Perubahan Tata Guna Lahan

merupakan salah satu pengertian dari Ruang Terbuka Hijau RTH yang ditumbuhi vegetasi berkayu seperti: hutan kota, kebun pekarangan, dan lain-lain di wilayah perkotaan, yang memberikan manfaat lingkungan sebesar-besarnya kepada penduduk perkotaan, dalam kegunaan-kegunaan proteksi, estetika, rekreasi dan kegunaan khusus lainnya seperti dapat menampung, menyimpan dan mendistribusikan air untuk seluruh keperluan masyarakat di daerah tersebut. Kemampuan lahan sangat dipengaruhi oleh pesatnya perkembangan dan pembangunan serta pertumbuhan masyarakat kota, khususnya DKI Jakarta, yang akan menimbulkan dampak negatif maupun positif, seperti berdirinya berbagai jenis industri, permukiman serta bertambahnya sarana transportasi yang akan menimbulkan dampak polusi udara, polusi suara dan polusi air. Menurut Pemprov DKI Kompas, Senin 24 Maret 2003 luas RTH di wilayah DKI tinggal 9.261.3 hektar 14 namun luas RTH yang dikuasai DKI hanya 5.933.7 hektar 9 dari luas kota Jakarta 66.152 hektar. Banyak RTH DKI menjadi mal dan permukiman penduduk, sehingga pemprov DKI kesulitan menambah luas RTH. Kemudian bila turun hujan banjir dapat menggenangi 42 kecamatan hingga 24 dari luas DKI. Meningkatnya kebutuhan akan lahan untuk pemukiman, industri serta perkantoran, menyebabkan semakin berkurangnya persediaan ruang terbuka hijau di wilayah DKI. Keadaan tersebut merupakan awal dari kerusakan lingkungan, yang perlu segera ditanggulangi, yaitu dengan upaya pencegahan yang mendasar, sehingga daerah wilayah DKI akan tetap menjadi daerah yang nyaman dan sehat. Beberapa perubahan yang terjadi dalam kurun 10 tahun terakhir, antara lain daerah urban yang merupakan pemekaran permukiman semakin bertambah ke Wilayah Jakarta Timur, Barat dan Selatan, terutama di sekitar perbatasan Bekasi, Tangerang dan Bogor. Urutan besarnya pertambahan urban dari kelima wilayah DKI yaitu: Jakarta Timur 7287.35 hektar, Jakarta Selatan 6557.5 hektar, Jakarta Barat 5397.1 hektar, Jakarta Utara 4475.8 hektar dan Jakarta Pusat 693.3 hektar. Sedangkan besarnya pertambahan urban untuk seluruh DKI yaitu sebesar 24411.0 hektar 172.7. Secara ringkas perubahan penutup lahan DKI Jakarta dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 17. Perubahan PenutupPenggunaan Lahan untuk Seluruh DKI Jakarta dari Citra Landsat Tahun 1983 dan 2002 1983 2002 Perubahan Peruntukan Ha Ha Ha Urban 22181.9 34.0 46592.9 71.6 24411.0 172.7 RTH 32185.9 49.5 9430.6 14.5 -22755.3 - 159.0 Danauairsung ai 627.1 1.0 173.1 0.3 -453.9 -3.0 Lahan Terbuka 5115.8 7.9 7264.6 11.2 2148.8 13.5 RawaTambak 1390.2 2.1 686.1 1.0 -704.1 -5.1 Sawah 3565.9 5.6 919.4 1.4 -2646.5 -19.0 Total_Lahan 65.066.86 100 65.066.86 100 RTH yang merupakan ruang terbuka yang ditumbuhi vegetasi yang dapat memberi manfaat lingkungan sebesar-besarnya kepada penduduk perkotaan nampak semakin berkurang. Terlihat perbedaan yang mencolok dalam kurun 10 tahun terakhir. Hal ini hampir di seluruh wilayah DKI Jakarta banyak mengalami perubahan menjadi urban, terutama di Jakarta Pusat dan Utara keberadaan RTH semakin berkurang. Urutan berkurangnya RTH dari kelima Wilayah DKI yaitu: Jakarta Timur -7538.0 hektar, Jakarta Selatan -6731.1 hektar, Jakarta Barat - 5494.0 hektar, Jakarta Utara -2394.6 hektar dan Jakarta Pusat -597.6 hektar. Sedangkan berkurangnya RTH untuk seluruh DKI yaitu: -22755.3 hektar -159.0 . Danausitusungai yang merupakan penyangga air nampak semakin berkurang dan kondisinya semakin kritis. Perubahan kondisi sungaidanau sangat dipengaruhi oleh kondisi tatanan lahan. Sebagai contoh bila aliran sungai melewati daerah pemukiman seperti kali Ciliwung, Grogol, Cakung, Sunter maka endapan sampahlimbah yang dibuang oleh penduduk akan terbawa sampai daerah sekitar muara. Sungai Ciliwung paling dominan melewati pemukiman di wilayah Timur, Selatan, Pusat dan Utara akan berperan mempercepat proses sedimentasi lumpur yang terjadi di daerah sekitar muara. Selain itu danau semakin berkurang karena banyak berdiri bangunan-bangunan yang diperuntukkan untuk pemukiman. Seperti terlihat di Sunter Jakarta Utara dan Pulo Mas Jakarta Timur keberadaan danau berubah menjadi permukiman Rawa yang merupakan tempat penampungan air dari bahaya banjir serta tambak yang merupakan tempat budidaya ikanudang nampak semakin berkurang terutama di wilayah Jakarta Utara. Sawah yang merupakan lahan pertanian dan sebagai sumber pertanian atas bahan makanan pokok juga semakin berkurang di Wilayah Jakarta Barat dan Timur. Berkurangnya tatanan lahan Ruang Terbuka Hijau RTH yang disebabkan oleh pesatnya perkembangan DKI karena banyak berdiri banyak gedung yang dipergunakan untuk keperluan perkantoran, perindustrian, permukiman dan juga semakin banyaknya jalan kendaraan baik jalan baru dibangun maupun pelebaran jalan karena semakin padatnya lalu lintas. Dari perkembangan tersebut di atas maka di Wilayah DKI telah terjadi beberapa hal antara lain: a. Lahan RTH semakin berkurang dan terkonversi menjadi urban sehingga kondisi lingkungan yang hijau serasi dan sehat semakin kritis. b. Lahan danausiturawa dan tambak juga mengalami pergeseran menjadi urban, sehingga kondisi lingkungan sudah tercemar terutama persediaan air yang besih semakin kritis. c. Sungai yang melewati kota semakin kotor karena banyak permukiman membuang limbahsampah di sekitar sungai tersebut, sehingga sering terjadi genangan air terutama di wilayah sekitar bantaran sungai dan sekitar muara sungai. Ketiga hal tersebut diperparah oleh menurunnya daya dukung daerah resapan air di sekitar bangunan atau permukiman sehingga distribusi air untuk kebutuhan utama penduduk semakin berkurang dan tercemar.

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Faktor yang Berpengaruh terhadap Kondisi Situ

Jakarta memiliki predikat multi fungsi, sebagai pemerintahan propinsi juga merupakan Ibukota Negara Republik Indonesia. Semua predikat Jakarta tersebut saling berhubungan sehingga penanganannya memerlukan kebijakan yang cermat serta keterlibatan penuh dari seluruh warga kota beserta segenap stakeholder. Identifikasi faktor yang berpengaruh terhadap kondisi situ ditelaah dengan menggunakan Analisis Burt untuk mengetahui variabel penjelas mana yang paling mempengaruhi kualitas situ. Adapun variabel penjelas terdiri dari delapan yaitu: kestabilan, ukuran pola sifat lingkungan, interaksi ketergantungan tingkat pemanfaatan pengelola situ, peraturan dan dana pengelolaan situ. Berdasarkan Analisis Faktor Metode Ekstrasi PCA dan Rotasi Varimaks Normal maka faktor pertama atau faktor yang paling berpengaruh terhadap kondisi situ terdiri dari 5 faktor yaitu pola sifat lingkungan, interaksi ketergantungan, tingkat pemanfaatan, peraturan dan dana pengelolaan. Faktor yang paling berpengaruh di urutan kedua adalah kestabilan dan ukuran situ, sedangkan faktor ketiganya adalah pengelola situ yang secara ringkas disajikan pada Tabel 18, 19 dan 20. Tabel 18.Analisis Faktor Metode Ekstrasi PCA dan Rotasi Varimaks Normal Factor 1 Factor 2 Factor 3 b1_k1 Kestabilan Situ 0.212687 0.793085 0.136119 b2_k2 Ukuran Situ 0.106547 0.807674 -0.030560 b3_k3 Pola Sifat Lingkungan Situ 0.882263 0.213505 -0.034705 b4_k4 Interaksi Ketergantungan Situ 0.841735 0.292513 -0.077732 b5_k5 Tingkat Pemanfaatan Situ 0.682319 0.056148 -0.345951 b6_k6 Pengelola Situ -0.049708 0.120397 0.888305 b7_k7 Peraturan Pengelolaan Situ 0.543351 -0.187588 0.353438 b8_k8 Dana Pengelolaan Situ 0.838961 0.264870 0.173535 Expl.Var 3.010611 1.535464 1.090509 Prp.Totl 0.376326 0.191933 0.136314 Cum. Prp.Totl 0.376326 0.568259 0.704573 Marked loadings are .700000 Berdasarkan hasil Analisis Kuantifikasi Variabel Kategorikal, sebagaimana tercantum dalam Tabel 19 dan 20, terlihat pengaruh faktor variabel terhadap kondisi situ. 1. Pengaruh Kestabilan Situ Situ-situ yang memiliki ukuran yang stabil, dimana luas situ dari tahun ke tahun tidak mengalami perubahan cenderung berpengaruh pada kondisi situ menjadi semakin bagus. Sedangkan situ-situ yang memiliki ukuran yang tidak stabil, dimana luas situ dari tahun ke tahun mengalami perubahan penyempitan cenderung berpengaruh pada kondisi situ menjadi kurang bagus. 2. Pengaruh Ukuran Situ Situ-situ yang memiliki ukuran kecil 5 ha cenderung lebih bagus dibandingkan situ-situ yang memiliki ukuran sedang 5 – 15 ha atau besar 15 ha. 3. Pengaruh Pola Sifat Lingkungan Situ-situ yang tertata, memiliki lansekap yang fungsional dan estetika cenderung lebih bagus kondisinya dibandingkan situ-situ yang tidak tertata, pemanfaatan tumpang tindih dan mengabaikan estetika. 4. Pengaruh Interaksi ketergantungan Situ-situ yang pola sifat lingkungan kecil, terletak di daerah non permukiman dan dikuasai oleh sebuah otoritas cenderung lebih bagus kondisinya dibandingkan situ-situ yang pola sifat lingkungan sedang ataupun tinggi, terletak di permukiman penduduk, dikuasai dan digunakan oleh kalangan tertentu ataupun terletak di permukiman penduduk, dikuasai dan digunakan oleh banyak pihak. 5. Pengaruh Tingkat Pemanfaatan Situ-situ yang tingkat pemanfaatannya optimal ataupun minimal, cenderung lebih bagus kondisinya dibandingkan situ-situ yang tingkat pemanfaatannya sedang. Namun bila dibandingkan angkanya, tingkat pemanfaatan optimal lebih berpengaruh dibandingkan pemanfatan minimal. Tingkat pemanfaatan optimal memiliki tiga fungsi utama: 1 Konservasi pengendali banjir dan resapan tampungan, 2 Bermanfaat secara sosial pariwisata dan ekonomi,