Situasi HLGD a. HASIL DAN PEMBAHASAN

51 mempunyai peran yang cukup besar mempengaruhi hasil air suatu DAS. Besarnya laju perubahan tutupan hutan menjadi non hutan di Kabupaten Gorontalo diduga menyebabkan debit air sungai Bionga yang mempunyai hulu di HLGD mengalami penurunan. Menurut Halida 2008 kondisi tutupan hutan primer yang relatif terjaga di hulu DAS Bolango di Kabupaten Bone Bolango membuat kondisi debit air sungai Bolango stabil bahkan debitnya meningkat. Sebaliknya kondisi kerusakan diwilayah hulu DAS Bionga di Kabupaten Gorontalo telah menyebabkan debit air sungainya menjadi kecil. Tingkat kerusakan hutan dihulu DAS juga berdampak pada jumlah sedimen yang terdapat pada dua wilayah DAS seperti terlihat pada Tabel 13. Tabel 13. Jumlah Sedimentasi di DAS Bionga dan DAS Bolango No Nama Sungai Sedimentasi gramhabulan 2004 2005 1 DAS Bionga Kabupaten Gorontalo 0.73 2.10 2 DAS Bolango Kabupaten Bone Bolango 1.47 1.42 Sumber: Halida 2008, BP-DAS Bone Bolango 2009 Berdasarkan tabel di atas terlihat pada tahun 2005 jumlah sedimen yang terangkut pada aliran air sungai DAS Bionga lebih besar dibandingkan pada DAS Bolango. Jumlah sedimen di DAS Bolango mengalami penurunan yakni 1.47 gram pada tahun 2004 menjadi 1.42 gram pada tahun 2005. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi 2007 dalam penelitiannya mengemukakan bahwa peningkatan luas hutan sebesar lima persen di sub DAS Cikao, dapat menurunkan sedimen 2.69. Peningkatan luas hutan 10 dapat menurunkan sedimen sebesar 5.72. Dalam laporan yang sama dikemukakan bahwa peningkatan luas hutan sebesar 5 di sub DAS Ciherang dapat menurunkan sedimen sebesar 2.21. Peningkatan luas hutan sebesar 10 dapat menurunkan sedimen sebesar 4.55. Indikator lain yang bisa dijadikan acuan telah rusaknya fungsi pengatur tata air di HLGD adalah bertambah luasnya lahan kritis di DAS Bionga yakni 3.075 ha sedangkan pada DAS Bolango 1.175 ha BP-DAS Bone Bolango, 2009

4.2. Situasi HLGD a.

Situasi Ekologi Menurut Halidah et al. 2007 secara umum HLGD terdiri dari 2 tipe hutan yaitu hutan alam sekunder dan hutan tanaman. Adapun ciri hutan alam sekunder di HLGD antara lain tegakan muda, struktur lebih seragam, jenis kayu merupakan 52 kayu lunak, tidak awet, riap awal besar lambat laun mengecil. Sedangkan hutan tanaman adalah hutan yang sengaja ditanam dengan jenis tanaman tertentu dengan kepentingan tertentu. Vegetasi hutan tanaman di HLGD terdiri dari jenis tanaman pinus dan agathis dengan umur lebih dari 80 tahun. Tidak ditemukan catatan tertulis mengenai sejarah hutan tanaman di HLGD tetapi berdasarkan informasi dari masyarakat, tanaman pinus dan agathis ditanam oleh pemerintah kolonial Belanda. Jenis vegetasi yang terdapat di Hutan lindung Gunung Damar antara lain adalah Meranti Shorea sp, Nyatoh Palaqium amboinansis, Cempaka Elmerelia ovalis, Pinus Pinus merkusii, Jati Tectona grandis, Damar Agathis mollucana , dan beberapa jenis vegetasi lainnya. Sedangkan spesies kunci dari mamalia yang terdapat di HLGD antara lain monyet hitam Macaca heckii, babi hutan Sus celebensis, rusa Cervus timorensis, sedangkan untuk jenis aves terdiri dari rangkong Ryciteros cassidix, Maleo Macropelon maleo, ayam hutan Gallus galus. Informasi terkait dengan potensi flora fauna juga didapatkan dari masyarakat yang menyatakan sering melihat babi rusa Babyrousa babirusa, Anoa Bubalus quarlesi, kuse Palanger ursinus, tarsius Tarsius sp di sekitar Gunung Pangga yang termasuk dalam kawasan HLGD Maga 2010; Kaipa 2010. Menurut Peraturan Pemerintah No 7 tahun 1999 satwa-satwa ini termasuk yang dilindungi oleh Pemerintah Indonesia. Potensi lain yang terdapat di HLGD adalah tanaman obat dan tanaman hias. Tanaman obat di HLGD terdiri dari 11 jenis tanaman obat yang didominasi oleh tanaman jahe-jahean dengan potensi sebanyak 443 batangha. Sedangkan tanaman hias terdiri dari 12 jenis dengan potensi antara 10 - 114 batang atau rumpun per- hektar. Jenis tanaman hias ini didominasi oleh jenis paku-pakuan. Penyebaran tanaman hias dan tanaman obat dipengaruhi oleh jenis tegakan. Pada umumnya tanaman obat dan tanaman hias menyebar dibawah vegetasi tanaman pinus Halida et al. 2007. Potensi satwa dan vegetasi yang dijelaskan sebelumnya pada umumnya menyebar di sebelah utara kawasan HLGD baik di wilayah Kabupaten Gorontalo maupun Kabupaten Bone Bolango karena berdasarkan hasil interpretasi citra digital dan ground check lapangan, kondisi hutan diwilayah ini relatif belum terganggu oleh aktivitas manusia 53 Hasil interpretasi citra satelit tahun 2009 tutupan lahan di HLGD terdiri hutan, lahan pertanian, semak dan lahan terbuka. Adapun tutupan lahan di HLGD di wilayah administrasi Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango bisa dilihat pada Tabel 14 Tabel 14. Jenis tutupan lahan kawasan HLGD tahun 2009 No Jenis Penutupan Lahan Luas Tutupan Lahan ha Gorontalo Bone Bolango 1 Hutan 3793.42 6056.73 2 Lahan Pertanian 4028.29 956.79 3 Semak 345.09 45.57 4 Lahan Terbuka 122.65 13.63 5 Lainnya 2890.39 1864.52 6 Sub Total Kabupaten 11179.84 8937.26 Luas Total 20117 Data pada Tabel 14 menunjukkan tutupan yang mendominasi di Kabupaten Gorontalo adalah lahan pertanian seluas 4028.29 ha sedangkan di Kabupaten Bone Bolango didominasi oleh tutupan lahan hutan seluas 6056.73 ha. Secara umum luas HLGD di wilayah administrasi Kabupaten Gorontalo lebih besar yaitu seluas 11179.84 ha dibandingkan dengan Kabupaten Bone Bolango yang memiliki luas 8937.26 ha. Topografi di HLGD bervariasi mulai dari datar sampai curam. Topografi HLGD di wilayah administrasi Kabupaten Gorontalo pada umumnya bergelombang, sedangkan di wilayah Kabupaten Bone Bolango pada umumnya curam dan hanya sedikit berada pada wilayah yang datar. Di sekitar HLGD terdapat beberapa desa, total desa yang terdapat di sekitar HLGD adalah 15 desa yang terdiri dari 6 desa diwilayah administrasi Kabupaten Gorontalo dan 9 desa di Kabupaten Bone Bolango. Kelas lereng di HLGD dapat dilihat pada Tabel 15 Tabel 15. Kelas lereng dan luasannya di kawasan HLGD No Kelas Lereng Luas ha Persentase 1 Datar 56.17 0.28 2 Landai 102.16 0.51 3 Agak Curam 433.89 2.16 4 Curam 10077.22 50.09 5 Sangat Curam 9447.56 46.96 Jumlah 20117 100.0 54 Berdasarkan peta satuan lahan dan tanah lembar Gorontalo 1;250.000 terdapat 2 jenis tanah yang terdapat di HLGD yaitu jenis Tanah Litosol dan Tanah Podzolik. Jenis Tanah Litosol merupakan tanah yang paling banyak ditemukan di dalam kawasan hutan lindung, yaitu sebesar 13688.42 ha atau sekitar 68.04. Jenis tanah podsolik yang ada di dalam kawasan hutan lindung sekitar 6428.58 ha atau mencakup sekitar 31.96 dari total luas wilayah hutan lindung. Menurut Suwardi 2000 Tanah Litosol merupakan jenis tanah dengan lapisan tanah yang tidak begitu tebal, kurang menyimpan air, sehingga pada kemiringan lereng besar dan curah hujan besar rentan bencana tanah longsor, akan tetapi jenis tanah ini agak tahan terhadap erosi. Sedangkan jenis tanah podsolik merupakan jenis tanah yang berasal dari batuan pasir kuarsa, tersebar di daerah beriklim basah tanpa bulan kering, curah hujan lebih 1500 mmtahun. Tekstur lempung hingga berpasir, kesuburan rendah hingga sedang, warna merah, dan kering. Kesuburan kimiawi rendah atau miskin unsur hara, reaksi tanah asam, solumnya dangkal dan mudah tererosi. Adapun jenis tanah yang di HLGD terdapat pada Tabel 16. Tabel 16. Jenis tanah dan luasnya di kawasan HLGD No Jenis Tanah Luas ha Persentase 1 Tanah Litosol 13688.42 68.05 2 Tanah Podzolik 6428.58 31.95 Total 20117.00 100.00 Jenis tanah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya sangat berpengaruh terhadap tingkat kedalaman solum tanah, Kedalaman solum tanah di kawasan HLGD memiliki beberapa tingkatan. Adapun tingkat kedalaman solum tanah dapat dilihat pada Tabel 17 Tabel 17. Tingkatan kedalaman solum tanah di kawasan HLGD No Solum Tanah cm Luas ha Persentase 1 30 – 60 534.54 2.66 2 60 – 90 3376.24 16.78 3 90 16206.22 80.56 Sumber: BP-DAS Bone Bolango, 2010 Berdasarkan Tabel 17 dapat diketahui bahwa sebagian besar HLGD berada pada tingkat solum tanah 90 cm atau sekitar 80.56 dari luas wilayah. Solum tanah ini dapat menjadi suatu indikator bahwa kawasan ini sangat potensial untuk 55 dijadikan sebagai lahan budidaya baik untuk tanaman tahunan maupun tanaman semusim karena memiliki solum tanah yang cukup dalam Memiliki jenis tanah yang sebagian rawan terhadap erosi dan kemiringan lereng yang didominasi oleh topografi yang curam, membuat kawasan HLGD berpotensi memicu terjadinya erosi yang dapat mengurangi produktivitas tanah. Menurut Lal 1995 pengaruh erosi pada tempat terjadinya dibedakan atas pengaruh langsung yang terjadi pada jangka pendek dan pengaruh tidak langsung yang tejadi pada jangka panjang. Pengaruh langsung dari erosi tanah adalah robohnya tanaman sebagai akibat terkikisnya tanah yang mendukung sistem perakaran dan hanyutnya tanah bersamaan dengan aliran permukaan, menurunnya kapasitas air tanah. Data mengenai erosi di kawasan HLGD terdapat di Tabel 18 Tabel 18. Tingkat bahaya erosi di kawasan HLGD No Kelas Bahaya Erosi Luas ha Persentase 1 Potensi Erosi berat 10.56 0.05 2 Potensi Erosi Sangat berat 20106.44 99.95 Sumber: BP-DAS Bone Bolango, 2010 Berdasarkan Tabel 18 dapat diketahui bahwa kawasan HLGD mengalami tingkat erosi yang sangat besar dihampir seluruh kawasannya. Hal ini karena adanya perubahan tutupan hutan menjadi non hutan di kawasan HLGD. Berdasarkan penelitian Monde 2008 alih guna lahan hutan menjadi lahan tanaman semusim mengakibatkan erosi dan aliran permukaan meningkat. Hal tersebut terjadi karena minimnya penutupan permukaan tanah. Kondisi permukaan tanah yang terbuka memungkinkan terjadinya dispersi agregat tanah ketika turun hujan, kemudian butir tanah yang halus tersebut akan tererosi bila terjadi aliran permukaan.Luasnya potensi untuk terjadinya erosi di HLGD membuat kawasan ini menjadi rawan terhadap lahan kritis. Berdasarkan tingkat kekritisannya maka lahan kritis di HLGD di terbagi menjadi 3 yaitu; agak kritis, kritis dan sangat kritis seperti yang terlihat pada Tabel 19. Tabel 19 Potensi lahan kritis dan luasannya di kawasan HLGD No Potensi Lahan Kritis Luas ha Persentase 1 Potensi Agak kritis 3425.91 17.03 2 Potensi Kritis 8350.61 41.51 3 Potensi Sangat kritis 8340.48 41.46 Total 20117.00 100.00 Sumber: BP-DAS Bone Bolango, 2010 56 Lahan agak kritis adalah lahan yang masih produktif tetapi kurang tertutup vegetasi, atau mulai terjadi erosi ringan, sehingga lahan akan rusak dan menjadi kritis. Adapun ciri-ciri dari lahan kritis adalah persentase penutupan lahan 50, wilayah perladangan yang telah rusak, padang rumputalang-alang dan semak belukar tandus. Sedangkan lahan sangat kritis adalah lahan yang sangat rusak sehingga tidak berpotensi lagi untuk digunakan sebagai lahan pertanian dan sangat sukar untuk direhabilitasi Keadaan curah hujan diketahui dari 3 tiga stasiun klimatologi terdekat yaitu stasiun klimatologi Bandara Jalaluddin, stasiun klimatologi Talumelito dan stasiun klimatologi BPP Kwandang karena ketiga stasiun dapat mewakili lokasi penelitian yaitu Hutan Lindung Gunung Damar. Curah hujan diperoleh berdasarkan analisis data curah hujan tahunan selama 10 tahun. Analisis data menunjukan bahwa pada Stasiun Meteorologi Jalaludin terdapat rata-rata curah hujan sebesar 1.324 mmth, berdasarkan klasifikasi iklim Schimidt – Ferguson termasuk dalam tipe C. Pada Stasiun Penakar Curah Hujan BPP Kwandang terdapat rata-rata curah hujan sebesar 1.883 mmth, berdasarkan klasifikasi iklim Schimidt – Ferguson termasuk dalam tipe C. Sedangkan pada Stasiun Penakar Curah Hujan di Stasiun Geofisika Talumelito terdapat rata-rata curah hujan sebesar 1.585 mmth, berdasarkan klasifikasi iklim Schimidt – Ferguson termasuk dalam tipe C.

b. Situasi Sosial Ekonomi