Situasi Sebagai Sumber Interdependensi

65 diukur dari efektifitasnya saat diimplementasikan. Betapa pun bagusnya isi teks atau formula kebijakan, jika tidak dapat diimplementasikan, maka kebijakan tersebut dianggap gagal. Oleh karena itu, selain teks substansi, maka proses di dalam penyusunannya juga memainkan peran penting

c. Situasi Sebagai Sumber Interdependensi

Berdasarkan situasi kawasan HLGD yang telah dijelaskan sebelumnya dalam kaitannya dengan pengelolaannya dapat dijelaskan situasi pengelolaan HLGD. Situasi dapat didefinisikan sebagai karakteristik yang merupakan sumber interdependensi. Pengetahuan mengenai sumber interdependensi dari sebuah kawasan hutan lindung sangat diperlukan untuk memprediksi dampak alternatif institusi terhadap kinerja. Schmid 1987 mengatakan bahwa institusi akan efektif dijalankan jika institusi tersebut mampu mengendalikan karakteristik inheren sumberdaya alam. Berikut akan dijelaskan beberapa karakteristik inheren terkait dengan situasi yang diamati dalam penelitian ini antara lain: biaya ekslusi tinggi, biaya transaksi, joint impact goods, incompatibilitas dan surplus 1 Biaya ekslusi tinggi Secara hukum de jure HLGD adalah sumberdaya bersama yang dikuasai oleh negara dengan struktur hak penuh seperti hak untuk memasuki dan memanfaatkan, hak menentukan pengelolaan dan menentukan siapa saja yang bisa berpartisipasi serta hak untuk memperjualbelikan. Tapi fakta di lapangan menunjukkan pemerintah tidak dapat melaksanakan hak-hak tersebut karena pemerintah tidak mampu mempertahankan kawasan HLGD sesuai tujuan pengelolaannya. Hasil analisis perubahan tutupan hutan menggunakan citra landsat TM7 antara tahun 1999-2009 menunjukkan tutupan hutan di kawasan HLGD Kabupaten Gorontalo adalah 33.93 sedangkan tutupan hutan di kawasan HLGD Kabupaten Bone Bolango adalah 67.76. Perubahan tutupan hutan menjadi non hutan yang begitu besar di Kabupaten Gorontalo disebabkan oleh adanya konversi lahan berhutan menjadi lahan pertanian. Hal ini terlihat dari luasnya lahan pertanian di kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo yang mencapai 4028.29 ha atau 36.03. Seperti diketahui sebagian masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo mempunyai mata pencaharian dari 66 sektor pertanian dan perkebunan. Indeks LQ sektor pertanian disekitar wilayah HLGD Kabupaten Gorontalo berjumlah 2.248 artinya masyarakat sangat menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan, masyarakat yang tinggal di beberapa dusun di desa Dulamayo Utara dan Malahu di Kabupaten Gorontalo yang lokasinya berada dalam kawasan HLGD memanfaatkan lahan dengan tanaman semusim seperti jagung dan kacang-kacangan, kecuali di Desa Dulamayo Selatan masyarakat menanami lahan mereka dengan tanaman cengkih, coklat, kemiri dan aren. Sedangkan pemanfaatan lahan di dalam kawasan HLGD di desa- desa di Kabupaten Bone Bolango pada umumnya merupakan kebun campuran berbasis tanaman kelapa dan kemiri. Tidak ditemukan adanya pemukiman di dalam kawasan HLGD Kabupaten Bone Bolango. Situasi di atas menggambarkan pemanfaatan HLGD di Kabupaten Gorontalo menimbulkan biaya ekslusi yang lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Bone Bolango Beberapa alasan yang mendasari situasi biaya ekslusi tinggi di HLGD diwilayah Kabupaten Gorontalo adalah 1 Tidak mungkin memindahkan pemukiman dan masyarakat yang telah melakukan usaha tani di dalam kawasan HLGD. Saat ini terdapat pemukiman di tiga desa yaitu Desa Malahu, Desa Dulamayo Selatan dan Desa Dulamayo Utara yang masuk dalam kawasan HLGD, sedangkan di Kabupaten Bone Bolango semua desa berada diluar kawasan HLGD 2 Jika dipaksakan akan direlokasi maka pemerintah Kabupaten Gorontalo akan menanggung biaya yang sangat mahal karena harus mencarikan lahan yang baru 3. Memicu terjadinya konflik antara masyarakat dengan pemerintah. Situasi biaya ekslusi tinggi di kawasan HLGD bisa memunculkan adanya penunggang gratis free rider. Kelompok free rider hanya bisa menikmati keuntungan tanpa berkontribusi dalam pengelolaan sumberdaya tersebut Pakpahan 1989, Basuni, 2003 2 Biaya Transaksi Biaya transaksi dapat didefinisikan sebagai seluruh ongkos yang timbul karena pertukaran dengan pihak lain. Biaya transaksi sangat mempengaruhi kinerja kelembagaan. Biaya transaksi merupakan faktor inheren dari situasi yang dapat menentukan siapa yang menanggung biaya tersebut. Biaya transaksi dapat 67 dibedakan menjadi 3 yaitu; 1 biaya membuat kontrak, 2 biaya informasi dan 3 biaya pemantauan dan pelaksanaan hukum. Menurut Williamson dalam Basuni 2003 biaya transaksi sulit diukur dan dikuantifikasikan, tetapi biaya transaksi dapat dideteksi melalui perbandingan institusi. Untuk mendeteksi adanya biaya transaksi dalam pengelolaan HLGD, dalam Tabel 44 disajikan perbandingan institusi pengelolaan HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo dengan pengelolaan HLGD di wilayah Kabupaten Bone Bolango. Berdasarkan perbandingan institusi tersebut, biaya transaksi tinggi dalam pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo bersumber dari: a Panjang tata batas kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo hanya 14.65 sedangkan panjang tata batas kawasan HLGD di Kabupaten Bone Bolango yang telah mencapai 41.18. Panjang batas kawasan merupakan salah satu bentuk kontrak antara pemerintah selaku pihak pengelola kawasan dengan masyarakat sekitar HLGD. Realiasisasi panjang tata batas kawasan HLGD yang masih rendah di Kabupaten Gorontalo menimbulkan adanya resiko penunggang gratis free rider. Berdasarkan hasil pengamatan bentuk free rider di kawasan HLGD Kabupaten Gorontalo adalah adanya eksploitasi berlebihan terhadap getah damar dan pengambilan secara berlebihan daun woka Livistonia rotundufolia yang tumbuh liar di dalam kawasan HLGD. Eksploitasi berlebihan terhadap getah damar, membuat masyarakat kesulitan mendapatkan kualitas getah damar yang lebih baik. Begitu juga yang terjadi dengan daun woka, masyarakat sangat kesulitan mencari daun woka yang umumnya dipergunakan oleh masyarakat sebagai wadahkemasan dari gula aren dan sebagai wadah untuk menyimpan makanan b Terbatasnya informasi tentang lokasi tata batas kawasan di HLGD Kabupaten Gorontalo menyebabkan lahan hutan lebih dipersepsikan oleh sebagian anggota masyarakat sebagai sumberdaya open acces daripada sebagai barang ekslusif, sumberdaya milik Negara. Hal ini terlihat dari luasnya lahan konflik didalam kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo yang mencapai 4028.29 ha. Biaya pemantauan dan penegakan hukum sehubungan dengan perilaku free access atas sumberdaya hutan dalam kawasan HLGD, dapat berkurang jika ada 68 informasi tentang tata batas kawasan HLGD kepada masyarakat di sekitar hutan c Tingginya kasus perambahan yang terjadi di Kabupaten Gorontalo dibandingan dengan Kabupaten Bone Bolango mengindikasikan lemahnya penegakan hukum di Kabupaten Gorontalo. Bukti dari kapasitas pemerintah lemah dalam melaksanakan penegakan hukum ditunjukkan oleh jumlah kasus pelanggaran hukum di dalam kawasan HLGD Kabupaten Gorontalo yang berhasil diungkap sebanyak 130 kasus selama hampir 10 tahun. Berdasarkan informasi dari salah satu anggota polisi hutan dan anggota penyidik pegawai negeri sipil PPNS pada umumnya kasus-kasus tersebut jarang dikenakan sanksi dan pemerintah daerah memilih untuk menyelesaikan secara kekeluargaan karena ketiadaan anggaran dalam memproses sebuah kasus. Situasi seperti ini telah membuat pemerintah daerah melakukan toleransi terhadap penegakan hukum dan oleh Williamson 1985 akan membuka peluang kolusi antara pengelola dan pengguna kawasan HLGD. Menurut Van der Berg 2001 dalam Ismanto 2010 jika penegakan hukum lemah maka secara rasional perilaku individu akan memaksimumkan keuntungan sendiri dan cenderung bertindak tidak produktif. Perilaku individu rasional yang dimaksud adalah perilaku dimana individu akan mengambil yang terbaik pada situasi dimana mereka berada. Individu-individu yang rasional berupaya mengurangi kerusakan di dalam situasi yang buruk dan mengambil keuntungan pada kesempatan yang baik 3 Joint Impact Goods Joint Impact Goods adalah karakteristik sumberdaya dimana sekali pemanfaatan, maka semua orang memiliki kesempatan yang sama mendapatkan dampaknya tanpa mengurangi utilitas orang lain yang memperoleh jasa yang sama dan sebaliknya. Situasi HLGD merupakan sumberdaya yang dapat menimbulkan dampak bagi semua pihak. Implikasinya dapat menimbulkan efek positif atau negatif. Terjadinya alih fungsi hutan di kawasan HLGD menjadi lahan pertanian dan perkebunan terutama di Kabupaten Gorontalo berdampak pada terjadinya sedimentasi di daerah aliran sungai, menurunnya debit air dan kehilangan beberapa satwa yang dilindungi 69 Hasil survei lapangan dan wawancara yang dilakukan dengan tokoh masyarakat di Desa Dulamayo Selatan dan Dulamayo Utara menyebutkan debit air yang berasal dari beberapa sungai kecil yang terdapat di hulu kawasan HLGD mengalami penurunan terutama saat musim kemarau. Hal ini berdampak pada kondisi debit air sungai utama yaitu Sungai Bionga yang merupakan sumber air baku bagi PDAM Kabupaten Gorontalo. Menurut Halida 2008 rata-rata fluktuasi debit air di Sungai Bionga hanya 0.50 m 3 detik jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata fluktuai debit air Sungai Bone di Kabupaten Bone Bolango yang debit airnya mencapai 30.1 m 3 detik. Situasi ini tidak saja dirasakan masyarakat di hulu tetapi juga dirasakan masyarakat di hilir. Dampak negatif lain yang terjadi akibat konversi hutan di kawasan HLGD adalah sedimentasi. Sedimentasi di Sungai Bionga yang terletak di Kabupaten Gorontalo juga mengalami peningkatan menjadi 2.10 grhabulan. Jika dibandingkan dengan sedimentasi yang terjadi di Sungai Bolango yang sedimentasinya hanya 1.42 grhabulan maka sedimentasi di DAS Bionga lebih tinggi Halida, 2008. Hasil wawancara yang dilakukan dengan masyarakat juga terungkap, jika musim hujan datang maka beberapa sungai di hulu kawasan HLGD menjadi keruh hal yang sama juga dirasakan yang tinggal di wilayah hilir. Menurut Balihristi 2009 tingginya sedimentasi di Sungai Bionga menyebabkan sedimentasi di Danau Limboto sebesar 1.75 juta m 3 . Kondisi ini menyebabkan Danau Limboto menjadi dangkal dengan kedalaman hanya berkisar 2-3 meter. Dosen dan mahasiswa Jurusan Kehutanan Universitas Gorontalo juga merasakan dampak akibat perubahan tutupan hutan karena sangat susah menemukan satwa seperti jenis burung dan mamalia yang menjadi obyek penelitian di HLGD di Kabupaten Gorontalo. Adapun dampak positif yang ditimbulkan oleh pembukaan lahan pertanian di kawasan HLGD adalah tersedianya lapangan kerja baru yaitu jasa ojek yang mengangkut hasil-hasil pertanian menuju pasar terdekat 4 Inkompatibilitas Menurut Pakpahan 1989 inkompatibilitas adalah situasi dimana pemanfaatan suatu sumberdaya oleh salah satu pihak meniadakan atau mengurangi pemanfaatan oleh pihak yang lain . Faktor kepemilikan dapat mengontrol masalah inkompatibilitas selama biaya transaksi rendah. Kepemilikan 70 mendefinisikan siapa yang berhak berpatisipasi dalam keputusan penggunaan sumberdaya dan siapa yang tidak berhak berpartisipasi dalam penggunaan sumberdaya bersama. Basuni 2003 mengemukakan faktor kepemilikan hanya mampu mengendalikan inkompatibilitas tetapi tidak mampu mengendalikan karakateristik lainnya seperti biaya ekslusi tinggi dan karakteristik lainnya Konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kemudian diikuti dengan pemukiman di dalam kawasan HLGD menyebabkan fungsi HLGD sebagai pengatur sistem tata air menjadi terganggu. Berdasarkan hasil survey terdapat 3 desa yang memiliki dusun di dalam kawasan HLGD Kabupaten Gorontalo yaitu: Desa Malahu, Desa Dulamayo Selatan dan Desa Dulamayo Utara. Keberadaan desa-desa di dalam kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo telah menyebabkan prosentasi lahan pertanian meningkat menjadi 36. Ini menunjukkan masyarakat yang tinggal disekitar HLGD di Kabupaten Gorontalo memiliki preferensi untuk mengkonversi kawasan hutan menjadi lahan pertanian atau perkebunan dibandingkan dengan mempertahankan kawasan tersebut sebagai kawasan hutan. Perilaku mengkonversi hutan menjadi lahan pertanian terjadi karena masyarakat belum memahami dengan baik dan benar tentang aturan main dalam pemanfaatan hutan sebagai indikasi bahwa penggarap mengakui dan menerima aturan main tersebut Kemungkinan lain yang menyebabkan pengelolaan hutan inkompatibel adalah karena pelakunya tidak memiliki perilaku dan kapasitas seperti yang diharapkan oleh pemerintah Kartodihardjo 1998. Dalam kaitannya dengan pola pemanfaatan kawasan HLGD, kemungkinannya penggarap memiliki perilaku dan kapasitas untuk memanfaatkan lahan hutan dengan pola intensif. Sehingga mereka akan berusaha mempengaruhi dengan menolak institusi yang ditetapkan. Penolakan terjadi kemungkinan karena tidak sesuainya strata hak. Menurut Kartodihardjo 1998 rendahnya strata hak mengakibatkan penggarap lahan tidak memiliki inovasi untuk melakukan pengelolaan hutan secara berkelanjutan seperti yang diharapkan oleh pemerintah. Dihubungkan dengan pemanfaatan HLGD rendahnya strata hak mengarahkan perilaku masyarakat yang memanfaatkan lahan di kawasan HLGD tidak memperlakukan lahan tersebut sebagai asset guna meningkatkan produktivitas pertanian. Oleh karena itu masyarakat yang 71 memanfaatkan lahan pertanian di dalam kawasan HLGD tidak berusaha melindungi dan melestarikan kawasan hutan, karena dianggap sebagai penghambat untuk memaksimalkan keuntungannya 5 Surplus Hamparan lahan yang berbeda memiliki tingkat produktivitas yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh karakteristik inheren dari lahan seperti tingkat kesuburan atau lokasi lahan tersebut dekat dengan pusat ekonomi. Kondisi surplus menggambarkan adanya peningkatan nilai lahan tersebut, walaupun tanpa ada pengorbanan sedikitpun dari pemiliknya. Kondisi surplus belum menjamin akan terjadinya peningkatan kesejahteraan bila rente tersebut bukan dimiliki oleh masyarakat yang berada dikawasan tersebut, tetapi dimiliki pihak lain yang mempunyai pengetahuan lebih tentang nilai rente tersebut. Secara umum nilai surplus sumberdaya lahan disekitar HLGD Kabupaten Gorontalo lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Bone Bolango. Hal ini bersumber dari jarak lahan tersebut dari pusat ekonomi dan keberadaan komoditi pertanian di dalam lahan tersebut. Secara umum jarak lahan-lahan pertanian di sekitar HLGD di Kabupaten Gorontalo yang dikuasai oleh masyarakat hanya berjarak 3-5 km dari ibukota Kabupaten Gorontalo. Menurut Pearce and Turner 1990 nilai sebuah lahan akan sangat ditentukan oleh faktor manusia yaitu ada tidaknya bangunan dan faktor eksternalitas misalnya kedekatan dengan pusat ekonomi, bebas banjir dan terdapat akses jalan. Semakin dekat sebuah lahan dengan pusat ekonomi maka nilai lahan tersebut akan semakin tinggi. Tingginya nilai lahan disekitar HLGD yang ada di Kabupaten Gorontalo memicu terjadinya jual beli lahan. Menurut Basuni 2003 fenomena terjadinya jual beli lahan garapan pada dasarnya disebabkan oleh rendahnya modal finansial yang dimiliki oleh para petani pemilik lahan. Umumnya pembeli lahan berasal dari Kota Gorontalo atau dari kota-kota lain, maka petani setempat yang menjual lahan garapan berkeyakinan bahwa mereka masih dapat menggarap lahan yang dijualnya. Situasi ini menghambat peningkatan kesejahteraan petani disekitar kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo. Data menunjukkan bahwa kepemilikan penduduk desa terhadap lahan disekitar HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo mencapai 68.33. Prosentase kepemilikan lahan ini lebih rendah dibandingkan 72 dengan kepemilikan lahan oleh penduduk desa sekitar HLGD di Kabupaten Bone Bolango yaitu mencapai 89.67.

4.3. Aturan Formal Pengelolaan Hutan Lindung