Revitalisasi Pengembangan Ekonomi Lokal PEL

pada pertimbangan teknis kondisi tanah dan iklim, sosial ekonomi dan kelembagaan. Pengembangan suatu komoditi pertanian harus mempertimbangkan kondisi relatif sumberdaya alam, modal dan manusia untuk menghasilkan dan juga kemungkinan pemasaran hasil produksi. Menurut Bustaman dan Susanto 2003, komoditas unggulan merupakan komoditi yang layak diusahakan karena memberikan keuntungan kepada petani baik secara biofisik, sosial maupun ekonomi. Komoditas tertentu dikatakan layak secara biofisik jika komoditas tersebut diusahakan sesuai dengan zona agroekologi, layak secara sosial jika komoditas tersebut memberikan peluang berusaha, dapat dilakukan dan diterima oleh masyarakat setempat sehingga berdampak pada penyerapan tenaga kerja. Sedangkan layak secara ekonomi artinya komoditas tersebut menguntungkan. Teori basis ekonomi economic base theory mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Kegiatan ekonomi dikelompokkan atas kegiatan basis dan kegiatan nonbasis. Hanya kegiatan basis yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah Tarigan, 2005. Komoditi unggulan diharapkan dapat menjadi basis ekonomi sehingga dapat menjadi penggerak perekonomian daerah. Sektor ekonomi suatu wilayah dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu sektor basis dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Artinya industri basis ini akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayahdaerah. Sedangkan sektor non basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di daerahnya sendiri, dan kapasitas ekspor ekonomi daerah belum berkembang.

2.9. Revitalisasi Pengembangan Ekonomi Lokal PEL

Pengembangan ekonomi lokal PEL adalah usaha untuk mengoptimalkan sumberdaya lokal yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, masyarakat lokal dan organisasi masyarakat madani untuk mengembangkan ekonomi pada suatu wilayah tertentu. Tujuan PEL adalah untuk mengembangkan ekonomi suatu wilayah yang berkelanjutan dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal guna mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah, peningkatan kesejahteraan masyarakat, pengurangan kesenjangan antar kelompok masyarakat, antar sektor dan antar wilayah. PEL mulai berkembang di negara-negara maju baik di Amerika Serikat maupun Eropa sejak tahun 1960, dimana dalam perkembangannya PEL telah mengalami 3 tahapan besar atau gelombang pengembangan. Menurut Wolfe and Creutzberg 2003 dalam Bappenas 2006, ketiga gelombang tersebut adalah pertama , pendekatan tradisional traditional approach; kedua, pengembangan kapasitas; dan ketiga, fokus pada kualitas kehidupan dan aliran informasi. Pendekatan tradisional terutama memfokuskan pada upaya menarik perusahaan-perusahaan individual melalui input produksi yang murah, infrastruktur yang bersbubsidi, penurunan subsidi langsung atau penurunan pajak. Dengan berbagai insentif tersebut diharapkan berbagai perusahaan individual akan menempatkan perusahaannya di lokasi-lokasi tertentu serta mampu menggerakkkan perkembangan ekonomi lokal di lokasi-lokasi tersebut. Pendekatan pengembangan kapasitas capacity building approach mencoba mengembangkan infratruktur pendidikan dan teknologi dalam membangun basis pengetahuan yang diperlukan dalam menumbuhkembangkan kemampuan kompetitif dalam merespon perubahan lingkungan ekonomi. Beberapa instrumen yang digunakan dalam pendekatan ini antara lain difokuskan pada upaya penutupan kesenjangan di pasar modal; modernisasi perusahaan kecil dan menengah; percepatan transfer teknologi dari perguruan tiggi ke dunia industri; dan peningkatan kemampuan skill pekerja dan manajemen. Pendekatan ketiga menekankan pada peran penting dari kualitas infrastruktur fisik, sosial dan pengetahuan dalam sebuah wilayah atau lokalitas tertentu. Terwujudnya kualitas kehidupan yang baik serta lancarnya akses dan arus informasi di suatu lokasi akan mampu menjadi penggerak utama dalam proses pengembangan ekonomi lokal. Di Indonesia, banyak program dan kegiatan yang berlabel pengembangan ekonomi lokal PEL telah, sedang, dan akan dilaksanakan. Program–program tersebut yang pada umumnya menggunakan pendekatan pemberdayaan 34 masyarakat community development, dimulai sejak digulirkannya program Inpres Desa Tertinggal IDT pada tahun 1994. Selanjutnya diikuti oleh program- program yang lain diantaranya: Program Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah P2MPD, Program Pengembangan Kecamatan PPK, Pengembangan Prasarana Perdesaan P2D, Kemitraan dan Pengembangan Ekonomi Lokal KPEL, Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir PEMP dan Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil P4K serta Agropolitan. Namun sebagian besar program-program tersebut belum secara substansial mengembangkan ekonomi lokal. Titik berat program lebih banyak diarahkan pada pemberdayaan masyarakat dan masih bersifat proyek, serta bersifat top down dari pemerintah pusat. Pada umumnya program-proram tersebut tidak berkelanjutan sustainable setelah masa proyek berakhir. Oleh karenanya pada tahun 2006 dilakukan program revitalisasi pengembangan ekonomi lokal yaitu upaya meningkatkan fungsi pengembangan ekonomi lokal dan upaya menggerakkan kembali kekuatan ekonomi masyarakat lokal sebagai basis pengembangan perekonomian wilayah secara terukur, terencana dan berkelanjutan. Terdapat beberapa konsep yang menjadi dasar bagi revitalisasi PEL, salah satunya adalah konsep Porter’s Diamond dari Michael Porter. Namun konsep tersebut mempunyai kelemahan mendasar yaitu tidak ada aspek lokasi maupun ruang spatial. Padahal dalam ekonomi wilayah, faktor ini merupakan syarat keharusan sehingga jika tidak ada, konsep tersebut relatif sama dengan konsep ekonomi pada umumnya yang tidak memperhatikan ruang spaceless world. Berbeda dengan konsep Porter’s Diamond, konsep Heksagonal PEL yang dikembangkan oleh Jorg Meyer Stamer 2004 telah memasukkan aspek ruang dalam model PEL-nya Bappenas, 2006. Heksagonal PEL merupakan alat analisis yang dapat digunakan untuk menggambarkan dan mengukur kondisi PEL di suatu wilayah. Wilayah yang dimaksud dapat berupa wilayah administratif ataupun wilayahkawasan pengembangan usahakomoditi unggulan tertentu, termasuk kawasan agropolitan. Berdasarkan hasil pemetaan tersebut kemudian dilakukan analisis terhadap komponen heksagonal PEL yang berperan sebagai faktor pengungkit leverage factor , yaitu faktor yang berpengaruh besar terhadap pengembangan PEL. Berdasarkan nilai faktor pengungkit tersebut selanjutnya disusun strategi pengembangan PEL. Komponen PEL terdiri dari 6 unsur yang disebut dengan heksagonal. Terdapat enam segitiga yang secara keseluruhan membentuk heksagonal, yang berfungsi mengorganisasikan konsep utama dan instrumen PEL. Heksagonal dapat membantu praktisi dan stakeholder untuk memahami kompleksitas PEL serta mempertimbangkan trade off dan kemungkinan konflik yang ada dalam PEL. Heksagonal PEL terdiri dari : 1. Kelompok sasaran PEL Kelompok sasaran PEL dibedakan atas tiga pelaku usaha yaitu pelaku usaha lokal, investor luar dan pelaku usaha baru. 2. Faktor lokasi Faktor lokasi menggambarkan daya tarik dari sebuah lokasi bagi penyelenggaraan kegiatan usaha. Terdiri dari faktor lokasi terukur tangible factor , faktor lokasi tidak terukur intangible factor bagi pelaku usaha dan faktor lokasi tidak terukur intangible factor bagi individu. 3. Kesinergian dan fokus kebijakan Tiga hal yang saling berkaitan dalam kebijakan PEL adalah perluasan ekonomi, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan komunitas, serta pembangunan wilayah. Ketiga hal tersebut memiliki tujuan yang berbeda namun saling berhubungan dan membentuk keterkaitan. 4. Pembangunan berkelanjutan Tiga faktor penentu pembangunan berkelanjutan terdiri dari pembangunan ekonomi, lingkungan dan sosial. Aspek ini merupakan bagian dari pendekatan PEL yang inovatif. 5. Tata kepemerintahan Segitiga dalam ketatapemerintahan memastikan bahwa hubungan pelaku usaha masyarakat dibangun atas berlangsungnya reformasi sektor publik dan pengembangan organisasi pelaku usaha. 6. Proses manajemen PEL merupakan proses yang berkesinambungan yang terdiri dari diagnosa dan perencanaan, implementasi dan monitoring serta evaluasi, patok duga benchmark dan refleksi. Keseluruhan komponen PEL dalam heksagonal tersebut bertujuan untuk mengembangkan ekonomi wilayah secara berkelanjutan Gambar 2. Gambar 2 Heksagonal PEL Untuk keperluan operasionalisasi konsep heksagonal PEL sebagai alat analisis selanjutnya diturunkan dalam bentuk indikator PEL Lampiran 9. Indikator ini kemudian dijadikan dasar untuk menyusun kuesioner evaluasi mandiri self assessment.

2.10. Penelitian Terdahulu