Dampak Agropolitan terhadap Pendapatan Masyarakat Petani

7.1.2. Aspek Sosial

Dari aspek sosial yang berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan masyarakat petani, terlihat bahwa sebagian besar petani dikawasan agropolitan memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Responden petani dalam penelitian memiliki tingkat pendidikan yang bervariasi yaitu 23,33 petani memiliki tingkat pendidikan setara SMA sedangkan sisanya 43,33 setara SMP dan 33,33 SD. Disamping itu, SDM dibidang pertanian yang ada selama ini bekerja belum berdasarkan pengetahuan dan kemampuan teknis yang memadai, tetapi hanya berdasarkan pengalaman yang diperoleh secara inkremental. Keadaan in sangat berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan, termasuk dalam kegiatan agropolitan.

7.1.3. Aspek Budaya

Budaya juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat. Dalam hal ini berkenaan dengan kebiasaan dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Nilai solidaritas sosial, kekeluargaan, kebersamaan dan kegotong royongan diantara warga masih melekat dalam masyarakat tani kawasan agropolitan. Budaya gotong-royong dalam masyarakat Gorontalo dikenal dengan sebutan huyula . Di bidang pertanian budaya ini terlihat dari penyiapan lahan hingga panen yang dilakukan secara gotong-royong. Begitu pula untuk kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan, hajatan maupun tertimpa musibah, masyarakat secara bersama-sama membantu mereka yang mempunyai hajatan atau tertimpa musibah.

7.2. Dampak Agropolitan terhadap Pendapatan Masyarakat Petani

Pengembangan kawasan agropolitan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat petani. Untuk mengetahui dampak pengembangan agropolitan terhadap pendapatan petani dilakukan dengan membandingkan pendapatan usahatani di kawasan agropolitan dan non agropolitan. Kawasan non- agropolitan yang diambil yaitu di Kecamatan Taluditi yang merupakan daerah hinterland -nya yang berada dalam satu kabupaten yang sama yaitu kabupaten Pohuwato. Dalam analisis ini akan dilihat apakah pembangunan infrastruktur yang dilakukan dikawasan agropolitan berdampak terhadap peningkatan pendapatan petani. Hasil analisis usahatani pada wilayah sampel menunjukkan terdapat kecenderungan rata-rata tingkat pendapatan petani per hektar per tahun di kawasan agropolitan lebih tinggi di bandingkan dengan kawasan non agropolitan. Rata-rata tingkat pendapatan petani di kawasan agropolitan sebesar Rp.10.080.016,- ha per tahun, sedangkan rata-rata tingkat pendapatan petani di kawasan non agropolitan sebesar Rp. 5.506.966,- ha per tahun. Hal ini berarti bahwa pembangunan infrastruktur agropolitan antara lain dengan pembangunan jalan dan pasar di kawasan agropolitan mempunyai efek yang berarti terhadap rata-rata peningkatan pendapatan petani. Lebih jauh hasil uji beda rata-rata dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 34 Hasil Analisis Uji t Perbandingan Pendapatan Kawasan Agropolitan dan Non Agropolitan Uraian N Mean Standar Deviasi Standar Error Agropolitan Non agropolitan 30 30 10080017 5506967 1727609 1000130 315417 182598 T –value T – tabel 12,55 2,045 Sumber : Hasil Olahan Data Primer 2007 Pada Tabel 34 diketahui bahwa hasil uji statistik t – test pada taraf nyata 95 memiliki pengaruh yang signifikan antara rata-rata pendapatan petani di kawasan agropolitan dan rata-rata pendapatan petani di kawasan non agropolitan. Dimana hasil perhitungan nilai statistik t hitung 12,55 lebih besar dari nilai statistik tabel 2,045. Hal ini disebabkan karena infratruktur di Kecamatan Randangan sebagai desa pusat pertumbuhan DPP lebih baik dibandingkan di Kecamatan Taluditi sebagai daerah belakang. Dengan adanya program agropolitan yang diwujudkan melalui pembangunan sarana dan prasarana jalan dan pemasaran sangat membantu petani dalam pendapatkan sarana produksi berupa bibit pupuk dan pestisida. Pembangunan jalan usaha tani di desa-desa kawasan agropolitan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, dimana dapat dilihat bahwa masyarakat dapat memasarkan produksi pertanian langsung di lahan pertanian dikebun sehingga mengurangi atau meminimalisasi ongkos produksi petani. Dalam hal ini biaya transportasi menjadi tanggungan dari pedagang. Hal ini tidak terjadi di desa non agropolitan, tidak tersedianya fasilitas jalan usaha tani di Kecamatan Taluditi menyebabkan tingginya biaya produksi di tingkat petani karena biaya transportasi dibebankan kepada petani. Hal ini menyebabkan share dari petani keuntungan petani yang menjadi pendapatan petani menjadi kecil. Di desa non agropolitan transaksi atau penjualan hasil panen tidak dilakukan di lahanlapang tetapi harus dilakukan digudang, di rumah pedagang perantara atau di jalan desa yang dapat dijangkau oleh transportasi. Biaya pengangkutan dari kebun ke tempat transaksi menjadi beban petani. Petani harus mengeluarkan biaya pengangkutan yang tinggi karena tidak tersedianya jalan akses ke pasar dari lokasi produksi. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa petani di desa non agropolitan harus mengeluarkan biaya pengangkutan rata-rata Rp.1.728.667,- per hektar per tahun untuk mengangkut hasil panen. Tabel 35 Luas Lahan, Produksi dan Produktivitas Jagung di Kecamatan Randangan Tahun Luas Lahan Ha Produksi Ton Produktivitas TonHa 2002 3.717 8.803 2,37 2003 6.517 29.326 4,50 2004 8.418 37.881 4,50 2005 10.263 51.109 5,00 Sumber : - Kecamatan Randangan dalam Angka - Dinas Pertanian Pelaksanaan penyuluhan pertanian, pembangunan infrastruktur pemasaran dan transportasi signifikan meningkatkan pendapatan petani. Secara hipotetik faktor yang mempengaruhi pendapatan petani diantaranya adalah meningkatnya produktivitas, menurunnya biaya usaha tani diantaranya biaya transportasi dan meningkatnya harga jual komoditi pertanian. Penyuluhan pertanian yang dilaksanakan sangat membantu petani dalam transfer teknologi sehingga terjadi peningkatan produktivitas dan hasil produksi. Ini sangat berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan petani karena sebelum agropolitan produksi jagung hanya mencapai 1 - 2 ton per hektar namun setelah program agropolitan terjadi peningkatan produksi sebesar 5-6 ton per hektar. Hal ini disebabkan karena petani mulai menerapkan teknologi dengan menggunakan bibit unggul dan pemupukan dalam produksi. Tersedianya infrastruktur transportasi dan pemasaran yang memadai menyebabkan petani dapat menekan biaya produksi. Di kawasan agropolitan dengan dibangunnya jalan usaha tani sampai ke sentra-sentra produksi hamparankebun, memudahkan pengangkutan hasil panen petani dan menekan biaya transportasi. Fakta dilapangan juga terlihat bahwa rata-rata harga komoditi jagung di kawasan agropolitan relatif lebih tinggi dari rata-rata harga komoditi jagung di kawasan non agropolitan. Jika dilihat dari sumber pendapatan petani responden kawasan agropolitan dan non agropolitan terlihat bahwa pendapatan dari pertanian merupakan sumber pendapatan terbesar dan 50 persen lebih sumber pendapatan petani responden berasal dari usahatani jagung. Hal ini mengindikasikan bahwa pengembangan infrastruktur agropolitan sangat berpengaruh terhadap tingkat pendapatan masyarakat petani di kawasan agropolitan. Tabel 36 Sumber Pendapatan Utama Masyarakat Petani Kawasan Agropolitan dan Non Agropolitan Sumber Pendapatan Randangan RpTahun Taluditi RpTahun A. On Farm • Jagung • Kelapa • Kakao B. Off Farm • Upah pertanian dan non pertanian C. Non Farm • Warung • Transportasi musiman 151.200.250 22.537.500 30.600.000 35.500.000 63,04 9,40 12,76 14,80 82.604.500 42.000.000 25.200.000 6.000.000 53,22 26,67 16,24 3,87 Jumlah 239.837.750 100 155.204.500 100 Sumber : Hasil olahan data primer, 2007 Jika dibandingkan dengan penelitian terdahulu tentang evaluasi agropolitan terlihat bahwa pengembangan agropolitan di Kabupaten Pohuwato relatif lebih baik. Hal ini disebabkan karena adanya komitmen yang kuat dari Pemerintah Daerah untuk mengembangkan ekonomi wilayahnya melalui program agropolitan dengan menerapkan berbagai instrumen misalnya dengan aa kebijakan intervensi harga dari pemerintah. Namun demikian meskipun terjadi peningkatan pendapatan petani, namun terdapat beberapa permasalahan dalam pengembangan agropolitan di Kecamatan Randangan. Pertama, kemampuan permodalan petani yang masih terbatas sehingga penggunaan pupuk masih belum sesuai dengan dosis. Petani masih melaksanakan budidaya sesuai dengan kemampuan modal yang ada. Program agropolitan belum dapat meningkatkan akses petani terhadap permodalan. Petani masih menggunakan modal sendiri atau meminjam kepada pedagang pengumpultengkulak. Peran perbankan sebagai sarana penunjang pengembangan agribisnis belum terlihat, karena belum tersedianya skim kredit untuk pertanian dan petani masih enggan untuk meminjam di bank karena prosedur yang berbelit dan memerlukan agunan. Permasalahan kedua adalah sistem pemasaran yang masih dikuasai oleh tengkulak atau pedagang pengumpul. Petani di kawasan agropolitan cenderung lebih memilih pedagang pengumpul untuk menjual hasil produksinya karena untuk menekan biaya transportasi. Dengan terbukanya jalan usaha tani, pedagang dapat mengambil hasil produksi langsung di hamparan petanikebun sehingga ongkos transportasi menjadi beban dari pedagang. Disatu sisi keberadaan pedagang pengumpul membantu petani dalam aspek penyediaan modal namun di sisi yang lain keberadaan pedagang pengumpultengkulak menyebabkan petani hanya sebagai penerima harga price taker karena harga komoditi ditentukan oleh pedagang. Ketiga adalah belum berfungsinya kelembagaan petani dalam proses pemasaran hasil, sehingga petani masih menjual hasil produksinya secara personal. Hal ini menyebabkan petani tidak mempunyai kemampuan dalam menegosiasikan harga dengan pedagang. Keberadaan KUD, kelompok tani dan gabungan kelompok tani gapoktan masih terbatas pada penyediaan saprodi dan aspek produksi belum menyentuh aspek pengolahan hasil dan pemasaran. Padahal jika kelembagaan petani berfungsi sampai pada pemasaran maka petani akan mempunyai bargaining position yang kuat dalam menentukan harga. Faktor, tuntutan kebutuhan hidup yang mendesak merupakan alasan kenapa petani langsung menjual hasil produksi secara perorangan ke pedagang pengumpul. Selanjutnya masalah keempat adalah masih belum berkembangnya industri pengolahan hasil di kawasan agropolitan. Industri pengolahan baik skala kecil rumah tangga maupun skala besar belum berkembang di kawasan agropolitan. Salah satu faktor penyebabnya adalah masalah teknologi pengolahan yang masih terbatas. Sebenarnya di kawasan agropolitan sudah mulai diupayakan pengembangan industri rumah tangga oleh BPPT dengan pembuatan dodol jagung. Namun pemasaran dari dodol jagung masih sangat terbatas karena masalah kualitas dimana dodol jagung hanya bisa bertahan sampai 1 minggu sehingga belum bisa mencapai pasar yang luas dan hanya berproduksi jika ada pesanan. Industri pengolahan skala sedang dan besar juga belum berkembang di kawasan agropolitan, sehingga belum dapat menyerap tenaga kerja diluar sektor pertanian. Padahal keberadaan industri pengolahan ini akan sangat berpengaruh terhadap multiplier effect, karena selain dapat mengatasi masalah tenaga kerja juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat diluar sektor pertanian. Selanjutnya masalah yang tidak kalah pentingnya dikawasan agropolitan adalah masalah kurangnya koordinasi antara berbagai instansi yang terkait dalam pelaksanaan pengembangan agropolitan dan masalah degradasi lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari masih belum berfungsinya terminal Randangan yang dibangun oleh dinas Kimpraswil sebagai salah satu sarana penunjang agropolitan. Belum dimanfaatkannya terminal ini mencerminkan belum adanya koordinasi yang baik antar instansi dalam perencanaan dan pelaksanaaan proses pembangunan. Disamping itu, target pemerintah yang besar disektor pertanian menyebabkan sektor ini digalakkan terus. Petani diintroduksi untuk meningkatkan hasil produksi, keadaan ini lambat laun akan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan karena lahan tidak pernah diistirahatkan. Disamping itu harga komoditi jagung yang mulai merangkak naik menyebabkan petani bergairah menanam jagung tanpa memperhatikan kelayakan dari struktur tanah, kemiringan lereng dan sebagainya. Hal ini dapat berdampak terjadinya lahan-lahan kritis dan rawan longsor sehingga dalam jangka panjang dapat menurunkan kualitas lingkungan.

7.3. Partisipasi Masyarakat dalam Kawasan Agropolitan