Pemanfaatan Hutan Lindung TINJAUAN PUSTAKA

18 - 20 40 60 80 100 D K I B a li R ia u K a ls e l N A D K a lt e n g S u m u t S u lu t S u ls e l B e n g k u lu K a lt im K a lb a r S u lt e n g S u lt ra M a lu k u P a p u a P E R S E N Kaw asan HutanDaratan Penduduk MiskinPenduduk fasilitas kesehatan dan pendidikan. Menurut Munawar 2010, Degradasi lahan sangat berkaitan erat dengan lahan, penduduk, kemiskinan dan demikian pula sebaliknya. Ketersediaan lahan yang terbatas yang diiringi dengan peningkatan jumlah penduduk yang besar mengakibatkan terjadinya kekurangan lahan. Hal ini diperburuk dengan praktek pengelolaan lahan yang tidak lestari sehingga menyebabkan degradasi lahan yang dapat meningkatkan angka kemiskinan. Demikian pula sebaliknya, kemiskinan juga dapat mendorong terjadinya degradasi lahan. Dengan demikian kemiskinan merupakan penyebab dan akibat dari degradasi lahan. Sekalipun hubungan degradasi hutan dan kemiskinan belum tentu berbanding lurus dan kemiskinan bukan tanggung jawab utama sektor kehutanan, kehadiran pengelola hutan komersial secara tidak langsung telah membatasi akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan yang pada mulanya merupakan tempat mereka menggantungkan hidup Sumarjani, 2006. Data dari Departemen Kehutanan menyebutkan bahwa semakin luas kawasan hutan yang dimiliki oleh suatu wilayah maka angka kemiskinan pun semakin besar seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini Gambar 2. Hubungan antara persentase luas Kawasan Hutan Negara dengan Penduduk Miskin di Beberapa Propinsi Kartodihardjo dan Jhamtani, 2006

2.6. Pemanfaatan Hutan Lindung

Hutan lindung merupakan kawasan hutan yang ditetapkan karena memiliki sifat khas sebagai sistem penyangga kehidupan yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar dan kawasan di bawahnya dalam bentuk pengaturan tata air, pencegahan banjir dan erosi, serta pemeliharaan kesuburan 19 tanah. Kriteria penetapan kawasan hutan lindung didasarkan kepada penilaian terhadap faktor lereng, jenis tanah dan curah hujan serta ketinggian tempat dengan ketentuan ketentuan tertentu Ngadiono, 2004. Pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan lindung menurut SK Menteri Kehutanan 464Kpts-II jo No 140Kpts- II1998 dan SK Dirjen PHPA No 129Kpts-DJ-VI1996 meliputi: 1. Inventarisasi kondisi dan potensi hutan lindung meliputi flora, fauna, potensi wisata dan potensi sumberdaya air 2. Pemancangan dan pemeliharaan batas 3. Perlindungan dan pengamanan fungsi ekosistem dan kawasan 4. Rehabilitasi hutan yang rusak 5. Pemanfaatan hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan 6. Peningkatan peran masyarakat Pasal 24 ayat 1 PP No 62007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan hutan menetapkan bahwa pemanfaatan kawasan yang dapat dilakukan dalam kawasan hutan lindung adalah meliputi usaha budidaya tanaman obat, tanaman hias, jamur, perlebahan, penangkaran satwa liar, rehabilitasi satwa liar dan budidaya hijauan pakan ternak. Selanjutnya dalam pasal 25 2 PP No 62007 dalam kawasan hutan lindung juga bisa laksanakan kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan seperti pemanfaatan jasa aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanakeragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan dan penyerapan serta penyimpanan karbon. Undang-undang menekankan bahwa usaha pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan fungsi lindung. Dengan demikian maka setiap daerah yang akan melakukan pengelolaan atau tata hutan pada hutan lindung harus mengacu pada ketentuan perundang- undangan yang berlaku. Hal penting yang diatur dalam pemanfaatan hutan lindung adalah tidak diijinkan menggunakan alat mekanis dan alat berat, atau membangun sarana dan prasarana permanen yang menyebabkan terganggunya fungsi kawasan. 20 Untuk memanfaatkan hutan lindung berupa pemanfaatan hasil hutan non kayu, izin usahanya dapat diberikan pada perseorang atau koperasi. Sementara untuk ijin pemanfaatan jasa lingkungan dan pemanfaatan hasil non kayu dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, BUMN dan BUMD. Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pemberian ijin pemanfaatan hutan lindung diberikan oleh BupatiWalikota jika wilayah kelola berada pada satu wilayah administrasi. Apabila wilayah kelola berada pada lintas Kabupaten dalam satu propinsi maka ijin pemanfaatan dikeluarkan oleh Gubernur. Sedangkan untuk wilayah hutan lindung yang berada pada 2 wilayah propinsi maka ijin pemanfaatan dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan. Walaupun wewenang pengelolaan hutan lindung telah dimiliki oleh propinsi dan kabupatenkota menurut UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, namun setiap aspek dan kegiatan terkait yang dikembangkan dan dilaksanakan haruslah mengacu pada kepada UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sebagai payung hukum aturan bidang kehutanan dan PP No 6 Tahun 2007 yang memberikan landasan operasionalnya. Keharusan untuk mengacu kepada suatu aturan yang lebih tinggi tersebut merupakan doktrin umum tentang produk hukum, yang disebut dengan asas les superior derogate inferiori, dimana aturan yang lebih rendah harus mengacu kepada dan tidak boleh bertentangan dengan aturan yang ada diatasnya. Hal ini secara jelas telah diatur dalam Pasal 7 ayat 1 UU No 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Itulah sebabnya dalam penyusunan Suatu Perda harus mencantumkan peraturan yang relevan sebagai dasar hukum di dalam konsideran yaitu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi ataupun tingkatannya sama 21

III. METODE PENELITIAN