kabupaten atau bahkan beberapa kabupaten dalam satu provinsi atau lintas provinsi.
Provinsi Gorontalo sebagai salah satu provinsi yang menerapkan konsep agropolitan untuk memacu pertumbuhan dan pengembangan wilayah, mengacu
pada konsep agropolitan yang dikembangkan oleh pemerintah melalui Departemen Pertanian sesuai dengan pedoman umum pengembangan kawasan
agropolitan. Dalam hal ini pembangunan kota-kota kecil menengah di provinsi Gorontalo diarahkan menjadi kota pertanian yang tumbuh dan berkembang
karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis di desa dalam kawasan sentra produksi. Sebagai kota pertanian, kawasan ini memiliki fasilitas yang dapat
mendukung lancarnya pembangunan pertanian yaitu : -
Jalan-jalan akses jalan usaha tani -
Alat-alat mesin pertanian traktor, alat-alat prosesing -
Pengairan jaringan irigasi -
Lembaga penyuluh dan alih teknologi -
Kios-kios sarana produksi -
Pemasaran. Selanjutnya implementasi program yang dijalankan adalah program
agropolitan berbasis jagung, yaitu program unggulan daerah untuk memacu pembangunan pertanian sekaligus menjadi motor penggerak pembangunan
perekonomian daerah. Adapun kajian dalam penelitian ini mengarah pada konsep agropolitan yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia termasuk provinsi
Gorontalo.
2.4. Kemandirian Melalui Penguatan Kapasitas Kelembagaan Lokal Perdesaan dan Kemitraan.
Pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang berkerakyatan berarti pembangunan berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dimana
pemerintah harus memfasilitasinya. Akibat dari paradigma pembangunan di masa lalu banyak kelembagaan tradisional lokal yang sebelumnya merupakan bagian
dari perekonomian lokal menjadi rusak, bahkan hilang. Sebagai contoh, menurut Sadjad 2004 hilangnya perlumbungan beras di desa yang digantikan oleh
BULOG menggeser kelembagaaan lokal dan mematikan desa sebagai desa 23
industri. Dibangunnya BULOG secara sentralistik, menyebabkan hilangnya perlumbungan di desa, pemrosesan beras oleh rakyat, transportasi beras dari desa
ke kota. Kesemuanya itu merupakan proses industri yang dulunya terjadi di desa. Hal ini menyebabkan kesempatan mencari nilai tambah yang menjadi ciri industri
menjadi hilang di perdesaan. Oleh karena itu kelembagaan dan organisasi lokal perlu dibangkitkan kembali dan diberdayakan untuk memperkuat pembangunan
sistem dan usaha agribisnis yang berkelanjutan dan mandiri.
Menurut Suwandi 2004, penguatan kelembagaan dalam memberdayakan kawasan agropolitan dilakukan dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif
terkait dengan input sarana dasar usaha pertanian, penguatan kelembagaan kawasan agropolitan, penguatan permodalan perdesaan dan penguatan
kelembagaan ekonomi. Dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif, peranan pemerintah, masyarakat dan dunia usaha cukup penting yang tentunya disesuaikan
dengan proporsi kewenangan dan fungsi masing-masing, seperti terlihat pada Tabel 6 berikut :
Tabel 6 Sarana Dasar Usaha Agribisnis
URAIAN PEMERINTAH MASYARAKAT
DUNIA USAHA
Input Modal, benihbibit ,
Pupuk,pakan, obat Pestisida
Alsin √
√ √√
Penunjang Jalan, irigasi
Pasar Air bersih
Pengolahan hasil √√
√√ √√
- -
- -
√ -
√ -
√√ Iptek
Riset,Pengembangan Penyuluhan
Sistem informasi √√
√ √
- -
√ -
√ √
Sumber : Kawasan Agropolitan, Konsep Pembangunan Desa-Kota Berimbang, 2006.
Selanjutnya menurut Rustiadi dan Hadi 2006, untuk menghindari adanya peluang pengaliran nilai tambah yang tidak terkendali keluar kawasan diperlukan
penguatan sumberdaya manusia dan kelembagaan. Sehingga penguatan 24
kelembagaan lokal dan sistem kemitraan menjadi prasyarat utama yang harus ditempuh terlebih dahulu dalam pengembangan kawasan agropolitan.
Kemampuan sendiri pada dasarnya merupakan kemampuan masyarakat untuk membiayai dirinya sendiri. Oleh karena itu kemampuan masyarakat untuk
melakukan saving menjadi penting dalam rangka meningkatkan akumulasi kapital yang nantinya akan berguna bagi peningkatan investasi dan pembangunan.
Mengingat rendahnya tingkat saving masyarakat perdesaan, diperlukan adanya kemitraan antara petani perdesaan, pelaku usaha bermodal dan
pemerintah. Pola kemitraan seperti kemitraan permodalan, produksi, pengolahan dan pemasaran akan menjamin terhindarnya eksploitasi pelaku usaha tani di
tingkat perdesaan oleh pelaku usaha yang lain dan memungkinkan terjadinya nilai tambah yang dapat dinikmati oleh pelaku usaha tani. Ini akan menjamin
peningkatan pendapatan, sehingga memungkinkan kawasan perdesaan melakukan investasi baik yang berupa pendidikan maupun penciptaan lapangan usaha baru
multiplier effect. Secara ekonomi, kemandirian dapat dibangun dengan penguatan lembaga keuangan dan organisasi petanipelaku ekonomi lokal
Rustiadi dan Hadi, 2006. Oleh karena pelaksanaan pembangunan tidak bisa dijalankan oleh
masyarakat perdesaan itu sendiri, diperlukan pola kemitraan dalam seluruh tahap pembangunan dari perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pelaksanaannya.
Kemitraan dimaksud melibatkan para pemangku kepentingan stakehoders yang terdiri dari masyarakat, sektor swasta dan pemerintah. Kemitraan menuntut
dukungan semua stakeholder terkait sebagai refleksi dari kebersamaan public- private- community partnership.
2.5. Peran Infrastruktur dalam Pembangunan Perdesaan