Structuring Forest Tenure development of Forest Management Unit (FMU), (Case in KPHP Model Gunung Sinopa North Molucas).

(1)

PENATAAN TENURIAL KAWASAN HUTAN PADA

PEMBANGUNAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN

(Kasus Pada KPHP Model Gunung Sinopa Provinsi Maluku Utara)

MUHAMMAD NUR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Penataan Tenurial Kawasan Hutan Pada Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (Kasus Pada KPHP Model Gunung Sinopa Provinsi Maluku Utara) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2012 Muhammad Nur NRP E151100011


(3)

ABSTRACT

MUHAMMAD NUR. Structuring Forest Tenure development of Forest Management Unit (FMU), (Case in KPHP Model Gunung Sinopa North Molucas). Under Direction of BRAMASTO NUGROHO, HARIADI KARTODIHARDJO.

Forest Management Unit (FMU) area are commonly located in areas without any license within, tend to be open access and potentially raise conflict. In order to execute FMU development smoothly, the tenurial arrangement needs to be conducted through phases as follow: identify conflicts potential, map the bundle of rigths, assess stakeholders' perceptions of tenure security, and define typology of social problems related to tenure. These phases are analysed by utilizing Rapid Land Tenure Assessment (RaTA), bundle of rights analysis, stakeholder’s perception analysis, and social problems typology analysis. RaTA results identify stakeholders who will be potentially raise conflict, namely: UPTD KPHP Gunung Sinopa (UPTD KPHP GS), Local Government, Local Communities, and Transmigration. Potential of stakeholder claims are resulting from differences in claim basis i.e.: the status of power system, the status of governance and status of licensing procedures where the policy underlying the basis of claim are differentiate. The result derived from bundle of rights analysis has placed local government and local community as the owner, UPTD KPHP GS as Proprietor and Transmigration as authorized entrant. In perception related to tenure security: UPTD KPHP GS should have delineation but it is not implemented yet, Local government; plantation boundaries are clear and recognized by all parties and supervised by foremen. Local communities ensure tenure security by coconut trees and limit their claim using twin coconut, whereas transmigrations use the certificate for land certainty. Conclusion: There is conflict potential of stakeholders within the region of KPHP GS which is of web of intersecting interests, reinforced by the position of Local Government and local communities as owner and UPTD KPHP GS merely as proprietor related to the bundle of rights over land claims in KPHP GS area, so that the typology of social problems identified within the KPH areas is severe tenurial conflict.

Keyword: forest management unit (FMU), conflict, bundles of rights, tenure security, land tenure.


(4)

RINGKASAN

MUHAMMAD NUR. Penataan Tenurial Kawasan Hutan Pada Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (Kasus KPHP Model Gunung Sinopa Provinsi Maluku Utara) Dibimbing oleh BRAMASTO NUGROHO dan HARIADI KARTODIHARDJO.

Wilayah kesatuan pengelolaan hutan (KPH) umumnya berada pada areal yang tidak dibebani hak dan cenderung open access dan berpotensi menimbulkan konflik di dalamnya, pada saat yang sama, sangat diharapkan pembangunan KPH dapat berjalan dengan lancar dan dapat menjalankan tugas pokok sesuai PP Nomor 6 tahun 2007 Jo. PP Nomor 3 Tahun 2008, sekaligus dapat berperan sebagai pengelola hutan di tingkat tapak yang tentunya sangat memahami kondisi riil dari kawasan hutan yang dikelolanya, sehingga permasalahan sosial terkait tenurial dapat difasilitasi penyelesaiannya dengan semua pihak yang terkait. Pada posisi inilah sangat penting adanya studi mengenai penataan tenurial kawasan hutan dalam pembangunan KPH dengan: 1) Menganalisis potensi konflik tenurial kawasan hutan di wilayah KPH; 2) Memetakan posisi parapihak yang dikaitkan dengan sekumpulan hak (bundle of rights) pada tanah dan SDA yang diklaim dalam wilayah KPH; 3) Mengidentifikasi makna keamanan tenurial atas klaim penguasaan tanah dan SDA menurut persepsi parapihak yang ada dalam wilayah KPH dan; 4) Mengidentifikasi tipologi masalah sosial terkait tenurial dalam wilayah KPH.

Memahami basis legitimasi klaim parapihak melalui analisis Rapid Land Tenure Assessment (RaTA) memberi gambaran nyata ada atau tidaknya konflik pada klaim tanah dan SDA yang sama oleh parapihak. Kesempurnaan hak kepemilikan dan posisi kepemilikan atas klaim tanah dan SDA dianalisis dengan menggunakan analisis bundle of rigths guna memberi informasi kuat atau tidaknya klaim parapihak, kemudian makna keamanan/kepastian tenurial (tenure security) atas klaim penguasaan tanah dan SDA bagi parapihak dianalisis berdasarkan persepsi dan cara mendapatkan atau mempertahankan klaim tersebut. Berdasarkan hasil analisis-anlisis tersebut diatas kemudian dilanjutkan dengan analisis tipologi masalah sosial untuk menentukan konflik tenurial seperti apa yang terjadi di dalam wilayah KPH.

Hasil RaTA menunjukan bahwa parapihak yang teridentifikasi berpotensi konflik adalah: UPTD KPHP Gunung Sinopa (UPTD KPHP GS), Pemerintah daerah (PEMDA), Masyarakat Lokal, dan Transmigrasi. Potensi konflik parapihak diakibatkan perbedaan basis klaim: status tata kuasa, status tata kelola dan status tata perijinan atas tanah dan SDA, dimana kebijakan yang mendasari basis klaim berbeda-beda. Perbedaan status tata kuasa lebih diakibatkan oleh perbedaan klaim secara de jure dan de facto atas tanah dan SDA oleh parapihak dengan objek (tanah dan SDA) yang sama sehingga bila masing-masing pihak eksis pada saat yang sama dan tempat yang sama maka konflik laten dapat berubah menjadi konflik terbuka.

Hasil analisis bundle of rigths memposisikan PEMDA dan Masyarakat Lokal sebagai Pemilik (owner), UPTD KPHP GS sebagai Pengelola tetap (Proprietor) dan Transmigrasi sebagai pengunjung yang dizinkan (authorized


(5)

entrant), hal ini mengisyaratkan bahwa ada kendala dalam mengatasi keterlanjuran masyarakat dalam kawasan hutan melalui kebijakan memberi legalitas kepada masyarakat untuk mengelola hutan melalui model pengelolaan hutan seperti Hutan Kemasyarakatan (Hkm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Hutan Desa (HD jika dilihat dari kacamata kesempurnaan hak kepemilikan. Seluruh model pengelolaan di atas hanya memberi hak Pengelolaan dan tidak dapat diperjualbelikan dan dipindahtangankan, sementara secara fakta masyarakat memiliki kesempurnaan hak kepemilikan atas tanah dan SDA dengan hak akses, hak memanfaatkan, hak mengelola, hak mengeluarkan dan hak memindahtangankan baik melalui jual beli, mewariskan atau hibah.

Persespsi terkait tenure security: UPTD KPHP GS; harus ada tatabatas tetapi belum dilaksanakan, Pemda; tapal batas perkebunan jelas dan diakui semua pihak serta diawasi mandor, masyarakat lokal memastikan tenure security dengan tanaman kelapa dan batas klaim menggunakan kelapa kembar, sedangkan transmigrasi merasa kepastian tanah dengan sertifikat. Konsistensi makna keamanan/kepastian tenurial dengan tindakan ditunjukkan oleh masyarakat lokal dan PEMDA atas klaim tanah dan SDA dalam wilayah KPHP GS, dan dari sudut pandang Institutionalist Tenure Security ada kecenderungan masyarakat lokal menggunakan kemampuan memobilisasi kekuatan penekan untuk menegakan atau mempertahankan klaim akibat nilai ekonomi dari tanah dan SDA yang diklaim semakin tinggi dengan adanya masukan teknologi dan pembangunan.

Hasil analisis di atas berupa potensi konflik parapihak dalam wilayah KPHP GS yang bersifat saling bertentangan, yang dipertegas dengan posisi PEMDA dan Masyarakat lokal sebagai owner dan UPTD KPHP GS hanya sebagai proprietor terkait dengan bundle of rigths atas klaim tanah dalam wilayah KPHP GS, dan persepsi makna keamanan/kepastian tenurial yang diimplementasikan dalam tindakan nyata dan cara-cara yang digunakan untuk mempertahankan klaim, maka teridentifikasi tipologi permasalahan sosial dalam wilayah KPH adalah konflik tenurial berat. Berangkat dari permasalahan ini penataan tenurial dapat diretas dengan arahan strategis yang dapat dilakukan pihak KPH adalah: 1) Mengembangkan tata ruang mikro bersama parapihak untuk menyepakati norma pemanfaatan masing-masing fungsi ruang yang disepakati; 2) Merekomendasikan penyelesaian hukum melalui revisi tata ruang bagi areal yang tidak dapat dipertahankan sebagai kawasan hutan.

Kata kunci: kesatuan pengelolaan hutan (KPH), konflik, sekumpulan hak, tenurial, kepastian tenurial.


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh Karya Tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

PENATAAN TENURIAL KAWASAN HUTAN PADA

PEMBANGUNAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN

(Kasus Pada KPHP Model Gunung Sinopa Provinsi Maluku Utara)

MUHAMMAD NUR

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(8)

(9)

Judul Tesis : Penataan Tenurial Kawasan Hutan Pada Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (Kasus Pada KPHP Model Gunung Sinopa Provinsi Maluku Utara )

Nama : Muhammad Nur

NRP : E151100011

Program Studi : Ilmu Pengelolaan Hutan (IPH)

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Bramasto Nugroho, M.S. Ketua

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.S. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.S.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat, Nikmat, dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Penataan Tenurial Kawasan Hutan Pada Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (Kasus Pada KPHP Model Gunung Sinopa Provinsi Maluku Utara).

Penelitian dilaksanakan pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model Gunung Sinopa, KPHP yang sudah memiliki organisasi pengelola KPH berupa Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Utara. Memahami konflik dan permasalahan sosial terkait dengan tenurial dalam wilayah KPHP Model Gunung Sinopa merupakan suatu hal yang mutlak guna menghadirkan suatu pengelolaan hutan di tingkat tapak oleh UPTD yang dapat memberi solusi atas permasalahan sosial terkait tenurial yang ada dalam wilayah KPH.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr.Ir. Bramasto Nugroho, MS dan Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS selaku Komisi Pembimbing atas segala bimbingannya, arahan, dan saran yang diberikan kepada penulis.

2. Bapak Bupati Halmahera Selatan, Sekretaris Daerah Kabupaten Halmahera Selatan dan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Halmahera Selatan yang telah memberi ijin dan dukungan kepada penulis untuk melanjutkan studi di sekolah Pascasarjana IPB.

3. Bapak Nurdin Ilyas, Bapak H. Atiban, Bapak Habel Kurung, Bapak Ading, Bapak Saiful Gofar, Bapak Endang Supriadi, Bapak Saiful Gafur, Bapak Horahman, Bapak Fehby Alting, Sip, MSi., Bapak Saiful Samad, SE, MSi., Bapak Umar Assegaf, Bapak Ir .M.Yastab,MM., Bapak Welliam Mudeng, S.Sos., Bapak Zain Asraruddin, Bapak Fachrurozi, S.Hut, Bapak Saiful Achmad,SPd.MSi., Bapak Wahab Samad, S.Hut, Ibu Rivani, S.Hut, MSc, Ibu Fauzia Ibrahim, S.Hut, Zainuddin S.Hut, Syahril H. Adam, S.Hut, semunya selaku Nara Sumber Penelitian.

4. Pimpinan dan Staf Instansi terkait: Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Utara, Tingkat Kabupaten Halmahera Tengah; Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, BAPPEDA, Bagian Pemerintahan, BPN, dan BPS.

5. Bapak Dr. Dodik Ridho Nurrochmat, MScF selaku Penguji Luar Komisi Pembimbing.

6. Ketua Prodi, Staf Pengajar dan adminsitrasi Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan.

7. Rekan-rekan Mahasiswa Ilmu Pengelolaan Hutan Angkatan 2010 (Mohammad Sidiq, Prasetyo Widodo, Agus Wibowo, Ahmad Syahru, Marwoto, Nining Assyh, Aswita Lewenussa, dan Novika Iryanti) dan seluruh Mahasiswa Ilmu Pengelolaan Hutan, serta pengurus Klinik K3.


(11)

8. Keluarga besar penulis, yaitu: Ayahanda H. Abd. Hafid, Ibunda Hj.Djoheriah, Istri Gusti A. Rahim, Ananda Inayah, Tati, Kakak Sitti Wakiah,

SP, Mas Prawito, Adik-Adik: Sukur H, Amd., Suharto H, Sudirman H, dan Briptu Taufik H, atas doa dan dukungan semangat untuk penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini yang tidak dapat disebut satu persatu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan

Bogor, Juli 2012 Muhammad Nur


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lea pada tanggal 10 April 1973 dari Ayahanda H. Abd. Hafid dan Ibunda Hj. Djoheriah. Penulis merupakan anak kedua dari enam bersaudara.

Penulis menamatkan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 3 Ambon pada tahun 1993, pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di Universitas Pattimura Ambon pada Fakultas Pertanian Jurusan Kehutanan Program Studi Manajemen Hasil Hutan, dan memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada tahun 1998. Penulis mengikuti pendidikan Program Magister Sains di Sekolah Pascasarjana IPB pada tahun 2010.

Penulis merupakan Pegawai Negeri Sipil pada instansi Pemerintah Daerah Provinsi Maluku Utara tahun 2002-2004, kemudian dimutasikan ke Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Timur tahun 2004-2006, dan dimutasikan lagi ke Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Selatan sejak tahun 2006 – sekarang.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………...… xiii

DAFTAR GAMBAR ..………xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah... 3

1.2 Tujuan Penelitian ... 8

1.3 Manfaat Penelitian ... 8

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan... 9

2.1.1 Hubungan KPH dengan Berbagai Elemen Terkiat ... 9

2.1.2 Pembangunan KPH ... 11

2.1.3 Tugas dan Fungsi KPH ... 13

2.2 Konsep Hak Kepemilikan ... 14

3 METODOLOGI PENELITIAN ... 25

3.1 Kerangka Pendekatan Studi ... 25

3.2 Metode Penelitian... ... 27

3.2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 27

3.2.2 Pengumpulan Data ... 28

3.2.2.1 Data Primer ... 28

3.2.2.2 Data Sekunder ... 33

3.2.3 Metode Analisis ... 33

3.2.3.1 Analisis RaTA... 34

3.2.3.2 Analisis Bundle of Rights... 35

3.2.3.3 Analisis Persepsi Parapihak... 37

3.2.3.4 Analisis Tipologi Masalah Sosial ... 37

3.2.4 Validasi Data ... 38

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN... 41

4.1 KPHP Model Gunung Sinopa... 41

4.1.1 Letak dan Luas ... 41

4.1.2 Perkembangan KPHP GS... 42

4.1.2.1 Sosial Budaya... 42

4.1.2.2 Tipologi Perkembangan Pembangunan KPHP GS... 43

4.1.2.4 Organisasi dan Kepemerintahan KPHP GS ... 44

4.2 Desa Loleo ... 47


(14)

4.2.2 Sejarah Desa Loleo... 48

4.3 Desa Lembah Asri ... 50

5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 53

5.1 Potensi Konflik Dalam Wilayah KPHP GS... 53

5.1.1 Status Tata Kuasa Dalam Wilayah KPHP GS... 55

5.1.1.1 Sejarah dan Bukti Klaim Penguasaan UPTD KPHP GS... 56

5.1.1.2 Sejarah dan Bukti Klaim Penguasaan PEMDA... 58

5.1.1.3 Sejarah dan Bukti Klaim Penguasaan Masyarakat Lokal... 59

5.1.1.4 Sejarah dan Bukti Klaim Penguasaan Masyarakat Transmigrasi. 63 5.1.2 Status Tata Kelola Dalam Wilayah KPHP GS... 66

5.1.2.1 Status Tata Kelola UPTD KPHP GS... 66

5.1.2.2 Status Tata Kelola PEMDA ... 67

5.1.2.3 Status Tata Kelola Masyarakat Lokal... 71

5.1.2.4 Satus Tata Kelola Masyarakat Transmigrasi... 72

5.1.3 Status Tata Perijinan Dalam Wilayah KPHP GS... 73

5.1.3.1 Status Tata Perijinan Menurut UPTD KPHP GS... 73

5.1.3.2 Status Tata Perijinan Menurut PEMDA ... 74

5.1.3.3 Status Tata Perijinan Menurut Masyarakat Lokal... 74

5.1.4 Analisis Potensi Koflik ... 75

5.1.4.1 Klaim Penguasaan Tanah dan SDA Secara De Jure... 76

5.1.4.2 Klaim Penguasaan Tanah dan SDA Secara De Facto... 77

5.1.4.3 Potensi Konflik UPTD KPHP GS dengan PEMDA... 80

5.1.4.4 Potensi Konflik UPTD KPHP GS dengan Masyarakat... 81

5.1.4.5 Potensi Konflik Masyarakat Lokal dengan Transmigrasi ... 82

5.2 Posisi Kepemilikan Parapihak Dikaitkan dengan Sekumpulan Hak (Bundel of Rights) pada Sistem Penguasaan Tanah dan SDA ... 84

5.2.1 Analisis Sekumpulan Hak (Bundle of Rights)... 85

5.2.1.1 Sekumpulan Hak (Bundle of Rights) UPTD KPHP GS... 86

5.2.1.2 Sekumpulan Hak (Bundle of Rights) PEMDA ... 87

5.2.1.3 Sekumpulan Hak (Bundle of Rights) Masyarakat Lokal... 90

5.2.1.4 Sekumpulan Hak (Bundle of Rights) Masy. Transmigrasi... 93

5.2.2 Implikasi Posisi Hak Kepemilikan Parapihak... 97

5.3 Keamanan/Kepastian Tenurial (tenure security) Menurut Persepsi Parapihak Dalam Wilayah KPHP GS... 99

5.3.1 Keamanan/Kepastian Tenurial Menurut UPTD KPHP GS ... 100

5.3.1.1 Peristiwa yang MenjadiAncaman Keamanan Tenurial... 100

5.3.1.2 Makna dan Tindakan Keamanan Tenurial... 101

5.3.2 Keamanan/Kepastian Tenurial Menurut PEMDA ... ... 104

5.3.2.1 Peristiwa yang MenjadiAncaman Keamanan Tenurial... 104

5.3.2.2 Makna dan Tindakan Keamanan Tenurial... 105

5.3.3 Keamanan/Kepastian Tenurial Menurut Masyarakat Lokal... 107

5.3.3.1 Peristiwa yang MenjadiAncaman Keamanan Tenurial... 107

5.3.3.2 Makna dan Tindakan Keamanan Tenurial... 108

5.3.4 Keamanan/Kepastian Tenurial Menurut Masyarakat Transmigrasi... 110

5.3.4.1 Peristiwa yang MenjadiAncaman Keamanan Tenurial... 110


(15)

5.4 Identifikasi Tipologi Masalah Sosial Terkait Tenurial Dalam Wilayah

KPHP GS ... 114

6 PENATAAN TENURIAL DALAM WILAYAH KPHP GS... 117

6.1 Pemetaan Tenurial Dalam Wilayah KPHP GS...118

6.1.1 Berdasarkan Lama Waktu Penguasaan Tanah dan SDA... 119

6.1.1.1 Penguasaan Lebih dari 20 Tahun SecaraBerturut-turut...119

6.1.1.2 Penguasaan Kurang dari 20 Tahun ...121

6.1.2 Berdasarkan Arahan RTRW Kabupaten Halmahera Tengah... 123

6.2 Pilihan-pilihan Kebijakan Untuk Rekonsiliasi...126

6.2.1 Kebijakan Sektor Kehutanan... 126

6.2.1.1 Pengelolaan Hutan yang Dapat Diakses Masyarakat...126

6.2.1.2 Pengukuhan Kawasan Hutan...128

6.2.2 Kebijakan Tata Ruang Wilayah... 129

7 KESIMPALAN DAN SARAN... 130

7.1 Kesimpulan...130

7.2 Saran ...131

DAFTAR PUSTAKA... 132

LAMPIRAN ... 136


(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Panduan pengumpulan data primer ...…….... 29

2 Posisi kepemilikan yang dikaitkan dengan “Bundle Of rigths” ... 36

3 Tipologi masalah sosial terkait tenurial dalam wilayah KPH... 38

4 Konsep yang digunakan, pengumpulan data, dan analisis ...…... 39

5 Luas fungsi kawasan hutan dalam wilayah KPHP Gunung Sinopa... 46

6 Preferensi masyarakat untuk mengelola lahan dalam wilayah KPHP GS .. 42

7 Penduduk desa Loleo menurut jenis kelamin dan pekerjaan utama..…….... 48

8 Jumlah penduduk desa Lembah Asri berdasarkan tingkat pendidikan..…... 51

9 Luas lahan dan penggunaannya di desa Lembah Asri ... 51

10 Hasil RaTA Dalam Wilayah KPHP GS... 54

11 Posisi UPTD KPHP GS yang dikaitkan dengan “Bundle Of rigths” …... 87

12 Posisi PEMDA yang dikaitkan dengan “Bundle Of rigths” ...…... 89

13 Posisi masyarakat lokal dikaitkan dengan “Bundle Of rigths” ... 91

14 Posisi masyarakat transmigrasi dikaitkan dengan “Bundle Of rigths” pada penguasaan lahan usaha II ... 94

15 Posisi masyarakat transmigrasi dikaitkan dengan “Bundle Of rigths” pada penguasaan lahan R... 96

16 Posisi Parapihak Yang dikaitkan dengan “Bundle Of rigths” ... 97

17 Kesempurnaan hak pada model pengelolaan hutan yang diakses oleh Masyarakat... 99

18 Matrik makna dan tindakan terkait keamanan/kepastian tenurial oleh UPTD KPHP GS ... 105

19 Matrik makna dan tindakan terkait keamanan/kepastian tenurial oleh Pemda ... ... 107

20 Matrik makna dan tindakan terkait keamanan/kepastian tenurial oleh masyarakat lokal ... 110

21 Matrik makna dan tindakan terkait keamanan/kepastian tenurial oleh masyarakat Transmigrasi ... 114

22 Hasil identifikasi tipologi masalah sosial dalm wilayah KPHP GS ... 116

23 Rekapitulasi penguasaan tanah dan SDA di atas 20 tahun dalam Wilayah KPHP GS ... 121

24 Rekapitulasi penguasaan tanah dan SDA di bawah 20 tahun dalam Wilayah KPHP GS ... 122

25 Wilayah pengembangan Kabupaten Halmahera Tengah ... 124

26 Areal berpeluang dikeluarkan dari wilayah KPHP GS berdasarkan RTRW Kabupaten Halmahera Tengah ... 125

27 Kesempurnaan hak pada model pengelolaan hutan yang diakses ... 127


(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pendekatan studi dan tahapan penelitian ...………... 27

2 Alur pikir analisis RaTA ...….... 35

3 Bagan struktur organisasi KPHP GS ...………... 45

4 Peta wilayah KPHP Gunung Sinopa ...………... 57

5 Batas kepemilikan dengan tanaman kelapa kembar ...………... 60

6 Sertifikat tanah dan bukti pelunasan pajak masyarakat lokal... 61

7 Bukti klaim penguasaan tanah dengan tanaman kelapa ...………... 61

8 Posisi lahan R pengganti lahan usaha II dalam wilayah KPHP GS....……... 65

9 Peta struktur ruang rancangan RTRW Kabupaten Halmahera Tengah ... 68

10 Perkebunan Eks PNP XXVIII yang menjadi aset PEMDA ....…………... 70

11 Tanaman kelapa pada lahan usaha II yang dikuasai masyarakat lokal ... 72

12 Proses pengelolaan kopra oleh masyarakat ... 74

13 Kuburan dan tanaman Kelapa sebagai bukti fisik ...………... 78

14 Jalam raya yang melintas wilayah KPHP GS ...….. 101


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Peta Penetapan Wilayah KPHP Model Gunung Sinopa ... 137

2 Peta Rencana Struktur Ruang Kabupaten Halmahera Tengah... 138

3 Peta Hasil Observasi Dalam Wilayah KPHP Model Gunung Sinopa... 139

4 Data Koordinat Hasil Observasi Dalam Wilayah KHPP GS... 140

5 Peta Topografi Wilayah KPHP Model Gunung Sinopa ... 141

6 Transkrip Wawancara ... 143


(19)

1

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Realitas kawasan hutan yang bersifat open access serta lemahnya kemantapan kawasan hutan akibat rendahnya pengakuan oleh masyarakat telah menyebabkan permasalahan sosial yang kompleks dalam pembangunan kehutanan (Kartodihardjo et al. 2011). Salah satu permasalahan serius tersebut adalah konflik tenurial kawasan hutan yang dipicu oleh beberapa hal: prosedur penetapan kawasan hutan dan klaim wilayah hutan secara sepihak oleh pemerintah; penyerahan kawasan hutan kepada pihak ketiga melalui mekanisme perijinan tanpa mempertimbangkan keberadaan dan eksistensi masyarakat yang ada di sekitar dan di dalam kawasan hutan beserta pengakuan pada hak-hak masyarakat. Konflik tenurial kawasan hutan hampir merata terjadi di seluruh Indonesia. Data terbaru yang dikeluarkan HuMa1 menyebutkan adanya 85 kasus konflik terbuka di kawasan hutan Indonesia terjadi pada tahun 2011 dan yang paling dekat dengan ingatan kita adalah kasus konflik lahan di Mesuji yang menelan korban jiwa.

Diperkirakan lebih dari 25.000 buah desa di Indonesia yang seluruh atau sebagian wilayahnya berada di dalam kawasan hutan (Kemenhut 2010) dan data World Bank tahun 2009 memperkirakan ada 6 juta jiwa yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya yang terdapat di dalam kawasan hutan, dan tumpang tindihnya kebijakan pemerintah khususnya dalam pengelolaan hutan semakin memberi peluang terjadinya konflik tenurial2 atas tanah dalam kawasan hutan oleh berbagai pihak yang berkepentingan.

Safitri et al. (2011) mengemukakan bahwa jika dilihat dari aktor yang terlibat, maka konflik tenurial kawasan hutan dapat digolongkan ke dalam beberapa kategori:

1

HuMa (Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis)

2

Pengertian tenurial atas tanah dalam kawasan hutan dipahami sebagai hubungan relasi, baik berdasarkan norma yang berkembang dan hukum legal formal maupun berdasarkan kesepakatan atau kebiasaan yang dipraktekkan masyarakat, diantara orang-orang, baik sebagai individu ataupun kelompok, yang terkait dengan tanah dan sumber-sumber alam lainnya (Afiff 2005).


(20)

2 1 Konflik antara masyarakat adat dengan Kementrian Kehutanan (Kemenhut). 2 Konflik antara masyarakat dengan Kemenhut dengan Badan Pertanahan

Nasional (BPN).

3 Konflik antara masyarakat transmigrasi dengan masyarakat (adat/lokal) dengan Kemenhut dengan Pemerintah Daerah dengan BPN.

4 Konflik antara masyarakat petani pendatang dengan Kemenhut dengan Pemerintah Daerah.

5 Konflik antara masyarakat desa dengan Kemenhut.

6 Konflik antara calo tanah dengan elite politik dengan masyarakat petani dengan Kemenhut dengan BPN.

7 Konflik antara masyarakat lokal (adat) dengan pemegang izin.

8 Konflik antar pemegang izin kehutanan dan izin‐izin lain seperti pertambangan dan perkebunan.

Potensi konflik tenurial kawasan hutan, salah satunya disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang tercermin dalam UU Nomor 41 Tahun 1999, dimana tidak mengharuskan pemerintah untuk melakukan apa yang disebut sebagai Free Prior Informed Consent (FPIC) dalam membuat keputusan atau menerbitkan ijin. FPIC adalah satu proses yang memungkinkan masyarakat adat dan atau masyarakat lokal untuk menjalankan hak-hak fundamentalnya untuk menyatakan apakah mereka setuju atau tidak setuju terhadap sebuah aktivitas, proyek, atau kebijakan yang akan dilaksanakan di kawasan yang dinyatakan milik masyarakat dan berpotensi berdampak kepada tanah, kawasan, sumberdaya dan perikehidupan masyarakat (DKN 2011a). Akibat dari kebijakan pemerintah di sektor kehutanan ini, banyak sekali tanah-tanah yang diklaim oleh masyarakat berpindah kepemilikan akibat dari kebijakan pemerintah untuk mengalokasikannya untuk kegiatan pembangunan yang dilakukan baik oleh pemerintah sendiri maupun swasta (Afiff 2005).

Kondisi ketidakpastian tenurial (tenure insecurity) sudah terjadi semenjak masa penjajahan, dan semakin masif pada tahun 1967 dengan diberlakukannya UU Pokok Kehutanan, dimana secara sepihak pemerintah mengklaim hampir 75 % tanah-tanah di Indonesia sebagai kawasan hutan Negara (Afiff 2005). Masyarakat yang sudah melakukan aktifitas dalam kawasan hutan mengalami


(21)

3 dampak dari kebijakan pemerintah ini, sehingga klaim tanah dan SDA dalam kawasan hutan oleh masyarakat menjadi tidak pasti dan berpotensi diklaim sebagai hutan negara oleh pemerintah.

Wilayah KPH umumnya berada pada areal yang tidak dibebani hak dan cenderung open access dan berpotensi menimbulkan konflik di dalamnya, hal ini sangat dimungkinkan pada kawasan hutan di luar Pulau Jawa, di mana institusi lokal mengakui siapa yang membuka hutan pertama kali maka dialah pemiliknya, sehingga lahan-lahan usaha (ladang) tersebut menjadi hak milik peladang secara de facto (Nugroho 2011), sehingga menjadi sangat penting adanya suatu penataan tenurial dalam wilayah KPH. Pada situasi seperti ini keberadaan pembangunan KPH menjadi solusi strategis yang diharapkan dapat memfasilitasi penataan tenurial kawasan hutan dalam wilayahnya.

Hubungan antara kepastian tenurial dengan penyelesaian konflik adalah tesis yang sangat populer dalam berbagai diskursus akademik, pembangunan dan gerakan sosial (Safitri 2006). Kepastian tenurial (tenure security) merupakan salah satu kunci penyelesaian konflik tenurial, oleh karena itu penelitian tentang penataan kepastian tenurial atas tanah dan sumber daya alam yang ada dalam wilayah KPH sangat diperlukan.

2.2 Perumusan Masalah

Sering kali pada objek yang sama, misalnya tanah, terdapat berbagai hak yang melekat dan hak-hak ini dapat saja dimiliki oleh beberapa pihak. Inilah yang kemudian menyebabkan mengapa konsep tenurial ini seringkali dijelaskan dengan prinsip “bundle of rights” (Afiff 2005). Schlager dan Ostrom (1992) menyatakan bahwa hak-hak dalam hak kepemilikan dapat dirinci sebagai berikut: 1 Hak atas akses (rights of access): adalah hak untuk memasuki suatu wilayah

tertentu.

2 Hak pemanfaatan (rights of withdrawal): adalah hak untuk mengambil sesuatu atau untuk memanen sesuatu hasil alam seperti untuk memancing ikan, memanen buah, mengambil air, menebang pohon, dan sebagainya.


(22)

4 3 Hak pengelolaan (rights of management): adalah hak untuk mengatur pola pemanfaatan internal dan merubah sumberdaya yang ada untuk tujuan meningkatkan hasil atau produksi.

4 Hak pembatasan (rights of exclusion): adalah hak untuk menentukan siapa saja yang dapat memperoleh hak atas akses dan membuat aturan pemindahan hak atas akses ini dari seseorang ke orang lainnya atau kelompok lain.

5 Hak memindahtangankan (rights of alienation): adalah hak untuk menjual atau menyewakan atau kedua-duanya. Semakin banyak kumpulan hak-hak (bundle of rigths) tersebut dimiliki oleh seseorang atau kelompok, semakin sempurna hak kepemilikannya (Alston & Muller 2008, diacu dalam Nugroho 2011).

Ketidakpastian dalam klaim tanah dan SDA dalam kawasan hutan sering diakibatkan karena pada areal yang sama terdapat dua legitimasi klaim, yakni secara de jure dan de facto. Afiff (2005) mengemukakan bahwa klaim secara de jure berarti kepemilikan formal yang berdasarkan hukum atau peraturan yang dianggap sah oleh pemerintah, contohnya pemberian izin pemanfaatan hutan oleh pemerintah kepada pihak ketiga atau penguasaan kawasan hutan di Indonesia oleh Negara. Sedangkan istilah de facto mengacu pada cara-cara kepemilikan, penguasaan, atau pemanfaatan yang dipercayai, digunakan, dikenal dan berlaku, berdasarkan hukum atau aturan yang telah dipraktekkan oleh masyarakat selama ini.

Ellsworth (2002) menjabarkan ada 4 (empat) aliran yang berkembang saat ini dalam menjawab persoalan yang terkait dengan tenure security yakni: (1) Property Rights; (2) Agrarian Structure Traditions; (3) Common Property Advocates; dan (4) Institutionalist. Aliran hak-hak Property (Property Rights) memahami hak-hak properti sebagai kepemilikan properti secara individu, privat, yang dapat secara bebas diperdagangkan. Aliran ini menekankan bahwa ketersediaan sertifikat tanah secara individual atau perorangan adalah prasyarat penting untuk pertumbuhan ekonomi. Menurut mereka, kepemilikan individual adalah cara yang terbaik untuk mendorong proses produksi secara lebih efisien.

Aliran Agrarian Structure Traditions (Ketimpangan Struktur Agraria) banyak mempersoalkan dampak dari ketimpangan yang ditimbulkan dari adanya aset yang diperdagangkan. Kelompok ini melihat persoalan tenure security lebih


(23)

5 luas dari sekedar sertifikasi, yaitu sangat terkait dengan political will (kemauan politik) dari penguasa untuk melindungi kelompok miskin serta kelompok menengah ekonomi kecil dari ancaman dampak pasar bebas. Kelompok ini tetap berpendapat land reform adalah strategi yang paling penting untuk dilakukan dalam upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Aliran Common Property Advocates (Advokasi Hak Properti Masyarakat Adat) mengangkat pentingnya pengakuan dan dukungan untuk hak-hak atas tanah dan sumber-sumber alam yang secara turun temurun yang dimiliki oleh masyarakat adat. Pendukung aliran ini mengemukakan bahwa tanah-tanah ulayat seperti ini penting untuk tidak diprivatisasi sebab tanah-tanah seperti ini adalah katup penyelamat untuk kelompok masyarakat miskin terutama di saat-saat darurat. Walaupun penganut aliran ini setuju dengan pendukung aliran Property Rights, namun mereka tidak setuju dengan pendekatan sertifikasi individual untuk tanah-tanah komunal sebagai jalan keluarnya. Bahkan menurut mereka proyek-proyek sertifikasi seperti ini dapat berdampak pada menurunnya keadilan dan memperbesar jurang ketimpangan sosial dalam masyarakat.

Aliran Institutionalist (Institusionalis) mengajak kita untuk memperhatikan bagaimana pengaruh dari makro politik ekonomi terhadap rejim-rejim properti yang ada, selanjutnya akan menentukan apakah muncul kepastian hukum atau tidak untuk mereka yang mengklaim hak atas suatu properti (seperti tanah, misalnya). Pendekatan ini menurut penuturan Mearns (2001), diacu dalam Ellsworth (2002) sebuah perspektif alternatif yang pandangannya dimulai dari melihat politik atas akses dan kontrol atas sumber alam (seperti tanah) diantara beragam aktor sosial, dan perubahan lingkungan dilihat sebagai hasil negosiasi dan kontestasi antar aktor tersebut yang masing-masing mungkin punya prioritas yang berbeda dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber alam tersebut. Menurut pandangan institusionalis rejim-rejim properti selalu dalam kondisi berubah untuk menunjukkan bahwa hal itu muncul dari hasil negosiasi dan penyesuaian-penyesuaian yang ada dalam masyarakat yang punya nilai yang selalu berubah seperti halnya juga tarik menarik kekuasaan yang selalu berubah-ubah dalam masyarakat itu. Aliran ini melihat status penguasaan sumber daya alam dipandang sebagai relasi sosial dari tiga pihak: pihak yang memiliki


(24)

6 berbagai bentuk hak, pihak yang dilarang untuk melanggar hak-hak tersebut dan pihak (biasanya pemerintah atau pengadilan) yang menjamin hak-hak tersebut dan berkewajiban untuk melarang (Afiff 2005). Ellsworth (2002) faktor-faktor yang mempengaruhi relasi ketiga pihak tersebut adalah: 1) Sejarah kekuasaan, untuk mengetahui perubahan status kawasan dalam konteks jenis kepemilikan (property right), peran dan fungsi parapihak yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA); 2) Demografi, untuk melihat cakupan area dimana institusi yang dibangun akan memberikan dampaknya baik secara langsung maupun tidak langsung; 3) Budaya, untuk mengetahui sejauh mana unsur-unsur

budaya mempengaruhi proses pembentukan institusi pengelolaan SDA; 4) Organisasi sosial dari masyarakat, sistem nilai dan penetapan harga-harga

secara relatif mesti diperhatikan untuk melihat bagaimana hal-hal tersebut mempengaruhi relasi diantara ke tiga pihak tersebut dalam rejim hukum dan dalam menjelaskan bagaimana suatu jenis sumber daya (hutan, air, tanah, komoditi) di kelola pada suatu masa tertentu.

Penelitian ini mencoba menghubungkan konflik tenurial atas tanah dan SDA dalam kawasan hutan dengan KPH sebagai suatu institusi pengelola hutan di tingkat tapak. Diharapkan keberadaan institusi KPH dapat lebih memahami bagaimana seharusnya KPH dapat menata relasi sosial antara para pihak dalam wilayah KPH terkait dengan tenurial. Untuk dapat menganalisis peran institusi KPH dalam menata tenurial kawasan hutan maka penelitian ini menggunakan pendekatan Institutionalist Tenure Security, pendekatan ini dipilih karena persoalan utama terjadinya konflik antara pemerintah dan masyarakat lokal3 di Wilayah KPHP Model Gunung Sinopa adalah kondisi ketidaksamaan hak dan akses atas tanah dan sumber daya alam (tenure insecurity).

Penataan kepastian tenurial dapat dimediasi dan difasilitasi oleh institusi KPH sebagai pihak yang paling mengetahui kondisi hutan di tingkat tapak, baik kondisi sumber daya alam maupun kondisi sosial budaya masyarakat di dalam maupun di sekitar hutan. Institusi KPH memiliki kapasitas untuk menentukan alokasi sumber daya hutan dengan tepat, berkeadilan, dan berimplikasi minimum

3

Yang dimaksud dengan masyarakat lokal di sini adalah masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan dan atau ekosistem hutan, tetapi tidak mengidentifikasi dirinya sebagai masyarakat adat (DKN 2011a).


(25)

7 konflik. Dengan demikian institusi KPH merupakan lembaga yang secara sosial politik mendapat legitimasi dari masyarakat dengan kewenangan teknis dan fungsi dalam pengelolaan hutan di tingkat tapak namun mempunyai posisi strategis dalam mewujudkan pengelolaan hutan secara adil dan aman (Kartodihardjo et al. 2011).

Pada posisi inilah peran institusi KPH dapat memetakan persoalan di lapangan dengan sejelas mungkin, kondisi de facto sangat penting untuk diketahui karena kehidupan sehari-hari suatu masyarakat (komunitas) berlangsung dalam kondisi de facto ini (Afiff 2005), yang jika diabaikan oleh negara maupun oleh mereka yang memegang hak de jure, dapat memunculkan konflik. Oleh karena itu institusi KPH harus mampu memahami konflik-konflik yang terjadi mulai dari proses konflik mencakup tahapan potensi konflik (conditional), pra-konflik (monadic), konflik (diadic), dan sengketa (Pasya & Sirait 2011). Institusi KPH harus memahami juga bahwa setiap aktor yang mewakili kepentingan-kepentingannya memiliki gaya dan sikap yang beragam terhadap konflik yang sedang dihadapinya, mulai dari sikap menghindar, akomodatif, kompetitif, kompromistis hingga kolaboratif dimana terdapat keseimbangan kekuatan. Gaya dan sikap terhadap konflik ini yang akan menentukan pilihan-pilihan penyelesaian sengketa (alternative dispute resolution) yang mencakup ajukasi (ajucation), arbitrasi (arbitration), mediasi (mediation), negosiasi (negotiation), atau tanpa bantuan pihak ketiga yaitu dengan paksaan (coercion), penaklukan (conquest), penghindaran (avoidance), dan pembiaran (lumpingit) (Nader 1978, diacu dalam DKN 2011b).

Berdasarkan kerangka teori dan perumusan masalah yang diuraikan di atas, pertanyaan penelitian yang diajukan sebagai berikut:

1 Bagaimana potensi konflik tenurial kawasan hutan di dalam wilayah KPHP Model Gunung Sinopa?

2 Bagaimana sekumpulan hak (bundle of rights) dalam sistem tenurial atas tanah dan SDA yang diklaim oleh parapihak di dalam wilayah KPHP Model Gunung Sinopa?

3 Bagaimana keamanan tenurial atas tanah dan SDA menurut persepsi parapihak yang memiliki klaim dalam wilayah KPHP Model Gunung Sinopa?


(26)

8 4 Bagaimana masalah sosial terkait tenurial dalam wilayah KPHP Gunung

Sinopa?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, secara umum penelitian ini bertujuan menghimpun pengetahuan dan infomasi terkait penataan tenurial atas tanah dan SDA dalam wilayah KPH. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah:

1 Menganalisis potensi konflik tenurial kawasan hutan di dalam wilayah KPHP Model Gunung Sinopa.

2 Memetakan sekumpulan hak (bundle of rights) sistem tenurial atas tanah dan SDA yang diklaim parapihak di dalam wilayah KPHP Model Gunung Sinopa. 3 Mengidentikiasi makna keamanan tenurial atas tanah dan SDA menurut

persepsi parapihak yang ada dalam wilayah KPHP Model Gunung Sinopa. 4 Mengidentifikasi tipologi masalah sosial terkait tenurial dalam wilayah KPHP

Model Gunung Sinopa. 1.4 Manfaat Penelitian

Diharapkan hasil penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan terkait permasalahan konflik tenurial dalam wilayah KPH, dan diharapkan juga bermanfaat untuk lembaga pengelola KPH dalam memahami masalah sosial terkait tenurial dalam wilayah KPH, sehingga dapat mengambil langkah dan tindakan yang tepat sesuai dengan tupoksi, guna memfasilitasi penyelesaian konflik sehingga dapat berimbas pada kelancaran pembangunan KPH.


(27)

9

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan

Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 12 disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi: inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tersebut dilakukan pada tingkat propinsi, kabupaten/kota serta pada tingkat unit pengelolaan. Unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efesien dan lestari, antara lain kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL), kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP), dan kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK).

KPH sebagai institusi penyelenggara pengelolaan hutan di lapangan, dimana peran ini sangat diperlukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagai “pemilik” sumberdaya hutan yang didasarkan pada mandat dari Undang-Undang. Sesungguhnya KPH tidak memiliki kewenangan memberi ijin pemanfaatan hutan, akan tetapi sebagai pengelola hutan di tingkat tapak sehingga sangat diharapkan kondisi suatu wilayah KPH dapat terinformasikan dengan lengkap terkait keaneka ragaman potensi dari wilayah tersebut. Selain itu peran institusi KPH diharapkan mampu melakukan penataan pemanfaatan hutan sesuai dengan potensinya dan menjadi penengah bagi parapihak yang berkepentingan dalam wilayah KPH.

2.1.1 Hubungan KPH dengan Berbagai Element Terkait

Kartodihardjo et al. (2011) menguraikan hubungan KPH dengan berbagai elemen yang terkait dalam pengelolaan hutan seperti KPH dan ragam fungsi hutan; KPH dan akses masyarakat; KPH dan usaha kehutanan; KPH dan organisasi daerah; KPH dan pengembangan wilayah; dan KPH dan kelestarian hutan.


(28)

KPH dan ragam fungsi hutan, keberadaan KPH akan lebih memastikan diketahuinya potensi hutan, perubahan-perubahan yang terjadi maupun kondisi masyarakat yang tergantung pada manfaat sumberdaya hutan. Dalam hal ini KPH dapat dimaknai sebagai pihak yang menghimpun informasi sumberdaya hutan untuk melakukan pengelolaan hutan yang tidak dijalankan secara langsung oleh lembaga seperti Kementerian Kehutanan atau Dinas Kehutanan.

KPH dan akses masyarakat, akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan dapat terdiri dari berbagai bentuk. Apabila dikaitkan dengan ijin atau penetapan status kawasan hutan, akses masyarakat yang dimaksud tidak dapat ditetapkan pada tingkat KPH, karena kewenangan untuk itu berada pada Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Keberadaan KPH memungkinkan identifikasi keberadaan dan kebutuhan masyarakat tehadap manfaat sumberdaya hutan dengan lebih jelas, sehingga proses-proses pengakuan hak, ijin maupun kolaborasi menjadi lebih mungkin dilakukan. Demikian pula penyelesaian konflik maupun pencegahan terjadinya konflik lebih dapat dikendalikan.

KPH dan usaha kehutanan, dengan beroperasinya organisasi KPH, informasi mengenai sumberdaya hutan yang dimanfaatkan oleh para pemegang ijin diharapkan akan semakin akurat. Karakteristik dan sifat-sifat khas sumberdaya hutan juga diharapkan dapat diketahui. Kondisi demikian itu akan memudahkan penetapan manajemen hutan yang sesuai dengan kondisi wilayah, sehingga diharapakan mengurangi kegiatan-kegiatan yang selama ini seolah-olah hanya bersifat administratif, harus dilakukan, tetapi tidak secara jelas berguna bagi usaha kehutanan tersebut. Efektivitas kegiatan demikian itu pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan efisiensi perusahaan.

KPH dan organisasi daerah, keberadaan KPH bersifat unik. Organisasi daerah yang dibentuk berdasarkan PP No 41 Tahun 2007 tidak mengenal adanya organisasi seperti KPH yang mempunyai sifat teritorial. Organisasi KPH meskipun bidang kehutanan namun bukan identik dengan organisasi kehutanan yang telah dibentuk berdasarkan PP No 41 Tahun 2007. KPH merupakan organisasi yang spesifik yang khususnya di luar Pulau Jawa belum pernah ada.

KPH dan pengembangan wilayah, pengembangan wilayah dapat dilakukan untuk mencapai pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan apabila


(29)

memperhatikan kepentingan ekonomi, sosial dan sekaligus kepentingan lingkungan hidup. Secara fungsional, KPH dapat menyediakan barang dan jasa untuk menopang pengembangan wilayah tersebut. Oleh karena itu tujuan pengembangan KPH perlu diselaraskan dengan tujuan pengembangan wilayah Kabupaten/Kota dan atau Propinsi. KPH yang lokasinya lintas wilayah Kabupaten/Kota dapat menjadi penyelaras arah pengelolaan sumberdaya hutan khususnya maupun sumberdaya alam pada umumnya di kedua wilayah administrasi tersebut.

KPH dan kelestarian hutan, faktor yang menentukan kelestarian hutan cukup banyak, meskipun pada prinsipnya kelestarian hutan ditentukan oleh kapasitas pemegang ijin atau pengelola hutan. KPH menjadi faktor pemungkin kapasitas tersebut dapat ditingkatkan atau bahkan pengadaan pengelola hutan yang selama ini tidak ada, misalnya dalam pelaksanaan rehabilitasi lahan kritis di dalam kawasan hutan yang tidak ada pengelolanya terbukti tidak membawa hasil.

2.1.2 Pembangunan KPH

Dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan, pengelola KPH adalah pihak yang paling mengetahui kondisi hutan di tingkat tapak. Oleh karena itu, meskipun proses administrasi perijinan berada di tangan pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya, namun pengelola KPH mempunyai peran penting dalam menentukan bagaimana masyarakat akan siap menerima dan menjalankan ijin itu atau bagaimana pengusaha aman dalam menjalankan usahanya setelah menerima ijin serta dalam konteks yang lebih luas, pengelola KPH menentukan bagaimana alokasi sumberdaya hutan dilaksanakan dengan peluang keberhasilan yang tinggi ataupun implikasi konflik minimal.

Kegiatan pengelolaan hutan dan hasil hutan di dalam suatu KPH merupakan kombinasi antara para pemegang ijin dan pengelola KPH. Oleh karena itu selain kegiatan pengelolaan hutan dan hasil hutan yang secara konvensional telah dilakukan, seperti melakukan tata hutan, pemanfaatan, rehabilitasi, perlindungan, dan konservasi hutan, serta pengawasan, di dalam kegiatan itu perlu dipertimbangkan kebutuhan bersama semua pihak di dalam KPH itu. Misalnya


(30)

aksesibilitas dan infrastruktur, tenaga kerja, informasi, penyelesaian konflik, dan pendampingan sesuai dengan karakteristik wilayah suatu KPH.

Keberadaan KPH diharapkan dapat memecahkan permasalahan kehutanan terkait dengan pengelolaan hutan ditingkat tapak, akses masyarakat, pelestarian hutan, dan permasalahan sosial terkait tenurial. Kartodihardjo et al. (2011) dalam prakteknya KPH menyelenggarakan penguasaan sumberdaya hutan itu bukan dalam arti memberi ijin pemanfaatan hutan melainkan melakukan pengelolaan hutan sehari-hari. Dalam hal demikian itu, KPH menjadi pusat informasi mengenai kekayaan alam sekaligus menata kawasan hutan menjadi bagian-bagian yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai ijin maupun dimanfaatkan melalui kegiatan yang direncanakan dan dijalankan sendiri.

Selain sebagai pusat informasi mengenai potensi suatu kawasan hutan, KPH dapat memainkan peran sebagai mediator bagi akses masyarakat dalam kawasan hutan secara legal, Kartodihardjo et al. (2011) keberadaan KPH memungkinkan identifikasi keberadaan dan kebutuhan masyarakat tehadap manfaat sumberdaya hutan dengan lebih jelas, sehingga proses-proses pengakuan hak, ijin maupun kolaborasi menjadi lebih mungkin dilakukan. Demikian pula penyelesaian konflik maupun pencegahan terjadinya konflik lebih dapat dikendalikan.

Pembangunan KPH saat ini terus menerus dilakukan di daerah, secara garis besar pembangunan KPH menunjukan kemajuan yang cukup signifikan, hal ini daapat dilihat dari perkembangan pembangunan KPH sampai dengan bulan Agustus 2011 ( Sumber Kemenhut), penetapan wilayah KPHL sebanyak 167 Unit

dengan luas ± 20.834.918 Ha, KPHP sebanyak 246 Unit dengan luas ± 37.063.223 Ha yang tersebar pada 23 Provinsi, dan Khusus DI Jogyakarta

(tidak dibedakan antara KPHL dan KPHP) dengan luas: ± 16.357 Ha. Selain itu Pemerintah telah melakukan penetapan wilayah KPHK pada 20 Taman Nasional. Untuk mempercepat pengoperasian KPH maka telah ditetapkan KPH model di masing-masing Provinsi, sampai dengan Agustus 2011, telah ditetapkan KPH model sebanyak 33 dengan rincian KPHL model sebanyak 12 unit dan KPHP model sebanyak 21 unit. KPH yang sudah memiliki organisasi pengelola dengan kedudukan sebagai UPTD terdapat 32 Unit dengan KPH model sebanyak 28 Unit dan bukan KPH model sebanya 4 unit.


(31)

2.1.3 Tugas dan Fungsi KPH

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 17 ayat (1) mengamanatkan bahwa pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan Unit Pengelolaan. Tujuan pembentukan wilayah pengelolaan hutan tersebut adalah untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang efisien dan lestari. Bentuk unit pengelolaan hutan adalah dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) baik pada kawasan hutan produksi, hutan lindung dan/atau hutan konservasi.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 2008, dijelaskan bahwa KPH adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. Untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari, seluruh kawasan hutan terbagi ke dalam KPH, yang menjadi bagian dari penguatan sistem pengurusan hutan Nasional, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam Peraturan Pemerintah ini juga ditetapkan tugas pokok dan fungsi KPH, yakni: 1. Menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi: a) Tata hutan dan

penyusunan rencana pengelolaan hutan; b) Pemanfaatan hutan dalam hal pemantauan dan pengendalian terhadap pemegang ijin; c) Penggunaan kawasan hutan dalam hal pemantauan dan pengendalian terhadap pemegang ijin; d) Pemanfaatan hutan di wilayah tertentu; e) Rehabilitasi hutan dan reklamasi; f) Perlindungan hutan dan konservasi alam.

2. Menjabarkan kebijakan kehutanan Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota untuk diimplementasikan.

3. Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian.

4. Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya.

Tugas pokok dan fungsi KPH tersebut terutama untuk KPHP dan KPHL sebelum ada KPH sebagian dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Propinsi dan Kabupaten/Kota dan sebagian diantaranya dilaksanakan oleh para pemegang ijin.


(32)

Dengan demikian, maka sebelum ada KPH, seluruh tugas pokok dan fungsi KPH tetap dijalankan oleh Dinas Kehutanan Propinsi dan Kabupaten/Kota.

Kartodihardjo (2008) mengemukakan bahwa organisasi KPH ditetapkan dalam tiga fase yaitu: fase pertumbuhan, fase pengembangan dan fase pemantapan. Fase pertumbuhan merupakan suatu proses menuju pembentukan organisasi KPH, di saat KPH belum terbentuk. Fase ini diharapkan berjalan sampai akhir tahun 2009, dimana telah terbentuk minimal 1 (satu) KPH di setiap propinsi. Bagi setiap KPH yang telah terbentuk segera memasuki fase berikutnya yaitu fase pengembangan. Fase pengembangan adalah fase dimana KPH telah terbentuk, dimana perhatian pembangunan KPH diarahkan pada struktur dan fungsi organisasi, jumlah dan kualifikasi sumberdaya manusia, manajemen dan kepemimpinan, serta ketersediaan sumberdaya lainnya. Sedangkan fase pemantapan adalah fase dimana Pemerintah diharapkan telah mempunyai perangkat evaluasi kinerja KPH, baik kriteria dan indikator berbasis kinerja, sistem evaluasi, maupun mekanisme perbaikan kinerja KPH.

2.2 Konsep Hak Kepemilikan

Konsep dasar dari ekonomi kelembagaan baru (NIE) adalah teori North (1990) menyatakan bahwa ekonomi kelembagaan merupakan faktor kunci dalam pembangunan ekonomi, sebuah hipotesis penting dari teori ini adalah bahwa kelembagaan membentuk perilaku para aktor politik dan ekonomi, namun pada kesempatan lain para aktor termotivasi untuk bereaksi dan mengubah kelembagaan yang tidak lagi melayani kepentingan mereka (Irimie & Essmann 2009).

NIE umumnya terdiri dari tiga teori yang berbeda: 1) teori hak milik 2) teori biaya transaksi, dan 3) principal-agent teori. Mengingat studi ini terkait dengan teori hak kepemilikan secara empiris namun tidak menutup kemungkinan menggunakan teori-teori lain guna memperjelas teori hak kepemilikan pada sumber daya hutan. Teori principal-agent dan teori biaya transaksi dapat

melengkapi dan memperjelas teori hak kepemilikian sumber daya hutan (Ebers & Gotsch 1999, diacu dalam Irimie & Essmann 2009).


(33)

Hak kepemilikan (property right) adalah hak yang dimiliki individu, masyarakat, negara atas suatu sumberdaya (asset/endowment) untuk mengelola, memperoleh manfaat, memindahtangankan, bahkan untuk merusaknya, hak ini merupakan implikasi hubungan antara sumberdaya dengan aktor yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya, artinya apabila aktor berdiri sendiri tanpa ada sumberdaya yang dimanfaatkan, atau sumberdaya yang tersedia tanpa ada aktor yang memanfaatkannya, maka pendefinisian hak kepemilikan tidak diperlukan (Nugroho 2009). Oleh karenanya hak kepemilikan ini merupakan kumpulan hak‐hak (bundle of rights) yang diatur melalui aturan tertentu, sehingga North (1990) menyatakan bahwa hak kepemilikan merupakan institusi, karena di dalamnya mengandung norma‐norma dan aturan main pemanfaatannya dan merupakan alat pengatur hubungan antar individu.

Konsep hak kepemilikan memiliki implikasi terhadap konsep hak (right) dan kewajiban (obligation) yang diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Konsekuensinya diperlukan persyaratan‐persyaratan tertentu agar hak dapat ditegakkan, yaitu:

1 Adanya pengakuan atas hak dan kewajiban atas sumberdaya. Dalam banyak hal hak kepemilikan merupakan produk dari tradisi atau adat kebiasaan dalam masyarakat atau pengaturan administratif pemerintah, sehingga tidak seorangpun dapat menyatakan hak milik tanpa pengakuan dari masyarakat dan negara. Dengan demikian, hak seseorang harus mampu menumbuhkan kewajiban orang lain untuk menghormatinya dan hak seseorang harus dapat menjadi sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya yang dimaksud.

2 Memperoleh perlindungan komunitas dan Negara. Konsep pengakuan dan penghormatan hak perlu diikuti dengan tindakan perlindungan atas hak oleh komunitas dan Negara melalui pemberian sanksi‐sanksi atas pelanggarannya. Sepanjang sanksi‐sanksi tersebut tidak dapat dihadirkan dan ditegakkan atau kalau toh ditegakkan memerlukan biaya transaksi dan penegakan hak (transaction and enforcement costs) yang sangat mahal, maka kelembagaan hak kepemilikan yang mengatur hubungan antar individu tersebut akan sia‐sia.


(34)

Kasper dan Streit (1998) mengingatkan bahwa institusi tanpa sanksi adalah tidak ada artinya.

3 Hak kepemilikan memerlukan biaya penegakan dan biaya eksklusi (exclusion costs). Semakin mahal biaya‐biaya tersebut, semakin tidak berharga suatu asset/sumberdaya. Demikian pula apabila manfaat yang dapat diperoleh dari sumberdaya tersebut jauh lebih rendah dari biaya penegakan dan eksklusi, maka sumberdaya tersebut akan ditinggalkan dan tidak terurus.

4 Karakteristik manfaat sumberdaya menentukan tingkat kesulitan penegakannya. Menurut North (1990) hak relatif mudah ditegakkan apabila aliran manfaat dapat diketahui dan konstan, atau aliran manfaat bervariasi tetapi dapat diprediksi. Sebaliknya hak tidak mudah ditegakkan (biaya penegakan hak mahal) apabila aliran manfaat dengan mudah dapat dinikmati pihak lain dan aliran manfaat bervariasi dan tidak dapat diprediksi, maka biaya untuk menegakkan hak akan sangat mahal, akibatnya masing‐masing pihak akan berlomba mengeksploitasi manfaat tersebut.

Selain persyaratan penegakan hak sebagaimana diuraikan di atas, maka Nugroho (2008) mengungkapkan bahwa syarat kesempurnaan hak kepemilikan adalah (1) dapat diperjual belikan (tradable), (2) dapat dipindah tangankan (transferable); (3) dapat mengeluarkan pihak yang tidak berhak (excludable) dan (4) dapat ditegakkan hak‐haknya (enforceable). Semakin banyak syarat terpenuhi, semakin sempurna hak kepemilikannya, sehingga semakin dapat diharapkan efisiensi alokasinya dan kelestarian pengelolaannya. Suatu barang (property) yang dapat diperjualkan belikan, maka akan mendorong pemilik barang tersebut untuk mengelolanya dengan baik. Apabila dia gagal mengelola dengan baik, maka harga barang tersebut akan merosot. Begitu pula dengan sifat dapat dipindah‐tangankan misalnya melalui pewarisan. Tata nilai masyarakat akan mendorong untuk memberikan warisan yang baik kepada penerima warisan. Sementara sifat excludable dan enforceable mengindikasikan bahwa apabila suatu barang (walaupun dimiliki oleh seseorang, kelompok ataupun Negara) dapat dimanfaatkan oleh individu/kelompok lain atau siapa saja yang tidak berhak, maka insentif untuk penghematan dan/atau pengelolaan yang baik akan hilang.


(35)

Di lain pihak, aset tersebut juga harus mendapat perlindungan baik oleh masyarakat maupun oleh entitas pelindung hak‐hak warga. Akan menjadi sia‐sia apabila kepemilikan seseorang/kelompok tidak dihormati oleh orang/kelompok lain.

Kepemilikan sumber daya alam bersifat kompleks (Kartodihardjo & Jhamtani 2006), di satu pihak, ada bagian dari suatu ekosistem yang dapat memberi manfaat atau mendatangkan kerugian bagi masyarakat banyak(public benefit/cost), di pihak lain sumber daya alam dapat berupa komoditi (private goods) yang hanya dinikmati oleh perorangan . Hanna et al. (1996) membagi bentuk-bentuk hak yang lazim disebut rezim hak terhadap sumber daya alam yang berkisar dari yang dikuasai negara (state property), diatur bersama di dalam suatu kelompok masyarakat atau komunitas tertentu (common property), atau berupa hak individu (private property).

Pengertian dan asumsi dasar terhadap sumber daya alam akan menentukan siapa pemilik, pengguna, pengatur sumber daya, siapa yang mengendalikan akses pihak lain jika sumberdaya rusak, dan siapa yang mendapatkan manfaat dari sumber daya tersebut (White 2004, diacu dalam Kartodihardjo & Jhamtani 2006). Hal ini menjadi pokok persoalan pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia, dimana pengertian dan asumsi dasar dari sumberdaya alam belum secara tegas diartikulisikan dan diimplementasikan secara konsisten. Dalam kaitan ini menurut White (2004) diacu dalam Kartodihardjo dan Jhamtani (2006), kebijakan tenurial bukanlah berkaitan dengan perubahan hubungan antara orang dengan tanah atau sumberdaya, melainkan menyangkut perubahan sosial dan kekuasaan antara sekolompok orang dengan kelompok lain. Dengan demikian pengertian “tenure” adalah hubungan sosial, yaitu berhubungan antara setiap individu dengan individu lain dalam suatu komunitas, hubungan antara komunitas dan hubungan antara rakyat dengan pemerintah atau negara.

2.3 Konsep Tenurial

Penggunaan istilah “tenure” sering mencuat tatkala terjadi konflik yang berkepanjangan antara berbagai pihak yang saling mempertahankan hak penguasaan terhadap lahan atau sumber daya alam. Saling klaim atas hak


(36)

mewarnai tuntutan yang sering diikuti dengan aksi-aksi perlawanan. Hingga saat ini semangat masyarakat adat dan pendukungnya untuk mengembalikan hak-hak ulayat, termasuk tuntutan pengembalian hak hutan adat tak pernah kunjung reda. Semua itu bermuara pada masalah land tenure yang sering menjadi “grey area” (Emila dan Suwito 2006).

Menurut Bruce (1998) dalam Review of Tenure Terminology, istilah tenure” berasal dari jaman feodal Inggris. Setelah menduduki Inggris tahun 1066, bangsa Normandia menghapuskan hak-hak masyarakat atas tanahnya, dan mengganti hak tersebut hanya sebagai pemberian grant (bantuan) dari pemerintahan baru.

Beberapa sumber menjelaskan bahwa kata tenure berasal dari kata dalam bahasa Latin “tenere” yang mencakup arti: memelihara, memegang, memiliki. land tenure berarti sesuatu yang dipegang dalam hal ini termasuk hak dan kewajiban dari pemangku lahan. Land tenure adalah istilah legal untuk hak pemangkuan lahan, dan bukan hanya sekedar fakta pemangkuan lahan. Seseorang mungkin memangku lahan, tetapi ia tidak selalu mempunyai hak menguasai. Sistem “land tenure” adalah keseluruhan sistem dari pemangkuan yang diakui oleh pemerintah secara nasional, maupun oleh sistem lokal. Sebuah sistem “land tenure” sulit dimengerti kecuali dikaitkan dengan sistem ekonomi, politik dan sosial yang mempengaruhinya (Bruce 1998).

Pengertian tentang land and resource tenure yang umum dipahami oleh para pemerhati masalah-masalah sosial mengacu pada relasi sosial yang ditentukan dalam setiap sistem penguasaan, pemanfaatan, pengelolaan tanah dan sumber alam lainnya, baik yang diakui maupun yang tidak diakui oleh hukum negara yang berlaku. Relasi sosial ini bisa terbentuk diantara individu dalam satu kelompok masyarakat, antara kelompok masyarakat satu dengan kelompok masyarakat lainnya, termasuk pula antara rakyat dan pemerintah dalam suatu negara. Dalam memahami relasi sosial ini maka terkandung pula di dalamnya berbagai perspektif seperti relasi gender, kelas (baik dari perspektif sosial maupun ekonomi), hubungan antar etnik, budaya dan kelompok umur. (International Conference on Land and Resource Tenure in Changing Indonesia 2004)


(37)

Untuk memudahkan pengamatan dan analisis, seringkali masalah tenurial sistem ini dilihat sebagai sekumpulan atau serangkaian hak-hak (tenure system is a bundle of rights ) yang mana di dalamnya juga terkandung makna kewajiban (obligation). Hal ini didasarkan pada kenyataan lapangan seringkali ditemukan, bahwa hak-hak atas tanah dan sumber-sumber alam ini bersifat multidimensi dan berlapis-lapis, tidak jarang terjadi, orang atau kelompok orang yang berbeda-beda mempunyai hak pada sebidang tanah atau sesuatu sumber alam yang sama (Emila dan Suwito 2006). Misalnya pada sebagian dari sistem “kepemilikan” tanah adat, meskipun dikenal hak individu untuk “memiliki” sebidang tanah, namun individu tersebut tidak mempunyai hak untuk mengalihkan tanah tersebut ke orang lain secara bebas tanpa ikut campurnya keluarga dan/atau komunitas di mana tanah itu berada. Pohon-pohon tertentu yang berumur panjang misalnya, punya aturan sistem kepemilikan dan pemanfaatan tertentu yang kadang-kadang tidak terkait dengan kepemilikan tanah dimana pohon itu terdapat. Sistem ini bisa berbeda untuk jenis tumbuhan lain yang tumbuh semusim.

Emila dan Suwito (2006) pengertian “bundle of rights ” dalam resource tenure system, memunculkan serangkaian hak tertentu dan pembatasan-pembatasan tertentu atas hak-hak tersebut. Berdasarkan sudut pandang ini, pada setiap tenure system masing-masing hak termaksud setidaknya mengandung tiga komponen hak yakni:

1 Subyek hak, yang berarti pemangku hak atau pada siapa hak tertentu dilekatkan. Subyek hak bervariasi bisa dari individu, rumah tangga, kelompok, suatu komunitas, kelembagaan sosial ekonomi, bahkan lembaga politik setingkat negara.

2 Obyek hak, yang berupa persil tanah, barang-barang atau juga benda-benda yang tumbuh di atas tanah, barang-barang tambang atau mineral yang berada di dalam tanah atau perut bumi, perairan, kandungan barang-barang atau makhluk hidup dalam suatu kawasan perairan, maupun suatu kawasan atau wilayah udara tertentu. Obyek hak termaksud harus bisa dibedakan dengan alat tertentu, dengan obyek lainnya. Untuk obyek hak berupa suatu persil tanah atau kawasan perairan, batas-batasnya dapat diberi suatu symbol. Obyek hak bisa bersifat total bisa juga parsial. Misalnya, seseorang yang mempunyai hak atas


(38)

pohon sagu tertentu, tidak dengan sendirinya mempunyai hak atas tanah di mana pohon sagu itu berdiri.

3 Jenis haknya, setiap hak selalu dapat dijelaskan batasan dari hak tersebut, yang membedakannya dengan hak lainnya. Dalam hal ini jenis-jenis hak merentang dari hak milik, hak sewa, hingga hak pakai, dan lain sebagainya, tergantung bagaimana masyarakat yang bersangkutan menentukannya. Setiap jenis hak ini memiliki hubungan khusus dengan kewajiban tertentu yang dilekatkan oleh pihak lain (mulai dari individu lain hingga negara) dan keberlakuannya dalam suatu kurun waktu tertentu.

Dalam mengamati masalah land and resource tenure, penting pula memperhatikan aspek de jure dan de facto. Istilah de jure digunakan untuk menunjukkan kepemilikan formal yang berdasarkan hukum atau peraturan yang dianggap sah oleh negara atau pemerintah yang berkuasa saat itu. Penguasaan kawasan hutan di Indonesia oleh negara adalah contoh dari kepemilikan de jure ini. Sementara itu istilah de facto mengacu pada cara-cara kepemilikan, penguasaan, atau pemanfaatan yang dipercayai, digunakan, dikenal dan diberlakukan oleh masyarakat setempat (Afiff 2005).

Afiff (2005) adanya dua sifat kepemilikan ini memunculkan persoalan tentang sumber dari legitimasi klaim atas tanah ataupun sumber-sumber alam. Mereka yang mendapatkan akes dan menguasai sebidang tanah, hutan, dan sumber-sumber alam lainnya berdasarkan klaim de jure, menggunakan izin pemerintah dan aturan-aturan hukum yang berlaku untuk melegitimasi kepemilikannya. Legitimasi lewat cara ini membuat mereka dapat menggunakan aparat-aparat Negara seperti Pengadilan, Tentara, dan Polisi, dan Politisi untuk mempertahankan dan menegakkan klaim mereka bila terjadi sengketa dengan pihak lain, khususnya masyarakat. Sebaliknya mereka yang menguasai tanah dan sumber-sumber alam berdasarkan klaim de facto, seringkali tidak tahu bahwa tanah, hutan, dan sumber-sumber alam mereka secara de jure di klaim oleh Negara.


(39)

2.4 Konsep Keamanan Tenurial (Tenure Security)

Lebih jauh mengenai “land tenure” hal yang harus dicermati adalah jaminan keamanan tenure (tenure security). Bruce (1998) menjelaskan, dari satu sisi pemangkuan dinyatakan aman apabila pemerintah atau orang lain tidak dapat mencampuri pemangku lahan dalam hal penguasaan dan pemanfaatan. Sebagai contoh, meskipun waktu sewa lahan sangat singkat, misalnya 1 bulan, namun apabila dalam jangka waktu tersebut penyewa merasa yakin dapat mempertahankan lahan sewanya, maka pemangkuan ini berarti aman. Hal ini berimplikasi pada keyakinan dalam sistem legal dan akan menghilangkan kekhawatiran akan kehilangan hak.

Forest Trends menerangkan, faktor kunci dari jaminan keamanan tenure adalah pengakuan secara legal dan dukungan terhadap hak-hak milik (property rights), adanya sistem arbitrase pengadilan secara independen, mekanisme dan organisasi pengatur kebijakan yang efektif, dan konstituen politik yang mendukung. Berbicara masalah keamanan di banyak negara berkembang dua kelompok sistem tenurial (yang diatur oleh hukum Negara dan yang diatur secara tradisional), dalam kenyataannya kedua-duanya kurang aman. Di satu sisi sistem yang diatur oleh hukum Negara masih sangat lemah dalam operasionalnya. Sementara sistem yang diatur secara tradisional tidak terdokumentasi dan sering-kali kurang mendapat dukungan secara hukum, sehingga keamanan sebagai pemegang hak kurang memadai (Cromwell 2002).

Safitri (2006), dengan menggunakan pendekatan sosio-legal kepastian tenurial bisa diwujudkan sepanjang beberapa indikator penilai derajat kepastian tenurial digunakan. Indikator dimakasud dapat diadopsi dari elemen-elemen kepastian tenurial (Lindsay 1998) yang dimaksud adalah: (1) kejelasan tentang substansi hak; (2) kepastian hukum atas hak, dalam arti bahwa hak tersebut tidak dapat diambil atau diubah secara sepihak atau tidak adil oleh pihak lain; (3) jangka waktu berlakunya hak yang memungkinkan pemegang hak mendapatkan manfaat; (4) penegakan dan perlindungan hak terhadap pihak lain terutama negara; (5) hak bersifat eksklusif, artinya pemegang hak dapat mengeluarkan dan mengontrol pihak luar yang memanfaatkan tanah dan sumber daya; (6) pemegang hak diakui oleh hukum sebagai badan hukum yang dapat melakukan aktivitas dan


(40)

melindungi haknya; (7) aparat pemerintah yang memberikan atau mengakui hak itu mempunyai posisi dan kewenangan yang sah dan tepat. Selanjutnya, ketujuh elemen itu perlu ditambah dengan elemen baru (8) secara nyata masyarakat pemegang hak dapat melaksanakan dan mengambil manfaat dari kegiatan yang sesuai dengan ruang lingkup hak-haknya itu secara aman tanpa gangguan dari pihak lain. Penilaian akan rasa aman kembali bergantung pada persepsi dan konteks.

2.5 Konflik Pengelolaan Sumber Daya Alam

Berubahnya sistem politik di Indonesia ternyata tidak dengan serta merta diikuti oleh kemudahan penterjemahan peraturan-peraturan di tingkat pusat ke dalam peraturan-peraturan di tingkat daerah kabupaten (Pudjiastuti 2010). Hal ini terjadi pada peraturan-peraturan yang terkait dengan pengelolaan sumber daya hutan saat ini sehingga sering terjadi ketegangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Ketegangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah sendiri, baik secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh persepsi yang telah berkembang mengenai pelaksanaan otonomi daerah maupun bagaimana sumberdaya hutan seharusnya dikelola (Khan et al. 2004).

Peraturan daerah yang disusun tanpa memperhatikan peraturan yang lebih tinggi cenderung menjadi potensi konflik antarlembaga (Pudjiastuti 2010). Walaupun demikian tidak dapat dipungkiri dalam kenyataanya bahwa terkadang substansi peraturan di tingkat pusat tidak cukup memberi pedoman kepada pemerintah daerah, karena kurangnya sosialiasi peraturan tersebut sehingga pemerintah daerah menerjemahkan peraturan-peraturan pemerintah pusat sesuai dengan sumber daya yang tersedia. Suasana dilematik ini ternyata terus berlangsung sampai saat ini.

Desentralisasi menyebabkan kewenangan yang tumpang tindih antara pusat, provinsi dan daerah. Melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, pemerintah daerah memang diberikan kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada di wilayahnya, termasuk hutan. Masalahnya kewenangan tersebut tidak disertai dengan kesiapan sumber daya manusia dan infrastruktur. Bukti aktual


(1)

MN : Mestinya pertanahan sudah tau bahwa tanah yang diukur sudah punya sertifikat.

ES : untuk masyarakat di sini lahan 2-nya belum maksimal dimanfaatkan, lahan diusahakan satu saja, karena warga trans asal Jawa barat umumnya petani sawah..sehingga belum terbiasa mengolah lahan untuk tanaman keras.

MN : jangan-jangan karena warga trans tidak mempedulikan lahan 2 sehingga dimanfaatkan oleh warga lain.

ES: oo.. tidak juga, kami sangat mengaharapkan lahan 2, bahkan begitu diserahkan tahun itu juga sebagian sudah digarap oleh warga trans (WT), cuman waktu kerusuhan lahan 2 tersebut tidak diolah lagi.

MN : bentuk pemanfaatan seperti apa

ES: WT memanfaatkan lahan 1 untuk tanam tanaman palawija, padi, jagung dll, dan lahan usaha 2 ditanami dengan tanaman tahunan .

MN : Trus untuk tadi alternatif penyelesaian bagaimana ? kan ada dua opsi yang diganti uang atau adanya penggantian lahan. Kalau penggantian lahan apakah ada lahannya?

ES : ada..ada,..yang buka lahan R, diluar trans milik pemerintah, bahkan ada sebagian yang sudah diolah oleh masyarakat di luar lahan trans, karena WT lebih rasa aman mengolahnya daripada lahan yang disengketakan (lahan milik yang sudah punya sertifikat). Ada juga yang minta oke’lah saya tidak diganti tidak apa-apa yang penting sertifikat dioper alih dari lahan sengketa ke lahan yang sudah digarap masyaralat saat ini.

MN : Jadi lahan yang disengketakan biarkan buat WL? ES : iya ..

MN: Bagaimana sejarah WT memperjuangkannnya?

ES : dari weda (ibu kota Kabupaten Halteng) masih kecamatan, WT sudah mulai menguapayakan penyelesaian, karena kita waktu tau aturan maka kita menuntut pemerintah untuk menyelesaikan konflik ini, kita tidak mau berhadapan dengan WL, penyelesaiannya terserah dengan opsi tadi (penggantian dengan uang atau lahan lain) cuman dari pemerintahan ke pemerintah bupati cuman dijanjikan untuk diselesaikan, tapi sampai saat belum juga ada penyelesaian. Dimulai dari camat yang di Weda, sekarang sudah camat disini, ada Bapak La Idi dan sekarang bapak Adam, kalau jaman pak adam masyarakat sudah kurang menyuarakan, hanya gencar-gencar waktu camat La Idi, saat itu WT dikumpulkan di balai desa untuk didengarkan permasalahannya bahkan salah satu kesepakatannya adalah WT mengumpulkan sertifikat yang jumlahnya 90-an untuk didata, bahkan sudah 2 x,

MN: dikumpulkan untuk apa?

ES: Artinya sebagai barang bukti bahwa ada tanah yang bersertifikat milik WT yang bermaslah, bahkan sudah disuarakan juga ke anggota dewan dari Desa kami untuk diupayakan penyelesainnya. Cuman sampai sekarang belum ada penyelesainnya. Tapi pada saat camat La Idi..sempat juga mengutarakan bahwa bagaimana kalau lahan WT digantikan saja dengan uang karean dipindahkan lahan baru kayaknya kemungkinannya kecil karena urusannya banyak, harus penyediaan lahan, dan biayanya akan jauh lebih besar. Kalau 3 juta bagamana, WT setuju saja yang penting ada penyelesaian yang jelas. Karean kami tidak mau hal ini menjadi bom waktu, dikemudian hari.


(2)

MN: Karena masalahnya bukti pemilikian ada pada WT tapi dikuasai WL

ES : iya ..bahkan kami sudah sempat membayar pajak, tetapi dua tahun kemudian dihentikan oleh pihak pemerintah untuk lahan 2 karena permasalahn itu. Kok dipajak padahal lahan tersebut tidak bisa digarap.

MN: Jadi juga pakai jalur dewan untuk menyelesaikan ya ES: ya

MN : Kalau sampai ketemu Bupati pernah

ES: kalau ketemu Bupati belum, kami telah mewakilkan ke camat. MN: kalau pihak transmigrasi dan BPN?

ES: kalau awal itu sudah sudah melibatkan transmigrasi dan BPN sampai jl Selindo dijadikan batas

MN: apa maksdunya jalan selindo sebagai batas, bagmana sejarahnya..?

ES: karena komplen dengan masyarakat Loleo, sudah batas Trans ini (jl selindo) dengan maksud supaya Warga Lokal (WL) tidak menyerobot lagi ke lokasi lhn2 Warga Transmigrasi (WT). Tetapi lahan di seberang jalan ke sana tetap menjadi lahan yang sengketa.

MN: jadi jalan Selindo bukan berarti sebelah Timur milik transmigrasi dan sebelah barat milik WL..?

ES: itu batas maksudnya supaya WL tidak menyerobot lahan tersisa. Masyarakat di sini terbuka memilih segala opsi yang ada (Ganti uang atau lahan) yang penting ada penyelesaian sehingga tidak meninggalkan bom waktu buat anak cucu kami, khan mereka lahir di Maluku jadi sudah berhak juga mengklaim sebagai org di sini sama dengan WL, nah kalau mereka kelak buka sertifikat wah ada tanah warisan saya dan dia cocokan dengan card desa maka diakan tahu kalau lahannya ada dimana, dan kenyataannya lahan tsb sudah ada ditanami orang lain.

MN: Kalau opsi penggantian lahan, masyarakat siap..

ES: siap2.. cuman pembukaan lahan dan penyiapan sampai disertifikat kemungkinan biayanya mahal.

MN : Kalau seandainya realisasi dengan penggantian uang sekarang Rp 3 Jt masih relevan? ES : Nanti disesuaikan dengan NJOP skrg saja...karena harga 3 juta yang muncul dulu disesuaikn dengan NJOP saat itu dimana kita dapat melihat pada bukti pembayaran pajak .

MN: mungkin baru ide pak camat..

ES : tidak ini sudah disampaikan beberapa instansi transmigrasi, BPN bg mana tanah ini MN : Kalau masyarakat apa dasarnya mereka membuka lahan tersebut

ES: kurang tau, masyarakat disini awalnya ikut perusahaan sambil menebang pohon, dilihatnya tanah sudah mulai kosong dan terang, jadi kalau mereka masuk kerja merak membawa kelapa untuk kemudian di tanam, sebagai tanda milik dia dan ketika sudah besar org lain sdh tidak bisa masuk


(3)

MN: Khan ada palnya to..?

ES: Ia ada pal, ada dikali Tilopi kalau secara hukum WL pasti kalah, tetapi akan jadi hal besar, karena meraka sudah menggantungkan hidup disitu dan lahan sudah menghasilkan, jadi kalau diproses hukum dan mereka dituntut mengembalikan maka WL pasti akan ngotot mempertahankannya.

MN: Bpk mengharapkan lahan 2 ?

ES: Jelas.. dari sana (jawa) kita ini org tani, tapi hanya menggarap milik orang lain, tapi disini kan memiliki apalagi seluas 2 Ha.. berserta rumah, sehingga kami bisa menanma lebih lalusa dengan harapan hasil lebih banyak.

Mn: andaikan tanaman tahunan sudah ditanam saat itu, berarti skrg sudah bisa memtik hasil ya.. ES: bahkan begitu selesi diserhakan lahan 2 sebagian kami sudah mengolah lahannya, ketika ramai perusahaan WL lokal masuk dan Wt tidak mau ribut, bgman WT menguapayakan penyelesaian dengan mengadukan ke pemerintah.

MN : Jadi WT tidak mau berhadapan langsung dengn WL?

ES: Oo ia,, kalau berhadapan langsung peda (parang) yang naik” baru tahun2 berapa, WT masuk di lokasi itu mereka ancam bahkan diangkat kan parang, dan disuir, dan org jawa tidak mau lagi kelahan tsb. Kamu otak atik lahan kami...bukan kami ingin mencari solusi

MN: Harapan bpk kepada pemerintahan sekarang?

ES: Sangat berharap ada penyelesaian ttg lahan usaha 2, di hati merasa memiliki, tapi barangnya tidak ada, dan sampai di anak cucu, mereka bisa menggunggat dengan dasar punya sertifikat, yang dikhawatirkan menimbulkan dampak negatif, sehingga WT sangat berharap ada penyelesaian dengan opsi tadi,..

MN: dari 2 opsi tadi mana yang lebih bpk pilih?

ES : kita membantu pemerintah untuk mempermudah penyelesaian maslah ini dengan membayar ganti lahan entah dari mana anggarannya, dan jumlah tidak banyak koq..kalau Misal. Diganti 5 juta khan jauh lebih murah dibandingkan dengan pemerintah harus mengganti dengan lahan, sebab biaya pembebasan lahan, biaya sertifikat dll jatuhnya lebih mahal ketimbang di bayar dg uang. Selain itu bagi WT yang sudah mengolah lahan R bisa dialihkan dengan memanfatkan program nasional BPN untuk mensertikfikatkan tanah pengganti yang sudah diolah masyarakat transmigrasi saat ini ,mau tidak sampai 1 Ha pun tidak apa2 sehingga sertifikat yang ada pada kami dikembalikan lagi ke pemerintah. Karena kami tidak berurusan dengan WL tapi dengan pemerintah

MN: berarti kehadiran pemerintah pada posisi ini sangat penting ya..

ES: ia khan fungsi pemerintah salah satunya adalah untuk menyelesaiakn permasalahan yang ada di masyarakat seperti ini, jgn hany tidur saja, pura2 tidak tahu, nanti sudah ada kejadian seperti Masuji baru ramai2 turun tangan, ini sangat dikhawatirkan. Tidak menutup kemungkinan hal itu terjadi, kita tidak mau meninggalkan konflik bagi anak cucu kami..


(4)

MN : Koq berlarut2 ya penyelesaiannya, Apa kendalanya?

ES: tapi nggak tau yang menjadi kendala, kami terus menyuarakan dengan pihak camat, kita musyawarahkan dengan tokoh2 dan pejabat , pernah datang BPN dan Transmigrasi, tapi tidak ada penyelesaian, Masyarakat mulai jenuh karena sampai saat ini belum ada pneyelesaian

MN : apa wujud kejenuhan yang diekpresikan WT

ES: Nggak banyak ngomong lagi ttg lahan 2, biasanya tiap kunjungan mana saja camat, pihak mana2 saja selalu dipertanyakan ttg penyelesain lahan 2, tapi skrg sudah nggak mau lagi ditanyakan, sudah jenuh tidak ada penyelesaiannya..

MN: Biasanya apa yang dilakukan pejabat kalau disampaikan ttg peny lahan 2

ES: Biasa dari pihak pemerintah, ok jadi bahan masukan, diterima, diakomodir permasalahn ini, cuman sebatas itu saja bahkan sampai di tingkat DPRD sudah pernah di bawah seluruh sertifikat kami sampai 2 x.

MN: Apakah saat ke dewan tidak ada masyarakat yang ikut untuk mengawal?

ES: Khan anggota dewannya dari Desa ini, kami sudah musyawarah dan mempercayakan kepada camat dan anggota DPRD. Bahkan ada sertifikat hilang saat dikembalikan ke masyarakat ada yang tercecer,

MN : yang terkumpul ada berapa sertifikat

ES : ada 90 sertifikat, berarti ada 90 ha lahan yang beramsalah di Blok sini (A,B,C). MN: Di lokasi lahan 2 yang lain apa tidak bermaslah?

ES: semua pada dasaranya pada wilayah Trans selalu beramsalah dengan WL.

MN: berarti dengan sertifikat pun hak milik pun tidak ada jaminan keamanan kepemilikan lahan.. ES: Oh ia.. sertifikat itu dianggap oleh mereka hanya sebagai suatu pemberian, jadi sertifikat itu bukan suatu jaminan untuk di daerah Trans khususnya lahan 2

MN: itu pandangan siapa yang menyatakan sertifikat hanya pemberian..

ES: ya.. WL . tapi kita khan berharap dapat di lahan sesuai dengan program pemerintah untuk diberikan lahan usaha 1 dan 2 .

MN: apakah pemerintah telah menjelaskan bahwa serifikat merupakan jaminan kepemilikan lahan?

ES: Ia kalau dari sisi hukum sertifikat itu kuat, tapi posisi di sini lemah kalau kita lihat belum ada korban, nanti ada korban baru semua turun sperti Masuji

MN: Tapi Masyarakat tidak pilih opsi itu khan?

ES: ya..tidak tahu, mana tahu anak cucu kita khan mereka bisa berkat bahwa kami lahir disni sehingga karakter maluku juga sudah membentuk mereka, beda dengan kami yang dibesarkan di Jawa..saya warga sini dan lahir di maluku..budaya anak sama akan sama dengan budaya orang Maluku krn sudah membaur disini.


(5)

MN: Waduh.. termasuk berlarut penyelesalaiannya sampai hampir 20 tahun, kan mulai tahun 1994 ya pak..?

ES: oh tidak ..trans khan mulai ada tahun 1991, sejak itu sudah mulai ada di ujung dekat perbatasn dengn lahan WL, dan puncaknya setelah kerusuhan banyak warga yang meninggalkan lahan mereka, sebelum kerusuhan WT mengolah lahan belum terlalu banyak tekanan terhadap WT. MN: Jangan 2 setelah perusahan ky mengambil kayu dan membuka jalan ternyata WL melihat bahwa lahan bagus tetapi tidak diolah WT, sehingga mereka memanfaatkannya?

ES: Tidak.... perusahaan ambil kayu besar jadi lahan terang , kemudain mereka mebuat jalan untuk mengangkut kayu..

MN: apa dasar WL mengklaim lahan2

ES: sebenarnya tidak ada dasar, mereka kalau kalim sebagai tanah milik mestinya ada bukti seperti tanaman dsb, tapi awalnya lokasi itu adalah hutan..Makanya ada Pal, sehingga pihak trans pada saat survei menentukan lokasi pasti sudah berkoordinasi dengan masy setempat dan tidak ada komplen..bahkan pada saat pembukaan wilayah trans, sebagaian WL membuka lahan di dekat trans dan akhirnya diberikan sebagai jatah dan dijadikan trans lokal..yang diluar trans....karena sudah bersih lahan tsb. Jadi dilahan 2 kami selesai pembagian ada pal batas antara pemilik yang dibuat pihak BPN dan Trans.

MN: Berarti WL yang masuk bukan tidak tahu kalau ada PAL sebagai bukti milik warga trans ES: Bahkan ada patok2 dan sudah dibagikan, mereka juga sudah tahu dimana lahan 2 masing WT karena sudah dibagikan dengan cara diundi dan masing2 sudah mengetahui posisinya.

MN: Kalau seingat bpk hasil musyawarah untuk penyelesAIAN MASLAH INI?

ES: artinya mengakomodir semua, harus menyatukan pandangan masyarakat akan opsi penyelesaian, dan masyarakat terserah dari pemerintah apakah opsi dengan ganti uang atau lahan yang penting tidak menjadi ganjalan saja, kita punya tempat tapi tidak bisa dimanfaatkan, bahkan sudah sempat kami bayar pajaknya, bahkan pak camat Laidi sudah turun di lapangan dengan menggunakan kompas lihat palnya yang pada waktu itu masih ada untuk disesuaikan dengan card yang ada, khan batas lahan usaha 2 di dekat telaga kalau disebelah sana (Blok d,e.,f) itu orang Tiolopi dan Sosowomo yang menggarap lahan usaha 2 milik WT. Kalau disini khan orang Loleo. Itu banyak sudah ditanami

MN: Tapi tau perisi nggak posisi lahan yang bersertifikat tsb.. Org Lain: kalau saya tidak tau karena saya bukan WT

MN: Menurut pendahulu kita di sini WT tau posisi lahan

ES: Ia pasti tahu, karena sudah diundi dulu di rumah ketua kelompok baru semua WT ke lokasi untuk memastikan posisi tanahnya sesuai dengan nomor undian masing2. Bahkan sudah “Royongan” artinya hari ini lahan siapa dibersihkan oleh semua warga kemudian digilirkan sampai semua WT lahannya sudah bersih.


(6)

MN: Kalau lahan usaha 1 aman pak? Kenapa?

ES; Oh ia aman, karena lahan usaha satu jauh dari jangkauan mereka, kemudian oleh pihak kontraktor sudah membersihakn lahan usaha 1 sehingga siap digarap beda lahan usaha 2 masih hutan tetapi ada patok batas kepemilikan., dan begitu kami tiba kami langsung mengolahnya, MN: Dengan adanya momen Pilkada apa harapan bpk atas penyeleaianya konflik ini?

ES: Di momen pilkda ini kami sudah suarakan, bahkan dewan sendiri ada dan menanyakan sampai dimana penyelasian kemarin terakhir, kami jawab kalau dengan camat kami sudah sepakat 2 opasi itu...”kalau begitu suruh kepala desa segera kesana.

MN: Oh ada tim sukses atau dewan yang hadir?

ES: Dewan menghadiri msusyawarah masyarakat dan distu ada tim yang menyampaikan barau kemarin saja..