Kesempatan Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi

perubahan dalam GDP riil dari tahun ke tahun, seperti terlihat pada garis titik sebar pengamatan yang berslope negatif. Salah satu masalah yang biasa muncul dalam ketenagakerjaan adalah ketidakseimbangan antara permintaan tenaga kerja demand for labour dan penawaran tenaga kerja supply of labour pada suatu tingkat upah. Ketidakseimbangan tersebut dapat berupa: 1. Lebih besarnya penawaran tenaga kerja dibanding permintaan tenaga kerja adanya excess supply of labour. 2. Lebih besarnya permintaan tenaga kerja dibanding penawaran tenaga kerja adanya excess demand for labour. Apabila jumlah orang yang menawarkan tenaganya untuk bekerja adalah sama dengan jumlah tenaga kerja yang diminta, maka tidak akan ada excess supply for labour maupun excess demand for labour. Pada kondisi seperti ini berarti terjadi tingkat upah keseimbangan di mana semua orang yang ingin bekerja telah dapat bekerja, berarti tidak ada orang yang menganggur. Apabila terjadi excess supply of labour berarti ada orang yang menganggur pada tingkat upah tertentu, sedangkan apabila terjadi excess demand of labour berarti masih ada kemungkinan tenaga kerja dapat melakukan negoisasi upah sesuai keinginannya di atas upah keseimbangan. Lewis dalam Subri 2003 mengemukakan bahwa kelebihan pekerja merupakan kesempatan dan bukan suatu masalah, di mana kelebihan pekerja satu sektor ekonomi akan memberikan andil terhadap pertumbuhan output dan penyediaan pekerja di sektor lain. Lebih murahnya biaya upah asal pedesaaan terutama dari sektor pertanian akan dapat menjadi pendorong bagi pengusaha perkotaan untuk memanfaatkan pekerja tersebut dalam pengembangan industri modern perkotaan. Selama berlangsungnya proses industrialisasi, maka kelebihan penawaran pekerja di sektor pertanian akan terserap. Fei-Ranis dalam Subri 2003 mengemukakan bahwa ada tiga tahapan pembangunan ekonomi dalam kondisi kelebihan tenaga kerja. Tahapan tersebut adalah: 1. Para penganggur semu yang tidak menambah output pertanian dialihkan ke sektor industri dengan upah institusional yang sama. 2. Tahap di mana pekerja pertanian menambah output tetapi memproduksi lebih kecil dari upah institusional yang mereka peroleh dapat pula dialihkan ke sektor industri. 3. Tahap ditandai awal pertumbuhan swasembada pada saat buruh pertanian menghasilkan output lebih besar dari perolehan upah institusional, maka dalam kondisi seperti ini kelebihan pekerja terserap ke sektor jasa dan industri yang meningkat terus-menerus sejalan dengan pertumbuhan output dan perluasan usahanya. Harrod-Domar Todaro 2000 dalam teori pertumbuhannya menyatakan bahwa secara definitif tingkat pertumbuhan output Y dikurangi dengan tingkat pertumbuhan produktivitas tenaga kerja YL kurang lebih sama dengan pertumbuhan kesempatan kerja L. Secara matematis hubungan-hubungan tersebut dapat disajikan sebagai berikut: 1 .......... .......... .......... L L L Y L Y Y Y ∆ = ∆ − ∆ Sementara itu menurut Todaro 2000, bahwa faktor-faktor atau komponen pertumbuhan ekonomi yang penting dalam masyarakat adalah sebagai berikut: 1. Akumulasi modal, termasuk semua investasi baru dalam bentuk tanah, peralatan fisik, dan sumber daya manusia. 2. Perkembangan populasi, yang akan mengakibatkan terjadinya pertumbuhan angkatan kerja walaupun terlambat. 3. Kemajuan teknologi, terutama untuk sektor industri. Dengan menggunakan teori Harrod-Domar, Todaro menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya dengan lebih mengutamakan perkembangan sektor-sektor ekonomi yang padat karya seperti sektor pertanian dan industri-industri berskala kecil. Apabila pertumbuhan ekonomi dilihat dari pertambahan output dalam bentuk GDP konstan, maka akan menghilangkan unsur inflasi di dalamnya. Sementara itu di sisi lain inflasi ini sebenarnya dapat memicu pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya akan dapat menciptakan kesempatan kerja. Di lain pihak, Arsyad 2000 menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi daerah diartikan sebagai kenaikan Produk Domestik Regional Bruto PDRB tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan ekonomi daerah secara langsung ataupun tidak langsung akan menciptakan lapangan kerja. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tolak ukur dari keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah diantaranya adalah PDRB daerah tersebut dan pertumbuhan penduduk yang bermuara pada tingkat kesempatan kerja. PDRB menggambarkan kemampuan suatu daerah dalam mengelola sumber daya alam dan faktor-faktor produksi. PDRB juga merupakan jumlah dari nilai tambah yang diciptakan dari seluruh aktivitas ekonomi suatu daerah atau sebagai nilai produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu daerah. Mengambil analisis makro Produk Domestik Regional Bruto, Mankiw 2000 menjelaskan bahwa secara umum PDRB dapat dihitung berdasarkan harga konstan atau berdasarkan harga berlaku. PDRB menurut harga konstan adalah merupakan ukuran kemakmuran ekonomi yang lebih baik sebab perhitungan output barang dan jasa perekonomian yang dihasilkan tidak dipengaruhi oleh perubahan harga.

2.5. Analisis Sektoral dan Struktur Ekonomi

Suatu perekonomian secara umum dapat dianalisis pada dua aspek, yaitu analisis sektoral dan analisis regional. Kajian tersebut dapat dilakukan untuk tingkat ekonomi nasional maupun untuk tingkat ekonomi daerah regionallokal. Analisis sektoral, baik perekonomian tingkat nasional, tingkat regional subnasional maupun tingkat subregional dilihat berdasarkan sektor-sektor kegiatan ekonomi atau lapangan usaha. Hingga saat ini sektor-sektor kegiatan ekonomi atau lapangan usaha dibagi menjadi 9 sektor, yaitu: 1. Sektor Pertanian 2. Sektor Pertambangan, dan Penggalian

3. Sektor Industri Pengolahan

4. Sektor Listrik, Gas, dan Air Minum

5. Sektor Bangunan

6. Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran

7. Sektor Pengangkutan, dan Komunikasi

8. Sektor Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan

9. Sektor Jasa-jasa

Dari 9 sektor di atas dikelompokan kembali menjadi 3, yaitu: 1. Sektor Primer meliputi pertanian; dan pertambangan, dan galian 2. Sektor Sekunder meliputi industri pengolahan; listrik, gas, dan air minum; dan bangunan 3. Sektor Tersier meliputi perdagangan, hotel, dan restoran; pengangkutan, dan komunikasi; keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan; dan jasa-jasa. Meminjam istilah Kuznets, perubahan struktur ekonomi umum disebut transformasi struktural dan dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian perubahan yang saling terkait satu dengan yang lainnya dalam komposisi permintaan agregat, perdagangan luar negeri ekspor dan impor, penawaran agregat produksi dan penggunaan faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal yang diperlukan guna mendukung proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan Todaro 2000. Struktur ekonomi yang dimaksud disini adalah bangun ekonomi suatu provinsi atas sektor primer pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, sektor sekunder manufaktur, konstruksi, dan sektor tersier jasa. Perbedaan peran antar sektor primer dan sekunder di setiap provinsi, dapat menggambarkan perbedaan tingkat industrialisasi antar provinsi, dimulai dengan struktur ekonomi dengan sifat pertanian yang dominan hingga industri yang dominan. Struktur ekonomi suatu provinsi pada dasarnya dapat ditelaah atau diukur dari 2 indikator pokok. Pertama, diukur dari nilai moneter seluruh barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai lapangan usaha ekonomi di suatu wilayah pada suatu kurun waktu tertentu. Kedua, diukur dari segi ketenagakerjaan, yakni jumlah penduduk yang