Analisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap usaha peternakan sapi perah (Studi Kasus : Peternak Anggota Koperasi Produksi Susu dan Usaha Peternakan Bogor KUNAK, Jawa Barat)

(1)

Usaha Peternakan Bogor KUNAK, Jawa Barat)

OLEH

RETNO KHAIRUNNISA H14070068

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

RINGKASAN

RETNO KHAIRUNNISA. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Usaha Peternakan Sapi Perah (Studi Kasus : Peternak Anggota Koperasi Produksi Susu dan Usaha Peternakan Bogor KUNAK, Jawa Barat) (dibimbing oleh ARIEF DARYANTO)

Permintaan yang tinggi terhadap komoditi susu tidak dapat direspon dengan baik oleh para produsen susu. Jumlah produksi susu dalam negeri saat ini hanya 30 persen yang dapat memenuhi permintaan konsumen, sedangkan 70 persen sisanya harus diimpor dari luar negeri. Industri Pengolahan Susu (IPS) dalam negeri cenderung lebih memilih untuk melakukan impor susu dibanding membeli susu segar yang dihasilkan oleh para peternak. Hal ini menyebabkan melemahnya daya saing usahaternak sapi perah. Kebijakan pemerintah tentang penerapan bea masuk impor sebesar lima persen belum dirasa efektif untuk melindungi dan meningkatkan daya saing usahaternak sapi perah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat daya saing usahaternak sapi perah dari sisi tingkat keuntungan, keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif, serta mengetahui dampak kebijakan pemerintah seperti penerapan tarif impor terhadap daya saing usahaternak tersebut.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer meliputi jumlah produksi, biaya produksi, total penerimaan usaha peternakan sapi perah anggota peternak KPS Bogor KUNAK yang didapatkan dari hasil pengamatan, pengisisan kuisioner dan wawancara secara langsung kepada pihak peternak dan pihak-pihak terkait lainnya seperti penjual susu, pegawai atau pengurus KPS Bogor dan KPS Bogor KUNAK. Data sekunder yang digunakan adalah data input output fisik usaha sapi perah, harga finansial dan ekonomi input output usaha sapi perah, struktur ongkos usaha sapi perah dan data pendukung lainnya yang diperoleh melalui fasilitas internet. Data sekunder yang digunakan pada penelitian ini adalah data yang berasal dari beberapa instansi yang terkait dengan objek penelitian seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jendral Peternakan, Gabungan Koperasi Susu (GKSI), dan studi pustaka melalui pengumpulan data yang berasal dari literatur dan buku-buku. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dan kuatitatif dengan alat analisis Policy Analysis Matrix (PAM). Sampel dari penelitian ini adalah para anggota peternak di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) KPS Bogor.

Hasil analisis PAM menunjukkan bahwa usahaternak sapi perah di KUNAK memiliki daya saing yang baik, baik dari segi tingkat keuntungan, keunggulan kompetitif maupun keunggulan komparatif di tingkat privat maupun di tingkat sosial. Hal ini ditandai dengan nilai keuntungan privat dan keuntungan sosial yang lebih besar dari nol pada ketiga skala usaha. Selain itu pada ketiga skala usaha tersebut, nilai PCR dan DRC yang dihasilkan lebih kecil dari satu. Hal


(3)

Terdapat dua skenario yang digunakan dalam analisis sensitivitas ini, yaitu (1). Penghapusan tarif impor susu sebesar lima persen, (2). Penetapan tarif impor susu sebesar 15 persen. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa penghapusan tarif impor akan menurunkan tingkat keuntungan baik pada tingkat privat maupun tingkat sosial. Selain itu penghapusan tarif impor susu berdampak pada penurunan tingkat daya saing usahaternak sapi perah yang ditandai oleh semakin besarnya nilai PCR dan DRC. Peningkatan tarif impor akan berpengaruh positif terhadap daya saing usahaternak sapi perah, yaitu akan meningkatkan nilai keuntungan peternak dan meningkatkan nilai keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif.

Berdasarkan hasil penelitian, maka disarankan bagi para peternak sebaiknya meningkatkan usahaternaknya baik dari segi kualitas maupun kuantitas sehingga dapat meningkatkan nilai pendapatan peternak, misalnya melalui diversifikasi produk yang dihasilkan. Bagi pemerintah disarankan untuk melakukan peninjauan ulang terhadap penetapan tarif impor susu sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan daya saing usahaternak sapi perah, misalnya dengan menetapkan tarif impor susu sebesar 15 persen atau 20 persen. Selain itu perlu adanya peninjauan kembali mengenai bantuan kredit kepada peternak dan subsidi pakan dan obat-obatan. Hal lain yang harus menjadi aspek penting adalah perlu adanya penerapan kebijakan penyerapan seluruh Susu Segar Dalam Negeri (SSDN) bagi IPS unuk meningkatkan kesejahteraan peternak lokal.


(4)

ANALISIS DAYA SAING

DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP

USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH

(Studi Kasus : Peternak Anggota Koperasi Produksi Susu dan

Usaha Peternakan Bogor KUNAK, Jawa Barat)

Oleh

RETNO KHAIRUNNISA H14070068

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(5)

BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Juni 2011

Retno Khairunnisa H14070068


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Retno Khairunnisa, dilahirkan di Jakarta pada tanggal 22 Januari 1990. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Bapak Tohar Jumali, SE. MM dan Ibu Ni Wayan Rusmiati. Penulis menjalani pendidikan di bangku sekolah dasar dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2001di SDN Duren Seribu 04, Depok. Selanjutnya meneruskan ke pendidikan lanjutan tingkat pertama dari tahun 2001 sampai tahun 2004 di SMP Negeri 4 Bogor. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan menengah umum di SMA Negeri 2 Bogor dan lulus pada tahun 2007.

Pada tahun 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) kemudian terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) pada Program Studi Ilmu Ekonomi dan mengambil minor Manajemen Fungsional. Selama menjadi mahasiswa, penulis mencoba mengaktualisasi diri bergabung dengan HIPOTESA (Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan) sebagai staff divisi pada Divisi Informasi, Promosi dan Hubungan Internal dan organisasi IMEPI (Ikatan Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Indonesia) sebagai anggota. Selain itu, penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan seperti HIPOTEX-R 2009, Latihan Kepemimpinan dan Organisasi (LKO) IMEPI Jabagbar 2010, Economic Work (E-work) 2010, Olimpiade Mahasiswa IPB tahun 2008 dan 2009, dan kegiatan kepanitiaan lainnya.

Tahun 2011 penulis melakukan penelitian dengan judul “Analisis Daya

Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Usaha Peternakan Sapi Perah (Studi Kasus : Peternak Anggota Koperasi Produksi Susu dan Usaha Peternakan

Bogor KUNAK, Jawa Barat)” untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi.


(7)

atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Daya Saing dan Dampak

Kebijakan Pemerintah Terhadap Usaha Peternakan Sapi Perah (Studi Kasus : Peternak Anggota Koperasi Produksi Susu dan Usaha Peternakan Bogor

KUNAK, Jawa Barat)”. Usahaternak sapi perah merupakan salah satu prioritas utama subsektor peternakan dalam menunjang pembangunan nasional. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini. Disamping hal tersebut, skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan dan dukungan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik, khususnya kepada:

1. Dr.Ir.Arief Daryanto, M.Ec selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis, teoritis maupun moril dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. 2. Ibu Tanti Novianti, M.Si sebagai dosen penguji utama dan Ibu Widyastutik,

M.Si selaku dosen penguji dari komisi pendidikan atas segala masukan, kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan skripsi penulis.

3. Para dosen, staf, dan seluruh civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi FEM-IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi.

4. Kedua Orangtua tercinta Papa Tohar Jumali, SE. MM. dan Mama Ni Wayan Rusmiati dan adikku tersayang Fitrianty Rahmadhania serta segenap keluarga besar, yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, motivasi, dukungan baik moril maupun materil serta doa bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(8)

5. Teman-teman seperjuangan satu bimbingan Nhimas Antyan Banumasyta, Fitriani Sucianti, dan Ika Mustika atas semangat, motivasi, doa, dan perjuangan yang luar biasa ini.

6. Sahabat-sahabatku di Ilmu Ekonomi 44: Michelle, Ajeng , Icca, Hesti, Sari, Reni, Opie, Ainur, Amboii, Ranin, dan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu, atas bantuan, semangat dan doa bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Teman-teman Rempati Kost : Tami, Dede, Ima, Sherly, Hanum, dan Mba Arta atas bantuan dan dukungannya serta semangat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. HIPOTESA dan INTEL 2010 atas semangat dan motivasinya yang luar biasa. 9. Seluruh anggota peternak KPS Bogor KUNAK, pengurus KPS Bogor, Staff Direktorat Jenderal Peternakan RI dan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, Bapak Saptana (PSEKP), Anggun Eka, dan Mbak Andin yang telah membantu penulis memperoleh data dan telah memberikan pengetahuan dan informasi sehingga penulis dapat meyelesaikan skripsi ini. 10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini

namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam menyusun skripsi ini masih terdapat kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Juni 2011

Retno Khairunnisa H14070068


(9)

ABSTRAK

Permintaan yang tinggi terhadap komoditi susu tidak dapat direspon dengan baik oleh para produsen susu. Jumlah produksi susu dalam negeri saat ini hanya 30 persen yang dapat memenuhi permintaan konsumen, sedangkan 70 persen sisanya harus diimpor dari luar negeri. Industri Pengolahan Susu (IPS) dalam negeri cenderung lebih memilih untuk melakukan impor susu dibanding membeli susu segar yang dihasilkan oleh para peternak. Hal ini menyebabkan melemahnya daya saing usahaternak sapi perah. Kebijakan pemerintah tentang penerapan bea masuk impor sebesar lima persen belum dirasa efektif untuk melindungi dan meningkatkan daya saing usahaternak sapi perah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat daya saing usahaternak sapi perah dari sisi tingkat keuntungan, keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif, serta mengetahui dampak kebijakan pemerintah seperti penerapan tarif impor terhadap daya saing usahaternak tersebut. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dan kuatitatif dengan alat analisis Policy Analysis Matrix (PAM). Sampel dari penelitian ini adalah para anggota peternak di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) KPS Bogor. Hasil analisis menunjukkan bahwa usahaternak sapi perah di KUNAK memiliki daya saing yang baik,baik dari segi tingkat keuntungan, keunggulan kompetitif maupun keunggulan komparatif, dan peningkatan tarif impor akan berpengaruh positif terhadap daya saing usahaternak sapi perah.

Kata Kunci: Usahaternak Sapi Perah, Daya Saing, Koperasi, Policy Analiysis Matriks (PAM)


(10)

Analysis of Competitiveness and Business Impact of Government Policies to Dairy Farm

(Case Study: Farmers Cooperative Dairy and Livestock Members Production KUNAK Bogor, West Java)

ABSTRACT

The high demand for dairy commodities can not respond properly by the milk producers. The number of domestic milk production is currently only 30 percent that can meet consumer demand, while the remaining 70 percent must be imported from abroad. Milk Processing Industry (IPS) in the country tend to choose to import milk than to buy fresh milk produced by farmers. This causes weakening of the competitiveness of dairy cows. Government policy regarding the application of import duty of five percent is not considered effective to protect and enhance the competitiveness of dairy cows. This study aims to determine the level of competitiveness of dairy cows in terms of profitability, competitive advantage and comparative advantage, and to determine the impact of government policies such as import tariffs on the competitiveness of livestock enterprises. The method of analysis used in this study is descriptive and quantitative analysis tools with the Policy Analysis Matrix (PAM). Samples from this study are members of the farmers in the area of Livestock (Kunak) KPS Bogor. The analysis showed that the business of dairy cows in Kunak have a good competitiveness, both in terms of profit, competitive advantage and comparative advantage, and increase in import tariffs will be positively associated with the competitiveness of dairy cows.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 13

1.4. Manfaat Penelitian ... 13

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Usahaternak Sapi Perah ... 15

2.2. Produksi Susu ... 16

2.3. Konsep Daya Saing ... 17

2.4. Teori Keunggulan Kompetitif ... 18

2.5. Keunggulan Komparatif ... 18

2.6. Kebijakan Pemerintah ... 20

2.6.1. Kebijakan Pemerintah pada Harga Output ... 22

2.6.2. Kebijakan Pemerintah pada Harga Input ... 25

2.7. Penentuan Harga Bayangan ... 28

2.8. Analisis Sensitivitas ... 29

2.9. Teori Matriks Kebijakan ... 29

2.10. Penelitian Terdahulu ... 32

2.11. Kerangka Pemikiran Operasional ... 35

III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 39

3.2. Jenis dan Sumber Data ... 39

3.3. Metode Penentuan Sampel ... 40

3.4. Metode Analisis Data ... 41

3.4.1. Menentukan Input dan Output ... 41

3.4.2. Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing ... 42

3.4.3. Alokasi Biaya Produksi ... 42

3.4.4. Alokasi Biaya Tataniaga ... 43

3.4.5. Metode Analisis Harga Bayangan ... 43

3.4.5.1. Harga Bayangan Nilai Tukar ... 44

3.4.5.2. Harga Bayangan Output ... 45

3.4.5.3. Harga Bayangan Input ... 46

1) Harga Bayangan Pakan Ternak ... 46

2) Harga Bayangan Obat-obatan ... 47

3) Harga Bayangan Tenaga Kerja ... 47

4) Harga Bayangan Lahan ... 48


(12)

6) Harga Bayangan Tataniaga ... 49

3.5. Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix) ... 49

IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Gambaran Umum Desa ... 57

4.1.1. Gambaran Umum Desa Situ Udik ... 57

4.1.2. Gambaran Umum Desa Pasarean ... 59

4.1.3. Gambaran Umum Desa Pamijahan ... 60

4.2. Gambaran Umum KPS Bogor dan KUNAK ... 63

4.2.1. Lokasi ... 63

4.2.2. Struktur Organisasi KPS Bogor ... 64

4.2.3. Unit Usaha Koperasi ... 66

4.3. Gambaran Umum Responden ... 67

4.3.1. Status Usahaternak Sapi Perah. ... 68

4.3.2. Umur ... 68

4.3.3. Pendidikan ... 69

4.3.4. Jenis dan Jumlah Kepemiikan Sapi Laktasi ... 69

4.3.5. Pemeliharaan Ternak dan Pemberian Pakan ... 70

4.3.6. Tenaga Kerja ... 72

4.3.7. Produksi dan Penjualan Hasil Ternak ... 72

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah ... 74

5.1.1. Keunggulan Kompetitif ... 78

5.1.2. Keunggulan Komparatif ... 81

5.1.3. Dampak Kebijakan Pemerintah ... 84

5.1.3.1. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input ... 86

5.1.3.2. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Output ... 90

5.1.3.3. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input-Output ... 93

5.2. Analisis Sensitivitas ... 97

5.2.1. Analisis Sensitivitas pada Kondisi Tarif Impor diturunkan Lima Persen menjadi Nol Persen... 99

5.2.2. Analisis Sensitivitas pada Saat Tarif Impor Ditetapkan 15 Persen. 101 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 104

6.2. Saran ... 106

DAFTAR PUSTAKA ... 109


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1. Populasi Sapi Perah Tahun 2004-2009 (ekor) ... 2

Tabel 1.2. Jumlah Produksi Susu Indonesia Tahun 2004-2010... 5

Tabel 1.3. Volume Impor Susu di Indonesia dari tahun 2004-2009 ... 9

Tabel 2.1. Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditas ... 22

Tabel 2.2. Tabel Analisis matriks Kebijakan ... 31

Tabel 4.1. Penduduk Desa Situ Udik Menurut Mata Pencaharian ... 58

Tabel 4.2. Jumlah Populasi Ternak Desa Situ Udik ... 58

Tabel 4.3. Penduduk Desa Pasarean Menurut Tingkat Pendidikan ... 60

Tabel 4.4. Penduduk Desa Pasarean Menurut Mata Pencaharian ... 60

Tabel 4.5. Penduduk Desa Pamijahan Menurut Mata Pencaharian ... 62

Tabel 4.6. Penduduk Desa Pamijahan Menurut Tingkat Pendidikan ... 62

Tabel 4.7. Karateristik Responden Berdasarkan Umur ... 68

Tabel 4.8. Karateristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 69

Tabel 4.9. Karateristik Responden Berdasarkan Jumlah Kepemilikan Sapi Laktasi ... 70

Tabel 5.1. Matriks Analisis Kebijakan Pengusahaan Susu Sapi Perah di KUNAK pada Kondisi Tarif Impor Lima Persen Tahun 2010 (Rp/Liter) ... 75

Tabel 5.2. Indikator-indikator dari Matriks Analisis Kebijakan ... 78

Tabel 5.3. Indikator-indikator dari Matriks Analisis Kebijakan Pada Kondisi Tarif Impor Nol Persen, Lima Persen, dan 15 Persen ... 98


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1.1. Nilai Share PDB Subsektor Peternakan terhadap Nasional

Tahun 2009 ... 1

Gambar 1.2. Perkembangan Produksi Produk Ternak Jawa Barat Tahun 2005-2009 (Ton) ... 6

Gambar 2.1. Subsidi dan Pajak pada Input Tradable ... 25

Gambar 2.2. Pajak dan Subsidi pada Input Non Tradable ... 27

Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran Operasional ... 38


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Alokasi Input-Output Tahun 2000 ... 112

Lampiran 2. Alokasi Budget Privat dan Sosial Usahaternak Skala Kecil, Menengah dan Besar ... 113

Lampiran 3. Penentuan Harga Bayangan Nilai Tukar ... 114

Lampiran 4. Penentuan Harga Bayangan Komoditi Susu ... 115

Lampiran 5. Penentuan Harga Bayangan Obat-obatan ... 116

Lampiran 6. Penentuan Harga Bayangan Pakan Ternak ... 116

Lampiran 7. Tabel PAM untuk Kondisi Tarif Impor Nol Persen ... 117

Lampiran 8. Tabel PAM untuk Kondisi Tarif Impor Lima Persen ... 117


(16)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bidang peternakan sebagai subsektor dari pertanian merupakan bidang usaha yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Hal ini terkait dengan kesiapan subsektor peternakan dalam hal penyediaan bahan pangan hewani untuk masyarakat. Dewasa ini pentingnya pembangunan pertanian khususnya subsektor peternakan telah dirasakan dalam menunjang pembangunan Nasional secara menyeluruh. Berdasarkan data Ditjennak (2010), nilai share Produk Domestik Bruto (PDB) subsektor peternakan terhadap Nasional atas dasar harga berlaku pada tahun 2009 adalah sebesar 1,8 persen.

Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan, Statistik Peternakan (2010)

Gambar 1.1 Nilai Share PDB Subsektor Peternakan terhadap Nasional Tahun 2009

15%

7% 3%

2% 2%

1% 70%

Nilai Share PDB Subsektor Peternakan terhadap Nasional Tahun 2009

(Atas Dasar Harga Berlaku)

Pertanian Bahan Makanan Perikanan Perkebunan Peternakan Kehutanan Nasional


(17)

Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan produksi menuju swasembada, memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan serta meratakan taraf hidup rakyat. Terdapat enam sasaran pokok yang diharapkan dalam pembangunan subsektor peternakan, yaitu meningkatkan pendapatan, memperluas lapangan kerja, menunjang program konservasi tanah, menghemat devisa negara, meningkatkan produktivitas dan turut serta dalam program peningkatan gizi masyarakat. Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan peternakan untuk memenuhi kebutuhan gizi maka pembangunan peternakan saat ini telah diarahkan pada pengembangan peternakan yang lebih maju melalui pendekatan kewilayahan, penggunaan teknologi tepat guna dan penerapan landasan baru yaitu efisiensi, produktivitas dan berkelanjutan (sustainability). Untuk mencapai tujuan tersebut, prioritas utama pada subsektor peternakan adalah pada pengembangan usaha ternak sapi perah.

Berdasarkan data populasi sapi perah per provinsi tahun 2004 sampai 2009 jumlah populasi sapi perah tertinggi terdapat di pulau Jawa. Total populasi sapi perah di pulau Jawa pada tahun 2004 sampai 2009 adalah sebanyak 2.413.059 ekor.

Tabel 1.1 Populasi Sapi Perah Tahun 2004-2009 (ekor)

No. Provinsi Populasi Sapi Perah

2004 2005 2006 2007 2008 2009

1 Jawa Timur 132.789 134.043 136.497 139.277 212.322 221.743

2 Jawa Tengah 112.155 114.116 115.158 116.260 118.424 120.677

3 Jawa Barat 98.958 92.770 97.367 103.489 111.250 117.337

4 DI Yogyakarta 7.772 8.212 7.231 5.811 5.652 5.495

5 DKI Jakarta 3.407 3.347 3.343 3.685 3.355 2.920

Jumlah/total

(Indonesia) 364.062 361.351 369.008 374.067 457.577 474.701


(18)

Usaha sapi perah yang dikembangkan untuk memenuhi permintaan susu yang semakin meningkat dari tahun ke tahun dan juga melihat perkembangan pertambahan jumlah penduduk, pendapatan dan meningkatnya kesadaran sebagian masyarakat akan pentingnya gizi. Oleh karena itu subsektor peternakan semakin dituntut untuk berperan serta dalam rangka pemenuhan kebutuhan gizi dengan meningkatkan produksi melalui proses pengembangan budidaya. Usahaternak sapi perah merupakan bisnis yang prospektif dan dapat memberikan kesejahteraan kepada peternak jika dikelola dengan baik, seperti pemberian pakan ternak dengan kualitas yang baik sehingga susu yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik dan harga jual yang tinggi.

Saat ini produksi susu di dalam negeri baru memenuhi 30 persen dari kebutuhan konsumsi nasional, sedangkan 70 persen masih harus diimpor. Rendahnya produksi susu secara nasional terjadi karena rendahnya produktivitas sapi perah yang ada di Indonesia. Berdasarkan data Direktorat Jendral Peternakan 2010, total ketersediaan susu pada tahun 2009 sebesar 2.204,6 ribu ton yang sudah termasuk di dalamnya berasal dari impor. Ketersediaan susu mengalami peningkatan sebesar 0,2 persen menjadi 9,53 kg/kapita/tahun dari 9,5 kg/kapita/tahun. Meskipun produksi susu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun akan tetapi belum bisa mengimbangi pertumbuhan permintaan susu didalam negeri. Total permintaan susu pada tahun 2009 adalah 2.684 ribu ton, dimana penyediaan dalam negeri baru mencapai sekitar 827,2 ribu ton. Hal ini menunjukkan antara persediaan dan permintaan susu di Indonesia terjadi


(19)

kesenjangan yang cukup besar. Kebutuhan atau permintaan akan susu jauh lebih besar daripada ketersediaan susu yang ada di dalam negeri.

Kekurangan produksi susu segar dalam negeri merupakan peluang yang besar bagi para peternak sapi perah untuk mengembangkan usahanya guna memenuhi permintaan dalam negeri dan untuk meningkatkan daya saing usaha peternakan sapi perah yang rendah. Rendahnya daya saing usaha ternak sapi perah terlihat pada hasil akhir atau output usaha peternakan yaitu susu. Harga susu dalam negeri tidak dapat merespon kenaikan harga susu di pasar internasional dengan baik. Pada tahun 2007, dimana harga susu dunia meningkat cukup tinggi, sehingga imbangan antara harga susu segar di dalam negeri terhadap harga susu impor setara susu segar bahkan hanya mencapai 42 persen (Priyanti dan Saptati, 2008). Selain itu rendahnya daya saing terjadi karena adanya disparitas harga susu segar yang relatif besar di tingkat IPS dan peternak yang disebabkan oleh posisi tawar menawar peternak dan koperasi yang rendah terhadap IPS. Selain itu banyak peternak yang belum mampu menghasilkan susu sesuai dengan kualitas yang diminta oleh IPS.

Untuk meningkatkan daya saing usaha ternak sapi perah, perlu dilakukan berbagai upaya seperti adanya peningkatan pengetahuan dan keterampilan peternak. Peningkatan daya saing dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya teknologi, produktivitas, harga dan biaya input, struktur industri serta kuantitas permintaan domestik dan ekspor. Dalam Siregar (2009), faktor pemicu daya saing dibedakan berdasarkan (1) faktor yang dapat dikendalikan oleh unit usaha, seperti strategi produk, teknologi, biaya riset dan pengembangan; (2) faktor


(20)

yang dapat dikendalikan oleh pemerintah, seperti lingkungan bisnis, kebijakan perdagangan, kebijakan riset dan pengembangan, serta pendidikan, pelatihan dan regulasi; (3) faktor yang semi terkendali, seperti kebijakan harga input dan kuantitas permintaan domestik; dan (4) faktor yang tidak dapat dikendalikan, seperti lingkungan alam (Malian et al. 2004).

Tabel 1.2 Jumlah Produksi Susu Indonesia Tahun 2004-2010

Tahun Produksi (000 Ton)

2004 549.90

2005 536.00

2006 616.50

2007 567.70

2008 647.00

2009 827.20

2010*) 927.80

Keterangan : *) angka sementara

Sumber : Direktorat Jendral Peternakan, Statistik Peternakan (2010)

Berdasarkan data pada Tabel 1.2, jumlah produksi susu nasional dari tahun 2002 hingga 2008 secara nasional mengalami flukuasi yang cukup signifikan dengan trend yang cenderung meningkat. Pada tahun 2009 jumlah produksi susu nasional sebanyak 827.20 ribu ton dan diperkirakan jumlah produksi susu nasional pada tahun 2010 akan mengalami peningkatan mencapai 927.80 ribu ton. Menurut Ditjennak (2010) pada tahun 2009 Jawa Barat merupakan salah satu penghasil susu terbesar ketiga setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Berdasarkan data publikasi Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (2009), jumlah populasi sapi perah di Jawa Barat pada tahun 2009 sebanyak 117.839 ekor. Untuk jumlah produksi susu di wilayah Provinsi Jawa Barat juga terus mengalami peningkatan dari tahun 2005 sampai tahun 2009. Pada tahun 2009 jumlah


(21)

produksi susu di Provinsi Jawa Barat mencapai 249.455.736 liter atau 256.440 ton.

Sumber : Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (2009)

Gambar 1.2 Perkembangan Produksi Produk Ternak Jawa Barat Tahun 2005-2009(Ton)

Di Indonesia, 90 persen peternak sapi perah yang tergabung dalam koperasi merupakan peternak rakyat dengan skala kepemilikan satu sampai sembilan ekor. Secara umum, koperasi berfungsi untuk menguatkan kelompok peternak dalam menghadapi pasar susu yang cenderung oligopoli. Selain menyediakan input dan menjamin pemasaran susu, koperasi juga menyediakan fasilitas-fasilitas pendukung seperti pemberian kredit, kawin suntik (IB), penyediaan pakan, dan lain-lain. KPS Bogor merupakan salah satu bentuk koperasi produksi susu yang terdapat di Bogor dan merupakan salah satu faktor yang dapat memicu peningkatan produktivitas susu sapi perah di Kabupaten Bogor. Pada tahun 1996, KPS Bogor melalui Kepres No. 069/B/Tahun 1994 tentang bantuan kredit Banpres untuk perkembangan usahaternak sapi perah mendirikan suatu Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) sapi perah di kawasan

0,000 100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000

2005 2006 2007 2008 2009

daging susu telur


(22)

Kabupaten Bogor. Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) terbagi di dalam enam kelompok ternak dan terbagi ke dalam dua kecamatan, yaitu kecamatan Cibungbulang dan kecamatan Pamijahan. Tujuan dari pendirian KUNAK adalah untuk mempermudah akses bagi para peternak kepada koperasi dan sebagai usaha merelokasi usaha ternak sapi perah untuk menyatukan lokasi peternakan dan mempermudah melakukan pembinaan terhadap peternak. Oleh karena itu Kecamatan Cibungbulang dan Kecamatan Pamijahan merupakan sentra penghasil susu yang potensial di Kabupaten Bogor.

1.2. Perumusan Masalah

Terdapat banyak kendala yang dihadapi oleh para peternak yang berada di Kawasan peternak (KUNAK) dalam rangka mengembangkan usahaternak sapi perah, diantaranya SDM perternak, masalah teknis, masalah permodalan, misalnya bunga bank mahal dan kelembagaan. Salah satu masalah SDM peternak yaitu masih rendahnya kemampuan peternak dalam hal kemampuan mengembangkan budidaya khususnya kesehatan ternak dan mutu bibit yang rendah. Hal ini sangat berpengaruh pada lambatnya laju pertumbuhan produksi susu dan berpengaruh juga terhadap kualitas susu yang dihasilkan. Masalah teknis yang biasa dihadapi oleh para peternak diantaranya masalah keterbatasan lahan hijau untuk pengusahaan ternak, masalah transportasi yang menyangkut tingginya biaya transportasi, dan masalah pengusahaan pakan bagi ternak mereka.

Selain permasalahan tersebut, masalah utama yang dirasa menghambat produksi dan berpengaruh terhadap tingkat pendapatan yang diterima peternak


(23)

adalah masalah ekonomis. Masalah ekonomis yang dihadapi peternak yaitu mahalnya harga pakan ternak konsentrat, yaitu mencapai Rp. 2.800 per kilogram. Peningkatan harga pakan ternak tidak diikuti oleh peningkatan harga susu. Harga susu yang diterima peternak dirasa sangat rendah, yaitu Rp. 2.800 per liter hingga Rp. 3.100 per liter.

Susu segar dari hasil produksi para peternak sapi perah pada umumnya dimanfaatkan oleh dua kelompok yaitu rumah tangga dan pabrik-pabrik pengolahan susu. Rumah tangga memanfaatkan susu untuk konsumsi secara langsung, sedangkan bagi pabrik-pabrik pengolahan susu dijadikan bahan baku produksi untuk diolah menjadi output tertentu. Para peternak yang berada di KUNAK melakukan berbagai inovasi sebagai upaya untuk tetap bertahan dalam mengembangkan usahaternak sapi perah. Mereka mengembangkan produk olahan seperti youghurt untuk dijual langsung kepada masyarakat, selain itu mereka juga menjual susu segar langsung kepada masyarakat dengan harga jual yang cukup tinggi, yaitu Rp. 5.000 per liter. Namun penjualan susu ke masyarakat juga mendapatkan berbagai kendala, diantaranya sulitnya mencari pangsa pasar untuk susu segar. Hal ini disebabkan karena jenis susu yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia adalah yang berbentuk hasil olahan. Preferensi masyarakat dalam mengkonsumsi susu olahan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap kualitas susu lokal, terbatasnya jangkauan dalam hal pemasaran susu segar, harga susu segar relatif lebih mahal dibandingkan susu olahan dan sifat susu olahan yang lebih praktis dan


(24)

tahan lama dibandingkan dengan susu segar yang bersifat mudah rusak dan tidak tahan lama (Simatupang et.al, 1998).

Berdasarkan data Ditjennak (2010), jumlah konsumsi susu masyarakat Indonesia adalah 8.90 kg/kapita/tahun dengan konsumsi tertinggi adalah susu kental manis, yaitu 6,28 kg/kapita/tahun, sedangkan untuk konsumsi susu segar hanya sekitar 0,04 kg/kapita/tahun. Tingginya jumlah konsumsi susu yang tidak diikuti oleh jumlah produksi susu dalam negeri menyebabkan perlu adanya intervensi dari pemerintah. Pemerintah melakukan intervensi dengan membuat kebijakan untuk melakukan impor komoditi susu dari luar negeri. Menurut Kementrian Pertanian, pada dasarnya ada dua klasifikasi utama jenis susu yang dapat diimpor, yaitu: (i) susu dan kepala susu (cream), tidak dipekatkan maupun tidak mengandung tambahan gula atau bahan pemanis lainnya dan; (ii) susu dan kepala susu, dipekatkan atau mengandung tambahan gula atau bahan pemanis lainnya. Sebagian besar Industri Pengolahan Susu (IPS) lebih memilih untuk impor susu dibandingkan susu yang dihasilkan oleh peternak dalam negeri. Saat ini IPS hanya akan membeli bila harga Susu Segar Dalam Negeri (SSDN) lebih murah dari harga bahan baku susu impor.

Tabel 1.3 Volume Impor Susu di Indonesia dari tahun 2004-2009

Tahun Volume Impor (000 Ton)

2004 165.41

2005 173.08

2006 188.13

2007 198.22

2008 180.93

2009 166.50


(25)

Intervensi pemerintah mengenai bea masuk bahan baku susu impor yang terdapat dalam peraturan menteri keuangan (PMK) Nomor 101/PMK.011/2009 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Atas Impor Produk-Produk Susu Tertentu. PMK tersebut dikeluarkan pada tanggal 28 Mei 2009. Dalam PMK ini dijelaskan bahwa dalam rangka mendukung pengembangan industri susu di dalam negeri perlu dilakukan perubahan tarif bea masuk (BM) atas impor produk-produk susu tertentu. Dengan demikian, PMK Nomor 19/2009 tertanggal 13 Februari 2009 yang menetapkan tarif impor produk susu nol persen tidak berlaku lagi. Dalam PMK Nomor 101/PMK.011/2009, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa tarif BM atas impor produk-produk susu tertentu sebesar lima persen yang meliputi produk susu mentega, susu dan kepala susu dikentalkan, yoghurt, kefir dan susu serta kepala susu diragi atau diasamkan lainnya dan yang dipekatkan atau tidak.

Dengan adanya intervensi pemerintah berupa peningkatan bea masuk impor terhadap produk susu dari nol persen menjadi lima persen disambut baik oleh para peternak sapi perah. Hal ini dikarenakan kebijakan tersebut dapat menjadikan daya saing industri susu dalam negeri menjadi meningkat dan dapat membantu industri susu dalam negeri khususnya peternak sapi. Namun hal ini masih dirasa dilematis, karena peningkatan tarif impor tersebut belum dirasakan sepenuhnya oleh para peternak sapi dan dirasa daya saing persusuan nasional ini belum mengalami peningkatan secara signifikan. Selain penerapan kebijakan tarif impor susu masalah lain yang dihadapi oleh para peternak sapi perah adalah adanya kebijakan pengurangan subsidi pakan ternak dan obat-obatan. Adanya


(26)

pengurangan subsidi pakan membuat harga pakan ternak yang diterima oleh para peternak dirasa mahal. Hal ini berdampak pada penurunan kualitas dari susu sapi yang dihasilkan dari usaha peternakan tersebut. Rendahnya kualitas tersebut dikarenakan peternak mengganti jenis pakan yang mereka gunakan dengan pakan yang harganya lebih murah dan kualitas yang lebih rendah dibanding pakan yang biasa mereka gunakan.

Permasalahan susu bukan hanya dalam hal kurangnya jumlah produksi dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, tetapi juga terdapat masalah lain seperti rendahnya posisi tawar menawar peternak. Para peternak sapi perah cenderung lebih menyukai menjual susu segar hasil perahan mereka langsung kepada masyarakat dibandingkan menjual susu mereka ke KPS. Hal ini dikarenakan harga jual susu segar kepada KPS lebih murah dibandingkan dengan harga jual kepada masyarakat sebesar Rp 5000,00 per liter. Menurut mereka penjualan susu segar kepada masyarakat atau konsumen secara langsung dirasa lebih menguntungkan. Selain itu pihak koperasi sering juga dirugikan oleh pihak IPS yang menuntut penurunan harga beli susu di tingkat peternak dan koperasi.

Pada tahun 2008 harga pembelian susu oleh IPS mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan adanya pemberlakuan penghapusan tarif impor susu untuk mengatasi tingginya harga susu ditingkat konsumen. Namun kebijakan tersebut berlawanan dengan peningkatan kesejahteraan produsen lokal. Hal ini diduga akan berpengaruh terhadap posisi tawar menawar peternak susu dan koperasi karena menyebabkan harga susu segar yang ditawarkan oleh peternak menjadi menurun atau lebih murah. Pajak impor susu pada level lima persen,


(27)

menyebabkan harga jual susu peternak semakin rendah, sehingga banyak peternak yang menghentikan usahanya karena harga tidak bisa menutupi biaya produksi. Dampak jangka panjang adalah meningkatnya jumlah pengangguran, kemampuan penciptaan nilai tambah berkurang, serta menurunnya kemampuan swasembada pangan. Selain itu pajak masuk impor susu di Indonesia menyebabkan dampak sistemik dalam hal penyediaan lapangan kerja dan penyediaan pangan di Indonesia. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis secara kuantitatif untunk mengetahui dampak pemberlakuan tarif impor susu sebesar lima persen terhadap daya saing komoditi susu lokal khususnya dan perlu adanya perumusan kebijakan untuk meningkatkan daya saing usaha peternakan sapi perah pada umumnya.

Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah daya saing usaha peternakan sapi perah anggota KPS Bogor KUNAK ditinjau dari segi keunggulan komparatif, keuggulan kompetitif dan dari segi keuntungan?

2. Bagaimanakah dampak kebijakan tarif impor susu terhadap daya saing usaha peternakan sapi perah anggota KPS Bogor KUNAK?


(28)

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Usaha Peternakan Sapi Perah adalah sebagai berikut :

1. Menganalisis daya saing usaha peternakan sapi perah anggota KPS Bogor KUNAK ditinjau dari segi keunggulan komparatif, keuggulan kompetitif dan dari segi keuntungan.

2. Menganalisis dampak kebijakan tarif impor susu terhadap daya saing usaha peternakan sapi perah anggota KPS Bogor KUNAK.

1.4. Manfaat Penelitian

Sesuai dengan latar belakang permasalahan dan tujuan penelitian ini, maka diharapkan penelitian ini berguna:

1. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan peternakan sapi perah

2. Bagi peternak dapat memperoleh informasi dan masukan dalam upaya peningkatan daya saing usaha peternakan sapi perah.

3. Bagi masyarakat, sebagai bahan informasi, sumbangan pemikiran dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan bagi penelitian lebih lanjut.


(29)

1.5. Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan untuk mengukur tingkat daya saing usaha peternakan sapi perah yang berada di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK). Kajian difokuskan pada usaha peternakan rakyat bukan kepada industri pengolahan susu. Adapun yang menjadi batasan kajian ini adalah sebagai berikut : 1. Penelitian ini difokuskan kepada para peternak yang berada di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Kabupaten Bogor yaitu di wilayah Kecamatan Cibungbulang dan Kecamatan Pamijahan khususnya di Desa Situ Udik, Desa Pasarean dan Desa Pamijahan.

2. Penelitian ini di fokuskan kepada enam kelompok peternak dan pengukuran daya saing koperasi dan komoditi susu hanya dilakukan pada level usahaternak.

3. Tahun yang menjadi objek penelitian adalah tahun 2010

4. Penelitian ini membagi para peternak kedalam tiga skala usaha berdasarkan kepemilikan jumlah sapi laktasi. Peternak yang memiliki sapi laktasi sebanyak satu hingga tiga ekor dikategorikan sebagai usahaternak skala kecil, kepemilikan sapi empat hingga tujuh ekor dikategorikan sebagai usaha ternak skala menengah, dan kepemilikan sapi lebih dari tujuh ekor dikategorikan sebagai usaha ternak skala besar.

5. Kebijakan yang menjadi fokus pada penelitian ini adalah Kebijakan Tarif Impor Susu sebesar lima persen.


(30)

15

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Usaha Ternak Sapi Perah

Usaha ternak sapi perah dibagi menjadi dua bentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 751/kpts/Um/10/1982 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Peningkatan Produksi Dalam Negeri. Pertama, peternakan sapi perah rakyat yaitu usaha ternak sapi perah yang diselenggarakan sebagai usaha sampingan yang memiliki sapi perah kurang dari 10 ekor sapi laktasi (dewasa) atau memiliki jumlah keseluruhan kurang dari 20 ekor sapi perah campuran. Kedua, perusahaan peternakan sapi perah, yaitu usaha ternak sapi perah untuk tujuan komersil dengan produksi utama susu sapi, yang memiliki lebih dari 10 ekor sapi laktasi (dewasa) atau memiliki jumlah keseluruhan lebih dari 20 ekor sapi perah campuran.

Menurut Ditjennak (2006), usahaternak sapi perah di Indonesia berdasarkan tipologinya dapat diklasifikasikan menjadi : (1) usaha ternak sebagai usaha sampingan, dengan tingkat pedapatan kurang dari 30 persen; (2) usaha ternak sebagai mix farming dengan tingkat pendapatan sebesar 30 samapai dengan 70 persen; dan (3) usahaternak sebagai usaha pokok dimana tingkat pendapatan petani dari usaha ini dapat menghidupi peternak secara layak.

Sistem peternakan sapi perah yang ada di Indonesia masih merupakan jenis peternakan rakyat yang hanya berskala kecil dan masih merujuk pada sistem pemeliharaan yang konvensional. Peternakan sapi perah rakyat kita umumnya memiliki kepemilikan ternak yang tidak terlalu tinggi. Peternak rakyat


(31)

kita hanya mampu memiliki rata-rata kurang dari lima ekor per keluarga peternak. Peternak ini umumnya membentuk kelompok-kelompok ternak untuk memudahkan dan membantu kelancaran dalam aktivitas usaha ternaknya, seperti penjualan susu, penyediaan konsentrat dan masuknya teknologi baru untuk diaplikasikan dalam kegiatan usaha.

Dalam Pratama (2010), usahaternak sapi perah berdasarkan pola pemeliharaannya diklasifikasikan kedalam tiga kelompok, yaitu kelompok peternak rakyat, peternak semi komersil, dan peternak komersil. Menurut Erwidodo (1998) menyatakan bahwa peternakan sapi perah di Indonesia umumnya merupakan usaha keluarga di pedesaan dalam usaha kecil, sedangkan usaha skala besar masih sangat terbatas dan umumnya merupakan usaha sapi perah yang baru tumbuh. Komposisi peternak sapi perah diperkirakan terdiri dari 80 persen peternak kecil dengan kepemilikan sapi perah kurang dari empat ekor, 17 persen peternak skala menengah dengan kepemilikan sapi perah empat sampai tujuh ekor. Hal itu menunjukkan bahwa sekitar 64 persen produksi susu nasional disumbangkan oleh usaha ternak sapi perah skala kecil, dan 28 pesen diproduksi oleh usaha ternak sapi perah skala menengah serta sisanya delapan persen dihasilkan oleh usaha ternak sapi perah skala besar (Swastika et,al. 2005).

2.2 Produksi Susu

Menurut Ditjennak (2006), susu adalah hasil pemerahan sapi atau hewan menyusui lainnya yang dapat dimakan atau dapat digunakan sebagai bahan makanan yang aman dan sehat serta tidak dikurangi komponen-komponennya atau ditambah bahan-bahan lain. Seekor sapi perah dewasa setelah melahirkan


(32)

anak akan mampu memproduksi air susu melalui kelenjar susu, yang secara anatomis disebut dengan ambing. Produksi air susu ini dimanfaatkan oleh manusia sebagai sumber bahan pangan dengan kadar protein yang tinggi.

Produksi susu adalah hasil produksi ternak betina berupa susu segar dalam waktu tertentu dan wilayah tertentu termasuk diberikan kepada anaknya, rusak, diperdagangkan, dikonsumsi dan diberikan kepada orang lain (Ditjennak, 2010). Kemampuan sapi perah dalam memproduksi susu ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu faktor genetik, lingkungan, dan pemberian pakan. Dalam Siregar (2009) faktor lingkungan yang mempengaruhi produksi susu diantaranya, umur, musim beranak, masa kering, masa kosong, besar sapi, manajemen pemeliharaan dan pakan. Jumlah pakan dan kualitas pakan yang diberikan kepada sapi haruslah yang berkualitas tinggi karena pakan merupakan salah satu faktor yang menentukan kemampuan berproduksi sapi perah. Apabila kualitas pakan rendah, maka jumlah pakan yang diberikan harus lebih banyak.

2.3 Konsep Daya Saing

Daya saing adalah kemampuan dari seseorang/organisasi/institusi untuk menunjukan keunggulan dalam hal tertentu, dengan cara memperlihatkan situasi dan kondisi yang paling menguntungkan, hasil kerja yang lebih baik, lebih cepat atau lebih bermakna dibandingkan dengan seseorang/organisasi/institusi lainnya, baik terhadap satu organisasi, Sebagian organisasi atau keseluruhan organisasi dalam suatu industri. Daya saing identik dengan produktivitas (output/input) berupa sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya kapital dalam


(33)

penggunaanya secara efisien (Porter, 2009). Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditi dengan biaya yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional kegiatan produksi tersebut menguntungkan (Simanjuntak, 1992). Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur tingkat daya saing adalah indikator keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif suatu negara serta tingkat keuntungan yang dihasilkan dari keuntungan privat dan keuntungan sosial.

2.4 Teori Keunggulan Kompetitif

Keunggulan kompetitif merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengukur daya saing suatu aktivitas pada kondisi perekonomian aktual. Konsep keunggulan kompetitif didasarkan pada keadaan perekonomian yang tidak berada dalam keadaan distorsi, namun hal ini sulit ditemukan dalam dunia nyata. Keunggulan kompetitif lebih sesuai untuk menganalisis kelayakan finansial dari suatu aktivitas. Kelayakan finansial melihat manfaat proyek atau aktivitas ekonomi dari sudut lembaga atau individu yang terlibat dalam aktivitas tersebut, sedangkan analisa ekonomi menilai suatu aktivitas atas manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan (Kadariah et.al, 1978). Komoditi yang memiliki keunggulan kompetititf dikatakan juga memiliki efisiensi secara finansial.

2.5 Teori Keunggulan Komparatif

Hukum keunggulan komparatif (The Law of Comparative Advantage) dari Ricardo menyatakan bahwa sekalipun suatu negara tidak memiliki keunggulan absolut dalam memproduksi dua jenis komoditas jika dibandingkan


(34)

negara lain, namun perdagangan yang saling menguntungkan masih bisa berlangsung, selama rasio harga antar negara masih berbeda jika dibandingkan tidak ada perdagangan. Suatu negara harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (memiliki keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih besar (memiliki kerugian komparatif) (Salvator, 1997).

Keunggulan Komparatif yang dikemukakan oleh David Ricardo hanya didasarkan pada penggunaan dan produktivitas tenaga kerja. Ricardo menganggap keabsahan teori nilai berdasar tenaga kerja (labor theory of value) yang menyatakan hanya satu faktor produksi yang penting yang menentukan nilai suatu komoditas yaitu tenaga kerja. Nilai suatu komoditas adalah proporsional (secara langsung) dengan jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk menghasilkannya. Namun pada kenyataannya tenaga kerja bukanlah satu-satunya faktor produksi, oleh karena itu konsep keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh Ricardo perlu diadakan perbaikan.

Teori keunggulan komparatif Ricardo disempurnakan oleh G. Haberler yang menafsirkan bahwa labor of value hanya digunakan untuk barang antara, sehingga menurut G. Haberler teori biaya imbangan (theory opportunity cost) dipandang lebih relevan. Argumentasi dasarnya adalah bahwa harga relatif dari komoditas yang berbeda ditentukan oleh perbedaan biaya. Biaya disini menunjukkan produksi komoditas alternatif yang harus dikorbankan untuk menghasilkan komoditas yang bersangkutan. Selanjutnya teori Heckscer Ohlin tentang pola perdagangan menyatakan bahwa komoditi-komoditi yang dalam


(35)

produksinya memerlukan faktor produksi (yang melimpah) dan faktor produksi (yang langka) diekspor untuk ditukar dengan barang-barang yang membutuhkan faktor produksi dalam produksi yang sebaliknya. Jadi secara tidak lansung faktor produksi yang melimpah diekspor dan faktor produksi yang langka diimpor (Ohlin,1933 dalam Lindert dan Kindleberger, 1993). Teori H-O menitikberatkan pada perbedaan dalam kelimpahan faktor atau kepemilikan faktor-faktor produksi sebagai landasan keunggulan komparatif bagi masing-masing negara. Sehingga teorema H-O dapat menjelaskan mengenai proses terbentuknya keunggulan komparatif bagi suatu negara dalam memproduksi suatu komoditi (Salvator, 1997) Menurut Simatupang (1991) serta Sudaryanto dan Simatupang (1993) konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing (keunggulan) potensial dalam artian daya saing yang akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dikatakan juga memiliki efisiensi secara ekonomi.

2.6 Kebiajakan Pemerintah

Sebuah kebijakan adalah sebuah tindakan yang sengaja dibuat untuk memandu keputusan dan mencapai tujuan-tujuan yang rasional. Kebijakan biasanya mengacu pada proses pembuatan keputusan-keputusan penting dalam sebuah organisasi, termasuk identifikasi dari berbagai laternatif dan pemilihan salah satu diantaranya berdasarkan dampak yang akan dihasilkan. Kebijakan pemerintah ditetapkan dengan tujuan meningkatkan ekspor dan meningkatkan daya saing produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk luar negeri. Dalam Tarsono (2006), sebagian besar kebijakan pemerintah ditujukan untuk tiga


(36)

tujuan dasar, yaitu efisiensi, pemerataan dan ketahanan. Efisiensi dapat diperoleh pada saat alikasi sumberdaya yang langka dalam ekonomi menghasilkan sejumlah keuntungan yang maksimum dan alikasi barang dan jasa memberikan kepuasan tertinggi bagi konsumen. Pemerataan yang diharapkan terjadi pada sistribusi pendapatan antara berbagai golongan masyarakat di berbagai wilayah yang menjadi target pembuat kebijakan. Sedangkan ketahanan, misal ketahanan pangan mengacu pada ketersediaan suplai pangan pada tingkat harga yang stabil dan terjangkau (Pearson et.al, 2004).

Terdapat dua kebijakan yang ditetapkan pemerintah pada suatu komoditas yang dapat mendukung terciptanya tujuan tersebut, yaitu subsidi dan kebijakan perdagangan dalam negeri. Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif. Subsidi positif merupakan pembiayaan dari pemerintah sedangkan subsidi negatif berupa pembiayaan kepada pemerintah berupa pajak. Kebijakan perdagangan dalam negeri adalah pembatasan yang diterapkan pada impor atau ekspor terhadap suatu komoditi tertentu melalui pemberlakuan kuota atau tarif. Pemberian kuota atau tarif dimaksudkan untuk menurunkan kuantitas barang yang diperdagangkan secara internasional dan untuk menciptakan perbedaan harga suatu komoditi pada pasar domestik dengan pasar internasional. Kebijakan perdagangan dapat dibagi menjadi dua, yaitu kebijakan ekspor dan kebijakan impor. Kebijakan ekspor dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi konsumen dalam negeri apabila harga domestik lebih rendah dibandingkan dengan harga di pasar dunia. Kebijakan ini dapat dilakukan berupa penerapan pajak ekspor. Sedangkan kebijakan impor dilakukan untuk melindungi produsen


(37)

dalam negeri apabila harga domestik lebih tinggi dari pada harga di pasar dunia. Kebijakan ini dapat dilakukan berupa pengenaan tarif impor dan kuota impor. Setiap kebijakan pemerintah baik kebijakan subsidi maupun kebijakan perdagangan akan berdampak pada output maupun input suatu komoditi yang diproduksi oleh suatu negara yang pada akhirnya akan mempengaruhi daya saing komoditas tersebut di pasar internasional.

2.6.1. Kebijakan Pemerintah pada Harga Output

Intervensi pemerintah pada harga output dibagi menjadi delapan tipe kebijakan subsidi dan dua tipe kebijakan perdagangan (Monke and Pearson, 1989). Klasifikasi dari kebijakan harga komoditas tersebut dapat dilihat dari Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditas

Instrumen Dampak terhadap Produsen Dampak terhadap

Konsumen Kebijakan Subsidi

 Tidak merubah harga pasar dalam negeri.

 Menrubah harga pasar dalam negeri.

Subsidi Pada Produsen

 Pada barang-barang

subtitusi impor (S+PI ; S-PI)

 Pada barang-barang

orientasi ekspor (S+PE ; S-PE)

Subsidi Pada Konsumen

 Pada barang-barang

subtitusi impor (S+CI ; S-CI)

 Pada barang-barang

orientasi ekspor (S+CE ; S-CE)

Kebijakan Perdagangan

seluruhnya merubah harga pasar dalam negeri

Hambatab pada barang impor (TPI)

Hambatan pada barang ekspor (TCE)

Sumber : Monke and Pearson (1989)

Keterangan :

S + = Subsidi

S - = Pajak

PE = Produsen barang orientasi ekspor PI = Produsen barang subtitusi impor CE = Konsumen barang orientasi ekspor CI = Konsumen barang subtitusi impor TCE = Hambatan barang ekspor


(38)

Tabel. 2.1 menjelaskan bahwa terdapat dua instrumen kebijakan harga output, yaitu kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan dalam negeri. Subsidi adalah pembayaran yang dilakukan dari atau untuk pemerintah. Pembayaran yang dilakukan dari pemerintah merupakan subsidi positif sedangkan pembayaran yang dilakukan untuk pemerintah, misalnya pajak adalah subsidi negatif. Kebijakan penerapan subsidi (positif atau negatif) pada dasarnya untuk melindungi produsen dan konsumen dalam negeri dengan cara menciptakan perbedaan harga domestik dengan harga internasional.

Kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang dilakukan pada ekspor atau impor suatu komoditi. Pembatasan yang dilakukan dapat berupa penerapan tarif atau biaya terhadap suatu komoditi yang di ekspor ataupun diimpor atau dengan pembatasan kuantitas (jumlah) komoditi yang akan diekspor ataupun diimpor. Kebijakan impor dilakukan untuk melindungi produsen dalam negeri, misalnya dengan pemberlakuan tarif impor maupun pembatasan kuantitas (kuota impor) karena harga domestik lebih tinggi daripada harga di pasar dunia, sedangkan kebijakan ekspor dilakukan untuk melindungi konsumen dalam negeri karena harga domestik lebih rendah dibandingkan harga di pasar dunia.

Kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan mempunyai perbedaan pada tiga aspek, yaitu implikasi pada anggaran pemerintah, tipe alternatif kebijakan, dan tingkat kemampuan penerapan (Monke and Pearson, 1989).

a. Implikasi pada Anggaran Pemerintah

Kebijakan subsidi berdampak pada anggaran pemerintah. Kebijakan subsidi positif akan mengurangi anggaran pemerintah sedangkan kebijakan


(39)

subsidi negatif akan menambah anggaran pemerintah. Akan tetapi kebijakan perdagangan tidak memiliki dampak terhadap kebijakan pemerintah.

b. Tipe Alternatif Kebijakan

Terdapat delapan tipe alternatif kebijakan subsidi untuk produsen dan konsumen pada barang orientasi ekspor dan barang subtitusi impor, yaitu:

a) Subsidi positif kepada produsen barang subtitusi impor (S+PI) b) Subsidi positif kepada produsen barang orientasi ekspor (S+PE) c) Subsidi negatif kepada produsen barang subtitusi impor (S-PI) d) Subsidi negatif kepada produsen barang orientasi ekspor (S-PE) e) Subsidi positif kepada konsumen barang subtitusi impor (S+CI) f) Subsidi positif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S+CE) g) Subsidi negatif kepada konsumen barang subtitusi impor (S-CI) h) Subsidi negatif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S-CE)

Subsidi positif yang diterapkan pada produsen maupun konsumen akan membuat harga yang diterima produsen menjadi lebih tinggi dan lebih rendah demikian juga bagi konsumen, sedangkan penerapan subsidi negatif akan membuat harga yang diterima produsen menjadi lebih rendah dan harga yang diterima konsumen menjadi lebih tinggi.

Kebijakan perdagangan terdapat dua alternatif kebijakan, yaitu: a) Hambatan perdagangan pada barang impor

b) Hambatan perdagangan pada barang ekspor c. Tingkat Kemampuan Penerapan

Kebijakan perdagangan hanya dapat diterapkan pada komoditi yang tradable atau komoditi yang diekspor dan diimpor. Sedangkan kebijakan subsidi


(40)

dapat diterapkan untuk setiap komoditi baik komoditi yang tradable maupun komoditi yang non tradable.

2.6.2. Kebijakan Pemerintah pada Harga Input

Kebijakan pemerintah juga diterapkan pada input yang dapat diperdagangkan (tradable) maupun input yang tidak dapat diperdagangkan (non tradable). Intervensi pemerintah berupa kebijakan subsidi baik positif maupun negatif dapat mempengaruhi input tradable namun kebijakan hambatan perdagangan tidak diterapkan pada input domstik (non tradable) karena input domestik (non tradable) hanya diterapkan pada komoditas yang diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri.

1. Kebijakan Input Tradable

P S1 P S

S C S1

A C A B

Pw Pw

B D

Q2 Q1 Q Q1 Q2 Q

(a) S - II (b) S + II

Keterangan :

S – II = Pajak untuk Input Impor S + II = Subsidi untuk Input Impor Pw = Harga Pasar Dunia

Sumber : Monke and Pearson (1989)


(41)

Kebijakan subsidi atau pajak dan kebijakan perdagangan dapat diterapkan pada input tradable. Pengaruh subsidi dan pajak pada input tradable dapat ditunjukkan oleh Gambar 2.1. Gambar 2.1 (a) menunjukkan adanya pengaruh pajak pada input tradable yang menyebabkan terjadinya peningkatan biaya produksi sehingga pada tingkat harga output yang sama terjadi penurunan permintaan domestik dari Q1 ke Q2 dan kurva penawaran bergeser ke kiri atas. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah sebesar ABC, yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang Q1CAQ2 dengan biaya produksi untuk menghasilkan output tersebut sebesar Q2BCQ1.

Gambar 2.1 (b) menunjukkan dampak subsidi pada input tradable yang digunakan. Harga yang berlaku pada kondisi perdagangan bebas adalah sebesar Pw dengan tingkat produksi yang dihasilkan sebesar Q1. Adanya kebijakan subsidi pada input tradable menyebabkan harga input lebih murah dan biaya produksi semakin rendah sehingga kurva penawaran bergeser ke kanan bawah yang menyebabkan terjadinya peningkatan produksi dari Q1 menjadi Q2. Efisiensi produksi yang hilang dari produksi adalah sebesar ABC yang merupakan pengaruh perbedaan antara biaya produksi setelah output meningkat yaitu Q1ACQ2 dengan penerimaan output yang meningkat yaitu Q1ABQ2.

2. Kebijakan Input Non Tradable

Kebijakan pemerintah berupa kebijakan perdagangan tidak dapat diterapkan pada input non tradable katena input non tradable hanya diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri. Kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input non tradable adalah kebijakan subsidi dan pajak. Kebijakan subsidi dan


(42)

pajak yang diterapkan pemerintah pada input non tradable dapat dilihat dari ilustrasi pada Gambar 2.2.

P C S P S

Pc Pp C

Pd B A

Pd A B

Pp

D Pc E

Pp’ D

Q3 Q2 Q1 Q Q1 Q2 Q

(a) S – N (b) S + N

Keterangan :

S – N = Pajak untuk Barang Non Tradable

S + N = Subsidi untuk Barang Non Tradable

Sumber : Monke dan Pearson (1989)

Gambar 2.2 Pajak dan Subsidi pada Input Non Tradable

Harga sebelum ditetapkannya pajak dan subsidi berada pada tingkat Pd. Harga pada tingkat konsumen setelah diberlakukannya pajak dan subsidi adalah sebesar Pc sedangkan Pp adalah harga pada tingkat produsen setelah diberlakukannya pajak dan subsidi. Pada gambar 2.2 (a) dapat dilihat bahwa sebelum diberlakukan pajak terhadap input, harga dan jumlah keseimbangan dari permintaan dan penawaran input non tradable berada pada Pd dan Q1. Harga di tingkat produsen turun menjadi Pp dan harga yang diterima konsumen naik menjadi Pc karena adanya pajak input non tradable. Dengan adanya pajak (Pc-Pd) menyebabkan produksi mengalami pnurunan menjadi Q2. Efisiensi ekonomi dari produsen yang hilang sebesar BEA dan dari konsumen yang hialng sebesar BCA.


(43)

Gambar 2.2 (b) menunjukkan bahwa sebelum diberlakukan subsidi terhadap input, harga dan jumlah keseimbangan dari perminaan dan penawaran, input non tradable berada pada Pd dan Q1. Produk yang dihasilkan mengalami peningkatan menjadi Q2 akibat adanya kebijakan subsidi. Harga yang diterima produsen menjadi labih tinggi yaitu sebesar Pp dan harga yang dibayarkan oleh konsumen menjadi lebih rendah yaitu sebesar Pc. Efisiensi ekonomi yang hilang dari produsen sebesar ABC sedangkan dari konsumen sebesar ABE. Kehilangan efisiensi dapat dilihat dari perbandingan antara peningkatan nilai output dengan meningkatnya ongkos produksi dan meningkatnya keinginan konsumen untuk membayar.

2.7 Penentuan Harga Bayangan

Harga bayangan adalah sebagian harga yang terjadi dalam perekonomian pada keadaan persaingan sempurna dan kondisinya dalam keadaan keseimbangan (Gittinger, 1982). Untuk memperoleh nilai yang mendekati biaya imbangan atau harga sosial perlu dilakukan penyesuaian terhadap harga pasar yang berlaku. Hal ini dikarenakan sulit ditemukannya kondisi biaya imbangan sama dengan harga pasar. Alasan penggunaan harga bayangan adalah sebagai berikut :

a. Harga bayangan tidak mencerminkan korbanan yang dikeluarkan jika sumber daya tersebut dipakai untuk kegiatan lainnya,

b. Harga yang berlaku dipasar tidak menunjukkan apa yang sebenarnya diperoleh masyarakat melalui suatu produksi dari aktivitas tersebut.


(44)

2.8 Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas merupakan suatu alat analisis yang digunakan secara sistematis untuk menguji perubahan dari suatu kelayakan ekonomi (proyek) bila terjadi kejadian-kejadian yang berbeda dengan perkiraan yang telah dibuat dalam perecanaan. Bila terjadi suatu kesalahan dalam perhitungan biaya dan manfaat dapat di evaluasi dengan mengunakan analisis sensitivitas. Hal ini dikarenakan tujuan dari analisis sensitivitas adalah untuk melihat bagaimana perubahan hasil suatu kegiatan ekonomi. Menurut Kadariah (1988), analisa sensitivitas dilakukan dengan beberapa cara diantaranya : (1) mengubah besarnya variabel-variabel yang penting, masing-masing terpisah atau beberapa dalam kombinasi dengan suatu persentase dan menentukan seberapa besar kepekaan hasil perhitungan terhadap perubahan-perubahan tersebut dan (2) menentukan dengan berapa suatu harus berubah sampai hasil perhitungan yang membuat proyek tidak dapat diterima.

2.9 Teori Matriks Kebijakan

Policy Analysis Matrix (PAM) atau Matriks Kebijakan digunakan untuk menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem komoditas. Sistem komoditas yang dapat dipengaruhi meliputi empat aktivitas, yaitu tingkat usaha tani (farm production), penyampaian dari usaha tani ke pengolah, pengolahan serta pemasaran (Monke and Pearson, 1989).

Perhitungan dengan menggunakan matriks kebijakan dapat dilakukan secara keseluruhan, sistematis, dan dengan output yang beragam. Kelebihan model PAM ini adalah selain diperoleh koefisien DRCR (Domestic Resource Cost


(45)

Ratio) sebagai indikator keunggulan komparatif, analisis ini juga dapat menghasilkan beberapa indikator lain yang berkait dengan variabel daya saing, seperti PCR (Private Cost Ratio) untuk menilai keunggulan kompetitif, NPCO (Nominal Protection Coefficient on tradable Output), NPCI (Nominal Protection Coefficient on tradable Inputs), EPC (Effective Protection Coefficient), PC (Protitability Coeffisient), dan SRP (Subsidy Ratio to Producers). Untuk mendapatkan nilai-nilai koefisien tersebut, setiap unit biaya (input), output, dan keuntungan dikelompokkan ke dalam harga pasar (privat) dan harga sosial. Dari selisih perhitungan berdasarkan kedua kelompok harga tersebut diperoleh angka transfer untuk menilai dampak dari penerapan kebijakan pemerintah yang berlaku pada usahaternak sapi perah dan mengukur dampak dari adanya kegagalan (failure) pasar.

Indikator daya saing meliputi: (1) PCR (Private Cost Ratio) atau RBP (rasio biaya privat) dan (2) DRCR (Domestic Resource Cost Ratio) atau BSD (Biaya imbangan sumberdaya domestik). Rasio biaya privat adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah dalam harga privat. Nilai PCR mencerminkan efisiensi finansial. Apabila nilai PCR<1 dan makin kecil, maka aktivitas ekonomi efisien secara finansial dan kemampuan itu meningkat. Rasio biaya sumberdaya domestik merupakan indikator kemampuan sistem komoditas membiayai biaya faktor domestik pada harga sosial. Apabila DRCR<1 dan makin kecil, maka aktivitas ekonomi efisien secara ekonomik dalam pemanfaatan sumberdaya domestik untuk menghemat satu-satuan devisa dan kemampuannya meningkat.


(46)

Sebaliknya DRCR>1, maka permintaan domestik lebih menguntungkan dengan melakukan impor.

Pada dasarnya langkah perhitungan PAM terdiri atas empat tahap: (1) penentuan masukan-keluaran fisik secara lengkap dari aktivitas ekonomi yang akan dianalisis; (2) penaksiran harga bayangan (shadow price) dari masukan dan keluaran; (3) pemisahan seluruh biaya kedalam komponen domestik dan asing, serta menghitung besarnya penerimaan, dan (4) menghitung dan menganalisis berbagai indikator yang bisa dihasilkan oleh PAM. Guna menganalisis daya saing dan dampak kebijaksanaan pemerintah digunakan alat analisis Policy Analysis Matrix, seperti pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Tabel Analisis Matriks Kebijakan

Uraian Penerimaan Biaya Keuntungan

Input Tradable Faktor Domestik

Privat A B C D

Ekonomi E F G H

Efek Divergensi I J K L

Sumber : Pearson et al (2005)

Keterangan :

Penerimaan Privat (A) Biaya Input Domestik Sosial (G)

Biaya Input Tradable Privat (B) Keuntungan Sosial (H) = E - (F + G) Biaya Input Domestik Privat (C) Transfer Output (I) = (A) - (E) Keuntungan Privat (D) = A - (B + C) Transfer Input (J) = (B) - (F)

Penerimaan Sosial (E) Transfer Factor (K) = (C) - (G)

Biaya Input Tradable Sosial (F) Transfer Bersih (L) = (D) - (H)=I - (J + K) Rasio biaya private (PCR) = C / (A-B)

Rasio biaya sumberdaya domestik (DRCR) = G / (E-F) Koefisien proteksi output nominal (NPCO) = A/E Koefisien proteksi input nominal (NPCI) = B / F Koefisien proteksi efektif (EPC) = (A-B) / (E-F) Koefisien keuntungan (PC) = D / H

Rasio subsidi untuk produsen (SRP) = L / E

Matrik PAM terdiri dari tiga baris dan empat kolom. Baris pertama untuk mengestimasi keuntungan privat, baris kedua untuk mengestimasi keunggulan ekonomi dan daya saing (keunggulan komparatif) atau efisiensi, dan baris ketiga


(47)

merupakan selisih antara baris pertama dengan baris kedua yang menggambarkan divergensi. Untuk kolom pertama merupakan kolom penerimaan, kolom kedua merupakan kolom biaya input tradable, kolom ketiga merupakan kolom biaya input non tradable dan kolom keempat merupakan kolom keuntungan yang merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya.

2.10 Penelitian Terdahulu

Kuraisin (2006) tentang Analisis Daya Saing dan Dampak Perubahan Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditi Susu Sapi (Kasus di Desa Tajur Halang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor) dengan menggunakan metode analisis Policy Analysis Matrix (PAM). Hasil analisis didapatkan bahwa pada ketiga skala usahaternak sapi perah yang ada di Desa Tajurhalang menguntungkan secara finansial dan secara ekonomi dengan ada atau tidak adanya kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang diterapkan pada komoditas susu menyebabkan surplus produsen berkurang dimana keuntungan privat yang didapatkan lebih kecil daripada keuntungan sosial dan tidak memberikan proteksi yang positif. Kebijakan pemerintah berupa pengurangan subsidi pakan ternak dan obat-obatan membuat peternak tidak memperoleh insentif bagi peningkatan skala usahanya. Nilai kebijakan tarif impor susu sangat rendah yaitu sebesar 5 persen, sehingga meningkatkan jumlah impor susu oleh IPS. Hasil analisis sensitivitas terjadi peningkatan harga pakan ternak sebesar 30 persen, penurunan harga susu sebesar 5 persen, dan pada hasil analisis sensitivitas gabungan menunjukkan bahwa usaha tani sapi perah pada ketiga skala usaha memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif.


(48)

Siregar (2009) tentang Analisis Dampak Penghapusan Tarif Impor Susu terhadap Daya Saing Komoditi Susu Sapi Lokal (Studi Kasus: Peternak Anggota TPK Cibedug, KPSBU Jawa Barat). Metode pengolahan dan analisis yang digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM). Hasil analisis PAM menunjukkan bahwa TPK Cibedug, KPSBU Jawa Barat memiliki daya saing secara finansial maupun ekonomi dalam menghasilkan susu sapi segar walaupun dalam keadaan tarif impor susu sebesar nol persen. Nilai keuntungan privat lebih besar dari nol yaitu Rp 604,35 per liter dan keuntungan sosial sebesar Rp 1.058,20 per liter. Selain itu pengusahaan sapi perah tersebut juga memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif dilihat dari nilai DRC lebih kecil dari satu yaitu 0,66 dan PCR sebesar 0,78. Dalam analisis sensitivitas di dapatkan hasil adanya penghapusan tarif impor susu menyebabkan berkurangnya daya saing komoditi susu sapi lokal. Hal ini ditandai dengan meningkatnya nilai PCR dan DRC yang mengindikasikan adanya penurunan nilai keunggulan komparatif dan kompetitif.

Pratama (2010) tentang Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Susu Sapi Perah (Studi Kasus Anggota Koperasi Peternak Garut Selatan, Jawa Barat). Metode analisis yang digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM). Dari hasil perhitungan menggunakan metode PAM, usahaternak sapi perah memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Usahaternak sapi perah memiliki penerimaan privat dalam memproduksi susu segar adalah sebesar Rp 787,9 per liter susu dan keuntungan sosial sebesar Rp 1.706,5 per liter. Akan tetapi, dari hasil analisis menunjukkan adanya divergensi


(49)

yang menjelaskan bahwa ada penyimpangan, sehingga peternak mendapatkan hasil dari kegagalan tersebut baik kegagalan di pasar input maupun kegagalan si pasar output. Berdasarkan hasil analisis perbulan, usahaternak sapi perah mengntungkan baik secara finansial maupun ekonomi. Analisis sensitivitas menunjukkan adanya kebijakan penghapusan tarif impor susu dari lima persen menjadi nol persen menurunkan keuntungan privat dan sosial. Hal ini menyebabkan adanya penurunan daya saing komoditi susu sapi lokal baik dari aspek keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif.

Sunandar (2007) tentang Analisis dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Pengusahaan Komoditi Tanaman Karet Alam (kasus di Kecamatan Cambai, Kota Prabumulih, Provinsi Sumatera Selatan). Metode analisis yang digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM). Dari hasil analisis karet alam memiliki keunggulan kompetitif dan keuntungan finansial karena nilai keuntungannya positif. Hal ini ditunjukkan dengan hasil PCR sebesar 0,43 dan keuntungan privat sebesar Rp 6.903,94 per kilogram. Selain itu keunggulan komparatif dengan nilai DRC sebesar 0,77 dan nilai keuntungan sosial yang positif, yaitu sebesar Rp 2.791,39 per kilogram. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan dengan adanya perubahan harga output yang menurun sebesar 6 persen akan menaikkan harag input pupuk sebesar 6 persen dan dari hasil analisis gabungan menujukkan bahwa pengusahaan komoditi tanaman karet alam memiliki daya saing.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah pada penelitian ini dilakukan dengan membagi usaha ternak pada ketiga skala usaha


(50)

berdasarkan kepemilikan sapi perah (laktasi). Peternak dengan kepemilikan sapi laktasi satu hingga tiga ekor termasuk kedalam skala usaha kecil, skala usaha menengah memiliki kepemilikan sapi laktasi empat hingga tujuh ekor dan skala usaha besar memiliki sapi laktasi lebih dari tujuh ekor. Penelitian ini dilakukan pada saat adanya kebijakan penetapan tarif impor lima persen oleh pemerintah, selain itu lokasi serta waktu penelitian berbeda.

2.11 Kerangka Pemikiran Operasional

Susu merupakan salah satu komoditi hasil peternakan yang tingkat konsumsinya tinggi yaitu mencapai 8.90 kg/kapita/tahun pada tahun 2009. Tingginya konsumsi susu di Indonesia meningkatkan permintaan susu dalam negeri. Peningkatan permintaan susu dalam negeri tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Hal ini menyebabkan Indonesia harus melakukan impor susu dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan susu nasional. Walaupun harga susu impor jauh lebih tinggi dibanding harga Susu Segar Dalam Negeri (SSDN), banyak konsumen, terutama konsumen industri memilih untuk mendapatkan susu dari luar negeri. Tingginya harga susu impor tidak dapat merubah preferensi perusahaan atau konsumen untuk mengalihkan konsumsi susu ke produsen atau koperasi dalam negeri. Jumlah impor susu sapi sekitar 70 persen (GKSI, 2008), hal ini dikarenakan kualitas susu lokal jauh lebih rendah bila dibandingkan susu impor.

Rendahnya daya saing usahaternak sapi perah saat ini disebabkan karena berbagai kendala, diantaranya rendahnya kualitas SDM peternak, permasalahan


(51)

teknis, masalah permodalan, dan masalah sosial kelembagaan. Rendahnya daya saing tersebut bedampak pada jumlah dan kualitas susu yang dihasilkan dari usahaternak sapi perah. Salah satu pengembangan usahaternak sapi perah berada di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK). KUNAK yang berada dibawah KPS Bogor merupakan salah satu sentra penghasil susu terbesar di wilayah Kabupaten Bogor. Peternak yang berada dikawasan KUNAK mengembangkan usahaternak sapi perah yang terbagi kedalam tiga skala usaha yaitu peternak yang memiliki jumlah sapi laktasi kurang dari tiga ekor, peternak yang memiliki jumlah sapi laktasi tiga sampai tujuh ekor, dan peternak yang memiliki sapi laktasi lebih dari tujuh ekor. Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat daya saing susu yang dihasilkan oleh peternak sapi perah di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK).

Pemerintah perlu meningkatkan daya saing usahaternak sapi perah dengan meningkatkan insentif bagi peternak dan koperasi. Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang mendukung usahaternak sapi perah dan mendukung keberlanjutan koperasi susu sapi perah, misalnya pemberian subsidi pakan, obat-obatan dan pemberian kredit. Namun, sejak tahun 2000 pemerintah telah mengurangi kebijakan pemberian subsidi pakan dan obat-obatan. Kebijakan pemberian kredit kepada peternak juga mengalami kendala karena tingkat suku bunga kredit yang tinggi sehingga memberatkan peternak. Kebijakan Pemerintah yang dianalisis dalam penelitian ini adalah dampak kebijakan dari Penetapan Tarif Bea Masuk Atas Impor Produk-Produk Susu Tertentu sesuai dengani peraturan menteri keuangan (PMK) Nomor 101/PMK.011/2009 . Pemerintah melakukan


(52)

intervensi mengenai bea masuk bahan baku susu impor. Dalam PMK ini dijelaskan bahwa dalam rangka mendukung pengembangan industri susu di dalam negeri perlu dilakukan perubahan tarif bea masuk (BM) atas impor produk-produk susu tertentu. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa tarif BM atas impor produk-produk susu tertentu sebesar 5 persen yang meliputi produk susu mentega, susu dan kepala susu dikentalkan, yoghurt, kefir dan susu serta kepala susu diragi atau diasamkan lainnya dan yang dipekatkan atau tidak.

Penelitian ini dilakukan untuk mengukur daya saing usahaternak sapi perah. Penilaian daya saing dilakukan dengan menggunakan analisis Matriks PAM. Dalam Matriks PAM dilakukan secara finansial dan ekonomi. Penggunaan PAM (Policy Analysis Matrix) untuk menganalisis beberapa komponen yaitu keunggulan kompetitif (Rasio Biaya Privat/PCR), keunggulan komparatif (Biaya Sumberdaya Domestik/ DRC), dan dampak kebijakan pemerintah yaitu, kebijakan input (IT, FT, dan NPCI), kebijakan output (OT, dan NPCO) dan kebijakan input-output (NT, EPC, PC, dan SRP). Setelah melakukan analisis PAM tahapan analisis selanjutnya adalah analisis sensitivitas untuk mengetahui perubahan keunggulan komparatif dan kompetitif dari usahaternak sapi perah. Analisis sensitivitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah pada saat terjadi penurunan tarif impor lima persen dan saat terjadi penetapan tarif impor 15 persen. Ringkasan proses penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.3.


(1)

Lampiran 2. Alokasi Budget Pivat dan Sosial Usahaternak Skala Kecil,

Menengah dan Besar

Keterangan Usahaternak SkalaKecil Usahaternak Skala Menengah Usahaternak Skala Besar Biaya Rp/lt Biaya Rp/lt Biaya Rp/lt Budget Privat Budget Sosial Budget Privat Budget Sosial Budget Privat Budget Sosial Penerimaan

Susu segar 3000 3946.97 3005 3946.97 3000 3946.97

Biaya Produksi

Pakan

Pakan hijauan 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0

Konsentrat 1062.5 833.01 773.8 667.92 1758.2 1275.3

Ampas tahu 443.0 443.0 456.1 456.1 337.1 337.1

Obat-obatan

Mineral 28.6 18.86 9.9 9.05 13.7 10.23

Vaselin 16.9 16.9 18.8 18.8 10.1 10.1

Biosid 31.3 15.09 7.3 4.03 11.1 5.79

Tenaga kerja

Keluarga 234.3 187.4 222.2 177.8 171.4 137.2

Non keluarga 0.0 0.0 301.6 241.3 176.9 141.5

Sewa lahan 285.4 285.4 147.4 147.4 63.2 63.2

Pajak 23.3 0.0 11.8 0.0 4.1 0.0

Penyusutan

peralatan 61.5 61.5 40.7 40.7 23.8 23.8 Biaya air 10.4 10.4 14.6 14.6 11.9 11.9 Biaya listrik 99.0 124.3 59.7 75.0 42.2 53.0

Biaya tata niaga

Biaya transport

susu 22.4 30.6 56.9 77.8 22.1 30.3

Biaya transport

pakan 65.6 89.7 75.0 102.5 27.5 37.6


(2)

Lampiran 3. Penentuan Harga Bayangan Nilai Tukar

Uraian

Jumlah (Rp)

Total Ekspor (Xt)

1425376420747980.00

Total Impor (Mt)

1225582108089630.00

Penerimaan Pajak Ekspor (TXt)

5454000000000.00

Penerimaan Pajak Impor (TMt)

17107000000000.00

Nilai Tukar Rupiah/USD (OERt)

9034.00

Xt+Mt

2650958528837610.00

Xt-TXt

1419922420747980.00

Mt+TMt

1242689108089630.00

SCFt

0.996

SER

9073.71

Keterangan : Berdasarkan data tahun 2010

Sumber

: Badan Pusat Statistik, 2011 (ekspor-impor)

ER : http://www.exchange-rates.org/Rate/USD/IDR/7-28-2010 (28 Juli 2010)

StCF= Standart Convertion Factor/ premium nilai tukar (%)

SER = Nilai tukar bayangan /equilibrium (Rp/$)

OER = Nilai tukar resmi (Rp/$)

SCFt =

Xt + Mt

(Xt-TXt) + (Mt+TMt)

SCFt =

99.56%

SERt =

OERt

SCFt


(3)

Lampiran 4. Penentuan Harga Bayangan Komoditi Susu

Harga bayangan komoditas susu Harga rata-rata susu dalam

negeri (Rp/lt)

2.5% biaya

tataniaga Harag Sosial Susu di tingkat peternak

1 2= 2.5%*1 3=1+2

3850.70 96.27 3946.97

Keterangan : Harga FCMP dari Harga Monthly Whole Milk Powder Price

1lb=0.45359237kg ; 1kg= 2.204632 lb

Harga FCMP Januari- Maret 2010

Bulan

Harga FCMP (US/Kg)

Harga FCMP (Rp/Kg)

Harga FCMP + freight and Insurance (Rp/kg)

Harga susu dalam negeri

(Rp/lt)

1 2 3= 2*SER 4 5 = 4/8 liter

susu

Januari 3.28 29796.12 31285.93 3910.74

Februari 3.15 28595.87 30025.67 3753.21

Maret 3.26 29624.09 31105.29 3888.16


(4)

Lampiran 5. Penentuan Harga Bayangan Obat-obatan

No. Keterangan

Obat-obatan

1 FOB (US$/kg)

0.842678104

2 Freight and Insurance ($/kg)

0.08426781

3 CIF Indonesia ($/ton)

0.926945914

4 Nilai Tukar ($/USD)

9034

5 Standart Convertion Factor

99.56%

6 Nilai Tukar Bayangan (Rp/$)

9073.71

7 CIF Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/kg)

8410.84

8 Biaya angkut dan penanganan (Rp/kg)

210.271

9 Harga paritas impor di tingkat peternak (Rp/kg)

8621.1

11 Biaya pendistribusian obat-obatan (Rp/kg)

5000

12 Harga paritas impor di tingkat peternak (Rp/kg)

3621.1

Lampiran 6. Penentuan Harga Bayangan Pakan Ternak

No.

Keterangan

Pakan

1

FOB (US$/kg)

0.260592985

2

Freight and Insurance ($/kg)

0.026059299

3

CIF Indonesia ($/ton)

0.286652284

4

Nilai Tukar ($/USD)

9034

5

Standart Convertion Factor

99.56%

6

Nilai Tukar Bayangan (Rp/$)

9073.71

7

CIF Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/kg)

2601.00

8

Biaya angkut dan penanganan (Rp/kg)

65.025

9

Harga paritas impor di tingkat peternak (Rp/kg)

2666.0

11 Biaya pendistribusian pakan (Rp/kg)

1000


(5)

Lampiran 7. Tabel PAM untuk Kondisi Tarif Impor Nol Persen

Komponen Penerimaan Biaya Input Keuntungan

Input Tradabel Non Tradabel Usahaternak Skala Kecil

Privat 2,850.00 180.18 2384.2 285.62 Sosial 3,749.62 144.93 2,116.28 1,488.41 Divergensi (899.62) 35.25 267.92 (1,202.79) Usahaternak Skala Menengah

Privat 2,704.75 134.88 2195.8 374.04 Sosial 3,749.62 123.21 2,033.05 1,593.37 Divergensi (1,044.87) 11.68 162.78 (1,219.33) Usahaternak Skala Besar

Privat 2,850.00 274.15 2673.4 (97.51) Sosial 3,749.62 202.16 2,136.91 1,410.55 Divergensi (899.62) 71.99 536.45 (1,508.06)

Lampiran 8. Tabel PAM untuk Kondisi Tarif Impor Lima Persen

Komponen Penerimaan Biaya Input Keuntungan

Input Tradabel Non Tradabel Usahaternak Skala Kecil

Privat 3,000.00 180.18 2384.2 435.62 Sosial 3,946.97 144.93 2,116.28 1,685.76 Divergensi (946.97) 35.25 267.92 (1,250.14) Usahaternak Skala Menengah

Privat 3,005.00 134.88 2195.8 674.29 Sosial 3,946.97 123.21 2,033.05 1,790.72 Divergensi (941.97) 11.68 162.78 (1,116.43) Usahaternak Skala Besar

Privat 3,000.00 274.15 2673.4 52.49 Sosial 3,946.97 202.16 2,136.91 1,607.90 Divergensi (946.97) 71.99 536.45 (1,555.41)


(6)

Lampiran 9. Tabel PAM untuk Kondisi Tarif Impor 15 Persen

Komponen Penerimaan Biaya Input Keuntungan

Input Tradabel Non Tradabel Usahaternak Skala Kecil

Privat 3,300.00 180.18 2384.2 735.62 Sosial 4,341.67 144.93 2,116.28 2,080.46 Divergensi (946.97) 35.25 267.92 (1,250.14) Usahaternak Skala Menengah

Privat 3,305.50 134.88 2195.8 974.79 Sosial 4,341.67 123.21 2,033.05 2,185.41 Divergensi (941.97) 11.68 162.78 (1,116.43) Usahaternak Skala Besar

Privat 3,300.00 274.15 2673.4 352.49 Sosial 4,341.67 202.16 2,136.91 2,002.59 Divergensi (946.97) 71.99 536.45 (1,555.41)