daya saing secara kompetitif dan komparatif dari usahaternak sapi perah di KUNAK, KPS Bogor semakin meningkat, hal ini terlihat dari semakin kecilnya
nilai DRC dan PCR.
5.2.1. Analisis Sensitivitas pada Kondisi Tarif Impor diturunkan Lima
Persen menjadi Nol Persen
Penghapusan tarif impor, seperti yang terjadi pada tahun 2009 yang bertahan selama kurang lebih tiga bulan, menyebabkan tingkat keuntungan yang
diterima peternak baik dari sisi privat maupun sisi ekonomi mengalami penurunan. Selain itu tingkat daya saing usahaternak sapi perah juga menurun.
Banyak peternak yang merasa dirugikan karena harga jual susu mereka semakin menurun. Hal ini juga dialami oleh para peternak di KUNAK, KPS Bogor dimana
harga jual susu mereka berkisar antara Rp. 2800 hingga Rp. 2900 per liter susu. Dampak penghapusan tarif impor sebesar lima persen dirasakan juga di
KUNAK, KPS Bogor. Penghapusan tarif impor tersebut menyebabkan berkurangnya nilai keuntungan privat dari Rp. 435,62 menjadi Rp. 285,62 per liter
susu pada usahaternak skala kecil, pada usahaternak skala menegah terjadi penurunan dari Rp. 674,29 menjadi Rp. 374,04 per liter susu, dan pada
usahaternak skala besar pada kondisi tarif impor nol persen peternak mengalami kerugian hingga Rp. 97,51 per liter susu. Selain menurunnya nilai keuntungan
privat, keuntungan sosial peternak juga mengalami penurunan walaupun harga jual susu impor mengalami penurunan sebesar Rp. 197,35 per liter susu.
Selain berkurangnya nilai keuntungan privat ataupun sosial, dampak lain dari adanya penghapusan tarif impor susu adalah berkurangnya daya saing
usahaternak sapi perah lokal. Hal ini terjadi pada usahaternak pada ketiga skala usaha di KUNAK, KPS Bogor. Penghapusan tarif impor menurunkan keunggulan
kompetitif yang ditandai dengan semakin tingginya nilai PCR. Pada usaha ternak skala kecil dan skala menengah, nilai PCR kurang dari satu yaitu 0,89 dan 0,85
walaupun pada kondisi tarif impor sebesar nol persen. Hal ini berarti pada usahaternak skala kecil dan menengah tersebut masih memiliki keunggulan
kompetitif. Namun, pada usahaternak skala besar, nilai PCR mencapai 1,04 yang berarti bahwa usahaternak tersebut tidak efisien secara finansial dan tidak
memiliki keunggulan kompetitif. Hal ini disebabkan oleh rendahnya harga susu yang diterima oleh peternak, sedangkan alokasi biaya input yang dikeluarkan oleh
peternak besar. Selain penurunan tingkat keunggulan kompetitif, penghapusan tarif impor juga berdampak pada penurunan keunggulan komparatif. Penurunan
tingkat keunggulan komparatif ditandai dengan semakin tingginya nilai DRC. Ketiga skala usahaternak sapi perah di KUNAK, KPS Bogor tetap memiliki
keunggulan komparatif meskipun diberlakukan tarif impor sebesar nol persen. Nilai DRC yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan dengan nilai PCR
mengindikasikan bahwa pengaruh intervensi pemerintah atau distorsi pasar tidak memberikan insentif yang baik bagi para peternak sehingga keuntungan privat
yang dihasilkan menjadi lebih rendah dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh tanpa adanya intervensi dari pemerintah. Intervensi pemerintah baik
pada input maupun distorsi pada pasar output cenderung merugikan peternak. Distorsi pada pasar output terjadi karena kecenderunagn IPS untuk lebih
menggunakan produk susu impor walaupun harga susu impor relatif lebih mahal dibandingkan dengan harga jual susu lokal.
5.2.2. Analisis Sensitivitas pada Saat Tarif Impor Ditetapkan 15 Persen