunga dengan jarak tanam sekitar 0,5m x 0,75m sehingga untuk 1 Ha lahan diperlukan
bibit sebanyak ± 10.000 rumpun. Permasalahan yang sering muncul
12 40
32 12
4 10 tahun
10 - 20 tahun 20 - 30 tahun
30 - 40 tahun 40 tahun
40 36
24 5 Ha
5 - 10 Ha 10 Ha
dalam penyediaan bibit akar wangi adalah ketersediaan bibit yang tidak konsisten dan mutu bibit tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Permasalahan lain yang muncul adalah cuaca yang tidak menentu yang mengakibatkan rendemen berkurang ketika curah hujan tinggi. Setelah
penyiapan bibit, dilakukan pencangkulan secara manual agar tanah menjadi gembur. Proses selanjutnya yaitu penanaman. Setelah usia
tanaman akar wangi mencapai 2 bulan dilakukan pemupukan. Pemupukan hanya dilakukan sekali dalam satu musim tanam. Setelah
itu, dilanjutkan dengan proses penyiangan. Penyiangan dilakukan 3 tiga kali dalam setahun. Penyiangan pertama dilakukan pada usia
tanam 2 dua sampai 4 empat bulan. Penyiangan kedua dilakukan pada usia tanam 3 tiga sampai 4 empat bulan dan penyiangan ketiga
dilakukan pada usia 4 empat sampai 6 enam bulan. Petani akar wangi ada yang tidak melakukan pemupukan.
Berdasarkan hasil survey, sebesar 12 persen petani tidak melakukan pemupukan karena tidak sesuainya harga beli dan biaya operasional
yang dikeluarkan. Namun, sebagian besar petani melakukan pemupukan dalam budidayanya. Petani akar wangi berpendapat akan
lebih bagus jika tidak diberi pupuk untuk tanaman akar wangi dengan sistem monokultur. Sementara, untuk sistem tumpang sari, pupuk sudah
tidak perlu diberikan lagi karena, tanaman akar wangi telah mendapatkan pupuk dari tanaman tumpangnya. Bagi petani yang
melakukan budidaya akar wangi dengan menggunakan pupuk, digunakan pupuk organik dan anorganik. Jenis pupuk anorganik yang
sering digunakan adalah ZA, TSP, NPK, KCL, terkecuali pupuk Urea karena pupuk tersebut hanya akan memperbesar daun tanaman akar
wangi, tetapi tidak memperbesar dan memperpanjang akar, sehingga rendemennya akan buruk. Pupuk organik yang digunakan adalah pupuk
kandang. Setelah tanaman akar wangi berusia 12 bulan maka tanaman siap
untuk dipanen. Petani memanfaatkan tenaga kerja lebih untuk proses pemupukan, penyiangan dan panen. Tenaga kerja yang biasa digunakan
adalah tenaga kerja harian atau borongan. Upah tenaga kerja harian sebesar Rp 15.000
– Rp 20.000 per hari dan untuk tenaga kerja wanita dan Rp 25.000
– Rp 35.000 per hari untuk tenaga kerja pria. Besar pembayaran untuk sistem borongan adalah Rp 150.000
– Rp 200.000 untuk satu pemborong dengan jumlah tenaga kerja yang tidak
ditentukan. Penjualan akar wangi oleh petani dilakukan langsung kepada
penyuling atau pengumpul akar wangi yang berada di daerah sekitar penanaman akar wangi. Selain itu, terdapat pula petani yang sekaligus
sebagai penyuling, sehingga ketika akar wangi telah dipanen akan langsung disuling di tempat penyulingannya sendiri. Namun pada
umumnya, petani menyuling akar wangi di tempat penyulingan milik pengusaha penyuling dengan ketentuan bahwa produk yang dihasilkan
dijual ke pemilik alat suling. Selain itu, ada pula petani yang melakukan penyulingan dengan sistem sewa alat suling dan menyuling akar
wanginya di tempat penyulingan milik penyuling. Namun minyak akar wangi yang dihasilkannya tidak dijual kepada penyuling melainkan
langsung dijual ke pengumpul besar. Biaya penyewaan alat suling yaitu sebesar Rp 1.500.000 per sekali proses penyulingan 12 jam.
Pemasaran akar wangi tidak memiliki kendala yang signifikan. Berdasarkan hasil survey, semua hasil panen pasti terjual. Hal tersebut
sangat dipengaruhi oleh kerjasama yang terjalin antara petani dengan penyuling atau pengumpul. Akar wangi dijual dengan harga berat basah
yaitu berkisar antara Rp 1.200 – Rp 3.000 per kilogram. Harga akar
wangi cenderung menurun jika cuaca tidak menentu atau musim penghujan sehingga kualitas tidak sebagus musim kemarau. Sebagian
besar petani menjual pada harga Rp 2.000 per kilogram. Sebesar 80 persen modal petani kebanyakan adalah modal
sendiri atau modal pinjaman dari kerabat dekat. Petani yang tergabung dalam kelompok tani mendapat pinjaman modal dari ketua
kelompoknya. Investasi dalam budidaya akar wangi per hektar selama satu periode penanaman kurang dari Rp 25.000.000. Kendala dari segi
modal sering dihadapi oleh petani karena lamanya masa tanam. Sehingga terkadang petani menjual akar wangi dengan sistem ijon saat
tanaman berumur 8 bulan dan siap dipanen setelah berumur 12 bulan. Sebagian besar petani tidak memanfaatkan fasilitas kredit lembaga
keuangan karena persyaratan yang dianggap terlalu memberatkan dan berbelit-belit. Oleh karena itu diharapkan peran pemerintah dalam
bantuan permodalan atau meringankan persyaratan pinjaman bagi lembaga keuangan.
4.2.2 Aktivitas Pengumpul Akar Wangi