Property Right Tata Laksana Kelembagaan Pengelolaan Situ 1. Batas Yurisdiksi

Situ Sampel Kondisi lingkungan sekitar Kondisi sosial ekonomi Pengelola Peraturan Situ Lembang Tertata Menengah ke atas Dikelola oleh Dinas Pertamanan dan Pemakanan Provinsi DKI Jakarta Diterbitkannya SK Situ Rawa Dongkal Tertata Menengah ke atas Dikelola oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta Diterbitkannya SK Situ Pengilingan Aneka Elok Tertata Menengah Berada dalam lahan pengembang Perumahan Aneka Elok Penggilingan namun kini telah diserahkan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Karena proses serah terima fasos-fasum belum terlaksana tuntas maka situ menjadi terlantar dan dipenuhi semak dan tanaman air bahkan tumbuh pohon di tengah- tengah situ Tidak ada kejelasan Situ Rawa Badung Belum Tertata Menengah ke bawah Tidak jelas siapa yang bertanggungjawab mengelola situ Sudah dalam waktu cukup lama dibiarkan terlantar sehingga muncul pemukiman liar. Berdasarkan hasil wawancara mendalam, dulunya kawasan persawahan yang dibeli oleh PT Jakarta Industrial Estate Pulogadung untuk penampungan air limbah Tidak ada kejelasan Situ Rorotan Belum Tertata dalam proses Menengah ke bawah dalam proses menuju menengah ke atas Pengembang sesuai SK Diterbitkannya SK Sumber: diolah dari data wawancara mendalam dan observasi Pembenahan situ kerap terbentu pada masalah status kepemilikan lahan, karena ada beberapa situ yang diklaim sebagai milik pribadi. Hal ini terjadi karena keberadaan situ yang pada umumnya berada di kawasan rawa-rawa, sementara banyak kawasan rawa-rawa menjadi milik pribadi yang dapat diperjualbelikan. Klaim kepemilikan perorangan atas situ semakin bisa terjadi akibat minimnya data tentang kepemilikan lahan, juga kurangnya perhatian pemerintah terutama dalam melakukan peninjauan lokasi Contoh: Kasus Rawa Badung. Lahan-lahan di sekitar situ di Jakarta memang banyak yang telah diambil alih oleh masyarakat. Pemprov DKI pun mengalami kesulitan ketika bermaksud akan membebaskan lahan tersebut karena masyarakat yang terlanjur menempati lahan-lahan di sekitar situ, tidak bersedia pindah apabila tidak mendapatkan ganti rugi yang sesuai dengan keinginan mereka. Sementara warga setempat cenderung memandang situ sebagai kawasan “tak bertuan,” minim manfaat dan karenanya dapat diubah jadi daratan diuruk atau dijadikan tempat pembuangan sampah. Secara umum tingkat kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang fungsi situ juga sangat terbatas. Hampir sebagian besar warga masyarakat di sekitar situ tidak menyadari fungsi situ sebagai pengendali banjir, penyimpan air, apalagi untuk kelestarian flora dan dauna endemik. Terkait dengan hal tersebut, maka partisipasi warga masyarakat dalam memelihara situ hanya dapat terwujud apabila ada kepastian hukum akan status kepemilikan situ serta konsistensi pengawasan baik oleh masyarakat mau pun pemerintah. Contoh kasus adalah Situ Babakan, perhatian warga setempat terhadap Situ sebenarnya cukup baik. Ini antara lain ditunjukkan dengan keseriusan mereka ikut menjaga areal situ dari kemungkinan adanya orang yang membuang sanpah di lahan situ. Peran warga setempat, menurut mereka dikoordinir oleh Ketua RW—terhadap situ ini membuat situ ini relatif bersih dari sampah warga. Masyarakat di sekitar situ Penggilingan mengaku gembira, jika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat memperbaiki situ, terutama membersikan tanaman yang membelukar di tengah situ. Menurut warga, penghuni kompleks perumahan Aneka Elok juga enggan membuang sampah ke kawasan situ, karena selain ada penduduk yang mengawasinya, juga situ ini berfungsi sebagai penampungan limpasan air hujan sehingga perumahan tersebut terhindar dari ancaman banjir. Beberapa warga warga RW 09 dan RW 15 Kelurahan Penggilingan, Kecamatan Cakung, menuturkan bahwa jika hanya untuk membersihkan sampah yang ada di sekitar situ tersebut, warga akan menyanggupi untuk mengerjakannya. Namun kalau sampai harus mengeruk lumpur dan menggali sedimentasi di situ, warga tak mampu melakukannya. Bahkan sebenarnya sejak jauh hari sebelumnya, warga atas kesadarannya sendiri mau membersihkan situ tersebut. Namun karena minimnya alat yang dimiliki warga setempat pengerjaannya jadi tidak maksimal. Selain lumpurnya terlalu dalam, di situ ini juga sudah banyak ularnya. Jadi warga takut untuk membersihkannya.

5.3.3. Aturan Representatif

Elemen-elemen esensial untuk suksesnya kelembagaan pengelola CPRs ditentukan oleh kemampuan dari CPRs appropriators untuk berkomunikasi, membuat peraturan-peraturan pengelolaan sumberdaya dengan baik serta menerapkan penalti bagi perilaku pelanggaran aturan. Rendahnya perhatian pemerintah atas situ, ketidakjelasan status kepemilikan, tidak tertibnya pendataan lahan, okupasi lahan secara sepihak, dan kemungkinan adanya praktek kolusi yang melibatkan aparat merupakan sebagian dari penyebab banyaknya lahan situ rusak parah. Akumulasi atau keterkaitan berbagai penyebab tersebut juga terjadi dalam kasus Rawa Badung yang jadi obyek sengketa antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan warga setempat. Berdasarkan hasil wawancara mendalam, lahan situ Rawa Badung semula milik Haji Kuhar alias Kuntong 86, warga RT 1308, Jatinegara, yang rumahnya sekitar 20 meter dari tepi waduk. Sebagian dari lahan itu berupa sawah. Pada 1990, sawahnya itu dibeli PT Jakarta Industrial Estate Pulogadung JIEP untuk diuruk dan di tempat itu dibangun gedung-gedung untuk perusahaan. Namun, pada 1999, Pemerintah Provinsi DKI melalui Pemerintah Kota Pemkot Jaktim, membeli lahan itu dari PT JIEP, dan selanjutnya pemerintah membangun waduk itu. Sementara sumber lain menyebutkan bahwa lahan Situ Rawa Badung sebenarnya berstatus tanah negara dalam penguasaan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Lahan ini diserahkan kepada PT JIEP sebagai penyertaan modal. Akibatnya, persengketaan antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan sejumlah warga setempat pun terjadi, ketika pihak Pemprov DKI Jakarta hendak melakukan pembenahan lingkungan situ, ternyata telah dipenuhi bangunan milik penduduk. Dalam sengketa ini, pihak Pemprov DKI Jakarta bersikukuh bahwa situ dan lahan disekitarnya berstatus asset Pemprov DKI jakarta berdasarkan Sertifikat Hak Pengelolaan Lahan HPL yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional BPN Jakarta Timur. Sebaliknya pihak warga pun tak kalah keras menolak klaim Pemprov DKI Jakarta karena mereka memiliki Sertifikat Hak Milik atas lahan di tepi Situ Rawa Badung. Akibatnya, kepastian status kepemilikan lahan di sekitar situ belum menentu karena masih menunggu proses hukum di pengadilan . Upaya jalan pintas yang ditempuh Pemprov DKI Jakarta dengan menerbitkan Surat Perintah Pembongkaran Bangunan, juga terganjal selain oleh aksi-aksi protes warga setempat, juga muncul surat dari DPRD DKI Jakarta yang meminta agar penggusuran ditunda hingga terdapat kepastian status kepemilikan dengan keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Dalam perkembangannya, putusan penundaan pembongkaran bangunan di sekitar Situ Rawa Badung juga dikuatkan dengan Keputusan Mahkamah Agung Nomor: 311 KTUN2009. Dalam amar putusannya Mahkamah Agung menilai Sertifikat HPL yang ditertbitkan BPPN Jakarta Timur melanggar prinsip hukum karena tanpa didasarkan pada kenyataan bahwa lahan tersebut dalam waktu puluhan tahun telah ditempati oleh warga. Disebutkan pula bahwa dalam menerbitkan HPL, BPN Jakarta Timur tidak melakukan pemetaan atas tanah sesuai undang undang, yakni Pasal 17 ayat 1 PP No 4 Tahun 1997 sebagai pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkan sertifikat HPL No 10 seluas 151. 797 m2, dan HPL No 11 Jatinegara seluas 40.605 m2 atas nama Pemprov DKI Jakarta. Terbitnya keputusan Mahkamah Agung akhirnya menyebabkan pembenahan Situ Rawa Badung terkatung-katung. Sebab meski sejumlah warga mengaku lahan di sekitar situ merupakan tanah negara, Namur Pemprov DKI Jakarta tidak dapat melakukan pembongkaran bangunan karena harus taat pada putusan tersebut. Warga juga mengaku, tak tahu lagi siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas situ dan lahan situ disekitarnya, meski tetap berharap agar pemerintah dapat segera turun tangan menata situ agar kawasan ini bisa bebas dari gangguan banjir. Masalah pun kian bertambah runyam, sebab tanpa pengawasan, kini situ semakin dipadati pemukim liar dan jadi tempat pembuangan sampah. Akibatnya, selain beragam jenis sampah memenuhi permukaan situ, juga polusi bau. Pemprov DKI Jakarta sebenarnya sudah mem-floting rencana terhadap Situ