113 dilaksanakan. Situasi seperti ini mengakibatkan hak kepemilikan dalam
pengelolaan HLGD tidak berfungsi secara efektif. Mengatasi masalah tersebut, perlu diciptakan sebuah kebiasaan baru yaitu
pemberian hak khusus kepada masyarakat di dalam kawasan hutan lindung yang telah terlanjur melakukan perambahan. Hak penggunaan secara khusus hanya
diberikan pada lahan-lahan pertanian yang telah dirambah dan menjadi satu- satunya sumber kehidupannya. Hak khusus tersebut adalah hak memasuki acces,
hak menggunakan withdrawal
,
hak kelola management dan hak mengeluarkan exclusion. Hak khusus yang diberikan ini tidak bisa diperjualbelikan. Pemberian
hak khusus sebaiknya diberikan pada kelompok kecil dan keanggotaan terdefinisi dengan jelas agar lahir aksi bersama. Kawasan kelola terbatas harus dipetakan
secara jelas dan luasannya memenuhi prinsip prinsip daya dukung. Menurut Agrawal 2001 kunci sukses kelembagaan untuk pengelolaan CPR terletak pada
keanggotaan kelompok terdefinisikan dengan jelas, ukuran kelompok kecil, terdapat batas-batas wilayah pengelolaan, kemudahan dalam monitoring, ada
sanksi hukum dan kedekatan lokasi pengguna dengan sumberdaya. Selanjutnya Kartodihardjo 2006 menambahkan kelembagaan untuk pengelolaan CPR harus
mempertimbangkan beberapa prinsip yaitu penetapan batas-batas alokasi sumberdaya alam, terdapat pemantauan, sanksi, penyelesaian konflik, terdapat
pengakuan oleh peraturan perundangan yang lebih tinggi dan teknologi yang digunakan dan cara pemanfaatannya. Kegiatan pemberian hak harus diikuti
dengan upaya peningkatan pendidikan dan peningkatan kesempatan berusaha. Melalui kegiatan ini diharapkan kualitas dan kapasitas masyarakat di desa-desa
sekitar HLGD akan meningkat sehingga performance pengelolaan HLGD menjadi lebih baik
c. Aturan Representasi
Aturan representasi mengatur siapa yang berhak terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya
ditentukan oleh kaidah-kaidah keterwakilan. Secara umum pengelolaan HLGD didominasi oleh keterwakilan pihak pemerintah dan pemerintah daerah dan
peluang keterlibatan masyarakat sekitar HLGD kecil. Dominasi pemerintah dalam pengelolaan hutan lindung bisa dilihat dari keputusan dan kebijakan yang
114 dikeluarkan oleh pemerintah bersifat sangat teknis dan saintifik murni. Hal ini
tentusaja sangat menyulitkan masyarakat yang tinggal dikawasan HLGD untuk berpartisipasi mengingat pendidikan masyarakat hanya tamatan sekolah dasar.
Pelibatan pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan cenderung diskriminatif, karena pemerintah daerah seringkali hanya mengakui dan melibatkan kelompok-
kelompok organisasi masyarakat sipil yang berbadan hukum formal. Hal ini menyebabkan organisasi masyarakat di tingkat lokal dan atau organisasi yang
tidak berbadan hukum misalnya asosiasi petani lokal asosiasi masyarakat adat- tidak dilibatkan dalam proses-proses pembuatan kebijakan, perencanaan,
pengelolaan dan evaluasi pembangunan kehutanan. Padahal peran mereka sebagai organisasi sosial, ekonomi dan budaya sangat kongkrit dan berdampak langsung
pada peningkatan kesejahteraan baik secara ekonomi, sosial maupun budaya. Pengelolaan HLGD di wilayah di Kabupaten Gorontalo melibatkan
stakeholders lebih banyak yaitu 18 stakeholders jika dibandingkan dengan stakeholders Kabupaten Bone Bolango yang hanya berjumlah 14 stakeholders.
Beragamnya stakeholders yang terlibat dan berkepentingan dengan HLGD bisa menyebabkan semakin kompleksnya pengelolaan dan tingginya biaya koordinasi.
Biaya koordinasi yang ditimbulkan terdiri dari biaya sosialiasi, pertemuan, pengawasan dan pencarian informasi. Tingginya biaya koordinasi menunjukkan
ketidakefisienan kelembagaan yang ada, dan ketidakjelasan struktur kebijakan baik di tingkat lokal maupun nasional. Oleh karena itu diperlukan suatu
mekanisme yang efisien dalam menurunkan biaya transaksi. Salah satu yang bisa dilakukan adalah menyerahkan sepenuhnya pengelolaan HLGD kepada
pemerintah daerah. Menurut Ostrom et al. 1993 dan Mody 2004 Penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam semangat desentralisasi akan
meminimalkan biaya transaksi dan memudahkan perencanaan karena adanya kedekatan
pengambilan keputusan dengan masalah yang dihadapi dan mendorong partisipasi publik dalam proses pembuatan kebijakan. Menurut Basuni 2003
Penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah harus disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia. Pemerintah daerah
harus berfungsi sebagai fasilitator dan mengkoordinir semua multistakeholder untuk mengurangi biaya koordinasi. Dalam menjalankan fungsi sebagai fasilitator
115 dan koordinator stakeholders, pemerintah daerah dapat memanfaatkan
kelembagaan yang aktif dalam masyarakat, dengan demikian dapat meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan. Untuk lebih
meningkatkan partisipasi masyarakat perlu dilakukan perubahan pada mekanisme pengambilan keputusan. Masyarakat sekitar kawasan HLGD perlu dilibatkan
dalam pengambilan keputusan mulai dalam tahap perencanaan sampai dengan tahap evaluasi
116
V. KESIMPULAN DAN SARAN