Hutan Lindung sebagai Common Pool Resources

11 kinerja yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh karena lemahnya institusi dan kontrol pelaksanaannya, perilaku, kapabilitas organisasi pemerintah dan masyarakat. Menurut Schmidt 1987 dalam Kartodihardjo 2000, institusi atau kelembagaan dapat merubah faktor eksternal eksogen dalam proses pembangunan. Dengan demikian kelembagaan mampu melakukan perubahan. Dipihak lain, kelembagaan dapat menjadi peubah faktor internal endogen dalam pembangunan. Dengan demikian perubahan kelembagaan berlangsung sebagai akibat dari perubahan ditempat lain. Interdependensi antara teknologi dengan institusi menciptakan suatu sistem sosial yang kompleks. Kontribusi utama kelembagaan dalam proses pembangunan adalah mengkoordinasikan para pemilik input berupa: tenaga kerja, capital, manajemen dan lain lain, dalam proses transformasi dari input menjadi output. Pada saat yang bersamaan kelembagaan juga mengkoordinasikan distribusi output kepada pemilik input berupa individu, organisasi pemerintah dan lain lain, tergantung dari satuan analisis yang digunakan. Kemampuan suatu institusi dalam mengkoordinasikan, mengendalikan atau mengontrol interdependensi antar partisipan sangat ditentukan oleh kemampuan institusi tersebut mengendalikan sumber interdependensi. Sumber interdependensi merupakan karakteristik sumberdaya yang dibicarakan. Karakteristik sumberdaya mencakup inkompatibiltas, ongkos ekslusi, joint impact, surplus, resiko dan ketidakpastian, ongkos transaksi.

2.2. Hutan Lindung sebagai Common Pool Resources

Common pool resources sumberdaya milik bersama merupakan istilah yang cukup populer dalam membahas hak-hak penguasaan atas sumberdaya. Istilah ini merujuk kepada suatu sumberdaya alam, sumberdaya buatan atau fasilitas yang bernilai yang tersedia bagi lebih dari satu orang dan merupakan subjek yang cenderung terdegredasi sebagai akibat kecenderungan overuse Ostrom, 1990 Istilah common pool resources diperkenalkan secara lebih spesifik oleh para peneliti yang dipelopori oleh Ostrom 1999 untuk menjelaskan karakteristik sumberdaya yang memiliki dua karakteristik utama. Pertama, memiliki sifat substractibility atau rivalness dalam pemanfaatannya. Sifat substractibility berarti 12 setiap konsumsi atau pemanenan seseorang atas sumberdaya akan mengurangi kemampuan atau jatah orang lain di dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut. Kedua, sifat rivalness menyebabkan adanya biaya cost yang harus dikeluarkan untuk membatasi akses pada sumberdaya bagi pihak-pihak lain untuk menjadi pemanfaat beneficiaries. Sumberdaya hutan adalah salah satu contoh bentuk CPRs yang banyak dibahas dalam berbagai literatur, selain sistem irigasi, perikanan fisheries, dan padang penggembalaan ternak rangelands Ostrom 1999. Deforestasi yang masif di negara-negara tropis dan penggurunan desertification wilayah Sahel merupakan contoh- contoh yang digunakan banyak pakar untuk menggambarkan teori tentang CPRs. Menurut Ostrom 1999 sumberdaya hutan dengan berbagai macam atribut yang terdapat didalamnya merupakan sumberdaya yang sulit dikelola secara berkelanjutan, efisien dan adil oleh pemerintah. Menurut Rustiadi 2006, kecenderungan pemanfaatan berlebihan atau overuse merupakan masalah yang sekaligus penciri dari sumberdaya-sumberdaya CPRs, untuk itu diperlukan mekanisme dan sistem kelembagaan untuk dapat mengaturnya. Hal ini sejalan dengan gagasan Ostrom 1990 yang menyatakan: 1 privatisasi sumberdaya alam bukanlah cara yang tepat termasuk untuk menghambat kerusakan lingkungan, 2 pemerintah tak selalu sebagai pengatur terbaik bagi alokasi sumberdaya milik publik, dan 3 masyarakat bisa diberdayakan bagi komunitasnya sendiri, untuk mengatur sumberdaya alam. Menurut Schlager dan Ostrom 1992 hak atas kepemilikan suatu sumberdaya air, dicirikan oleh 1 Acces adalah hak untuk memasuki suatu sumberdaya, biasanya hak ini dimiliki oleh masyarakat yang bertempat tinggal di dekat sumberdaya berada, sehingga konsekuensinya masyarakat yang berada di sekitar sumberdaya berada akan memiliki hak ini 2 Withdrawal, adalah hak untuk mengambil sumberdaya untuk dimanfaatkan bagi kebutuhan. 3 Management adalah hak untuk membuat keputusan tentang bagaimana sumberdaya itu dapat digunakan, biasanya otoritas ini dimiliki oleh pemerintah dan masyarakat komunal yang didasarkan pada keputusan kolektif. Dalam hal demikian, terdapat dua model pengaturan sumberdaya hutan yakni pengaturan oleh manajemen pemerintah dan manajemen masyarakat lokal. 4 Exclusion, 13 adalah hak untuk memutuskan siapa yang boleh masuk ke sumberdaya tertentu dan siapa yang tidak boleh. Otoritas ini biasanya juga dimiliki oleh masyarakat lokal di sekitar sumberdaya berada, namun lebih baik jika disini diperlukan otoritas pemerintah yang memiliki kekuatan untuk memaksakan aturan terhadap pengguna. 5 Transfers, adalah hak untuk menjual, menyewakan, atau mewariskan sumberdaya kepada pihak lain yang memerlukannya. Kedua hak pertama digolongkan pada hak tingkat operasional operational level, sedangkan ketiga hak terakhir digolongkan pada tingkat pilihan bersama collective-choice level. Kelima hak tersebut, lebih lanjut dinyatakan, bila kelima hak tersebut dimiliki oleh masyarakat atau seseorang atau badan usaha, berarti sumberdaya air tersebut property right-nya bersifat private property right, tetapi jika hanya sebagian, misalnya hanya memiliki hak akses dan pengambilan, maka property right atas sumberdaya air bersifat common property right; demikian pula bila masyarakat lokal memiliki hak exclusion, maka masyarakat lokal langsung memiliki hak akses, hak pengambilan, dan hak manajemen atas sumberdaya air yang ada. Kelima hak kepemilikan atas sumberdaya air tersebut, secara umum dapat dikelompokan menjadi empat, yaitu: 1 pemilik owner, 2 penggarap propriator, 3 pengklaim claimant, 4 pengguna yang diberi otoritas authorized user. Dengan demikian pemilik atas sumberdaya air seharusnya memiliki otoritas dari semua hak di atas, sedangkan pengguna user diberi otoritas hanya memiliki salah satu dari kelima hak yang ada, misalnya hak akses dan hak pengambilan, sedangkan hak manajemen, exclusion dan transfer tidak dimiliki oleh user, namun berada di tangan pihak lain, bisa pemerintah atau masyarakat komunal, dimana hak exclusion dan transfer pengaturannya harus melalui pemerintah. Untuk mengendalikan kerusakan terhadap sumberdaya bersama CPR maka Ostrom 1990 menetapkan 8 prinsip pengelolaan CPR yaitu: 1 tata batas terdefinisikan dengan jelas, 2 terdapat kesesuaian antara peraturan dan situasi lokal, 3 terdapat kesepakatan yang memungkinkan terjadinya partisipasi sebagian besar pengguna dalam proses pengambilan keputusan, 4 monitoring efektif yang dilakukan oleh pemilik sebagai bagian dari bentuk tanggung jawab pemilik 14 terhadap sumberdaya tersebut, 5 terdapat sanksi bagi bagi yang tidak menghormati aturan 6 mekanisme penyelesaian konflik yang murah dan mudah diakses, 7 terdapat pengakuan hak dari organisasi lain, 8 Dalam kasus CPR yang luas; organisasi bisa berbentuk beberapa lapisan yang lebih kecil dan berbasis lokal 2.3. Kebijakan Pengelolaan Hutan Lindung Tahun 1999 dapat dikatakan merupakan momentum penting bagi kehutanan Indonesia karena UU No 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan yang telah berumur 28 tahun akhirnya digantikan dengan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sampai dengan tahun 2001, rejim pengaturan kehutanan yang terkait dengan pengelolaan kawasan hutan lindung lebih banyak di dominasi oleh Keputusan Menteri tentang penunjukkan dan penetapan kawasan hutan sebagai kawasan hutan lindung. Antara tahun 1981-1986 penunjukkan kawasan hutan lindung ditetapkan melalui SK Menteri Pertanian. Namun antara tahun 1986-2003 penetapan dan penunjukkan suatu kawasan hutan menjadi hutan lindung dilakukan melalui SK Menteri Kehutanan. Pada tahun 1990 pemerintah menetapkan Keputusan Presiden Keppres No 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Keppres ini menyebutkan bahwa kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kawasan kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan nilai sejarah budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Salah satu kawasan yang dilindungi adalah hutan lindung. Hutan lindung dianggap merupakan salah satu dari kawasan lindung karena dianggap merupakan kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberi perlindungan kepada kawasan disekitar maupun dibawahnya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah. Oleh karena itu hutan perlu dilindungi. Akan tetapi Keppres No 32 Tahun 1990 tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai kerangka pengelolaan hutan lindung. Hal tersebut disebabkan karena Keppres tersebut tidak hanya mengatur hutan lindung tetapi juga berbagai kawasan yang masuk sebagai kawasan lindung. Secara nasional ketentuan mengenai pengelolaan hutan lindung diatur dengan keputusan Menteri Kehutanan No 464Kpts-II1995 yang selanjutnya 15 dirubah dengan Keputusan Menteri Kehutanan No 140Kpts-II1998 tentang Pengelolaan Hutan Lindung. Ketentuan ini merupakan satu satunya payung hukum yang mengatur pengelolaan hutan lindung terutama karena UU No 5 Tahun 1967 pada dasarnya hanya menekankan pada pengurusan hutan yang bertujuan untuk mencapai manfaat yang sebesar besarnya, namun tidak mengatur pengelolaan hutan secara lestari. Hal ini terlihat dengan tidak adanya pasal pasal yang secara jelas mengatur pengelolaan hutan lindung. Demikian pula halnya dengan PP No 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan sebagai salah satu turunan dari UU No 5 tahun 1967 lebih banyak menyinggung tentang perlindungan hutan secara makro, dari pada berisi tentang ketentuan khusus tentang hutan lindung. Dalam Keputusan Menteri Kehutanan No 140Kpts-II1998 tentang Pengelolaan Hutan Lindung telah diakomodir kepentingan dan peran masyarakat, karena pemerintah menilai masyarakat sangat berkepentingan dengan kawasan hutan. Meskipun demikian mekanisme peran serta masyarakat tidak dijelaskan dalam keputusan ini dan tidak pula disebutkan bahwa hal tersebut akan diatur dalam peraturan tersendiri. Apabila melihat pada pengelolaan secara keseluruhan maka jelas bahwa pendekatan pengelolaan hutan lindung sangat bersifat top down dan kelembagaannya sangat didominasi oleh Departemen Kehutanan. Dengan kata lain sebagian kewenangan pengelolaan hutan lindung masih berada ditangan pemerintah pusat, walaupun telah disebutkan bahwa pengelolaan hutan lindung berada ditangan pemerintah daerah. Khususnya dibidang kehutanan, terbitnya UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan memberikan harapan bahwa perhatian pemerintah terhadap pengelolaan hutan lindung menjadi lebih baik dan komprehensif. Walaupun kewenangan pengelolaan atas masing-masing hutan lindung tidak lagi dibawah kendali pemerintah pusat, namun secara nasional pemerintah pusat sebagaimana tercantum pada pasal 2 PP No 38 tahun 2007 tentang kewenangan pemerintah pusat dan kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom memiliki kewenangan dalam membuat pedoman. 16

2.4. Kerusakan Hutan di Indonesia