6. Proses manajemen PEL merupakan proses yang berkesinambungan yang terdiri dari diagnosa
dan perencanaan, implementasi dan monitoring serta evaluasi, patok duga benchmark dan refleksi.
Keseluruhan komponen PEL dalam heksagonal tersebut bertujuan untuk mengembangkan ekonomi wilayah secara berkelanjutan Gambar 2.
Gambar 2 Heksagonal PEL Untuk keperluan operasionalisasi konsep heksagonal PEL sebagai alat
analisis selanjutnya diturunkan dalam bentuk indikator PEL Lampiran 9. Indikator ini kemudian dijadikan dasar untuk menyusun kuesioner evaluasi
mandiri self assessment.
2.10. Penelitian Terdahulu
Hasil penelitian Pribadi 2005 di Kawasan Agropolitan Cianjur mengemukakan bahwa Program agropolitan sejauh ini berdampak positif yaitu
mampu meningkatkan nilai tambah terutama dari biaya transportasi yang lebih rendah. Namun, pengembangan kawasan agropolitan tanpa memperhatikan
keterkaitan sosial ekonomi aktual yang terjadi antar hirarki wilayah di dalam 37
kawasan, akan menyebabkan terjadinya inefisiensi dan pemborosan anggaran pembangunan. Hal ini karena, pada akhirnya banyak sarana-prasarana penunjang
pertanian yang telah dibangun tidak dimanfaatkan secara optimal dan bahkan biaya pemeliharaannya justru menjadi beban masyarakat. Pemanfaatan yang
tidak optimal ini terjadi karena lokasi penempatan fasilitas yang tidak sesuai dengan pola aktivitas sosial ekonomi yang telah berkembang, dan apabila
masyarakat harus dipaksakan untuk memanfaatkannya maka yang terjadi adalah aktivitas ekonomi masyarakat justru menjadi tidak efisien dan kurang
menguntungkan. Pola jaringan jalan yang bersifat denritik kurang bisa mendorong
pengembangan kawasan perdesaan karena setiap unit wilayah desa harus langsung berinteraksi dengan kawasan yang memiliki kapasitas skala ekonomi economic of
scale yang lebih besar. Akibatnya dalam konteks transaksi antar wilayah, desa
tidak mempunyai bargaining position yang kuat. Pola jaringan yang bersifat networking
antar desa harus diperkuat, tetapi tidak harus dalam bentuk jalan beraspal yang di-hotmix agar biaya pembangunannya tidak terlalu mahal. Jalan-
jalan desa yang bisa dilalui oleh motor ataupun kendaraan bak terbuka sudah mencukupi untuk membangun jalur transportasi antar desa.
Sektor petanian sebagai sektor andalan di Kawasan Agropolitan Cianjur pada dasarnya sangat tergantung pada terjaganya kualitas lingkungan. Namun
pada kenyataanya, kemampuan alami lahan di Kawasan Agropolitan Cianjur sudah mulai menurun karena usaha tani yang intensif pada lahan sempit dengan
pola multiple cropping tanpa pernah mengistirahatkan lahan. Sementara ketersediaan air di kawasan agropolitan juga sudah mulai terganggu karena
maraknya alih fungsi lahan menjadi villa dan bangunan. Kondisi ini akan mengancam keberlanjutan dari pengembangan kawasan agropolitan.
Akses petani terhadap lahan ternyata semakin berkurang dengan berkembangnya infrastruktur wilayah listrik dan sarana jalan, meningkatnya
kepadatan penduduk, aksesibilitas yang dekat dengan kota Jakarta dan Bogor, banyaknya penduduk miskin dan pengangguran di perdesaan, serta lemahnya
kapasitas social capital dalam masyarakat. Pembangunan infrastruktur wilayah 38
listrik dan sarana jalan justru membuat akses kota lebih dominan daripada akses desa terhadap kota dan mengarah pada hubungan yang eksploitatif.
Hasil studi dari Satuan Kerja Pengembangan Prasarana dan Sarana Desa Agropolitan Departemen Pekerjaan Umum 2005, mengemukakan bahwa
Program yang telah dilaksanakan dalam rangka pengembangan rintisan kawasan Agropolitan, sejak tahun pertama fasilitasi tahun 2002 sampai dengan tahun ke 3
fasilitasi tahun 2004 di 8 daerah rintisan agropolitan secara umum belum mengarah pada syarat pengembangan kawasan agropolitan. Sebagian besar masih
pada pengembangan kawasan sentra produksi pertanian. Beberapa program belum dilaksanakan secara terpadu guna mendukung pengembangan kawasan, namun
masih berjalan sendiri-sendiri sehingga nuansa keterkaitan dan keharmonisan program belum dirasakan oleh masyarakat.
Hasil identifikasi dan inventarisasi tim survey menemukan beberapa permasalahan utama dalam mengimplementasikan program-program dari masing-
masing sektor dan bidang sebagai berikut: a.
Tingkat partisipasi masyarakat masih rendah karena kurang dilibatkannya masyarakat dalam hal perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan
evaluasi; b.
Pemasaran produk pertanian yang berkaitan dengan informasi harga, fluktuasi harga dan kontinuitas pasar produk, merupakan permasalahan
esensial yang perlu segera di atasi mengingat akses informasi mengenai masalah ini sangat minim;
c. Rendahnya ketrampilan bisnis jiwa entreprenuership dari masyarakat
sehingga perlu penanganan melalui pendidikan informal dan pelatihan- pelatihan;
d. Infrastruktur terutama jalan, jembatan, showroom, pusat data dan
informasi serta outlet produk pertanian dan hasil olahan pada saat ini masih kurang baik kuantitas maupun kualitasnya;
e. Masih rendahnya peran usaha besar dan menengah dalam berinvestasi di
sektor tanaman pangan pada kawasan agropolitan; f.
Masih belum samanya persepsi dari semua elemen yang terlibat dalam pengembangan kawasan agropolitan. Hal ini berakibat belum konsisten
dan sinergisnya program yang dilaksanakan baik dari pusat, provinsi maupun kabupaten.
Adapun yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, adalah dalam penelitian ini tidak saja menggunakan analisis deskriptif seperti
pada penelitian terdahulu tetapi juga diperkuat dengan analisis kuantitatif. Disamping itu dalam penelitian ini diterapkan suatu metode baru dalam
mengidentifikasi dan merumuskan strategi pembangunan dengan menggunakan metode Rapid Assessment Techniques for Local Economic Development
RALED .
III. KERANGKA PEMIKIRAN