Pengantar Kerangka Komponen Pengelolaan

tidak dapat dimiliki secara individual. Kurang tertatanya aturan mengenai pemanfaatan berbagai bentuk “sumberdaya bersama” mengakibatkan terjadinya degradasi pada sumberdaya yang dimanfaatkan. Terjadinya degradasi terhadap sumberdaya ini sangat dipengaruhi oleh sistem manajemen yang dipergunakan dalam memanfaatkannya. Dibawah ini Rustiadi, et.al., 2009 memberikan contoh bagaimana mendefinisikan barang menurut tingkat persaingan dan eksklusivitasnya. Barang privat adalah barang yang memperlihatkan kepemilikan pribadi serta memiliki ciri 1 excludable, artinya tidak bisa dikonsumsi semua orang, karena bila sudah dikonsumsi oleh seseorang akan mengurangi pihak lain untuk mengkonsumsinya, dan 2 terbatas karena adanaya persaingan. Contoh barang privat adalah barang yang dimiliki sehari-hari, seperti roti, beras yang dikonsumsi seseorang. Sedangkan barang publik seperti common goods mencakup sumberdaya milik bersama common property resources CPR’s, barang klub clubs group, dan barang publik public groups. Tabel 2. Klasifikasi Barang Benda Berdasarkan Sifat Persaingan dan Sifat Eksklusivitasnya Excludability Kemampuan Melarang Akses Pihak Luar Pembagian Cara Klasik Barang Ekonomi Ya Tidak Ya Barang milik pribadi Private good Sumber daya bersama common poll resource Rivalness Persaingan Tidak Barang Klub Club good Barang publik Public good Sumber: Ostrom 2000 dalam Ernan Rustiadi et.al,. 2009 Ciri yang paling bisa dikenali dari sumberdaya milik bersama adalah sebagai berikut: 1. Terlampau besarnya biaya untuk menghambat secara fisik maupun dengan menggunakan instrumen hukum positif dan menggunakan sumberdaya excludabilities. 2. Manfaat yang dipetik oleh seseorang diperoleh berdampak mengurangi manfaat yang tersedia untuk orang lain rivallness. Gambar 1. Perkembangan Hak-hak kepemilikan Sumber : Lynch Harwell 2002 Sedangkan jika dilihat perkembangan mengenai hak-hak kepemilikan Feeny et al., 1990; Lynch Harwell 2002 dapat dilihat sebagai berikut : 1. Akses terbuka open access: Tidak ada hak kepemilikan terhadap sumber daya. Sumber daya bebas dan terbuka diakses oleh siapapun. Tidak ada regulasi yang mengatur. Hak-hak pemilikan property right tidak didefinisikan dengan jelas. 2. Milik privat private property: Sumber daya dimiliki oleh organisasi swasta. Sumber daya ini bukan milik negara. Ada aturan yang mengatur hak-hak pemilik dalam memanfaatkan sumber daya alam. Manfaat dan biaya ditanggung sendiri oleh pemilik. Hak kepemilikan dapat dipindahtangankan. 3. Dikuasai masyarakat common property. Sumber daya dikuasai oleh sekelompok masyarakat dimana para anggota memiliki kepentingan untuk kelestarian pemanfaatan. Pihak luar bukan anggota tidak boleh memanfaatkan. Hak pemilikan tidak bersifat ekslusif, dapat dipindah- tangankan sepanjang sesuai aturan yang disepakati bersama. Aturan pemanfaatan mengikat anggota kelompok. 4. Dikuasai negara state property: Hak pemanfaatan sumber daya alam secara eksklusif dimiliki oleh pemerintah. Pemerintah berkewenangan memutuskan tentang akses, tingkat dan sifat eksploitasi sumber daya alam. Public Property Rights Milik Negara Private Property Rights Bukan Milik Negara Group Rights Hak-hak Komunitas Individual Rights Hak-hak Individu Private Community-Based Property Rights Komunitas-Privat Individu-Privat Individu-Publik Kelompok-Publik Dari rezimentasi sumberdaya di atas maka Ostrom 2000 menggambarkan bahwa terjadi perubahan dalam atribut pengelolaan terkait dengan penggunaan flow dalam kerangka penyediaan terbatas namun terus terjadi dalam waktu tertentu dan pencadangan stock digunakan untuk pembatasan atau perlindungan dari eksploitasi. Jika dilihat maka rezimentasi sumberdaya jika dilihat dari konsep titik kritis pemanfaatan eksploitasi adalah sebagai berikut. Tabel 3. Atribut Stock dan Flow dalam Rezimentasi Sumberdaya Kepemilikan Privat Kepemikan Bersama CPRs Kepemilikan Negara Publik Flow Parsel Parsel Tetap Stock Parsel Tetap Tetap Sumber: Ostrom 2000 Keterangan: Parsel dapat dibagi-bagi dan didistribusikan pemanfaatannya, tetap tidak dapat dibagi atau diditribusikan Dari keterangan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa rezim sumberdaya milik bersama jika dimaksudkan sebagai pencadangan stock dalam pemanfaatan maka harus dijaga dari eksploitasi. Sebaliknya, dalam kepemilikan negara, jika dimaksudkan sebagai sumberdaya yang dapat dibagi dan didistribusikan maka kepemilikan oleh negara hanya dapat dimanfaatkan oleh negara, tidak dapat didistribusikan. Hal ini kontras dengan fakta pemanfaatan hutan lindung milik negara berdampingan di tempat dan waktu yang sama dengan pertambangan milik negara atau privat.

2.2.1. Permasalahan Universal Pengelolaan Sumberdaya Bersama

Dua masalah utama dalam pengelolaan sumberdaya-sumberdaya bersama adalah free rider problem masalah penunggang gelap, karena sifatnya barang publik cenderung mengarah pada kegagalan pasar yang instan. Dalam mekanisme pasar dimana individu-individunya semua hanya mencari keuntungan pribadi, maka pengelolaan barang publik tidak dapat dikelola secara efisien. Masalah yang timbul akibat adanya pemanfaat-pemanfaat barang publik yang mendapat manfaat mengkonsumsi barang tetapi tidak berkontribusi dalam proses produksinya disebut free rider problem. Oleh karenanya, fenomena public goods selalu memunculkan free rider. Ketika suatu barang menjadi sumber daya bersama, maka setiap orang cenderung menggunakannya secara berlebihan over used. Apabila hal ini terjadi secara terus menerus maka terjadilah “the tragedy of the commons”.

2.2.2. Dari ” Tragedy of The Commons” ke “The Drama of The Commons”

Penduduk dunia semakin bertambah sehingga kebutuhannya juga bertambah. Hal ini menimbulkan beberapa masalah karena lahan tidak bertambah. Kondisi ini menyebabkan wilayah-wilayah dan sumberdaya- sumberdaya yang tadinya dianggap tidak terbatas dan tidak terpikir untuk diatur, maka sekarang harus mulai dicarikan solusinya. Tragedy of the commons merupakan fenomena penting yang mendasari konsep-konsep dalam ekologi manusia dan studi lingkungan. Mayoritas isu lingkungan memiliki aspek-aspek the commons di dalamnya. Inti dari semua teori sosial adalah perbedaan antara manusia yang dimotivasi oleh kepentingannya yang sempit dan manusia yang dimotivasi oleh pandangan terhadap orang lain atau untuk masyarakat secara keseluruhan. Sebenarnya tragedy of the commons dapat dihindari melalui suatu mekanisme yang dapat menyebabkan individu memandang barang-barang atau sumberdaya sebagai milik bersama serta adanya kelembagaan yang mengaturnya. Salah satu masalah utama yang terkait dengan penggunaan sumberdaya common-pool recources CPRs adalah biaya untuk membatasimencegah akses pengguna potensial. Penunggang gelap free rider dapat menyebabkan munculnya biaya tinggi dari sumberdaya common-pool dan barang-publik. Masalah penunggang gelap dapat terselesaikan apabila aturan- aturan diadopsi dan diterima dalam mengatur kegiatan-kegiatan individu dan biaya transaksi pengendalian social cost masih bisa lebih rendah dari manfaat social benefit. Kelembagaan adalah aturan-aturan yang dibangun masyarakat untuk menentukan “yang dilakukan dan yang tidak dilakukan” berkaitan dengan situasi tertentu. Banyak tipe pengaturan kelembagaan telah dikembangkan untuk mencoba mengurangi permasalahan penggunaan yang berlebihan dan penunggang gelap, misalnya distribusi konflik. Karakteristik khusus bagi common-pool resources dan penggunanya mempengaruhi institusi dalam mengatur penggunaan sumberdaya tersebut. Semakin seragam, sederhana dan semakin kecil skala sumberdaya maka akan semakin mudah untuk merancang institusi dan untuk mencegahnya dari over-use serta perusakan. Begitu pula sumberdaya yang rumit dengan penggunaan interaktif dan externalitas negatif akan sulit untuk dikendalikan. Karakteristik individu pengguna, seperti preferensi, aset, dan karakteristik kelompok keeratan, tingkat kepercayaan, homogenitas dan ukuran akan mempengaruhi institusi. Penggunaan common-pool resources dipengaruhi juga oleh institusi yang mengatur dan keberadaan teknologi.

2.2.3. Jenis Rejim Penguasaan Sumberdaya Bersama

Rejim penguasaanpemilikan ownership sumberdaya dapat digolongkan atas empat kelompok rejim, yakni: kepemilikan privat, kepemilikan oleh negara state ownership, kepemilikan bersamaumum common property dan kepemilikan tanpa aturan open access. Bukti-bukti empirik menunjukkan bahwa tidak ada fakta konsisten yang menunjukkan bahwa satu rejim merupakan pilihan yang terbaik untuk pengelolaan semua tipe sumberdaya bersama. Ostrom 1990 mengamati sejumlah sumberdaya bersama, common-pool recources CPRs yang dikelola oleh masyarakat lokal dengan self management tertentu justru menjadi lebih baik dan bertentangan dengan ramalan tragedy of the commons menurut Garret Hardin, yang menyatakan pengelolaan oleh masyarakat akan mendorong ke arah over used dari suatu sumberdaya bersama. Permasalahan pengelolaan CPRs terus berkembang dan menghasilkan tantangan-tantangan baru. Pemilihan bentuksistem kelembagaan rejim pengelolaan CPRs yang terbaik sangat tergantung dari berbagai hal yang bersifat kompleks, yaitu: 1 Faktor Karakteristik Sumberdaya a Skala sumberdaya berukuran kecillokal, memudahkan dimonitor dengan tingkat akurasi yang cukup baik. Stock dan flow CPRs berskala besar skala regional dan global membutuhkan teknik-teknik pengukuran yang canggih sophisticated b Sumberdaya bersifat stabil dan mudah didelineasi c Eksternalitas negatif dari pemanfaatan sumberdaya relatif kecil d Tingkat pemanfaatan sumberdaya yang moderat e Dinamika sumberdaya relatif sudah dipahami dan teridentifikasi 2 Faktor karakteristik pengguna CPRs appropriators a Pengguna-pengguna yang memiliki tingkat kepercayaan trust yang tinggi akan cenderung memiliki kesepakatan-kesepakatan bersama tentang pembatasan-pembatasan penggunaan sumberdaya. b Pengguna-pengguna yang memiliki keterkaitan dan resiprositas dalam rentang waktu yang lama akan mendorong kerjasama dan membangun social capital. c Heterogenitas pengguna terhadap realitas ekologis yang berlangsung menyusun ulang kesepakatan-kesepakatan yang ada 3 Disain Kelembagaan Institutional design Elemen-elemen esensial untuk suksesnya kelembagaan pengelola CPRs ditentukan oleh kemampuan dari CPRs appropriators untuk: a Berkomunikasi b Membuat peraturan-peraturan pengelolaan sumberdaya dengan baik c Menerapkan penalti bagi perilaku pelanggaran aturan 4 Faktor luar a Politik b Teknologi Dalam karakteristik pengguna hubungan antar individu, struktur, dan lingkungan memberikan ruang tafsir sendiri, yaitu mengapa beberapa aktor dalam ruang dan struktur yang sama, memiliki siasat-siasat yang berbeda dalam beraktivitas di ruang tersebut. Mc Cay 2002 memandang CPRs sebagai suatu narasi besar, sehingga tidak memungkinkan menjelaskan perbedaan-perbedaan yang sifatnya subjektif terkait dengan peristiwa event, situasi dan konteks ketika peristiwa tersebut terjadi. Untuk menghindari penjelasan yang sifatnya deduktif, melalui narasi besar maka dibutuhkan penjelasan mengenai perubahan kebiasaan terkait dengan peristiwa, situasi dan konteks tersebut. Penjelasan inilah yang disebut sebagai penjelasan alternatif atas pertanyaan ‘jika peristiwa x tidak terjadi apakah y terjadi’. Jika dikaitkan dengan kelembagaan CPRs, maka jawaban tersebut akan memberikan ruang perbedaan dari teori CPRs yang dipandangnya telah mapan. Rezim CPRs merakit institutional design yang berpihak kepada keberlanjutan fungsi sumberdaya karena pengaturan sumberdaya atau commons pool resources oleh pemerintah sering mengalami kegagalan, disebabkan oleh : 1 Pemerintah sering membuat kebijakan yang mengabaikan indegenous institution seperti hak ulayat atau hak pribadi yang sering diambil alih oleh pemerintah dan 2 Sumberdaya yang dimiliki pemerintah tidak diimbangi oleh kemampuan serta kapasitas pemerintah sebagai pengelola dan pemanfaat sumberdaya. Performa yang baik bagi suatu institutional design dalam menangani commons pool resources adalah : 1 Mengikutsertakan partisipasi resource users dalam pembuatan kebijakan oleh pemerintah institusi, 2 Pemerintah membuat aturan-aturan yang mudah untuk dimonitordiawasi dalam pelaksanaannya, 3 Membuat aturan-aturan yang enforceable, 4 Mengatur dan melaksanakan mekanisme sanksi oleh pelanggar, 5 Ajudifikasi tersedia secara low cost, 6 Institusi monitoring dengan aparat yang akuntable, 7 Institusi yang mengatur commons pool resources dibuat dalam level-level berhierarki sesuai fungsinya dan 8 Adanya prosedur yang memungkinkan adanya revisi peraturan Agrawal, 2002. Ostrom 1990 menganalisa desain institusi dengn mengidentifikasi delapan prinsip desain yang menjadi syarat untuk pengelolaan sumberdaya bersama, yaitu: 1. Kejelasan batasandefinisi sumberdayanya 2. Kecocokan antara aturan dan keadaan lokasi lokalsetempat 3. Pengaturan kolektif yang mengikutsertakan lebih banyak pengguna dalam penyediaan sumberdaya dan proses pengambilan keputusan 4. Monitoring yang efektif 5. Penerapan sanksi terhadap pengguna yang tidak menghargai aturan masyarakat 6. Mekanisme penyelesaian konflik yang murah dan memudahkan akses 7. Minimal mengenal hak untuk mengatur 8. Dalam kasus CPRs berskala besarluas, pengaturan berlapis-lapis terbagi atas kelompok-kelompok kecillokal

2.3. Komponen Pengelolaan

Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan sumberdaya alam, yang berupa tanah, air, udara dan sumberdaya alam yang lain yang termasuk ke dalam sumberdaya alam yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan. Namun demikian harus disadari bahwa sumberdaya alam yang diperlukan memiliki keterbatasan dalam banyak hal, yaitu keterbatasan tentang ketersediaan menurut kuantitas dan kualitasnya. Sumberdaya alam tertentu juga memiliki keterbatasan menurut ruang dan waktu. Oleh sebab itu diperlukan pengelolaan sumberdaya alam yang baik dan bijaksana. Keberadaan sumberdaya alam sangat menentukan aktivitas manusia sehari-hari. Kita tidak dapat hidup tanpa udara dan air. Namun sebaliknya ada pula aktivitas manusia yang sangat mempengaruhi keberadaan sumberdaya dan lingkungan di sekitarnya. Kerusakan sumberdaya alam banyak ditentukan oleh aktivitas manusia. Banyak contoh kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti pencemaran udara, pencemaran air, pencemaran tanah serta kerusakan hutan. Pembangunan yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak dapat terhindarkan dari penggunaan sumberdaya alam, namun eksploitasi sumberdaya alam yang tidak mengindahkan kemampuan serta daya dukung lingkungan mengakibatkan turunnya kualitas lingkungan. Banyak faktor yang menyebabkan turunnya kualitas lingkungan dan kerusakan lingkungan yang dapat diidentifikasi dari pengamatan di lapangan, oleh sebab itu dalam makalah ini dicoba diungkap secara umum sebagai gambaran potret lingkungan hidup, khususnya dalam hubungannya dengan pengelolaan lingkungan hidup di era otonomi daerah. Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan yang berprinsip memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Pembangunan berkelanjutan mengandung makna jaminan mutu kehidupan manusia dan tidak melampaui kemampuan ekosistem untuk mendukungnya. Dengan demikian, pengertian pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pada saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Bagi Indonesia, mengingat bahwa kontribusi yang dapat diandalkan dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi dan sumber devisa serta modal pembangunan adalah dari sumberdaya alam, maka sumberdaya alam memiliki peranan penting dalam perekonomian. Namun demikian, dilain pihak, keberlanjutan atas ketersediaannya sering diabaikan. Demikian juga aturan sebagai landasan pengelolaan suatu usaha dan atau kegiatan mendukung pembangunan dari sektor ekonomi kurang diperhatikan. Hal ini berakibat pada penurunan daya dukung lingkungan dan menipisnya ketersediaan sumberdaya alam yang ada serta penurunan kualitas lingkungan hidup. Kompleksitas dan ketidakpastian memberikan tantangan bagi para pengambil keputusan dan penganalisa sumber daya. Untuk menghadapinya diperlukan pendekatan pengelolaan yang adaptif. Pengelolaan adaptif merupakan suatu pendekatan kebijakan sumber daya alam yang mengandung pemaksaaan sederhana. Dengan mengaitkan tujuan kemanusiaan dan ilmu pengetahuan, pengelolaan adaptif merupakan suatu jalan untuk mencapai keberlanjutan di masa mendatang Lee 1993 dalam Mitchell 2000. Mengingat kompleksnya pengelolaan lingkungan hidup serta permasalahan yang bersifat lintas sektor dan wilayah, maka dalam pelaksanaan pembangunan diperlukan perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup yang sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan pendekatan manajemen, maka pada tataran operasional implementasi kelembagaan, khususnya untuk pengelolaan situ dapat dipilah menjadi empat aspek yaitu: perencanaan, pemanfaatan, pengendalian pemanfaatan dan pelestarian. Aspek perencanaan meliputi penyusunan rencana induk pengembangan secara terintegrasi dan peraturan penyelenggaraan yang berupa perencanaan teknis. Aspek pemanfaatan meliputi implementasi perencanaan dengan mempertimbangkan kondisi teknis, kondisi ekologi dan kondisi sosial ekonomi serta sumberdaya hayati yang terdapat di dalam situ. Aspek pengamanan atau pengendalian pemanfaatan dilaksanakan dengan tidak mengubah bentukfungsi kawasan dan tetap menjaga estetika serta keasliannya. Aspek pelestarian dilakukan untuk menjamin keberlanjutan fungsi dan manfaat situ.

2.4. Kelembagaan

Kelembagaan diartikan sebagai lembaga atau organisasi, yaitu bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerja bersama serta secara formal terikat dalam rangka mencapai suatu tujuan yang ditentukan, dalam ikatan mana terdapat seseorangbeberapa orang yang disebut atasan dan seseorang sekelompok orang disebut bawahan Siagian, 1995. Menurut Pakpahan, A. 1986 ada tiga unsur yang menetukan faktor kelembagaan yaitu 1 Batas yurisdiksi, 2 Property right dan 3 Aturan representasi. Suatua kebijakan berhasil atau idak tergantung kepada apakah kebijakan yang dimaksud menghasilkan keragaan yang dinyatakan atau tidak dinyatakan. Batas yurisdiksi menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam sumberdaya. Konsep batas yurisdiksi dapat berarti batas wilayah kekuasaan atas batas otortas yang dimiliki oleh suatu institusi, atau mengandung makna kedua- duanya. Dalam istilah Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah misalnya terkandung makna bagaimana batas yurisdiksi berperan dalam mengatur alokasi sumberdaya. Konsep hak kepemilikan adalah mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam menyatakan kepunyaannya terhadap sumber daya yang merupakan kekuatan akses dari kontrol terdapat sumber daya. Dalam hal situ, keterlibatan masyarakat setempat dalam perencanaan dan akomodasi kepentingan akan mengakibatkan peningkatan kesejahteraan sekaligus kelestarian sumber daya dan lingkungan tetap terjaga. Han van Dijk 1994 membedakan batas yurisdiksi ini dengan sistem tenurial dan sistem teritorial. Kedua konsep tersebut mengandung pengertian yang sama, yaitu berkenaan dengan adanya klaim hak penguasaan atas suatu sumber daya. Tenure dapat dipahami sebagai penegasan mengenai suatu hak khusus yang dimiliki oleh individu atau kelompok terhadap suatu objek yang jelas batas-batasnya, misalnya terhadap sebidang tanah atau suatu jenis pohon tertentu. Suatu klaim tenure mensyaratkan adanya faktor investasi dari manusia kedalamnya, misalnya investasi tenaga, modal, dan kontrol terhadap proses-proses alamiah melalui perubahan jenis tutupan vegetasi misalnya dengan adanya praktek budidaya tanaman tertentu di atas sebidang tanah. Sementara itu batas-batas klaim dalam sistem penguasaan teritorial biasanya lebih fleksibel secara sosial maupun geografis. Teritorial mencakup klaim hak atau penguasaan terhadap suatu kawasan teritori tertentu, dimana pengukuhan terhadap klaim tersebut didasarkan pada aspek-aspek ideologis, moral, legal atau alasan-alasan politik; bukan mengacu pada aspek- aspek ekologis tetapi lebih didasarkan kepada persepsi orang terhadap kondisi-kondisi ekologis dan sosio-politik mereka. Klaim penguasaan berupa territoriality tidak mensyaratkan faktor investasi manusia seperti halnya dalam tenure. Dengan kata lain, suatu klaim penguasaan territoriality bisa sama dan sebangun dengan tenure, tetapi bisa juga melampaui batas-batas tenure. Aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Aturan representasi adalah mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap performance akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi lebih banyak ditentukan oleh keputusan politik organisasi. Aturan representasi menurut Mc Kean adalah suatu cara agar orang dapat memanfaatkan sumberdaya secara berkelanjutan, tidak sekadar ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, namun juga dapat memilikinya atau menguasainya secara perdata. Masih dalam Mc Kean, dengan