P d HASIL DAN PEMBAHASAN

memiliki pertumbuhan yang lamban dan tidak memiliki keunggulan kompetitif dengan baik. Dalam hal nilai pergesaran bersih PB yang berada pada Kuadran I, sektor yang mendominasi juga sektor tersier yaitu sektor perdagangan, hotel, dan restoran; sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan; dan sektor jasa-jasa. Sedangkan sektor pengangkutan, dan komunikasi dikarenakan dalam komponen keunggulan kompetitif masih kurang kompetitif sehingga secara persentase dalam nilai keunggulan kompetitif pada nilai pergesaran bersih masih bernilai negatif. Selanjutnya, untuk sektor bangunan berada pada Kuadran I yang mengindikasikan bahwa proyek-proyek pembangunan di DKI Jakarta semenjak otonomi daerah bergulir masih menjadi prioritas. Seperti adanya pembangunan dan perbaikan fisik gedung-gedung perkantoran, perbelanjaan dan apartemen tempat tinggal, sarana umum sosial, fasilitas umum seperti jalan raya, jembatan fly over dan under pass , banjir kanal, instalasi komunikasi dan informasi, dan sebagainya yang semuanya selain menjadikan sektor bangunan DKI Jakarta memiliki keunggulaan dalam pertumbuhan tenaga kerja bauran industri juga memiliki keunggulan kompetitif.

4.2.2. Analisis Location Quotient LQ

Analisis LQ merupakan suatu alat analisis untuk menunjukan basis ekonomi wilayah terutama dari kriteria kontribusi Wibisono, 2003. Disamping itu, LQ adalah suatu indeks untuk mengukur tingkat spesialisasi relatif suatu sektor atau subsektor ekonomi suatu wilayah tertentu Bendavid 1991. Variabel yang digunakan dalam perhitungan basis ekonomi tersebut adalah kesempatan kerja wilayah yang dititikberatkan pada kegiatan dalam struktur ekonomi wilayah. Hasil analisis Location Quotient LQ DKI Jakarta tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 10 untuk mengidentifikasi sektor-sektor mana saja di DKI Jakarta yang merupakan sektor basis maupun sektor nonbasis. Tabel 10 Hasil Perhitungan Location Quotient LQ Struktur Perekonomian Atas Dasar Tenaga Kerja DKI Jakarta Tahun 2008 Lapangan Usaha 2008 Pertanian 0,01 Pertambangan, dan Penggalian 0,26 Industri Pengolahan 1,32 Listrik, Gas, dan Air Bersih 2,69 Bangunan 0,86 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 1,79 Pengangkutan, dan Komunikasi 1,59 Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 5,00 Jasa-jasa 1,90 DKI Jakarta mempunyai 6 sektor yang memiliki LQ1, sektor tersebut yaitu sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan memiliki indeks LQ sebesar 5,00 sehingga sektor ini merupakan sektor basis dengan indeks terbesar. Sektor listrik, gas, dan air bersih merupakan sektor basis terbesar kedua dengan indeks LQ sebesar 2,69. Sektor basis terbesar ketiga yaitu sektor jasa-jasa yang memiliki indeks LQ sebesar 1,90. Sedangkan untuk sektor selanjutnya yang menjadi sektor basis terbesar keempat hingga keenam yaitu sektor perdagangan, hotel, dan restoran dengan indeks LQ sebesar 1,79; sektor pengangkutan, dan komunikasi dengan indeks LQ sebesar 1,59; dan sektor industri pengolahan dengan indeks LQ sebesar 1,32. Dengan demikian hipotesis yang menyatakan bahwa sektor tersier merupakan sektor basis dalam menyerap tenaga kerja di DKI Jakarta dapat diterima. Hal ini menunjukan bahwa keenam sektor tersebut memiliki kekuatan ekonomi yang cukup baik dan sangat berpengaruh terhadap peningkatan kesempatan kerja di DKI Jakarta. Keenam sektor tersebut juga mampu menyerap tenaga kerja relatif lebih tinggi dari rata-rata nasional. Atas dasar pemahaman di atas, keenam sektor tersebut merupakan sektor potensial yang dapat ditingkatkan menjadi lebih baik lagi dalam menyerap tenaga kerja. Sektor ekonomi di DKI Jakarta yang merupakan sektor nonbasis terdapat 3 sektor yaitu sektor pertanian dengan indeks LQ sebesar 0,01; sektor pertambangan, dan penggalian dengan indeks LQ sebesar 0,26; dan sektor bangunan dengan indeks LQ sebesar 0,86. Hal ini menunjukan bahwa secara proporsional ketiga sektor tersebut hanya mampu menyerap tenaga kerja relatif lebih rendah dari rata-rata nasional dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja lokal. Meskipun sektor basis merupakan sektor yang paling potensial untuk dikembangkan dan untuk memacu peningkatan kesempatan kerja di DKI Jakarta, akan tetapi pemerintah daerah tidak mengabaikan peranan sektor nonbasis. Karena dengan adanya peningkatan terhadap sektor basis tersebut maka sektor nonbasis akan dapat terbantu untuk dikembangkan menjadi sektor basis yang baru sehingga pada akhirnya akan menjadi sektor yang potensial pula dalam menyerap tenaga kerja. Dalam analisis Loqation Quotient LQ yang merupakan tindak lanjut atau pelengkap dari analisis Shift Share untuk menentukan sektor-sektor yang menjadi basis penyerapan tenaga kerja DKI Jakarta dapat disimpulkan dari hasil perhitungan analisis LQ pada tahun 2008 yang mengindikasikan bahwa ditahun kedelapan sejak otonomi daerah diterapkan, sektor tersier masih menjadi sektor basis dalam penyerapan tenaga kerja. Artinya sektor tersier diantaranya yaitu sektor perdagangan, hotel, dan restoran; sektor pengangkutan, dan komunikasi; sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan; dan sektor jasa-jasa masih menjadi sektor yang mampu menyerap tenaga kerja relatif lebih tinggi dari rata- rata nasional. Ini tidak jauh berbeda dari analisis Shif Share yang menyimpulkan hasil yang sama dalam analisis pertumbuhan tenaga kerja. Dengan demikian, selain yang sudah diuraikan sebelumnya bahwa DKI Jakarta sebagai icon pusat kota perdagangan, pelayanan, bisnis, dan jasa. Pemerintah daerah sudah seharusnya memberikan perhatian fokus terhadap perkembangan sektor-sektor tersebut. Sehingga untuk kedepannya, sektor tersier DKI Jakarta dapat dikembangkan dengan lebih baik lagi. Salah satu sektor sekunder yang masih menjadi sektor basis penyerapan tenaga kerja di DKI Jakarta adalah sektor listrik, gas, dan air bersih; dan sektor industri pengolahan. Pada sektor listrik, gas, dan air bersih yang dikarenakan adanya pembangunan yang didominasi oleh pembangunan dan perbaikan fisik di DKI Jakarta, yang menuntut adanya penyediaan fasilitas instalasi penunjang sehingga sektor ini menjadi sektor utama guna memenuhi tuntutan hasil pembangunan dan perbaikan fisik di DKI Jakarta. Sedangkan pada sektor industri pengolahan tidak dapat dilepaskan dari semenjak awal era orde baru yang diikuti oleh era otonomi daerah bahwa di DKI Jakarta kawasan industri, perkampungan industri kecil PIK maupun pengembangan industri lokal juga dikembangkan terutama pada kawasan pinggir DKI Jakarta. Dengan demikian, keenam sektor tersebut masih menjadi sektor yang potensial dan menjadi sektor basis penyerapan tenaga kerja. Ini juga tidak berbeda jauh dari struktur ekonomi DKI Jakarta tahun 2008 yang tentunya juga diikuti oleh adanya penyerapan tenaga kerja terutama pada sektor tersier yang menurut sektoral pada tahun 2008, PDRB DKI Jakarta sebesar 71,28 persen berasal dari sektor tersier, sebesar 28,14 persen berasal dari sektor sekunder, dan hanya sekitar 0,58 persen dari sektor primer.

4.2.3. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kesempatan Kerja

Untuk mengetahui pengaruh PMA, PMDN, PDRB dan suku bunga kredit terhadap kesempatan kerja di DKI Jakarta dihitung dengan analisis regresi linear berganda dengan Semi-Logaritma Natural dan Variabel Dummy. Hasil uji asumsi klasik pada regresi faktor-faktor yang mempengaruhi kesempatan kerja di DKI Jakarta sebagai berikut:

4.2.3.1. Uji Asumsi Klasik

1. Uji Normalitas 0.0 0.4 0.8 1.2 1.6 2.0 2.4 2.8 3.2 -0.06 -0.04 -0.02 0.00 0.02 0.04 Series: Residuals Sample 1993 2008 Observations 16 Mean 3.89e-15 Median -0.000525 Maximum 0.040742 Minimum -0.056323 Std. Dev. 0.028230 Skewness -0.483543 Kurtosis 2.369561 Jarque-Bera 0.888472 Probability 0.641314 Gambar 8 Uji Normalitas Uji normalitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah data residual yang diteliti berdistribusi normal atau tidak. Dengan asumsi kenormalan ini, maka akan didapatkan koefisien regresi yang bersifat linier tak bias terbaik atau best linier unbiase estimation BLUE. Asumsi normalitas ini diperlukan dalam penelitian yang mempunyai tujuan untuk penaksiran dan pengujian hipotesis. Berdasarkan hasil analisis yang dapat dilihat pada Gambar 7, dari Jarque-Bera test diperoleh nilai Probability P-Value sebesar 0,6413, yang berarti nilai Probability P- Value 0,05 maka H diterima sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data residual yang diteliti berdistribusi normal.

2. Uji Multikolinearitas

Apabila pada model persamaan regresi mengandung gejala multikolinieritas, ini berarti terjadi korelasi mendekati sempurna antar variabel bebas. Untuk mengetahui ada tidaknya multikolinieritas antar variabel bebas salah satu caranya adalah dengan melihat nilai Correlation Matrix antar variabel bebas. Berdasarkan hasil analisis yang dapat dilihat pada Tabel 11, diperoleh nilai Correlation Matrix antar masing-masing variabel bebas sebesar kurang dari 0,8 terkecuali variabel PDRB dengan variabel dummy. Akan tetapi meskipun ada satu variabel yang nilai Correlation Matrix antar masing-masing variabel bebas sebesar lebih dari 0,8; hasil regresi pada penelitian ini masih termasuk kategori BLUE. Ini dikarenakan untuk memperoleh estimator yang BLUE tidak mensyaratkan asumsi tidak adanya korelasi antar variabel independen Widarjono 2005. Disamping menurut Uji Klien yang menyebutkan bahwa masalah korelasi sederhana antara variabel eksogen ini bisa diabaikan apabila nilai koefisien korelasinya lebih kecil dibanding nilai koefisien R-squared. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antar variabel bebas yang diteliti tidak terjadi multikolinearitas. Tabel 11 Uji Multikolinearitas OTDA PMA PMDN PDRB SBK OTDA 1,000000 0,406145 0,265527 0,849656 0,034786 PMA 0,406145 1,000000 0,654887 0,672231 0,419420 PMDN 0,265527 0,654887 1,000000 0,535560 0,553326 PDRB 0,849656 0,672231 0,535560 1,000000 0,072899 SBK 0,034786 0,419420 0,553326 0,072899 1,000000

3. Uji Autokorelasi

Autokorelasi adalah hubungan yang terjadi diantara anggota-anggota dari serangkaian pengamatan yang tersusun dalam rangkaian waktu seperti pada data runtun waktu atau time series data atau yang tersusun dalam rangkaian ruang seperti pada data silang atau coss sectional data. Berdasarkan hasil analisis yang dapat dilihat pada Tabel 12, dari Breusch-Godfrey Serial Correlation Lagrange Multiplier LM Test diperoleh nilai Probability ObsR-squared sebesar 0,4746, yang berarti nilai Probability ObsR-squared 0,05 sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antar anggota serangkaian data observasi yang diteliti tidak terjadi autokorelasi. Tabel 12 Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 0,410908 Probability 0,676282 ObsR-squared 1,490516 Probability 0,474612

4.2.3.2. Hasil Dugaan Model

Dalam mengestimasi model persamaan, penelitian ini menggunakan metode Ordinary Least Square OLS. Variabel yang digunakan dalam penelitian adalah otonomi daerah, PMA, PMDN, PDRB, dan suku bunga kredit. Hasil estimasi model dugaan model ditunjukkan melalui Tabel 13. Tabel 13 Hasil Estimasi Koefisien Variabel Penduga Variabel Koefisien t-Statistik Probabilitas C 0,336983 0,111894 0,9131 Otonomi Daerah 0,007742 0,187154 0,8553 PMA 0,087593 2,425635 0,0357 PMDN 0,439818 4,347370 0,0014 PDRB 0,010824 0,087255 0,9322 Suku Bunga Kredit -0,003859 -5,206023 0,0004 R-squared Adjusted R-squared 0,900955 0,851432 F-statistic ProbF-statistic 18,19281 0,000098 1. Pengujian Koefisien Regresi Secara Serentak Uji F-Statistik Uji F digunakan untuk mengetahui tingkat signifikansi pengaruh variabel bebas secara serentak terhadap variabel tidak bebas. Atau dengan kata lain, untuk menguji arti keseluruhan dari garis regresi yang ditaksir, yaitu apakah variabel kesempatan kerja LnKK berhubungan secara linier dengan variabel otonomi daerah, PMA LnPMA, PMDN LnPMDN, PDRB LnPDRB dan suku bunga kredit secara serentak yang dalam penelitian ini digunakan uji F dengan derajat kebebasantingkat keyakinan sebesar 95 α = 0,05. Berdasarkan hasil analisis yang dapat dilihat pada Tabel 13, pengujian secara serentak diperoleh nilai F-hitung sebesar 18,1928 dan nilai F-tabel sebesar 3,33. Sehingga dengan demikian nilai F-hitung lebih besar daripada nilai F-tabel 18,1928 3,33 yang berarti bahwa secara serentak variabel bebas berpengaruh secara signifikan terhadap kesempatan kerja di DKI Jakarta selama kurun waktu tahun 1993-2008. Dari hasil analisis di atas maka hipotesis yang menyatakan bahwa variabel bebas otonomi daerah, PMA, PMDN, PDRB dan suku bunga kredit secara serentak berpengaruh terhadap variabel tidak bebas kesempatan kerja, dapat diterima. Hal ini pun sesuai dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Rachman 2005, yang menyimpulkan bahwa PDRB, investasi, UMP, dan angkatan kerja secara serentak berpengaruh terhadap kesempatan kerja di DKI Jakarta tahun 1982-2003; Malau 2007, yang menyimpulkan bahwa angkatan kerja, penyerapan tenaga kerja, upah, investasi, dan pendapatan secara serentak berpengaruh terhadap pasar kerja sektor tersier di provinsi DKI Jakarta; Elnopembri 2007 yang menyimpulkan bahwa UMR, tingkat suku bunga kredit investasi bank pemerintah daerah, tingkat suku bunga kredit investasi bank persero pemerintah di daerah, dan nilai produksi industri kecil secara serentak berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja industri kecil di kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat tahun 1990-2004; Nainggolan 2009 yang menyimpulkan bahwa PDRB kabupatenkota, tingkat bunga kredit, UMK secara serentak berpengaruh terhadap kesempatan kerja pada kabupatenkota di provinsi Sumatera Utara tahun 2002-2007. 2. Pengujian Koefisien Regresi Secara Parsial Uji t-Statistik Uji t digunakan untuk mengetahui tingkat signifikansi pengaruh dari masing-masing variabel bebas terhadap variabel tidak bebas. Untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel bebas otonomi daerah, PMA, PMDN, PDRB, suku bunga kredit terhadap variabel tidak bebas kesempatan kerja hasilnya dapat dilihat pada Tabel 13. Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa secara parsial pengaruh variabel bebas otonomi daerah, PMA, PMDN, PDRB, suku bunga kredit terhadap variabel tidak bebas kesempatan kerja dapat dijelaskan sebagai berikut: Berdasarkan hasil pengujian secara parsial pada variabel otonomi daerah, nilai t-hitung lebih kecil daripada nilai t-tabel 0,1871 2,228 yang berarti bahwa secara parsial variabel otonomi daerah secara tidak signifikan berpengaruh positif terhadap kesempatan kerja di DKI Jakarta. Ini dikarenakan sudah menjadi ciri khas bahwa aktivitas perekonomian di DKI Jakarta tanpa adanya campur tangan pemerintah daerah, perekonomian mampu berjalan dengan sendirinya disebabkan DKI Jakarta sudah sekian lama menjadi pusat aktivitas ekonomi sehingga peran pemerintah daerah selama ini hanya sebatas memberikan regulasi dalam menjaga perekonomian melalui kestabilan sosial, hukum dan keamanan disamping peranannya dalam memantau perkembangan perekonomian daerah dan membantu pemerintah pusat guna menunjang perekonomian nasional melalui kebijakan yang selaras dengan pemerintah pusat. Berdasarkan hasil pengujian secara parsial pada variabel PMA, nilai t-hitung lebih besar daripada nilai t-tabel 2,4256 2,228 yang berarti bahwa secara parsial variabel PMA secara signifikan berpengaruh positif terhadap kesempatan kerja di DKI Jakarta selama kurun waktu tahun 1993-2008. Sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa variabel PMA berpengaruh positif terhadap kesempatan kerja, diterima. Berdasarkan hasil pengujian secara parsial pada variabel PMDN, nilai t- hitung lebih besar daripada nilai t-tabel 4,3474 2,228 yang berarti bahwa secara parsial variabel PMDN secara signifikan berpengaruh positif terhadap kesempatan kerja di DKI Jakarta selama kurun waktu tahun 1993-2008. Sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa variabel PMDN berpengaruh positif terhadap kesempatan kerja, diterima. Tabel 14 Persentase PMA menurut Bidang Usaha Tahun 2002-2007 Persen Bidang Usaha 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Pertanian, Peternakan, Perikanan 0,16 0,07 0,51 - - - Industri 10,19 1,74 15,71 9,29 7,86 5,43 Konstruksi 18,01 0,63 20,3 21,25 10,7 4,97 Hotel 2,7 3,64 7,72 5,24 2,19 1,95 Real Estate, Perkantoran 7,9 5,29 20,84 20,34 24,78 7,23 Jasa-Jasa Lainnya 61,04 88,63 34,92 43,88 54,47 80,42 Jumlah 100 100 100 100 100 100 Sumber : BPM dan BKUD Provinsi DKI Jakarta. Indikator Ekonomi Jakarta 2008. diolah. Tabel 15 Persentase PMDN menurut Bidang Usaha Tahun 2002-2007 Persen Bidang Usaha 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Pertanian, Peternakan, Perikanan - - - - - - Industri 13,41 11,96 14,86 20,99 11,99 27,73 Konstruksi 21,85 11,32 28,18 2,99 - 17,22 Hotel 3,34 9,39 - 40,03 - 0,21 Real Estate, Perkantoran 4,14 36,67 1,53 13,32 27,5 5,13 Jasa-Jasa Lainnya 57,26 30,66 55,43 22,67 60,51 49,71 Jumlah 100 100 100 100 100 100 Sumber : BPM dan BKUD Provinsi DKI Jakarta. Indikator Ekonomi Jakarta 2008. diolah. Investasi baik PMA maupun PMDN sangat berperan terhadap peningkatan kesempatan kerja di DKI Jakarta tidak lepas dari adanya peran serta pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam menjadikan DKI Jakarta sebagai pusat perdagangan, pelayanan, bisnis dan jasa. Sehingga semenjak berlangsungnya kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah banyak memberikan kemudahan perizinan dalam mendukung iklim investasi di DKI Jakarta seperti pemberlakuan sistem pelayanan terpadu satu pintu PTSP pada investor yang hendak menanamkan modalnya diatas Rp. 500.000.000,- sedangkan jika kurang dari nilai tersebut perizinan usaha dan investasi dapat dilakukan melalui kantor wilayah. Dan dalam mempercepat proses birokrasi pendirian usaha dan investasi, semenjak otonomi derah berlangsung pun pemerintah daerah mampu memangkas proses perolehan perizinan pendirian usaha yang semula berkisar 162 hari menjadi hanya rata-rata 68 hari hingga terbit perizinan usaha dan investasi tersebut. Berdasarkan pemeringkatan iklim investasi 33 provinsi di Indonesia tahun 2008 yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal BKPM dan Komisi Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah KPPOD, provinsi DKI Jakarta juga menduduki peringkat I dengan nilai indeks 74,06 dalam hal infrastruktur yang mencakup penyediaan dan kualitas infrastruktur; peringkat I dengan nilai indeks 90,07 dalam hal tenaga kerja yang mencakup ketersediaan, kualitas dan biaya tenaga kerja; peringkat IV dengan nilai indeks 41,20 dalam hal kinerja ekonomi daerah yang mencakup pertumbuhan investasi, ekonomi, ekspor- impor, kesejahteraan dan daya beli, serta tingkat kemahalan investasi; dan peringkat I dengan nilai indeks 57,09 dalam hal peranan dunia usaha dalam perekonomian daerah yang mencakup ketersediaan perbankan dan akses kredit ke perbankan, peran swasta dalam keuangan daerah, investasi dan penciptaan lapangan kerja. Di DKI Jakarta, pusat perdagangan maupun perbelanjaan jumlahnya relatif banyak dan inilah yang memungkinkan investasi di sektor ini mampu menyerap tenaga kerja yang juga relatif banyak seperti yang terdapat di Jakarta Pusat yaitu Pasar Baru, Roxy-Tanah Abang, Proyek Senen-ITC Cempaka Mas, Kawasan Kuliner Pecenongan-Jaksa; di Jakarta Timur yaitu Pusat Grosir Jatinegara, Kampung Melayu, Cibubur, Pasar Induk Beras Cipinang, Pasar Induk Kramat Jati; di Jakarta Selatan yaitu Blok M, Mayestik, Pondok Indah Mall; dan di Jakarta Barat yaitu Lokasari-Mangga Besar, Asemka, Jembatan Lima, Pasar Induk Rawa Buaya; serta di Jakarta Utara yaitu WTC Mangga Dua, SCBD Pluit, Kelapa Gading. Demikian pula dengan sektor jasa dan industri pengolahan. Icon kota Jakarta sebagai pusat ibukota menjadikan pentingnya peran pemerintah daerah dalam menyediakan berbagai sarana dan prasarana pelayanan kepada masyarakat lokal, domestik maupun asing. Dengan demikian, pemerintah daerah maupun investor yang hendak menanamkan modalnya di DKI Jakarta pun lebih memprioritaskan investasi kepada sektor tersebut yang mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak. Kebijakan pemerintah daerah dengan memusatkan industri pengolahan ke daerah pinggir ibukota pun tidak menyurutkan jumlah tenaga kerja ibukota yang terserap. Ini menjadi corak tersendiri bagi struktur kota Jakarta yang mampu menjadikan daerah pinggir sebagai kawasan industri sehingga masyarakat pinggir DKI Jakarta mampu terserap sebagai tenaga kerja seperti yang terdapat di Jakarta Timur yaitu Pulogadung sebagai tempat kawasan industri, Pasar Rebo-Ciracas sebagai tempat industri teknologi tinggi dan industri selektif, Klender sebagai tempat pusat industri kreatif, Penggilingan-Pulogebang, Kramat Jati sebagai tempat perkampungan industri kecil PIK; di Jakarta Selatan yaitu Kebayoran Lama sebagai tempat perkampungan industri kecil PIK; dan di Jakarta Barat yaitu Cengkareng, Kalideres, sepanjang sungai Mookevart sebagai tempat kawasan industri, Rawa Buaya sebagai tempat usaha kecil menengah UKM, Semanan sebagai tempat perkampungan industri kecil PIK dan Primkopti Swakerta Industri Tahu Tempe; serta di Jakarta Utara yaitu Ancol Barat, Penjaringan, Cilincing sebagai tempat kawasan industri, Marunda sebagai tempat industri selektif, Kalibaru sebagai tempat industri kecil. Dari Tabel 16, nilai PMA maupun PMDN berfluktuatif. Hanya saja pada era Orde Baru tepatnya dua tahun di awal penelitian jumlah proyek yang dibiayai masih lebih banyak oleh PMDN. Akan tetapi setelah bergulirnya era Reformasi atau setelah krisis ekonomi bersamaan dengan bergulirnya otonomi daerah, jumlah proyek yang dibiayai oleh PMA lebih banyak daripada PMDN. Ini mengindikasikan bahwa semenjak otonomi daerah, pemerintah daerah lebih berperan dalam membuka arus investasi asing yang dapat dilihat dari besarnya jumlah proyek yang dibiayai oleh investor asing yang bahkan jumlahnya mencapai 45 dari total investasi asing yang masuk ke Indonesia ada di DKI Jakarta. Meskipun ditahun 1998, PMA yang ditanamkan cenderung merosot dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang dikarenakan adanya krisis ekonomi yang sempat mengguncang perekonomian nasional sehingga berpengaruh pula terhadap perekonomian ibukota. Serta masih adanya pengaruh dari ketidakstabilan politik dan keamanan sebagai dampak dari adanya krisis ekonomi yang mengakibatkan adanya penurunan PMA dan PMDN pada tahun 1999 dan peningkatan kecil PMA pada awal berjalannya otonomi daerah dikarenakan adanya faktor ketidakstabilan politik dan keamanan, proses demokrasi langsung yang baru diterapkan di Indonesia membawa kekhawatiran bagi para investor terhadap jaminan keamanan investasi serta adanya kebijakan nasional yang berdampak pada kondisi ekonomi daerah terkait penyesuaian harga bahan bakar minyak BBM yang sangat berpengaruh terhadap keputusan investor untuk menanamkan modalnya di DKI Jakarta. Tabel 16 Perkembangan PMA dan PMDN DKI Jakarta Tahun 1993-2008 PMA PMDN Tahun Investasi ribu US Investasi juta Rp. 1993 834.304 2.190.217 1994 1.355.937 2.268.472 1995 1.918.702 2.286.025 1996 2.430.663 2.460.416 1997 2.436.100 2.653.513 1998 703.916 1.720.556 1999 1.477.547 3.075.958 2000 1.188.670 2.897.266 2001 1.152.300 2.488.088 2002 1.234.429 2.212.477 2003 1.815.300 2.382.750 2004 1.867.972 2.425.851 2005 2.624.156 2.686.000 2006 2.635.281 2.781.710 2007 2.691.830 2.838.339 2008 2.725.800 3.151.300 Sumber : BPM dan BKUD Provinsi DKI Jakarta 1994-2009. Berdasarkan hasil pengujian secara parsial pada variabel PDRB, nilai t- hitung lebih kecil daripada nilai t-tabel 0,0873 2,228 yang berarti bahwa secara parsial variabel PDRB secara tidak signifikan berpengaruh positif terhadap kesempatan kerja di DKI Jakarta selama kurun waktu tahun 1993-2008. Sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa variabel PDRB berpengaruh positif terhadap kesempatan kerja, diterima. Tabel 17 Persentase Produk Domestik Regional Bruto PDRB DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Struktur Ekonomi Tahun 2001- 2008 Persen Tahun Struktur Ekonomi 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Primer 0,16 0,14 0,12 0,11 0,10 0,09 0,09 0,08 Sekunder 28,73 28,74 28,78 28,63 28,49 28,34 28,18 27,95 Tersier 71,11 71,12 71,11 71,26 71,41 71,56 71,73 71,96 Jumlah 100 100 100 100 100 100 100 100 Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta. Jakarta Dalam Angka 2002-2009. data diolah. Peran produk domestik regional bruto PDRB dalam memperluas kesempatan kerja juga tidak kalah pentingnya. Bahkan dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa PDRB justru berpengaruh positif meskipun tidak signifikan dalam memperluas kesempatan kerja. Ini dapat diartikan bahwa keberlangsungan aktivitas ekonomi dan kemajuan dalam kegiatan ekonomi dengan meningkatnya jumlah PDRB yang dihasilkan oleh suatu perekonomian khususnya DKI Jakarta telah berdampak cukup baik dalam membuka kesempatan kerja. Hanya saja tidak signifikannya PDRB dalam memperluas kesempatan kerja dikarenakan antara lain karena adanya pengaruh serikat kerja dan intervensi pemerintah dalam penentuan upah minimum, banyaknya pencari kerja dengan tingkat pendidikan tertentu tidak sesuai dengan yang dibutuhkan pasar kerja, tidak kondusifnya situasi perekonomian dan tumpang tindihnya kebijakan pusat dan daerah yang pada akhirnya akan berpengaruh pada minat investor untuk menanamkan modalnya. Implikasinya pun adalah terhambatnya penciptaan lapangan kerja baru terutama di sektor formal Dimas dan Woyanti 2009. Oleh karena itu, agar PDRB mampu memberikan pengaruh yang signifikan maka diperlukan peran pemerintah daerah dalam memberikan kebijakan maupun program yang bersifat menunjang aktivitas perekonomian masyarakat DKI Jakarta. Berdasarkan Tabel 17, persentase PDRB DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan 2000 masih didominasi oleh sektor tersier yang diikuti oleh sektor sekunder. Sekilas memperlihatkan bahwa sektor tersier mendorong perluasan kesempatan kerja terutama pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran; dan sektor jasa-jasa. Sedangkan pada sektor sekunder perluasan kesempatan kerja diciptakan oleh sektor industri pengolahan. Berdasarkan hasil pengujian secara parsial pada variabel suku bunga kredit, nilai t-hitung lebih kecil daripada nilai –t-tabel -5,2060 -2,228 yang berarti bahwa secara parsial variabel suku bunga kredit secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kesempatan kerja di DKI Jakarta selama kurun waktu 1993-2008. Sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa variabel suku bunga kredit berpengaruh negatif terhadap kesempatan kerja, diterima. Tabel 18 Perkembangan Suku Bunga Kredit Investasi DKI Jakarta Tahun 1993- 2008 Tahun Suku Bunga Kredit Investasi 1993 19,72 1994 17,44 1995 18,06 1996 22,55 1997 24,30 1998 -51,22 1999 21,43 2000 13,31 2001 15,14 2002 17,30 2003 14,39 2004 11,96 2005 1,77 2006 13,57 2007 12,25 2008 8,69 Sumber : Bank Indonesia. Statistik Keuangan Daerah DKI Jakarta 1994-2009. diolah. Suku bunga kredit investasi juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesempatan kerja di DKI Jakarta. Hal ini dikarenakan investasi yang dilakukan investor tidak sepenuhnya berasal dari kekayaan yang dimilki. Sehingga lembaga perbankan menyediakan fasilitas kredit investasi yang bertujuan membantu pemodalan bagi investor untuk melakukan perluasan usahanya. Hasil penelitian yang dilakukan bahwa suku bunga kredit investasi telah berkontribusi negatif dan signifikan terhadap kesempatan tenaga kerja DKI Jakarta selama 16 tahun terakhir. Ini dikarenakan suku bunga kredit memang berbanding terbalik dengan tingkat investasi yang akan dilakukan oleh investor yang menggunakan fasilitas kredit investasi. Semakin tinggi suku bunga kredit yang dikenakan maka akan meningkatkan kompensasi pengembalian pinjaman kredit investasi bagi para investor kepada lembaga pemodal. Oleh karenanya, suku bunga kredit yang tinggi akan mengurangi minat investasi bagi investor dan akan berdampak pada pengurangan jumlah tenaga kerja. Signifikannya suku bunga kredit terhadap penurunan kesempatan kerja DKI Jakarta dikarenakan selain adanya pergeseran pemanfaatan jasa tenaga kerja menjadi pemanfaatan teknologi yang lebih modern sehingga produk-produk yang dihasilkan selain lebih kompetitif dan biaya yang dikeluarkan lebih efisien juga dikarenakan suku bunga kredit investasi yang dihitung bersifat riil dari tingkat inflasi selama periode penelitian selalu berfluktuatif nilainya yang berakibat pada kekhawatiran bagi investor dalam melihat kondisi perekonomian yang tidak menentu seperti yang terjadi pada tahun 1998 ketika terjadi krisis ekonomi, kemudian yang terjadi pada tahun 2000 hingga 2001 ketika terjadi ketidakstabilan politik dan keamanan di ibukota dan nasional serta yang terjadi pada tahun 2005 ketika adanya kebijakan pemerintah pusat terhadap penyesuaian harga bahan bakar minyak BBM. Sehingga hal ini pula yang menyebabkan berkurangnya minat investor untuk menanamkan modal termasuk dengan menggunakan fasilitas kredit investasi. Dari Tabel 18 diketahui bahwa suku bunga kredit investasi terendah selama tahun 1993-2008 terjadi pada tahun 1998, yaitu sebesar -51,22, sedangkan suku bunga kredit investasi tertinggi terjadi pada tahun 1997, yaitu sebesar 24,30. Menurut Manurung dan Manurung 2009 tingkat suku bunga kredit yang berubah-ubah salah satunya disebabkan oleh biaya intermediasi perbankan, intervensi pemerintah melalui tingkat bunga SBI, dan kondisi perbankan dan perekonomian nasional. Kondisi perbankan dan perekonomian seperti likuiditas perbankan, dan keadaan perekonomian masyarakat akan mengganggu kemampuan perbankan untuk menjalankan fungsi intermediasi. Kondisi perekonomian yang kondusif akan membantu menciptakan suku bunga yang stabil dan tidak terlalu tinggi. Suku bunga kredit investasi yang stabil dapat kita amati pada beberapa tahun di awal tahun penelitian meskipun nilainya lebih tinggi dari beberapa tahun di akhir penelitian. Dan semenjak otonomi daerah terutama setelah berjalan beberapa tahun nilai suku bunga kredit investasi cenderung lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya meskipun ada peningkatan yang tidak terlalu besar. Dan hal ini pula yang diharapkan membawa konsekuensi agar jumlah kredit investasi yang digulirkan semakin besar sehingga akan memacu aktivitas perekonomian dan akhirnya memperluas kesempatan kerja. Penurunan suku bunga kredit investasi yang terjadi semenjak otonomi daerah salah satunya juga tidak lepas dari peran pemerintah daerah yang mendorong aktivitas ekonomi masyarakat melalui fasilitas jasa perbankan yang ditawarkan lembaga perbankan dan pemerintah daerah melalui bank daerah yang notabene-nya merupakan badan usaha milik daerah BUMD dalam menunjang kegiatan pembangunan daerah. Akan tetapi dari tingkat suku bunga kredit yang diberlakukan selama periode penelitian telah menyebabkan surutnya investasi termasuk diantaranya pada usaha kecil dan menengah UKM di DKI Jakarta yang berdampak pada berkurangnya penyerapan tenaga kerja. Tabel 19 Matriks Bidang Ketenagakerjaan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2002- 2007 Arah Kebijakan Ketenagakerjaan Strategi Program Indikator Kinerja Mengembangkan ketenagakerjaan secara menyeluruh melalui peningkatan lapangan usaha produktif dan terpadu untuk mengurangi tingkat pengangguran, serta diarahkan pada kompetensi, kemandirian, peningkatan produktivitas, peningkatan upah, jaminan kesejahteraan pekerja, perlindungan tenaga kerja dan kebebasan berserikat Mendorong dan mendukung upaya- upaya penciptaan dan perluasan lapangan pekerjaan untuk mengurangi penggangguran yang didukung oleh inventarisasi data ketenagakerjaan serta potensi lapangan kerja yang ada di provinsi DKI Jakarta mengupayakan perlindungan dan kebebasan berserikat kepada tenaga kerja dengan menekankan kepada kualitas kerja, serta meningkatkan upaya pengendalian ketenagakerjaan dengan program- program pengiriman tenaga kerja ke luar provinsi DKI Jakarta 1. Pengembangan Kesempatan Kerja 2. Perlindungan dan Pengendalian Tenaga Kerja 3. Peningkatan Produktivitas Tenaga Kerja a. Meningkatnya informasi ketenagakerjaan dan pasar tenaga kerja untuk masyarakat b. Meningkatnya pengiriman tenaga kerja ke luar negeri c. Terciptanya peluang kerja dan usaha bagi pekerja dan tenaga kerja penyandang cacat d. Menurunnya pengangguran a. Meningkatnya perlindungan pengawasan dan penegakan hukum ketenagakerjaan khususnya bagi perempuan b. Berkurangnya kasus pelanggaran ketenagakerjaan c. Meningkatnya jumlah tenaga kerja yang terlindungi oleh program Jamsostek d. Berkurangnya demonstrasi masalah ketenagakerjaan dan kebijakan perusahaan a. Meningkatnya upah dan produktivitas tenaga kerja b. Meningkatnya pelatihan tenaga kerja Sumber : Program Pembangunan Daerah Propeda Provinsi DKI Jakarta Tahun 2002-2007 Sedangkan dalam penyelenggaraan urusan Ketenagakerjaan oleh pemerintah daerah DKI Jakarta antara lain diarahkan untuk: a. Menerapkan kaidah good governance pada penyelenggaraan urusan Ketenagakerjaan. b. Meningkatkan kapasitas penyelenggara urusan Ketenagakerjaan. c. Menerapkan kebijakan ketenagakerjaan yang menyeluruh, terpadu dan merupakan solusi terhadap masalah kota. d. Meningkatkan kompetensi lulusan sekolah menengah kejuruan dan pencari kerja dalam sektor jasa tersier agar memenuhi kebutuhan pasar kerja. e. Memfasilitasi penyediaan diklat khusus sektor jasa tersier yang lulusannya bersertifikat kompetensi dan memberi insentif bagi usaha-usaha yang banyak menyerap tenaga kerja spesifik tersebut. f. Melakukan kerjasama dengan pemerintah pusat dan negara yang tergabung dalam Asean Economic Community untuk mengembangkan training centre khusus guna meningkatkan kualitas tenaga kerja yang memiliki sertifikat kompetensi. g. Meningkatkan perlindungan terhadap tenaga kerja. h. Meningkatkan hubungan industrial tenaga kerja. i. Memfasilitasi pembentukan Lembaga Kerjasama Bipartit. j. Meningkatkan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. k. Meningkatkan akses masyarakat terhadap jaringan informasi pasar kerja melalui internet. l. Mengembangkan potensi pengiriman tenaga perawat dengan kemampuan khusus ke luar negeri. m. Mewujudkan kerjasama pendidikan, pelatihan, dan pengiriman perawat dengan pemerintah provinsi se-Jawa-Bali. n. Seluruh BLKBLKD menerapkan standar internasional. o. Meningkatkan pengiriman transmigran yang memiliki keterampilan ke daerah tujuan transmigrasi. p. Meningkatkan peran masyarakat dan komunitas profesional dalam penyelenggaraan urusan Ketenagakerjaan. q. Memenuhi Standar Pelayanan Minimum SPM lainnya urusan wajib Ketenagakerjaan. Program yang sudah maupun sedang dilaksanakan oleh pemerintah daerah DKI Jakarta untuk urusan Ketenagakerjaan antara lain: a. Penerapan prinsip good governance dalam penyelenggaraan urusan Ketenagakerjaan Antara lain: SDM Ketenagakerjaan menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat; Pengelolaan urusan, pelayanan, informasi Ketenagakerjaan menjadi lebih transparan dan mudah di akses melalui internet; Pengelolaan urusan Ketenagakerjaan semakin efisien dan akuntabel; Program Ketenagakerjaan antisipatif terhadap perkembangan masa depan; Masyarakat dan komunitas profesional semakin berpartisipasi dalam pengelolaan dan penyusunan kebijakan Ketenagakerjaan; Penegakan hukum dilaksanakan secara sistematik dan terprogram dengan baik; Semua peraturan perundangan daerah tentang Ketenagakerjaan sudah dikaji ulang dan disempurnakan guna mendukung penyelenggaraan urusan Ketenagakerjaan; Fungsi regulator ketenagakerjaan ramping dan terpisah dari fungsi operator serta dilengkapi dengan sistem dan prosedur kerja yang jelas; dan Penempatan SDM Ketenagakerjaan berdasarkan kompetensi. b. Program sinkronisasi kebijakan pembiayaan, kelembagaan dan regulasi ketenagakerjaan Antara lain: Ditetapkannya peranan APBD dalam pembiayaan penyelenggaraan urusan Ketenagakerjaan secara keseluruhan; Ditetapkannya bentuk kelembagaan penyelenggaraan Ketenagakerjaan yang efisien pembiayaannya; dan Ditetapkannya regulasi terhadap komponen- komponen strategis dalam implementasi sistem Ketenagakerjaan. c. Program peningkatan kesempatan kerja Antara lain: Meningkatnya akses informasi ketenagakerjaaan bagi para pencari kerja dan pengguna tenaga kerja; Semakin mudahnya akses melalui internet informasi ketenagakerjaan untuk pencari kerja dan pengguna tenaga kerja; Meningkatnya kerjasama pemerintah dengan dunia usahadunia industri dalam penempatan tenaga kerja; Tersedianya peluang kerja dan peluang usaha bagi pencari kerja; dan Meningkatnya jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor jasa tersier. d. Program perlindungan dan pengembangan lembaga ketenagakerjaan Antara lain: Meningkatnya kesejahteraan pekerja meliputi jaminan sosial, upah dan fasilitas kesejahteraan pekerja; Meningkatnya perlindungan dan pengawasan ketenagakerjaan, khususnya pekerja perempuan, anak dan penyandang cacat; Berkurangnya kasus pelanggaran ketenagakerjaan; dan Terciptanya suasana yang seimbang dalam perundingan antara pekerja dan pemberi kerja. e. Program peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja Antara lain: Terselenggaranya pelatihan, sertifikasi dan penempatan three in one ; Terpenuhinya kebutuhan sarana dan prasarana ketenagakerjaan berstandar modern; Terbangunnya kerjasama di bidang pendidikan dan pelatihan tenaga kerja se-Jawa-Bali; dan Terbentuk dan beroperasinya Unit Produktivitas Tenaga Kerja di DKI Jakarta. f. Program fasilitasi pengiriman Tenaga Kerja Indonesia TKI ke luar negeri Antara lain: Terfasilitasinya pengiriman calon TKI ke luar negeri. g. Program pengembangan wilayah transmigrasi Antara lain: Meningkatnya pemindahan dan penempatan transmigran asal DKI Jakarta. h. Program peningkatan sarana prasarana ketenagakerjaan Antara lain: Terpenuhinya kebutuhan sarana dan prasarana Ketenagakerjaan berstandar modern. i. Program pelaksanaan Standar Pelayanan Minimum SPM lain urusan Ketenagakerjaan Antara lain: Terpenuhinya Standar Pelayanan Minimum SPM lain urusan Ketenagakerjaan.

4.3. Implikasi Kebijakan

Implikasi kebijakan di bidang ekonomi dalam rangka mendorong penciptaan tenaga kerja yang lebih besar oleh pemerintah daerah DKI Jakarta diantaranya melalui: 1. Pengembangan sektor-sektor ekonomi Perlunya peran pemerintah daerah DKI Jakarta untuk lebih memprioritaskan pada pengembangan sektor-sektor ekonomi yang mampu menyerap tenaga kerja lebih besar, diantaranya pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran; jasa-jasa; pengangkutan dan komunikasi; keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan; dan bangunan. 2. Pengembangan sektor-sektor ekonomi dengan melihat pada komponen- komponen yang mampu mendorong penyediaan kesempatan kerja. Pemerintah daerah DKI Jakarta perlu memfokuskan pengembangan sektor- sektor ekonomi dengan melihat pada komponen-komponen yang mampu mendorong penyediaan kesempatan kerja, seperti pada komponen pertumbuhan tenaga kerja nasional maka sektor ekonomi yang perlu diprioritaskan adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran; jasa-jasa; dan industri pengolahan. Pada komponen bauran industri maka sektor ekonomi yang perlu diprioritaskan adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran; pengangkutan dan komunikasi; dan listrik, gas, dan air bersih. Sedangkan pada komponen keunggulan kompetitif maka sektor ekonomi yang perlu diprioritaskan adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran; jasa-jasa; dan keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan. 3. Penciptaan iklim investasi yang kondusif. Pemerintah daerah DKI Jakarta sudah seharusnya lebih memprioritaskan pada penciptaan iklim sosial, politik dan usaha yang kondusif. Pemberian berbagai insentif kebijakan mampu mendorong minat investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia yang akhirnya menciptakan kesempatan kerja yang lebih luas. 4. Pengendalian laju inflasi Penanganan pengendalian laju inflasi melalui kebijakan fiskal daerah perlu mendapat perhatian pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam menciptakan kestabilan suku bunga riil investasi. Karena suku bunga investasi yang rendah dan stabil masih menjadi andalan bagi investor dalam melakukan investasi melalui dana pinjaman. Kebijakan pengendalian laju inflasi dapat melalui pengurangan pengeluaran pemerintah agar pengeluaran keseluruhan