112 Pemerintah Kabupaten Gorontalo cukup tinggi jika dibandingkan dengan
Kabupaten Bone Bolango. Faktor utama yang mempengaruhi tingginya biaya ekslusi adalah luasnya lahan pertanian di dalam kawasan HLGD Kabupaten
Gorontalo yang mencapai 36.03 dibandingkan dengan lahan-lahan pertanian di dalam kawasan HLGD Kabupaten Bone Bolango yang mencapai 10.71.
Luasnya lahan pertanian di dalam kawasan HLGD Kabupaten Gorontalo disebabkan populasi penduduk yang tinggal di desa-desa sekitar HLGD
Kabupaten Gorontalo lebih besar jika dibandingkan dengan Kabupate Bone Bolango. Besarnya populasi penduduk cenderung akan meningkatkan permintaan
terhadap lahan. Masyarakat yang tinggal di kawasan HLGD Kabupaten Gorontalo cenderung mengganggap lahan-lahan di dalam sebagai sumberdaya terbuka
daripada barang ekslusif sumberdaya milik negara. Dalam situasi dimana pemanfaatan bersifat tidak kompatibel disertai dengan biaya ekslusi tinggi,
perilaku penunggang gratis free rider merupakan fenomena yang mudah berkembang
b. Hak Kepemilikan
Perbedaan kelembagaan pengelolaan HLGD antara pemerintah Kabupaten Gorontalo dan Pemerintah Kabupaten Bone Bolango dari aspek hak kepemilikan
terletak pada luasnya lahan konflik, tingginya gangguan di dalam kawasan HLGD dan kepemilikan lahan di Kabupaten Gorontalo di bandingkan dengan Kabupaten
Bone Bolango. Hal ini menunjukkan pemerintah Kabupaten Gorontalo selaku pengelola tidak mampu mencegah adanya pihak-pihak yang mengambil
keuntungan tanpa memberikan kontribusi free rider terhadap pengelolaan HLGD. Akibatnya timbul biaya ekslusi tinggi dalam pengelolaan HLGD karena
banyaknya pemanfaatan kawasan HLGD yang tidak sesuai dengan tujuan pengelolaan hutan lindung Gunung Damar. Menurut Basuni 2003 kepemilikan
sumberdaya hanyalah gugus kosong apabila biaya untuk mencegah pihak lain memanfaatkan sumberdaya yang bersangkutan jauh lebih besar dari nilainya.
Konsep kepemilikan dengan strata lengkap yang dimiliki oleh pemerintah di kawasan HLGD seperti hak memasuki, hak memanfaatkan, hak mengelola, hak
mengecualikan dan hak memindahtangankan tidak sepenuhnya dapat
113 dilaksanakan. Situasi seperti ini mengakibatkan hak kepemilikan dalam
pengelolaan HLGD tidak berfungsi secara efektif. Mengatasi masalah tersebut, perlu diciptakan sebuah kebiasaan baru yaitu
pemberian hak khusus kepada masyarakat di dalam kawasan hutan lindung yang telah terlanjur melakukan perambahan. Hak penggunaan secara khusus hanya
diberikan pada lahan-lahan pertanian yang telah dirambah dan menjadi satu- satunya sumber kehidupannya. Hak khusus tersebut adalah hak memasuki acces,
hak menggunakan withdrawal
,
hak kelola management dan hak mengeluarkan exclusion. Hak khusus yang diberikan ini tidak bisa diperjualbelikan. Pemberian
hak khusus sebaiknya diberikan pada kelompok kecil dan keanggotaan terdefinisi dengan jelas agar lahir aksi bersama. Kawasan kelola terbatas harus dipetakan
secara jelas dan luasannya memenuhi prinsip prinsip daya dukung. Menurut Agrawal 2001 kunci sukses kelembagaan untuk pengelolaan CPR terletak pada
keanggotaan kelompok terdefinisikan dengan jelas, ukuran kelompok kecil, terdapat batas-batas wilayah pengelolaan, kemudahan dalam monitoring, ada
sanksi hukum dan kedekatan lokasi pengguna dengan sumberdaya. Selanjutnya Kartodihardjo 2006 menambahkan kelembagaan untuk pengelolaan CPR harus
mempertimbangkan beberapa prinsip yaitu penetapan batas-batas alokasi sumberdaya alam, terdapat pemantauan, sanksi, penyelesaian konflik, terdapat
pengakuan oleh peraturan perundangan yang lebih tinggi dan teknologi yang digunakan dan cara pemanfaatannya. Kegiatan pemberian hak harus diikuti
dengan upaya peningkatan pendidikan dan peningkatan kesempatan berusaha. Melalui kegiatan ini diharapkan kualitas dan kapasitas masyarakat di desa-desa
sekitar HLGD akan meningkat sehingga performance pengelolaan HLGD menjadi lebih baik
c. Aturan Representasi