76 rakyat. Berdasarkan dua ketentuan tersebut maka lahan hutan lindung Gunung
Damar merupakan wilayah yang dikuasai oleh Negara dan bebas dari hak-hak pihak lain yang membebani lahan tersebut. Terkait dengan strata hak kepemilikan
sebagaimana yang dikemukakan oleh Schlager dan Ostrom 1992 maka negara selaku pemilik sumberdaya berhak melakukan hal-hal sebagai berikut yaitu 1 hak
akses acces rights adalah hak untuk memasuki suatu area sumberdaya yang memiliki batas-batas yang jelas dan menikmati manfaat non ekstraktif 2 hak
memanfaatkan withdrawal rights adalah hak untuk memanfaatkan suatu unit sumberdaya atau produk dari suatu sistem sumberdaya 3 hak pengelolaan
management rights hak untuk mengatur pola pemanfaatan sumberdaya 4 hak ekslusi exclusion rights adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh
memiliki hak akses dan bagaimana akses tersebut dialihkan ke pihak lain, 5 hak pengalihan alienation rights adalah hak untuk menjual dan menyewakan
sebagian atau seluruh hak-hak kolektif tersebut. Jika sebuah sumberdaya dikuasai oleh negara maka para individu mempunyai kewajiban untuk mematuhi aturan
yang ditetapkan oleh pemerintah atau departemen yang mengelola sumberdaya tersebut. Demikian pula pemerintah juga mempunyai hak untuk memutuskan
aturan main penggunanya Asikin, 2001. Dalam pengelolaan sumberdaya CPR secara efektif baik oleh negara maupun sekelompok masyarakat maka Ostrom
1990 mengemukakan beberapa prinsip agar sumberdaya CPR tersebut mencapai kinerja optimal antara lain 1 terdapat kesesuaian antara peraturan dan situasi
lokal 2 terdapat kesepakatan yang memungkinkan terjadinya partisipasi sebagian besar pengguna dalam proses pengambilan keputusan 3 monitoring efektif yang
dilakukan oleh pemilik dalam hal ini pemerintah 5 terdapat sanksi bagi bagi yang tidak menghormati aturan. Selanjutnya Kartodihardjo 2010 mengemukakan
kebijakan pengelolaan CPR oleh pemerintah seharusnya tidak memisahkan masyarakat lokal dengan sumberdaya alam, melainkan menumbuhkan usaha
masyarakat agar menjadi pelindung SDA.
b. Penetapan dan pemantapan hutan lindung
Menurut Sadino 2006 penetapan kawasan hutan adalah proses penentuan yuridis formal baik secara fisik di lapangan disertai dengan desain kawasannya
sebagai dasar pengelolaan hutan secara efisien, efektif dan lestari dengan kata lain
77 penetapan kawasan hutan merupakan penegasan tentang kepastian hukum
mengenai status, letak batas dan luas suatu wilayah tertentu yang telah ditunjuk berdasarkan keputusan hukum yang bersifat mengikat, sedangkan pemantapan
kawasan hutan adalah proses negosiasi kawasan hutan yang diarahkan untuk memperoleh legitimasi dari individu atau kelompok masyarakat dan organisasi.
Proses kegiatan penetapan dan pemantapan kawasan hutan lindung dimulai dengan inventarisasi kawasan. Kegiatan inventarisasi dilakukan dengan maksud
untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan alam hutan serta lingkungannya secara lengkap. Ascher 1993
mengatakan ketersediaan informasi sumberdaya hutan menjadi penting untuk memastikan kepastian dalam hasil pengukuran kerja atau kinerja. Selama ini
pemerintah tidak menguasai data dan informasi tentang kondisi hutan sehingga pengetahuan yang dimiliki oleh pemerintah sangat terbatas.
Setelah proses inventarisasi hutan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah selesai maka Menteri Kehutanan menunjuk kawasan hutan atas
rekomendasi Gubernur dan memperhatikan RTRW dan atau paduserasi TGHK dan RTRW. Proses penyusunan RTRW yang dilakukan oleh pemerintah daerah
dalam rangka menentukan peruntukkan kawasan termasuk kawasan hutan harus melibatkan partisipasi masyarakat seperti yang tercantum dalam Pasal 20 PP 15
2010 tentang Penyelenggaran Penataan Ruang. Namun fakta di lapangan menunjukkan kegiatan penyusunan RTRW diserahkan kepada konsultan ahli
perencanaan yang cenderung bekerja tanpa melibatkan masyarakat sejak awal. Pelibatan masyarakat hanya dilakukan pada saat konsultasi publik setelah RTRW
selesai dibuat. Setelah proses administrasi pengesahan RTRW selesai maka pemerintah daerah harus mengkonsultasikan RTRW tersebut dengan pihak-pihak
terkait termasuk menteri kehutanan dalam rangka konsultasi tentang substansi masalah kehutanan sesuai dengan Permenhut 282009 tentang Tata Cara
Konsultasi Persetujuan Subtansi Kehutanan dalam RTRW. Dalam proses ini menteri kehutanan dapat membatalkan RTRW tersebut jika terdapat
ketidaksesuaian masalah substansi kehutanan Ketentuan penunjukkan kawasan hutan lindung didasarkan pada kriteria
yang terdapat pada pasal 24 ayat 3 butir b PP No 44 tahun 2004 tentang
78 perencanaan hutan dimana menyebutkan kawasan hutan dengan faktor
kelerengan, jenis tanah, curah hujan melebihi skor 175 danatau kawasan hutan yang memiliki kelerengan lapangan 40 atau lebih dan atau kawasan hutan yang
memiliki ketinggian diatas 2000 mdpl atau lebih, kawasan hutan yang memiliki jenis tanah yang peka terhadap erosi dengan lereng lapangan lebih dari 15,
kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air dan kawasan hutan yang merupakan perlindungan pantai. Selain memperhatikan status kawasan,
penunjukkan kawasan hutan harus memenuhi persyaratan sebagaimana yang tercantum dalam pasal 5 Keputusan Menteri Kehutanan No 32Kpts-II2001
tentang kriteria dan standart pengukuhan kawasan hutan pasal 5 disebutkan bahwa kawasan hutan yang ditunjuk harus memenuhi kriteria sebagai berikut yaitu. a
belum pernah ditunjuk atau ditetapkan Menteri sebagai kawasan hutan, b tidak dibebani hak hak atas tanah, c tergambar dalam peta penunjukkan kawasan hutan
dan perairan yang ditetapkan oleh Menteri atau RTRWPRTRWK. Tahapan selanjutnya yang harus dilakukan adalah melakukan penataan batas
yang terdiri dari pemancangan patok batas sementara, penyelesaian hak-hak pihak ketiga, penyusunan berita acara pengakuan masyarakat disekitar area batas,
penyusunan berita acara pemancangan batas patok sementara, pemasangan pal batas, pemetaan hasil penataan batas, pembuatan dan penandatanganan berita
acara tata batas, pelaporan kepada menteri kehutanan dengan tembusan kepada gubernur. Setelah tata batas dilakukan maka menteri menetapkan kawasan hutan
yang telah temu gelang. Berdasarkan hasil analisis terhadap peraturan perundangan yang berkaitan
dengan pemantapan dan penetapan kawasan hutan maka dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut;
1 Proses penetapan dan pemantapan kawasan hutan lindung hanya memuat
berbagai prosedur yang sifatnya administratif, belum ada mekanisme yang merancang sanksi dan insentif yang mendorong pemerintah daerah
merumuskan program
untuk mengoptimalisasi
pengelolaan dan
pemanfaatan hutan lindung sebagai contoh aturan formal penunjukkan HLGD hanya menempatkan pemerintah daerah sebagai pemberi
rekomendasi yang sifatnya administrasi tanpa bisa memutuskan. Situasi ini
79 menyebabkan menjadi berlarut-larutnya proses pengukuhan hutan. Semakin
lamanya proses pengukuhan kawasan hutan berakibat pada ketidakpastian kawasan hutan. Menurut Contreras et al 2006 ketidakpastian hak-hak
sebagai akibat dari tidak jelasnya batas batas kawasan hutan berpotensi menimbulkan konflik dan masyarakat akan memandang kawasan hutan
adalah sumberdaya yang “open acces” 2
Proses pengusulan penunjukkan kawasan hutan lindung oleh pemerintah daerah yang tertuang dalam RTRW hanya mengacu pada kriteria biofisik
sesuai pasal 8 Keppres 321990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan belum memperhatikan aspek sosial, sehingga terjadi tumpang tindih antara
kawasan hutan dan penggunaan lainnya seperti pemukiman rumah-rumah permanen dan kampung-kampung dusun, rumah tangga, desa yang ada di
dalam kawasan hutan. 3
Pemerintah daerah belum menjalankan prosedur pada undang-undang penataan ruang,
yakni pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dalam proses perumusan dan penetapan kawasan
hutan. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan kontrol terhadap isi dan pelaksanaan program pembangunan yang mempengaruhi
kehidupan mereka. Menurut Singletton 1999 bentuk partisipasi merupakan salah satu bentuk aksi kolektif yang dapat mengendalikan perilaku
opportunistik dan dapat juga menghilangkan penumpang gratis free rider dari anggota kelompok serta dapat mengurangi biaya transaksi
4 Sampai saat ini belum ditemukan peraturan yang secara khusus mengatur
proses penyelesaian hak-hak pihak ketiga disepanjang trayek batas dan di dalam kawasan hutan. Sehingga belum ada ruang bagi pelaksana di
lapangan untuk mengambil keputusan dalam menyelesaikan hak-hak tata batas. Ketentuan yang ada hanyalah menegaskan bahwa permasalahan
mengenai hak atas lahan baik sepanjang batas kawasan hutan maupun di dalam kawasan hutan menjadi tanggung jawab panitia tata batas yang
dibentuk oleh Bupati. Implikasi di lapangan adalah pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Kehutanan belum bisa merumuskan bentuk-bentuk
penyelesaian hak-hak pihak ketiga
80
c. Pengelolaan hutan lindung