Keunggulan Komparatif Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah

keunggulan kompetitif lebih besar adalah usahaternak skala menengah dengan kepemilikan sapi laktasi empat hingga tujuh ekor.

5.1.2. Keunggulan Komparatif

Keunggulan komparatif adalah indikator untuk menilai apakah komoditi susu segar yang diusahakan di KUNAK, KPS Bogor memiliki daya saing keunggulan komparatif, mampu bertahan tanpa adanya bantuan dari pemerintah, dan memiliki peluang yang besar sebagai produk subtitusi impor. Analisis keunggulan komparatif dari suatu komoditas ditentukan oleh nilai Keuntungan Sosial KS atau Social Profitability SP dan nilai Biaya Sumberdaya Domestik atau Domestic Resource Cost Ratio DRC. Nilai DRC menunjukkan indikator kemampuan suatu sistem komoditi membiayai faktor domestik pada biaya sosial dan menunjukkan penggunaan sumber daya domestik dalam menghasilkan devisa. Keuntungan Sosial KS menunjukkan besarnya penerimaan yang diterima oleh para peternak setelah membayar seluruh biaya input produksi pada kondisi pasar persaingan sempurna, dimana tidak ada campur tangan pemerintah. Nilai KS pada usahaternak skala kecil, menengah dan besar secara berturut-turut adalah Rp. 1.685,76, Rp. 1.790,72, dan Rp. 1.607,90 per liter susu. Nilai KS yang bernilai positif, lebih besar dari nol 0, pada ketiga skala usaha menunjukkan bahwa pengusahaan usahaternak sapi perah dalam memproduksi susu segar pada ketiga skala usaha tersebut dapat menghasilkan keuntungan secara ekonomi dengan kondisi tanpa adanya campur tangan dari pemerintah. Perbedaan nilai KS pada setiap skala usaha disebabkan karena adanya perbedaan biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing peternak, misalnya penggunaan pakan hijauan, konsentrat, dan obat-obatan serta tingkat upah yang diberikan untuk masing- masing tenaga kerja. Nilai keuntungan sosial KS dalam usahaternak sapi perah memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan nilai Keuntungan Privat KP pada ketiga skala usaha tersebut. Hal ini dikarenakan harga sosial dari susu segar nilainya lebih tinggi yaitu Rp. 3946,97 dibandingkan dengan harga privatnya yaitu sekitar Rp. 3.000 per liter susu. Artinya, pengusahaan sapi perah lebih menguntungkan saat tidak ada intervensi dari pemerintah baik terhadap input ataupun output. Kebijakan pemerintah yang diterapkan saat ini seperti kebijakan harga impor tarif impor belum dapat mengoptimalkan keuntungan yang diterima oleh peternak dalam hal pengusahaan ternak sapi perah. Selain itu, biaya aktual tenaga kerja yang dibayarkan lebih tinggi dibandingkan dengan harga sosialnya menyebabkan keuntungan sosial lebih tinggi dibandingkan dengan keuntungan privat yang diterima oleh peternak. Selain nilai keuntungan ekonomi, nilai dari Rasio Sumberdaya Domestik DRC juga dapat menggambarkan keunggulan komparatif usahaternak sapi perah dalam menghasilkan komoditi susu segar. Suatu usaha dikatakan efisien secara ekonomi apabila memiliki nilai DRC yang kurang dari satu 1. Untuk ketiga skala usahaternak sapi perah di KUNAK, KPS Bogor memiliki nilai DRC yang kurang dari satu, yaitu untuk usahaternak skala kecil nilai DRC sebesar 0,56, skala menengah sebesar 0,53, dan untuk skala besar yaitu 0,57. Nilai DRC yang masing-masing kurang dari satu pada ketiga usahaternak menunjukkan bahwa pengusahaan sapi perah di KUNAK, KPS Bogor efisien secara ekonomi dan mempunyai keunggulan komparatif serta mampu berjalan tanpa adanya intervensi dari pemerintah. Usahaternak skala menegah memiliki nilai DRC paling kecil dibandingkan dengan usahaternak skala kecil maupun skala besar. Nilai DRC dari usahaternak skala menengah yaitu 0,53, artinya untuk memproduksi atau menghemat satu unit nilai tambah output pada usahaternak skala kecil membutuhkan biaya sumberdaya domestik lebih kecil dari satu satuan yang dinilai pada harga sosial, yaitu sebesar 0.53. Nilai DRC pada skala usaha menengah hanya berselisih 0,03 dari usahaternak skala kecil, sedangkan untuk usahaternak skala besar nilai DRC mencapai 0,57, yang berarti biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi atau menghemat satu nilai tambah output pada usahaternak skala besar membutuhkan biaya yang lebih besar, walaupun nilai DRC tetap kurang dari satu. Berdasarkan analisis PAM, nilai DRC yang kurang dari satu dapat menjelaskan bahwa pemenuhan kebutuhan domestik akan komoditi susu segar lebih baik diproduksi dalam negeri karena biaya produksi susu segar dalam negeri relatif lebih murah dibandingkan dengan mengimpor susu bubuk dari luar negeri dengan biaya yang jauh lebih tinggi. Akan tetapi pada kenyataannya produksi susu dalam negeri hanya dapat memenuhi 30 persen dari total kebutuhan susu nasional. Oleh karena itu perlu adanya intervensi dari pemerintah untuk membantu pengembangan dan pengusahaan usahaternak sapi perah untuk meningkatkan kapasitas produksi susu, misalnya dengan cara pemberian kredit kepada peternak dengan bunga yang rendah, selain itu harus ada perbaikan dari sistem hulu hingga hilir dari agribisnis persusuan ini. Nilai DRC yang lebih kecil dibandingkan dengan nilai PCR DRCPCR menunjukkan bahwa tidak ada kebijakan dari pemerintah yang dapat meningkatkan efisiensi peternak dalam memproduksi susu sapi segar. Penurunan efisiensi produksi terjadi ketika pemerintah menghapus subsidi untuk pakan ternak dan obat-obatan pada tahun 2000. Selain itu adanya penghapusan tarif susu impor juga berpengaruh terhadap tingkat efisiensi peternak dalam memproduksi susu segar. Walaupun sejak 1 Juli 2009 tarif impor susu telah kembali dinaikkan menjadi lima persen, namun efisiensi dari pengusahaan ternak sapi perah belum juga maksimal. Banyak peternak yang tidak tahu mengenai kenaikan tarif impor tersebut, sehingga banyak peternak yang kurang bergairah untuk mengembangkan usahaternaknya karena mereka berpikir bahwa dengan kondisi tarif impor susu sebesar nol persen maka harga jual susu mereka ke koperasi akan semakin rendah. Selain itu harga pakan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, hal ini juga menjadi salah satu penyebab kurang efisiennya produksi susu para peternak. Seluruh kebijakan-kebijakan tersebut mengakibatkan pengusahaan sapi perah mengalami penurunan tingkat efisiensi jika dibandingkan apabila pemerintah tidak menghapus subsidi untuk pakan ternak maupun obat-obatan dan menghapus tarif impor.

5.1.3. Dampak Kebijakan Pemerintah