Partisipasi Masyarakat dalam Kawasan Agropolitan

lereng dan sebagainya. Hal ini dapat berdampak terjadinya lahan-lahan kritis dan rawan longsor sehingga dalam jangka panjang dapat menurunkan kualitas lingkungan.

7.3. Partisipasi Masyarakat dalam Kawasan Agropolitan

Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan dilakukan sebagai perwujudan dari tanggapan masyarakat atas masalah yang ada dalam masyarakat serta dilaksanakan dengan cara-cara yang dapat diterima oleh masyarakat tersebut. Dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam pembangunan berarti memberikan tanggungjawab kepada masyarakat untuk merumuskan masalah- masalah yang ada di masyarakat, memobilisir sumberdaya setempat dan mengembangkan kelompok organisasi masyarakat setempat. Dampak positif dari proses partisipasi ini antara lain adalah bahwa masyarakat dapat mengerti permasalahan yang muncul serta memahami keputusan akhir yang diambil. Selanjutnya partisipasi masyarakat menurut Cofen dan Uphoff 1977 dalam Harahap 2001 adalah keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan keputusan tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana, keterlibatan dalam pelaksanaan program dan keputusan dalam kontribusi sumberdaya atau bekerjasama dalam organisasi atau kegiatan khusus, berbagi manfaat dari program dan keterlibatan dalam evaluasi program. Berdasarkan definisi diatas, maka partisipasi yang diharapkan dalam pembangunan adalah partisipasi yang interaktif dan mobilisasi swakarsa atau partisipasi dalam bentuk kemitraan, pendelegasian kekuasaan dan pengawasan oleh masyarakat. Peran serta atau partisipasi masyarakat dalam menunjang program agropolitan diwujudkan baik secara individu maupun kelompok. Secara individu, masyarakat dalam hal ini petani berpartisipasi dengan turut terlibat dalam setiap kegiatan yang terkait dengan program dan melaksanakan penerapkan teknologi tepat guna dan penggunaan bibit unggul dalam usahatani sehingga terjadi peningkatan produktivitas. Secara kelembagaan, melalui gabungan kelompok tani atau gapoktan adalah terjadinya pertukaran informasi antar sesama kelompok tani tentang usaha tani dan informasi harga. Namun fakta dilapang terlihat bahwa tujuan pembentukan kelembagaan dalam hal ini kelompok tani masih terbatas 102 pada aspek produksi melalui penerapan teknologi produksi dan masih kurang memberikan perhatian pada aspek penangananan pasca panen dan pemasaran. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Saptana,et all 2004 yang mengemukakan bahwa kelembagaan dibentuk lebih untuk tujuan distribusi bantuan dan memudahkan tugas kontrol dari pelaksana program dan kurang memperhatikan aspek pemberdayaan petani dan pelaku agribisnis lain. Kelembagaan ekonomi lokal yang ada dalam mayarakat seperti KUD belum banyak berperan karena masih sebatas sebagai penyedia sarana input produksi belum menangani masalah pasca panen dan pemasaran hasil. Berdasarkan hasil analisis tingkat partisipasi di kawasan agropolitan diperoleh bahwa total skor untuk aspek komunikasi adalah 80,9 aspek pengetahuan masyarakat terhadap forum pengambilan keputusan dan kontrol terhadap kebijakan publik masing-masing adalah sebesar 74,8 dan 78,6. Selanjutnya dengan membandingkan total skor dengan partisipasi arnstein diperoleh bahwa skor penilaian untuk masing-masing aspek adalah 3 tiga untuk aspek komunikasi, 2 dua untuk aspek pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan dan 3 tiga untuk aspek kontrol terhadap kebijakan publik. Adapun total skor untuk keseluruhan aspek adalah 8 delapan. Tabel 37 Hasil Analisis Derajat Partisipasi di Kawasan Agropolitan No Aspek Variabel Total Skor 1. Komunikasi • Informasi • Forum pengambilan keputusan • Jumlah orang yang berpartisipasi • Intervensi yang dilakukan aparat 80,9 2. Pengetahuan masyarakat terhadap forum pengambilan keputusan • Konsep partisipasi • Tingkat kepuasan • Prosedur untuk berpartisipasi • Tingkat partisipasi dalam kelompok 74,8 3. Kontrol terhadap kebijakan publik • Akses terhadap forum perencanaan • Kriritk atas mekanisme forum perencanaan • Keterlibatan masyarakat dalam implementasi proyek 78,6 Sumber : Data primer, hasil olahan 2007. Hasil analisis dengan menggunakan derajat partisipasi Arnstein, menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat di Kecamatan Randangan sebagai kawasan agropolitan berada pada tingkat konsultasi, ini dapat dilihat pada Tabel 38. Berdasarkan hasil analisis dan jawaban dari responden terlihat bahwa 66,6 responden mengetahui adanya program agropolitan yang dilaksanakan. Dari segi komunikasi terlihat bahwa program-program dalam lingkup desa pada dasarnya sudah melalui diskusi baik kelompok tani maupun dalam forum desa. Meskipun demikian intervensi dari pemerintah masih terlihat cukup dominan. Hal ini direpresentasikan dengan 83.3 responden yang mengemukakan bahwa masyarakat masih melakukan apa yang diinstruksikan oleh pemerintah baik melalui penyuluh pertanian maupun melalui petugas tingkat kecamatan. Dimana kegiatan masyarakat harus disesuaikan dengan program-program yang dijalankan oleh pemerintah. Keadaan SDM yang masih sangat rendah baik pendidikan dan keahlian membuat hal ini dimungkinkan terjadi. Jadi meskipun terjadi komunikasi, namun masih bersifat satu arah. Karena pada hakekatnya agar program dapat tersosialisasi sampai pada masyarakat maka cara yang digunakan adalah disampaikan melalui kelompok tani atau melalui pertemuan desa dalam penyuluhan. Tabel 38 Derajat Partisipasi Menurut Arnstein di Kawasan Agropolitan Nilai Faktor Derajat Partisipasi A B C Indeks Kelompok Pengawasan Masyarakat 4 4 4 12 Pendelegasian Kekuasaan 4 3-4 3 10-11 PartnershipKemitraan 4 3 2-3 9-10 Tingkat Otoritas Masyarakat Peredaman Kemarahan 4 2-3 2 8-9 Konsultasi 3-4 2 2 7-8 Menyampaikan informasi 2-3 1-2 1-2 7-8 Tingkat Tokenisme Terapi 2 1 1 4 Manipulasi 1 1 1 3 Non Partisipasi Sumber : Data primer, hasil olahan 2007 Dari segi pengetahuan masyarakat terhadap pengambilan keputusan masyarakat tidak mengerti dan tidak pernah terlibat didalamnya. Yang diketahui masyarakat adalah bahwa kebijakan yang sudah ada harus mendapat dukungan masyarakat dengan keterlibatan mereka dalam setiap program yang ditawarkan. Keadaan ini disebabkan karena program agropolitan memang merupakan program pemerintah pusat. Kurangnya sosialisasi program pada waktu proses perencanaan menyebabkan kondisi ini terjadi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Satuan Kerja Pengembangan Prasarana dan Sarana Desa Agropolitan 2005 yang mengemukakan bahwa masyarakat dilibatkan hanya secara prosedural, seperti pelibatan masyarakat karena status sebagai kepala dusun atau sebagai tokoh masyarakat. Pelibatan dalam artian bahwa program kegiatan sudah sesuai dengan apa yang diperlukan oleh masyarakat masih belum berjalan dengan baik. Pelibatan LSM dalam peranan memediasi dan mengadvokasi semua kebutuhan dan responsibitilas masyarakat dalam kawasan agropolitan juga sangat rendah. Hal ini sebagai akibat kurangnya pemahaman dari pokja mengenai peran LSM sebagai media kontrol yang cukup efektif terhadap pelaksanaan dan monitoring serta evaluasi dalam pengembangan kawasan agropolitan. Seperti LSM “Pedas” Pohuwato, hanya dilibatkan dalam sosialisasi saja selanjutnya tidak lagi. Peranan kelompok swadaya masyarakat ini penting dalam kaitannya dengan keberlanjutan dari program ini. Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan esensi dari perencanaan partisipatif yang terkandung dalam desentralisasi otonomi daerah dimana masyarakat seharusnya lebih diberdayakan melalui keterlibatannya dalam pembangunan. Selanjutnya dari segi kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik melalui wadah kelompok tani, masyarakat bisa melakukan kritik terhadap program yang tidak sesuai dengan kondisi dan keadaan eksisting dalam masyarakat meskipun itu hanya sebagai bahan informasi karena sering tidak mendapat respon yang positif. Menurut Ahmad 2004, partisipasi berada pada tingkat konsultatif dapat disebabkan karena kekakuan kelembagaan institutional regidities didalam forum perencanaan, dimana pengalaman-pengalaman masa lalu menyebabkan organsisasi yang ada mengalami kekakuan atau kelembaman inertia dalam merespon perubahan yang ada. Perubahan konsep atau paradigma perencanaan yang lebih partisipatif tidak serta merta membuat organisasi yang ada baik organisasi pemerintah maupun organisasi non pemerintah menjalankan 105 konsep partisipasi tersebut secara benar. Kekakuan kelembagaan menyebabkan organisasi yang ada menjalankan kebiasaan yang ada dalam arti tidak mengalami perubahan. Hal ini mengindikasikan bahwa proses musrembang belum benar - benar efektif berjalan masih sebatas sebagai ritual belaka. Hal ini sejalan dengan penelitian Riyanto 2003, yang mengemukakan bahwa paradigma partisipasi yang ada ternyata belum didukung oleh praksis yang memadai bahkan cenderung bertentangan dengan dirinya sendiri. Dengan kata lain, upaya pemerintah daerah untuk membuka diri ternyata tidak diikuti oleh sebuah pemberlakuan mekanisme yang baik, atau terkesan setengah hati dan malahan menciptakan sebuah program kegiatan yang bertentangan dengan prinsip paradigmanya sendiri; hasilnya adalah sebuah bentuk konsultasi yang tidak genuine dan belum partisipatif. Program agropolitan merupakan program yang bersifat top down karena program ini merupakan program dari pusat yang ditujukan untuk mengatasi masalah disparitas pembanguan perdesaan dan perkotaan. Dalam era otonomi daerah program ini selanjutnya di delegasikan kepada pemerintah daerah untuk dilaksanakan untuk memacu perkembangan daerah perdesaan. Namun sangat disayangkan dalam pelaksanaannya di daerah sifat ini masih terus melekat, dimana keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan masih sangat kurang diakomodasi. Perencanaan partisipatif yang menjadi inti dari desentralisasi terkesan hanya sekedar untuk mencukupi syarat keharusan saja. Seperti yang terjadi di Kabupaten Pohuwato, intervensi pemerintah masih sangat besar sehingga keterlibatan masyarakat hanya terbatas dalam pelaksanaan kegiatan. Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan merupakan merupakan keikutsertaan dan kerjasama yang erat antara perencana dan masyarakat di dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah tercapai. Tinggi rendahnya partisipasi masyarakat tidak hanya diukur dari kemauan masyarakat untuk menanggung biaya pembagunan tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat untuk menentukan arah dan tujuan program pembangunan serta kemauan masyarakat untuk secara mandiri melestarikan dan mengembangkan hasil program pembangunan. Sebagai bentuk kegiatan, partisipasi masyarakat dalam program pembangunan mencakup partisipasi dalam perencanaan kegiatan, pembuatan keputusan pelaksanaan kegiatan, pemantauan dan evaluasi kegiatan serta pemanfaatan hasil pembangunan. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat sangat berperan dalam keberhasilan dan keberlanjutan proyek pembangunan. Karenanya seharusnya pemerintah sebagai perencana dan pembuat kebijakan dalam pembangunan melibatkan masyarakat dalam setiap kebijakan yang ada melalui keterlibatan mereka dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

VIII. STRATEGI PENGEMBANGAN EKONOMI DI KAWASAN AGROPOLITAN

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya berdasarkan data-data kuantitatif yang ada diketahui bahwa sejak program agropolitan basis jagung yang dilaksanakan di Kabupaten Pohuwato telah memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap peningkatan pendapatan petani dan perekonomian wilayah. Hal ini terlihat di tingkat mikro terjadi peningkatan pendapatan petani jagung karena hadirnya berbagai fasilitas penunjang dalam kegiatan agribisnis dan di tingkat makro terjadi pergeseran struktur perekonomian dari sektor sektor primer ke sektor sekunder dan tersier. Namun permasalahan yang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah adalah belum maksimalnya keterlibatan masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan dan masih rendahnya daya saing wilayah yang ditunjukkan oleh masih rendahnya kinerja dari masing-masing sektor unggulan yang ada di Kabupaten Pohuwato dibandingkan dengan total wilayah yaitu Provinsi Gorontalo. Rendahnya daya saing wilayah dapat menyebabkan lambatnya perkembangan ekonomi lokal wilayah Kabupaten Pohuwato. Oleh karenanya untuk memperbaiki keadaan atau kondisi tersebut perlu diketahui faktor-faktor yang menjadi penyebabnya sehingga dapat dirumuskan strategi pengembangannya.

8.1. Analisis Kondisi dan Status Pengembangan Ekonomi Lokal di Kabupaten Pohuwato

Untuk mengetahui apakah pengembangan agropolitan di Kabupaten Pohuwato dapat mendorong pengembangan ekonomi lokal, maka harus diketahui kondisi dan status pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pohuwato. Dan untuk mengetahui status dan kondisi pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pohuwato, dilakukan analisis terhadap enam komponen atau unsur yang disebut sebagai Heksagonal PEL yaitu : kelompok sasaran PEL, faktor lokasi, kesinergian dan fokus kebijakan, pembangunan berkelanjutan, tata pemerintahan dan proses manajemen. Keseluruhan komponen PEL dalam Heksagonal tersebut bertujuan untuk mengembangkan ekonomi wilayah secara berkelanjutan. Dengan mengetahui faktor-faktor pengungkit dari masing-masing aspek dalam pengembangan ekonomi lokal maka dapat diidentifikasi strategi untuk