80
c. Pengelolaan hutan lindung
Landasan hukum yang mengatur pengelolaan sumber daya hutan termasuk hutan lindung tertuang dalam pasal 21 Undang-Undang Kehutanan Nomor
411999. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa pengelolaan hutan meliputi: a tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, b pemanfaatan hutan dan
penggunaan kawasan hutan, c rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan d perlindungan hutan dan konservasi alam. Ketentuan ini kemudian dijabarkan
secara teknis melalui PP 6 tahun 2007 tentang tata hutan dan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan. Dalam ketentuan yang tercantum dalam PP No 6
tahun 2007 menyebutkan kegiatan tata hutan dan perencanaan meliputi kegiatan tata batas, inventarisasi, pembagian dalam blokzona pengelolaan dan pemetaan.
Setelah kegiatan tersebut dilaksanakan maka pengelola kawasan hutan diwajibkan untuk menyusun rencana pengelolaan jangka pendek dan jangka menengah.
Dokumen rencana pengelolaan hutan baik jangka pendek maupun jangka menengah harus memiliki strategi kelayakan pemanfaatan, rehabilitasi dan
perlindungan kawasan hutan. Sesuai dengan tujuan pengelolaan hutan lindung, maka pengelolaan hutan
lindung diarahkan untuk pemanfaataan hasil hutan bukan kayu sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam pasal 23 Dalam PP No 6 tahun 2007, akan tetapi
ketentuan ini menjadi tidak jelas saat pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No 28 tahun 2011 tentang penggunaan kawasan hutan lindung untuk
penambangan bawah tanah dan PP No 24 tahun 2004 tentang tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Dalam pasal 4 PP No 24 tahun 2010 disebutkan bahwa didalam
kawasan hutan lindung dapat dibangun seperti jalan umum, fasilitas umum, instalasi air, stasiun relay dan lain lain. Ketentuan ini telah disalah artikan oleh
pemerintah daerah sebagai contoh pemerintah Kabupaten Gorontalo membangun membangun kantor desa, membangun sekolah bagi masyarakat yang tinggal di
kawasan hutan lindung seperti yang terjadi di dalam kawasan HLGD. Pembangunan berbagai fasilitas didalam kawasan HLGD secara tidak langsung
telah melegitimasi keberadaan mereka di dalam kawasan hutan lindung. Situasi ini akan semakin mempersulit posisi pemerintah selaku penguasa atas lahan yang ada
81 dalam kawasan HLGD untuk memperoleh kepastian hak dari masyarakat yang
tinggal disekitar kawasan HLGD. Dalam pengelolaan hutan lindung diatur pula ketentuan tentang kewenangan
pemerintah dan pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan lindung. Kewenangan Pemda untuk mengambil berbagai keputusan dalam pengelolaan
hutan, tidak banyak dibahas dalam UU 411999. Berdasarkan PP 38 Tahun 2007. Kewenangan pemerintah kabupaten dalam pengelolaan hutan lindung meliputi :
inventarisasi hutan, rehabilitasi hutan dan perlindungan hutan, pemberian perijinan pemanfaatan kawasan hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu yang
tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam appendix CITES dan pemanfaatan jasa lingkungan skala kabupaten, sedangkan kewenangan Pemerintah Pusat dalam
pengelolaan hutan lindung adalah : a. Pelaksana pengukuhan kawasan hutan lindung.
b. Pelaksana penunjukkan kawasan hutan lindung. c. Penyelenggaraan tata batas, penataan dan pemetaan kawasan hutan lindung.
d. Pelaksana penetapan kawasan hutan lindung. e. Penetapan norma, standart, prosedur dan kriteria NSPK dan pengesahan
rencana pengelolaan dua puluh tahunan dan lima tahunan. f. Penetapan NSPK rencana pengelolaan tahunan.
g. Penetapan NSPK dan pengesahan rencana kerja usaha dua puluh tahunan dan lima tahunan jangka menengah unit pemanfaatan hutan lindung.
h. Penetapan NSPK rencana pengelolaan tahunan unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
i. Penetapan NSPK dan pengesahan penataan areal kerja unit usaha pemanfaatan hutan lindung
Beberapa kegiatan tersebut ternyata meninggalkan problem yang sangat komplek dan sangat mempengaruhi kegiatan pengelolaan hutan lindung oleh
pemerintah kabupaten karena belum semua NSPK tentang pengelolaan hutan lindung sudah disusun oleh Pemerintah Pusat Departemen Kehutanan, yang
dapat dijadikan acuan bagi Pemerintah Kabupaten untuk menjalankan tugasnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Ekawati 2010 yang menyatakan bahwa belum
dikeluarkannya beberapa NSPK sebagai acuan pemerintah daerah dalam
82 pengelolaan hutan lindung telah membuat pengelolaan dan pemanfaatan hutan
lindung seperti di Kabupaten Tanjung Jabung, Kabupaten Sorolangun dan Kabupaten Solok belum berjalan optimal
Berdasarkan ketentuan peraturan perundangan seperti yang telah disebutkan diatas maka dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut:
1. Mekanisme pengelolaan hutan lindung antara pemerintah daerah dan
pemerintah pusat masih lebih banyak mengatur hal-hal yang bersifat instruksi yang sangat birokratis dan belum menyentuh penguatan
pengelolaan hutan dan status hutan lindung sehingga tidak mendorong upaya untuk melestarikan hutan. Menurut Khan et al 2004 kebijakan
pengelolaan kehutanan yang lebih menekankan aspek teknis dan sangat birokratis akan berakibat pada inefisiensi dan menimbulkan biaya ekonomi
tinggi 2.
Beberapa peraturan perundangan tidak konsisten dengan peraturan di atasnya sehingga menyulitkan pemerintah mencapai kinerja yang
diinginkan. Situasi ini bisa menimbulkan konflik yang disebabkan karena perbedaan penafsiran dalam pelaksanaan kebijakan. Hal ini sesuai dengan
temuan beberapa kajian tata kelola kehutanan menghasilkan kesimpulan antara lain, peraturan perundangan tentang kehutanan Indonesia cenderung
simpang siur tumpang tindih Ginoga et al 2005. Peraturan yang tidak konsisten akan berakibat pada melemahnya penegakan hukum sehingga
akan memicu perilaku oportunistik individu atau kelompok dalam memanfaatkan hasil hutan sebagai contoh diperbolehkannya penambangan
di kawasan hutan lindung dikhawatirkan hanya akan menjadi dalih agar bisa mengeksploitasi kayu dari dalam kawasan hutan lindung yang selama ini
masih relatif baik. 3.
Pengelolaan hutan lindung masih dikelola secara sentralistik hal ini terlihat dari dominasinya pemerintah pusat sebagai pengambil keputusan
pengelolaan hutan lindung, sedangkan pemerintah daerah hanya ditempatkan sebagai pemberi rekomendasi dan lebih bersifat administrasi
tanpa diberi kewenangan untuk memutuskan. Menurut Steni 2004 desentralisasi yang terjadi di Indonesia terutama dalam pengelolaan SDA
83 lebih bersifat teknis dan administratif. Ketentuan hukum yang ada lebih
banyak menjabarkan implementasi otonomi sistem pemerintahan secara politik dan bukan otonomi pengaturan SDA berdasarkan kebutuhan rakyat
di daerah. Sehingga McCarthy 2004 menyimpulkan bahwa pelaksanaan desentralisasi khususnya disektor kehutanan belum mencapai tujuan
“good governance”
d. Pembinaan dan Pengawasan di Hutan Lindung