Model of environmental conflict management in protection forest area (a case study In Register 45b Bukit Rigis Protection Forest Area, Lampung Province)

(1)

(2)

i

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “MODEL PENANGANAN KONFLIK LINGKUNGAN DALAM PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG: Studi Kasus Di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Propinsi Lampung” adalah benar-benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah digunakan dalam bentuk apapun kepada Perfguruan Tinggi ataupun Lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka.


(3)

ABSTRACT

GAMAL PASYA. Model of Environmental Conflict Management in Protection Forest Area (A case study in Register 45B Bukit Rigis Protection Forest Area, Lampung Province). Under supervision of: KOOSWARDHONO MUDIKDJO, SEDIONO M.P. TJONDRONEGORO, CECEP KUSMANA and, SITI NURBAYA.

Environment conflict of forest management is the relationship between two or more parties that having and/or who feel having disagreement of goals in forest management because of differences in social relationships/ communication, interests, data and information, values, and structural, which occurs within a space, so that the environmental functions of forests to be disturbed. Environmental conflicts in protection forest mostly caused by issues of scarcity, negative externalities, structural unbalance, and different viewpoint of people on value of forests. In many cases, forest governance creates overlapping policies regarding with these issues that may generate conflict escalation; this occurs in Register 45B of Protection Forest Zone in Lampung Province. This research aimed to study: (1) policies of forestry, environmental management, agrarian, spatial, and regional autonomy for the handling of environmental conflicts in forest management of the region, especially in the area of Protection Forest Bukit Rigis - Register 45b, (2) factors those affecting (escalation of) conflict, (3)conflict management styles manifested by parties/disputants, and polarization of parties refer to the conflict roots they face and,to (4) develop a model of environmental conflict management cognitively refer to lesson that learned by the parties. Research implementation and analysis carried out by using Descriptive Policy Analysis, Pathway Analysis, Pairwise Comparison Analysis – Scheffe Test, the technique of CAP (Collaborative Analytical, Problem-solving Process or Approach) and, SSA (Social System Analysis). The research found that: (1) based on policy analysis, Environmental Management and Controlling Act developed consistently a mechanism for dispute settlement and the Basic Act of Agrarian Law is merely developing mediation procedures, while the Ombudsman Act, Arbitration Act have not been consistently equipped with the regulations below it, (2) conflict escalation was mainly caused by decision to convert forest land use, (3) conflict management styles are collaborative and compromise, polarizations of parties refer to similarities on interests, (4) ccognitively the parties in resolving environmental conflicts forest areas, particularly the conflict status of the land, agreed to take efforts to release forest area under forestry regulations, and (5) by integrating the entire analysis can be constructed a model of institutional grievance mechanisms of conflict resolution following with tools of assessment.


(4)

iii

RINGKASAN

GAMAL PASYA. Model Penanganan Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung (Studi Kasus Di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Propinsi Lampung). Di bawah bimbimbingan: KOOSWARDHONO MUDIKDJO, SEDIONO M.P. TJONDRONEGORO, CECEP KUSMANA dan, SITI NURBAYA.

Satu di antara berbagai sumberdaya alam potensial yang masih menjadi sektor tumpuan masyarakat dan Pemerintah Indonesia saat ini adalah hutan. Dalam ekosistem hutan terdapat fungsi lingkungan yang mencakup fungsi ekologis, fungsi sosial, dan fungsi ekonomis. Berdasarkan UU RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi. Sesuai dengan U.U. tersebut, Pemerintah Indonesia mengelola kawasan hutan berdasarkan fungsi pokoknya yaitu hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Hutan lindung memiliki keterkaitan erat dengan fungsi lingkungan yang bersumber dari hutan. Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa fungsi lingkungan kawasan hutan lindung lebih ditekankan atas pertimbangan ekologis.

Konflik lingkungan pengelolaan hutan adalah hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki dan/atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan dalam pengelolaan hutan karena adanya perbedaan-perbedaan hubungan/komunikasi sosial, kepentingan, data dan informasi, nilai, dan struktural, yang terjadi di dalam suatu ruang, sehingga fungsi lingkungan dari hutan menjadi terganggu. Konflik lingkungan di hutan lindung sebagian besar disebabkan oleh masalah kelangkaan, eksternalitas negatif, ketidak-seimbangan struktural, dan sudut pandang orang yang berbeda pada nilai hutan. Dalam banyak kasus, tata kelola hutan menciptakan kebijakan yang tumpang tindih mengenai masalah-masalah yang mungkin menghasilkan eskalasi konflik; dan hal ini terjadi di kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis Propinsi Lampung. Atas kondisi tersebut dilakukan penelitian terhadap kebijakan yang terkait dengan penyelesaian konflik, faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab konflik, gaya para pihak dalam berkonflik; upaya para pihak menyelesaikan konfliknya secara kognitif; dan konseptualisai model kelembagaan penyelesaian konflik.


(5)

Dari hasil analisis kebijakan, memang banyak hal yang menyebabkan konflik di lokasi tidak terselesaikan. Undang-undang (UU) No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), bahkan UU No.32 tahun 2007 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) tidak dipergunakan menjadi alas hukum penyelesaian konflik. Demikian juga UU No.47/1999 tentang Kehutanan yang tidak memiliki derivasi peraturan di bawahnya yang terkait dengan penyelesaian konflik sector kehutanan. UU Pokok Agraria mandul menyelesaikan konflik did alam kawasan hutan, terjadi dikotomi kewenangan kelembagaan antara UU tersebut dengan UU Kehutanan. UU Penataan Ruang lebih memperhatikan urusan penyelesaian sengketa di luar kawasan hutan. UU Ombudsman hanya fokus pada konflik akibat maladministrasi dan hanya beraku surut 2 tahun ke belakang. UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah hanya memiliki ruang menyelesaikan sengketa/konflik kewenangan antar tataran pemerintah dan/atau antar satuan kerja. Pada tahun 2009, diterbitkan UU No.25 tentang Pelayanan Publik yang memandatkan bahwa seluruh lembaga pemerintah, bahkan termasuk badan usaha milik pemerintah wajib memiliki mekanisme mengelola pengaduan dan penyelesaian konflik. UU Pelayanan Publik ini masih baru dan belum tersosialisasi dengan untuh sehingga belum semua lembaga pemerintah menindaklanjutinya.

Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konflik di lokasi penelitian menunjukkan bahwa submodel eskalasi konflik (diwakili oleh peubah X26) yang

terjadi dalam pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis amat kuat dipengaruhi oleh Sub-model eksternalitas yang diwakili oleh peubah keputusan konversi lahan kawasan oleh responden (X6) dengan nilai koefisien jalut X6  X26

sebesar 0,37. Artinya untuk meredam eskalasi konflik yang terjadi tanpa bermaksud mengabaikan nilai penting peubah-peubah eksogen yang terdapat di dalam sub model lainnya, pengendalian terhadap konversi lahan kawasan dapat diprioritaskan terlebih dahulu. Di dalam sub-model eksternalitas, terdapat 5 peubah eksogen yang berpengaruh terhadap peubah endogen keputusan konversi lahan kawasan oleh responden (X6). Dari kelimanya, peubah eksogen pengaruh pasar (X4) adalah akar

konflik yang perlu mendapat intervensi. Pasar komoditas kopi yang relatif baik mempengaruhi responden memutuskan mengkonversi lahan.

Hasil analisis dengan menggunakan Perbandingan Nilai Tengah (Pairwise Mean Comparisson) menunjukan pahwa pada kasus konflik status lahan kawasan


(6)

v

hutan, para pihak memanifestasikan gaya konflik kolaborasi dan komrpomi. Demikian juga pada kasus konflik ekses terhadap sumberdaya hutan, dan konflik tata batas kawasan. Kedua jenis manifestasi gaya konflik tersebut menjadi modal sosial awal untuk dilakukannya penyelesaian konflik konstruktif melalui perundingan yang kemudian dilakukan secara kognitif. Bentuk penyelesaian yang diinginkan adalah negosiasi, salah satu bentuk penyelesaian konflik di luar peradilan (Alternative Disute Settlement).

Penyelesaian konflik status lahan kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis secara kognitif dilaksanakan dengan tahap análisis dasar masalah (dengan merekonstruksi konflik yang terjadi), análisis profil para pihak, dan análisis upaya penanganan konflik. Pelaksanaannya menyertakan ahli antropologi dari WWF Lampung, ahli hukum tata tegara dari Fakultas Sosial Politik Universitas Lampung, dan ahli tata guna hutan dari Badan Planologi Departemen Kehutanan.

Analisis upaya penanganan konflik dilakukan dengan mengurai skenario-skenario penyelesaian. Para pihak yang berkonflik status lahan berhasil membangun 4 buah skenario penyelesaian yaitu: Peringkat 1: Pelepasan kawasan hutan seluas 302,5 dengan nilai sekor 9; Peringkat 2 Revisi Tata Ruang Kabupaten dengan nilai sekor 6,4; Peringkat 3: Pengukuran ulang luas kawasan hutan dengan nilai sekor 6; dan Peringkat 4 Relokasi penduduk dengan nilai sekor 1,2. Peringkat tersebut kemudian dihitung ulang dengan mengimbuhkan faktor biaya, waktu, ketersediaan sumberdaya manusia, dan keberlanjutan dukungan. Hasilnya adalah: Peringkat ke 1 pelepasan kawasan hutan sesuai prosedur dengan nilai sekor 23; Peringkat ke 2 pengukuran ulang luas kawasan hutan dengan nilai sekor 18; Peringkat ke 3 Revisi Tata Ruang Kabupaten dengan nilai sekor 16; Peringkat ke 4: Relokasi dengan nilai sekor 11, dan Peringkat ke 5: Pelepasan dengan tukar menukar lahan dengan nilai sekor 7.

Berdasarkan seluruh rangkaian analisis selama semiloka yang dilakukan oleh para pihak khususnya oleh kelompok diskusi konflik status lahan, memutuskan bahwa upaya penyelesaian konflik status lahan Pekon Sukapura Kecamatan Sumberjaya yang berada di dalam kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis akan ditempuh melalui usulan pelepasan areal kawasan sesuai dengan prosedur peraturan dan perundangan yang berlaku.


(7)

Untuk langkah ke depan, dari seluruh rangkaian analisis dikembangkan sebuah model konseptual kelembagaan penanganan konflik mencakup tahap-tahap: Registrasi dan Penerimaan Pengaduan; Seleksi, Klasifikasi, dan Pengkajian; Keputusan untuk Merespon Pengaduan; Menentukan Pendekatan dan mengimplementasikannya; Melakukan Pendokumentasian dan Penelusuran; Evaluasi, Monitoring, dan Pembelajaran. Model konseptual ini dapat terselenggara apabila kebijakan pemerintah yang menjamin terselenggaranya demokrasi dan hak untuk bersuara; hak untuk memperoleh informasi; dan penyelesain konflik adalah bagian dari pelayanan publik yang harus disediakan oleh pemerintah.


(8)

vii

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2012

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya teks ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.


(9)

MODEL PENANGANAN KONFLIK LINGKUNGAN

DALAM PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG

Studi Kasus Di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis

Propinsi Lampung

Oleh:

GAMAL PASYA

P.10600010

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(10)

(11)

'Innam

ā

A

The be

an

Sesunggu

(perbaiki h

Al-Mu'umin

elievers are

nd observe

uhnya orang

hubungan)

ū

na 'Ikhwa

brethren. T

your duty t

g-orang ber

antara ked

supaya ka

tun Fa'a

ş

li

ĥ

A

Therefore m

to Allah tha

riman itu be

ua saudara

amu menda

ĥū

Bayna 'A

ll

ā

ha La`all

make peace

at ye may ob

ersaudara.

amu dan be

apat rahma

Akhawayku

lakum Tur

ĥ

e between y

btain mercy

Karena itu

ertaqwalah

at (QS. Al-

Ĥ

um Wa Attaq

ĥ

am

ū

na.

٤٩

:

your brethre

y. (QS.49:1

damaikanla

kepada Alla

Ĥ

ujur

ā

t 49:1

q

ū

ren

0)

ah

ah

0)


(12)

xi

PRAKATA

Puji dan syukur kami khaturkan kepada Allah S.W.T. karena atas berkat dan rahmat-NYA jualah disertasi yang berjudul “Model Penanganan Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung; Studi Kasus Di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Propinsi Lampung” ini dapat diselesaikan. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor di Sekolah Pascasarjana - Institut Pertanian Bogor (IPB).

Ketertarikan kami mempelajari konflik sumberdaya alam dan lingkungan diinspirasi ketika terjadi reformasi tahun 1998, yang diikuti munculnya konflik pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan di daerah. Desentralisasi tata kelola sumberdaya alam dan lingkungan yang dilakukan sebagai bagian penguatan masyarakat dan pemerintahan di daerah kemudian menjadi faktor lain yang turut memacu terjadinya konflik tersebut. Ketidak-siapan sebagian besar institusi pemerintahan di daerah dalam menyambut demokrasi, membuat konflik tata kelola sumberdaya alam dan lingkungan terseret ke dalam ranah politik.

Atas kenyataan tersebut, kami kemudian mulai mempelajari kenapa konflik terjadi, bagaimana prilaku para pihak dalam menghadapi konflik tersebut, dan bagaimana cara menyelesaikannnya. Proses belajar tidak saja terpaku dalam kajian teoritis, namun juga melangkah ke dalam praktik-praktik penyelesaian konflik pada kasus nyata. Konflik lingkungan yang terjadi di Kawasan Hutan Lindung Bukit Rigis Register 45B Propinsi Lampung menjadi pusat perhatian kami. Hal tersebut dilatar-belakangi oleh kenyataan bahwa konflik di wilayah tersebut tidak kunjung terselesaikan. Sumberjaya, nama kecamatan yang sebagian wilayahnya mengelilingi kawasan hutan tersebut, sempat mendapat julukan ”Sumber Bencana” oleh beberapa aparat kehutanan yang sudah hampir pesimis mencarikan upaya penyelesaian konflik yang terjadi. Disertasi ini dilaksanakan pada sebuah kasus nyata di wilayah tersebut. Kegiatan peneltian tidak hanya sebatas menguji hipotesis, tetapi juga sebagai alat yang membantu bagi para pihak untuk menyelesaikan konfliknya.

Dengan selesainya disertasi ini, penulis menyampaikan ucapan terimakasih atas dukungan intelektual, spiritual, moril, dan materil, kepada:


(13)

1. Ayah saya, R. Helmi dan, Almarhumah Ibu saya, Siti Utiah, atas limpahan kasih sayang yang tak habis-habisnya selama saya menyelesaikan sekolah S-3 di IPB 2. Istri saya Dewi Komalasari dan buah hati saya ananda Rossadea Atziza dan

Agnar Afif tercinta, yang telah menjadi inspirasi dalam menyelesaikan disertasi ini

3. Chip Fay, sahabat, mentor, dan motivator saya dalam menggeluti sain dan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan konflik sumberdaya alam terutama sumberdaya hutan

4. Dr. Satyawan Sunito, PhD (Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia IPB) dan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc (Staf Pengajar Fakultas Kehutanan IPB) yang telah berkenan menjadi penguji pada ujian tertutup

5. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MS (Staf Pengajar Fakultas Kehutanan IPB) dan Dr. Ir. Iman Santoso, MS (Direktur Jenderal BUK Departemen Kehutanan) yang telah berkenan menjadi penguji pada ujian terbuka

6. Pemda Propinsi Lampung, khususnya Bappeda Propinsi Lampung yang telah memberikan saya kesempatan untuk memperdalam ilmu di IPB

7. Sejawat di International Center for Reserach on Agro Forestry (ICRAF) South Eest Asia – Bogor yang telah mendukung dan memfasilitasi saya dalam pencarian ilmu pengetahuan tentang pendekatan sistem pendukung negosiasi yang banyak mengilhami disertasi ini

8. Sejawat di Samdhana Institute – Bogor yang telah memberi ruang kepada saya membandingkan antara teori dan kenyataan melalui berbagai diskusi tentang inisiatif penyelesaian konflik sumberdaya alam di Indonesia sehingga saya belajar untuk lebih realistik

9. Sejawat di LSM Watala – Bandar Lampung, yang kerap menjadi tempat diskusi kasus yang diteliti dalam disertasi ini serta yang telah membantu selama penelitian lapang di Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat

10. Sejawat di Compliance/Advisory Ombudsman – International Finance Coorporation (CAO – IFC) – Washington DC, anggota Kelompok Bank Dunia, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk terjun praktik menguji teori di dalam konflik nyata serta memberikan input tentang konseptualisasi kelembagaan penyelesaian konflik yang menjadi sub-bahasan disertasi ini


(14)

xiii

11. Masyarakat petani hutan di dalam dan di sekitar Kawasan Hutan Lindung Bukit Rigis atas penerimaan dan dukungan yang diberikan terhadap pelaksanaan penelitian disertasi ini

12. Dr. Hari T Fadjari, SPD, KOH, onkologis Rumah Sakit Umum Propinsi - Hasan Sadikin, Propinsi Jawa Barat, yang telah memberikan semua perhatian, semangat, dan kemampuan medikasinya selama dua tahun terakhir agar saya mampu bertahan untuk menyelesaikan disertasi ini, dan

13. Pihak-pihak kontributor lainnya yang terlalu banyak untuk saya sebutkan namanya satu persatu.

Semua dukungan yang telah diberikan sudah sejatinya menjadi bagian dari penyelesaian disertasi ini. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat atas segala budi baiknya. Aamiin.

Bogor, November 2011. Gamal Pasya


(15)

RIWAYAT HIDUP

Gamal Pasya (penulis) lahir pada tanggal 4 Juni tahun 1965 di Yogyakarta, Indonesia. Penulis adalah putra ketiga dari pasangan Hi. R.Helmi dan Hj. Siti Utiah, SH. Beristrikan Drs. Dewi Komalasari, dan diberkahi dua keturunan yaitu Rossadea Atziza dan Agnar Afif.

Pada Tahun 1988 penulis memperoleh gelar akademik sebagai Sarjana S-1 Sosial Ekonomi Pertanian Pertanian di Fakultas Pertanian – Universitas Lampung. Pada tahun 1992, penulis memperoleh Postgraduate Diploma Engineering SIG-3 di ITC, Enschede, Belanda. Gelar Sarjana S-2 di bidang Manajemen Lingkungan Perkotaan diperoleh pada tahun 1999 di IHS - Universitas Wageningen, Belanda.

Penulis adalah staf Bappeda Propinsi Lampung sejak tahun 1990 hingga sekarang. Dalam perjalanan karir dan keilmuwannya, penulis juga adalah sejawat (fellow) the Samdhana Institute, sebuah organisasi nirlaba Asia Tenggara yang beralamat di Bogor - Indonesia dan di Cagayan de Oro - Philipina. Pernah menjadi anggota Tim Analisis Kebijakan di International Center for Research on Agroforestry (ICRAF) – Asia Tenggara dalam mengembangkan pendekatan Sistem Pendukung Negosiasi (SPN) Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA). Selain itu di CAO (Compliance/Advisory Ombudsman) – IFC the World Bank, penulis pernah menjadi anggota Tim Fasilitasi Teknis penyelesaian sengketa investasi di sektor pembangunan perkebunan kelapa sawit dan sektor pertambangan di beberapa provinsi di Indonesia. Sebagai staf Bappeda Provinsi Lampung, penulis saat ini menjabat sebagai Staf Khusus Ketua Bappeda Bidang Ekonomi Pembangunan. Penulis dapat dihubungi melalui email: G.Pasya@Yahoo.com


(16)

xv

DAFTAR

ISI

Halaman

DAFTAR ISI xv

DAFTAR TABEL xxiii

DAFTAR GAMBAR xxvii

DAFTAR LAMPIRAN xxviii

I. PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan Masalah 4

1.3. Kerangka Pemikiran Pemecahan Masalah 7

1.4. Tujuan Penelitian 18

1.5. Manfaat Penelitian 18

1.6 Kebaharuan (Novelties) 18

II. KAJIAN PUSTAKA 20

2.1. Isu Lingkungan Dalam Pengelolaan Hutan Global Dan Nasional

21

2.2. Hutan Dunia dan Indonesia 23

2.3. Fungsi Lingkungan Dari Hutan 28

2.4. Otonomi Daerah (OTDA) dan Desentralisasi Kebijakan Pengelolaan Kehutanan Di Indonesia

29 2.4.1. Perkembangan Desentralisasi Kebijakan Pengelolaan

Kehutanan Dalam Konteks Otonomi Daerah (OTDA)

31 2.4.1.1. Tahap Awal OTDA Percontohan (Periode Tahun

1995—1997)

31 2.4.1.2. Tahap Transisi Menjelang Akhir Era Orde Baru

Menuju Era Reformasi (Periode Tahun 1998— 2000)

32

2.4.1.3. Tahap Dimulainya Pelaksanaan OTDA Secara Luas, Nyata dan Bertanggungjawab Sejak Januari 2001.

33

2.4.2 Desentralisasi Kebijakan Pengelolaan Kehutanan Dalam Konteks Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (Community Based Forest Management)

33

2.5. Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam 37

2.5.1. Batasan Tentang Konflik 37

2.5.2. Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Hutan 46 2.5.2.1. Konflik Vertikal Pengelolaan Kawasan Hutan 47 2.5.2.2. Konflik Horizontal Pengelolaan Kawasan Hutan 50 2.6. Kajian Tentang Model Penanganan Konflik 51


(17)

III. METODE PENELITIAN 55

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 55

3.2. Hipotesis 57

3.3. Teknik Pengambilan Responden 57

3.4. Jenis dan Sumber Data 61

3.5. Teknik Pengumpulan Data 62

3.6. Peubah dan Cara Pengukurannya 65

3.7. Analisis Data 68

3.7.1 Analisis Implikasi Kebijakan Otonomi Daerah Terhadap Pelaksanaan Pengelolaan Kehutanan Yang Berkaitan Dengan Isu Pengelolaan Lingkungan Hidup Di Daerah Khususnya Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Di Propinsi Lampung.

68

3.7.2 Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konflik Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Berkaitan Dengan Fungsi Lingkungan Dari Hutan.

71

3.7.2.1 Asumsi Yang Mendasari Analisis Jalur 73 3.7.2.2 Diagram Jalur dan Persamaan Analisis Jalur 73 3.7.2.3 Langkah Penghitungan Dalam Analisis Jalur 74 3.7.2.4 Konseptualisasi Diagram Jalur Yang Akan Dianalisis 76 3.7.3 Analisis Gaya Pengelolaan Konflik (Conflict Style

Management) Yang Diragakan Oleh Masing-Masing Pihak Yang Terlibat Di Dalam Konflik Dan Polarisasi Konflik Yang Terjadi.

81

3.7.4 Pengembangan Model Penanganan Konflik Lingkungan Secara Kognitif Didasarkan Kepada Pengalaman Yang Diperoleh Para Pihak Yang Bersengketa.

87

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAAN 91

4.1 Letak Geografis Wilayah Propinsi Lampung 91

4.2 Tata Guna Lahan dan Tata Guna Hutan Propinsi Lampung 92

4.2.1 Tata Guna Lahan 92

4.2.2 Tata Guna Hutan 93

4.2.3 Tutupan Lahan Hutan (Forest Land Cover) 95

4.2.4 Lahan Kritis 98

4.3 Konflik Pertanahan Dalam Kawasan Hutan Di Propinsi Lampung

100 4.4 Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, Kecamatan

Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat.

102 4.4.1 Kondisi Umum Tata Guna Hutan Di Kabupaten

Lampung Barat

102 4.4.2 Kondisi Umum Kependudukan Di Kabupaten

Lampung Barat

103 4.4.3 Kecamatan Sumberjaya dan Kawasan Hutan Lindung

Register 45B Bukit Rigis


(18)

xvii

4.4.3.1 Migrasi Penduduk dan Terbentuknya Permukiman Di Sumberjaya

103 4.4.3.2 Kependudukan Di Dalam Kawasan Hutan Lindung

Register 45B Bukit Rigis Kecamatan Sumberjaya dan Konflik Yang Terjadi.

105

4.4.3.3

Perubahan Penggunaan Lahan Di Kecamatan Sumberjaya dan Deforestasi Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis

108

4.4.3.4 Konflik Tata Batas dan Status Lahan di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis.

113

4.4.3.5

Konflik Akses Pengelolaan Lahan Kawasan 116

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 119

5.1 Karakteristik Responden 119

5.2 Analisis Kebijakan Kehutanan, Pengelolaan Lingkungan Hidup, Agraria, Tata Ruang, Dan Otonomi Daerah Terkait Dengan Penanganan Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Kehutanan Di Daerah

119

5.2.1 Definisi Kawasan Hutan 119

5.2.2 Kebijakan Pemanfaatan Kawasan Hutan Oleh Masyarakat Setempat

120

A.

Evolusi Pemanfaatan Kawasan Hutan oleh

Masyarakat Setempat di Dalam Desain Kebijakan Kehutanan Nasional 5 Tahun Menjelang Otda (1995-2000)

120

B.

Pemanfaatan Kawasan Hutan Oleh Masyarakat Setempat dalam Kebijakan Kehutanan Indonesia 2001 – 2010.

126

5.2.3 Kebijakan Yang Berkaitan Dengan Pengelolaan Konflik Lingkungan Terkait Dengan Pemanfaatan Kawasan Hutan oleh Masyarakat Tempatan.

128

A.

Pengertian Sengketa Lingkungan Hidup dalam UUPLH

128

B.

Pengertian Penyelesaian Konflik Lingkungan Hidup

dalam UUPLH

130

C.

Penyelesaian Konflik Lingkungan dalam UU

Kehutanan dan UU Pokok Agraria

131

D.

Isu Penyelesaian Konflik dalam Pemberdayaan

Masyarakat Setempat di Sektor Kehutanan.

133

E.

Penyelesaian Konflik Di Dalam Undang-undang

Pemerintahan Daerah

135

F.

Penyelesaian Konflik Di Dalam UU Tata Ruang 136

G.

Pengaduan Perselisihan di Dalam UU Pelayanan

Publik

140 5.2.4 Pentingnya Kebijakan Afirmatif dan Kebijakan

Responsif untuk Penyelesaian Konflik Lingkungan di dalam Kawasan Hutan


(19)

5.3 Hasil dan Pembahasan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konflik Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung.

143 5.3.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konflik Dalam

Submodel Eksternalitas

144 5.3.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konflik Dalam

Submodel Persepsi dan Ketimpangan Struktural

153 5.3.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konflik Dalam

Submodel Kelangkaan

171 5.3.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konflik Dalam

Submodel Etik Lingkungan

175 5.3.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konflik Dalam

Submodel Eskalasi Konflik

177 5.3.6 Hasil Analisis Jalur Model Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Konflik Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung dan Analisis Kebaikan Model.

187

5.3.6.1 Analisis Keragaan Model Secara Holistik 187

5.3.6.2 Analisis Kebaikan Model 191

5.4. Analisis Gaya Mengelola Konflik Dan Polarisasi Konflik. 192 5.4.1 Gaya Mengelola Konflik Para Pihak 193 5.4.1.1 Gaya Para Pihak Mengelola Konflik Status Lahan 195 5.4.1.2 Gaya Para Pihak Mengelola Konflik Tata Batas

Kawasan Hutan

198 5.4.1.3 Gaya Para Pihak Mengelola Konflik Akses 202 5.4.1.4 Pemanfaatan Hasil Analisis Gaya Konflik Untuk

Penanganan Konflik Selanjutnya

205

5.4.2 Polarisasi Konflik 206

5.4.3 Kebersediaan Responden dan Preferensi Bentuk Perundingan

213 5.5 Pengembangan Model Kognitif Pengelolaan Konflik 219

5.5.1 Tahapan Sistem Analisis Sosial 221

5.5.2 Model Pengelolaan Konflik Status Lahan; Kasus Status Wilayah Pekon (Desa) Sukapura Yang Berada di Dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis.

225

5.5.2.1 Analisis Dasar Masalah Konflik Status Lahan 226 5.5.2.2 Faktor Pemacu dan Peredam Konflik 227 5.5.2.3 Sejarah Konflik Status Lahan Pekon Sukapura

(Analisis Rentang Waktu)

232 5.5.2.4 Profil Para Pihak Dalam Konflik Status Lahan Pekon

Sukapura

235 5.5.2.5 Analisis Hubungan Antara Yang Kuat dan Lemah 239 5.5.2.6 Analisis Cara Penanganan Konflik 242 5.5.2.6.1 Mengurai Skenario Ideal Penyelesaian Konflik

Status Lahan

242 5.5.2.6.2 Memilih Skenario Ideal Penyelesaian Konflik Status

Lahan

245 5.5.2.6.3 Analisis Mengukur Dukungan Terhadap Skenario

Ideal Penyelesaian Konflik Status Lahan


(20)

xix

5.5.2.6.4 Pengambilan Keputusan Skenario Terpilih dan Penyusunan Upaya Ke Depan Untuk Penyelesaian Konflik Status Lahan Pekon Sukapura

250

5.6 Pengembangan Model Penanganan Konflik Lingkungan Berdasarkan Integrasi Hasil Analisis

256 5.6.1 Konstruksi Model Penelitian Penanganan Konflik 254 5.6.2 Konseptualisasi Model Kelembagaan Penanganan

Konflik Lingkungan, Peluang Aplikasinya di dalam Konteks Kebijakan, dan Umpan Balik.

262

5.6.2.1 Konseptualisasi Model Kelembagaan Penanganan Konflik Lingkungan

266 5.6.2.2 Peluang Aplikasinya di dalam Konteks Kebijakan. 271 5.6.2.3 Umpan Balik Terhadap Kebijakan-kebijakan

Penyelesaian Sengketa Lingkungan

273

VI. KESIMPULAN 274

6.1 Kesimpulan 274

6.2 Saran 283

DAFTAR PUSTAKA

284


(21)

DAFTAR

TABEL

Tabel halaman

1.1 Keterangan Gambar 1.1 Bagan Alir Kerangka Pemikiran Pengaruh Model Faktor-Faktor Yang Menimbulkan Konflik Lingkungan

12

2.1 Luas Kawasan Hutan Indonesia 26

2.2 Fungsi Lingkungan Dari Hutan (Sumber: Pearce Dan Moran, 1994).

29 2.3. Perkembangan Kebijakan Model Hutan Kemasyarakatan 35

2.4 Beberapa Definisi Tentang Konflik 38

2.5. Pendekatan Penanganan Konflik dan Hasil Yang Diharapkan (Sumber: Isenhart Dan Spangle, 2000).

42

3.1. Tahapan dan Jadwal Penelitian 57

3.2. Pengambilan Responden Contoh Untuk Tujuan Penelitian Yang Kedua

58

3.3. Keunggulan dan Kelemahan Metode Delphi 60

3.4. Pengambilan Responden Contoh Untuk Tujuan Penelitian Yang Ketiga dan Keempat

61 3.5 Data Sekunder Yang Akan Diteliti dan Sumber Data. 62 3.6 Peubah, Indikator dan Spesifikasi, Jenis Data, dan Teknik

Pengumpulan Pada Sub-Model A (Eksternalitas)

65 3.7 Peubah, Indikator dan Spesifikasi, Jenis Data, dan Teknik

Pengumpulan Pada Sub Model B (Persepsi Dan Ketimpangan Struktural)

66

3.8 Peubah, Indikator dan Spesifikasi, Jenis Data, dan Teknik Pengumpulan Pada Sub Model C (Kelangkaan)

67 3.9 Peubah, Indikator dan Spesifikasi, Jenis Data, dan Teknik

Pengumpulan Pada Sub Model D (Etika Lingkungan)

67 3.10 Tiga Pendekatan Dalam Analisis Kebijakan 69 3.11 Gaya Pengelolaan Konflik dan Representasi Pernyataan

Responden.

82 3.12 Perbedaan Nilai Tengah (Μ) Antar Kelompok Responden

Pada Topik Konflik Penetapan Tata Batas Kawasan Hutan

83 3.13 Perbedaan Nilai Tengah (Μ) Antar Kelompok Responden

Pada Topik Konflik Status Kawasan Hutan

84 3.14 Perbedaan Nilai Tengah (Μ) Antar Kelompok Responden

Pada Topik Konflik Hak Masyarakat Atas Akses Pengelolaan Lahan Kawasan Hutan

84

3.15 Analisis Ragam Bagi Klasifikasi Satu-arah 85 3.16 Matriks Kombinasi Uji Nilai Tengah (

x

) Antar Kelompok 87 3.17 Topik Analisis, Tujuan dan Teknik Yang Akan Dipergunakan

Dalam Pengembangan Model Penanganan Konflik Secara Kognitif

89

4.2 Ibukota, Luas dan Jarak Ibu kota Kab. /Kota ke Ibukota Propinsi se- Propinsi Lampung

92 4.3 Tata Guna Tanah di Propinsi Lampung menurut Badan 93


(22)

xxi

Pertanahan Nasional (BPN) Propinsi Lampung, 2004.

4.4 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsinya Tahun 1997 – 2001 94 4.5 Luas dan Fungsi Kawasan Hutan Per Kabupaten/Kota di

Propinsi Lampung Menurut SK.Menhutbun No.256/KPts-II/2000.

95

4.6 Kondisi Penutupan Lahan pada Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Poduksi di Propinsi Lampung Tahun 2000

97 4.7 Keadaan Lahan Kritis di Propinsi Lampung Tahun 1998 –

2000

99 4.8 Penyelesaian Kasus Tanah di Propinsi Lampung Tahun 1999

- 2002

101 4.9 Penggunaan lahan di Kecamatan Sumberjaya, Tahun 2000 108 4.10 Presentasi perubahan penggunaan lahan di Sumberjaya

tahun 1978 – 1990 .

112 4.11 Perubahan Sebaran Tutupan Lahan Hutan (forest land cover)

di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis

113 4.12 Nama Kelompok yang telah mendapatkan hak akses melalui

Ijin Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis.

118

5.2.1 Perbandingan akses masyarakat tempatan terhadap sumberdaya hutan dalam evolusi kebijakan HKm nasional.

126 5.3.1 Analisa deskriptif peubah bencana alam antropogenik (X1) 145

5.3.2 Analisa deskriptif peubah motivasi responden dalam memutuskan mengkonversi lahan hutan kawasan (X6)

146 5.3.3 Analisa deskriptif peubah pengaruh pasar (X4) 147

5.3.4 Analisis deskriptif peubah tingkat kesejahteraan sosial responden (X8)

154 5.3.5 Daftar insentif material dan upah kerja dalam pelaksanaan

Proyek GNRHL di Sumberjaya, 2004.

158 5.3.6 Penelusuran indikator manifestasi etik lingkungan di SK

Menhutbun No. 31/Kpts-II/2001 tentang HKm

185 5.3.7 Peubah yang paling berpengaruh pada masing-masing

sub-model

191 5.4.1 Komposisi Para Pihak Yang Dipilih Dalam Analsis Gaya

Mengelola Konflik.

194 5.4.2 Hasil Analisis Statistik Perbedaan Nilai Tengah Para Pihak

Terhadap Konflik.

195 5.4.3 Daftar Ijin HKm (Juni 2006) yang Lokasinya Berpotensi

Menimbulkan Konflik Tata Batas Kawasan Hutan Antar Kabupaten.

202

5.4.4 Pengelompokkan Perbedaan Para Pihak Berdasarkan Pernyataan Mereka Terhadap Masing-masing Isu Konflik

206 5.4.5 Pernyataan Responden Tentang Kesesuaian Tupoksi

Lembaganya Terhadap Penyelesaian Konflik

214 5.4.6 Kebersediaan Responden Untuk Hadir dalam Perundingan 215 5.4.7 Preferensi Responden Terhadap bentuk Perundingan 216 5.4.8 Upaya Responden Dalam Menyatakan Perbedaan

Kepentingan dalam konflik Status Lahan, Tata Batas, dan Hak Akses.


(23)

5.4.9 Komitmen Responden Untuk Tetap Hadir Selama Perundingan

219 5.5.1 Indeks Kekhasan (saliency) Pemangku Kepentingan. 225 5.5.2 Daftar Nama Transmigran BRN Tahun 1951-1952 Yang

Masih Hidup Sebagai Saksi Sejarah Pekon Sukapura.

232 5.5.3 Penggunaan lahan Pekon Sukapura, 2004. 232 5.5.4 Analisis Rentang Waktu Beberapa Peristiwa Penting Yang

berkaitan dengan Konflik Status Lahan Pekon Sukapura di Dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, Kecamatan Sumberjaya

234

5.5.5 Analisa Kekuatan, Kepentingan, dan Legitimasi Para Pihak Yang Berkonflik Dalam Kasus Status Lahan Pekon Sukapura

236 5.5.6 Pemeringkatan Skenario Ideal Penyelesaian Konflik Status

Lahan Pekon Sukapura

244 5.5.7 Penetapan Kriteria, Sekala, dan Sekor Masing-masing

Skenario Penyeselaian

245 5.5.8 Pemilihan Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan

Berdasarkan Kriteria Kebutuhan Biaya, Waktu, dan Ketersediaan Sumberdaya Manusia.

246

5.5.9 Sekor Dukungan Masing-masing Pihak Terhadap Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan

247 5.5.10 Sekor Dukungan Kolektif Semua Pihak Terhadap Skenario

Penyelesaian Konflik Status Lahan.

250 5.5.11 Pemilihan Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan

Berdasarkan Kriteria Kebutuhan Biaya, Waktu, Ketersediaan Sumberdaya Manusia, dan Dukungan Para Pihak.

250

5.6.1 Perbandingan antara UU Kehutanan dan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup tentang Penyelesaian Sengketa.

263 5.6.2 Perbedaan antara Hak Positif dan Hak Normatif (Stone, 2001) 269


(24)

xxiii

DAFTAR

GAMBAR

Gambar halaman

1.1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Hubungan Pengaruh Model Faktor-Faktor Yang Menimbulkan Konflik Lingkungan

13 1.2. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Model Identifikasi Peta Konflik 16 1.3. Kerangka Pemikiran Model Kognitif Penanganan Konflik

Lingkungan Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung

17 2.1. Penggunaan Lahan Dunia, 1990 (Sumber: WRI Dalam

Cunningham Dan Saigo, 1995).

23 2.2. Luas Kawasan Hutan Di Indonesia Pada Tahun 1999 (Sumber:

Badan Planologi Departemen Kehutanan, 2001; Grafis Diolah)

26 2.3. Perbedaan-Perbedaan Yang Sering Menjadi Sumber Konflik.

(Sumber: Wijardjo, 2001; Moore, 1996)

39 2.4. Hubungan Antara Tingkat Perbedaan Sasaran dan Prilaku Yang

Ditimbulkan (Sumber: Fisher Et Al, 2001).

41 2.5. Model Dua Dimensi Penentu Gaya Konflik (Sumber: Avruch Et

Al, 1991)

44 2.6. Interaksi Multi Track Diplomacy Dalam Penciptaan Perdamaian

(Diamond Dan Mcdonald, 1996)

46 2.7. Model Konflik Glasl (Sumber: Glasl Dalam Yasmi, 2002) 52 2.8 Model Sistem Pendukung Negosiasi Pengelolaan Sumberdaya

Alam (Sumber: Noordwijk, 2000)

52

3.1. Peta Lokasi Studi, Propinsi Lampung 56

3.2. Teknik Mendengarkan Dalam Mewawancara Konflik (Sumber: Hendricks, 1992)

63 3.3. Teknik CAPS Dalam Penanganan Konflik(Sumber: Mitchell

Dan Banks, 1996)

64 3.4 Kerangka Hubungan Antara Tahapan Kebijakan, Analisis

Kebijakan, dan Kemungkinan Keluaran/Rekomendasi (Diadopsi Dari Dunn (2000) Dan Hempel (1996))

70

3.5 Hubungan Dependensi Di Dalam Persamaan Struktural 72 3.6 Diagram Jalur Antara Sub-Model Eksternaliti, Persepsi dan

Ketimpangan Struktural, Kelangkaan, dan Etik Lingkungan; Terhadap Eskalasi Konflik

79

4.1 Peta Administrasi Propinsi Lampung 91

4.2 Peta Penutupan Lahan Propinsi Lampung, 2000 (Sumber: Badan Planologi Kehutanan, 2002)

98 4.3 Pendudukan lahan Taman Nasional Way Kambas oleh

masyarakat adat Marga Subing (Sumber photo 4.3a: Peneliti); dan Demonstrasi rakyat yang menggugat status pertanahan di Kantor Gubernur Propinsi Lampung (Sumber photo 4.3b: Lampung Post)

101

4.4 Kondisi HPT yang masih terjaga di Desa Pahmongan Kecamatan Pesisir Tengah (Gambar 4.4a) dan kondisi HPT yang sudah rusak di Hutan Titi Liut Desa Kota Jawa Kecamatan Bengkunat (Gambar 4.4b), Kabupaten Lampung Barat. (Sumber


(25)

photo: Peneliti)

4.5 Bukti dokumen sejarah diresmikannya nama Sumberjaya oleh Presiden Sukarno. Gambar 4.5b adalah Presiden Sukarno pada saat peresmian Sumberjaya, 14 November 1952 (Sumber photo dan dokumen: Kepala Desa Sukapura, Kecamatan

Sumberjaya).

104

4.6 Peta Situasi Perkampungan Tua Suku Semendo pada tahun 1920-1930 dan desa-desa gelombang kedua dari penduduk Sunda dan Jawa sejak tahun 1950 (Sumber: Benoit (1989) dalam Verbist dan Pasya (2004)).

105

4.7 Pertumbuhan Penduduk di Sumberjaya (Sumber: Verbist

(2001); Biro Pusat Statistik Lampung Barat (2003); Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung (2005).

106

4.8 Peta situasi beberapa kawasan hutan lindung di dalam Kecamatan Sumberjaya (Sumber: ICRAF).

110 4.9 Kondisi deforestasi kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit

Rigis awal Tahun 2000 (Sumber photo: ICRAF).

111 4.10 Peta wilayah Desa Sukapura yang berada di dalam kawasan

Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis; Poligon berwarna merah muda adalah areal seluas 302,5 hektar yang diklaim oleh warga untuk dialih-fungsikan (Sumber: Watala, 2003).

115

4.11 Perbedaan batas TGHK di Sumberjaya (Sumber: Verbist, 2001) 116

5.1 Diagram Jalur Sub-model Eksternalitas. 144

5.2 Kendaraan berpenggerak roda 4 seperti pada Gambar 5.2.a adalah jenis yang umumnya melayani transportasi hingga ke tepi bahkan hingga ke dalam kawasan hutan (Sumber photo: Kusworo). Sedang Gambar 5.2.b adalah ojeg motor trail yang mampu mengangkut kopi keluar dari lahan yang berada di jantung kawasan hutan (Sumber photo: Peneliti).

151

5.3 Diagram Jalur Sub-model Tingkat Ordinasi Responden. 153 5.4 Kelompok petani hutan memperoleh insentif material berupa

pupuk dari Proyek Perlindungan DAS Way Besay. Petani kemudian menebarkan pupuk tersebut ke tanaman raboisasi di lahan garapan dalam kawasan dan untuk itu mereka

memperoleh upah kerja. Lokasi: Dusun Rigis Jaya, Desa Gunung Terang, Sumberjaya, 3 Desember 2004. (Sumber photo: Peneliti)

156

5.5 Insentif GNRHL berupa bantuan bibit yang diterima oleh kelompok HKm – MWLS sedang ditranspor menuju hamparan lahan di dalam kawasan hutan lindung Bukit Rigis. Lokasi: Desa Tugusari Sumberjaya, 20 Januari 2005. (Sumber photo:

Peneliti)

157

5.6 Diagram Jalar Sub-model Persepsi 160

5.7 Areal penghijauan yang dahulunya dikenal dengan “Hutan Pinus” (Gambar 5.7.a, Juli 2006) kini telah terkonversi ke dalam bentuk penggunaan lain (Sumber photo: Nurka C. Ningsih, asisten peneliti). Gambar 5.7.b (Januari 2005) adalah rona fisik pemukiman penduduk Desa Sukapura yang berada di dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, mereka


(26)

xxv

adalah bagian dari Transmigrasi BRN tahun 1951-1953 (Sumber photo: Peneliti).

5.8 Contoh “Weapon of the Weak” di Tahura Wan Abdul Rahman, Desember 2002. Pohon Sonokeling hasil reboisasi dikerat pangkal batangya oleh orang tidak dikenal hingga akhirnya pohon tersebut mati secara perlahan. Semakin subur pohon tersebut, maka tanaman bertajuk rendah dibawahnya perlahan-lahan menjadi tidak produktif. Hal tersebut yang diduga menjadi penyebab. (Sumber Photo: Peneliti)

164

5.9 Diagram jalur Submodel Persepsi dan Ketimpangan Struktural 165

5.10 Diagram Jalur Sub-model Kelangkaan 171

5.11 Salah satu profil responden transmigran BRN yang saat ini tinggal dan bertani di dalam kawasan hutan lindung lokasi penelitian. Asisten peneliti diterima di “ruang tamunya” yang juga merangkap sebagai tempat tidur dan dapur, Maret 2005 (Sumber photo: Peneliti).

173

5.12 Diagram jalur Sub-model Etik Lingkungan 176

5.13 Pada Gambar 5.13.a (Desember 2004) terlihat bagaimana petani menggunakan teknik natural vegetatif strip dalam usaha mencegah erosi permukaan pada kebun kopi monokultur tua di dalam kawasan (Sumber photo: Agus Fahrmudin). Sementara itu Gambar 5.13.b (Mei 2005) menunjukkan bagaimana teknik polikultur diterapkan oleh petani dengan kombinasi kopi, kayu gelam (Glirisidae spi), dan pohon kemiri di lahan garapan mereka dalam kawasan hutan lindung Bukit Rigis; lima tahun yan lalu tutupan lahan di hamparan tersebut masih berupa alang-alang dan tanah terbuka (Sumber photo: Peneliti)

177

5.14 Digram Jalur Sub-model Eskalasi Konflik 178

5.15 Adopsi Alur Konflik Konstruktif Kiersbeg (1998) Pada Sejarah Singkat Konflik Konstruktif Hak Akses (Hutan Masyarakat) di Kawasan Hutan Lindung Resgister 45B Sumberjaya, Tahun 2000-2005

183

5.16 Struktur Diagram Jalur yang Disederhanakan Berdasarkan Hubungan Antar Sub-Model

189 5.17 Hasil Analisis Jalur Model Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Konflik Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Berkaitan Dengan Fungsi Lingkungan dari Hutan

190

5.18 Konflik tata batas kawasan hutan hutan Register 33 Kota Agung Utara sudah terjadi sejak lama dan tak kunjung selesai. Pada bulan Maret 2003, peneliti memfasilitasi dialog lapangan antara Kepala Kantor TN Bukit Barisan Selatan, Kepala Dinas

Kehutanan Kabupaten Tanggamus, Kepala Bagian RRL Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Barat, aparat Pekon Trimulyo, dan kelompok HKm Tri Buana (Sumber Photo: Peneliti).

201

5.19 Peta Perbedaan Kepentingan Antar Pihak Dalam Konflik Status, Tata Batas, dan Akses Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Kabupaten Lampung Utara.

208

5.20 Semiloka Model Penanganan Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis


(27)

yang diselenggarakan selama 4 hari (pada tanggal 24 – 27 Mei 2005) di Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat (Sumber photo: Rozi, asisten peneliti).

5.21 Tahap-tahap Sistim Analisis Sosial Dalam Pengembangan Model Kognitif Pengelolaan Konflik Lingkungan (Chevalier, 2003).

223

5.22 Indikator Kekhasan Power, Interest, dan Legitimacy (Chevalier, 2003).

224 5.23 FGD Kelompok Status Lahan tentang Rekonstruksi Pohon

Masalah Penyebab dan Dampak Konflik Status Lahan di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, Kabupaten Lampung Barat. (Sumber Photo: Nurka C Ningsih)

227

5.24 Bagan Rekonstruksi Pohon Masalah Penyebab dan Dampak Konflik Status Lahan di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, Kabupaten Lampung Barat.

228

5.25 Faktor Pemacu dan Peredam Konflik Status Lahan 229 5.26 Diagram Venn Kekhasan (saliency) ke-12 Pihak dalam proses

penyelesaian konflik status lahan Pekon Sukapura dalam kawasan hutan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis.

237

5.27 Diagram Analisis Hubungan Antara yang Kuat dan yang Lemah dalam Kasus Konflik Status Lahan Pekon Sukapura (Sumber: Diskusi selama semiloka, mengadopsi mengadopsi Matriks Analisis Hubungan Kuat-Lemah - Chevalier (2003).

241

5.28 Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan Pekon Sukapura Bedasarkan Ramifikasi Terhadap Hubungan Sebab-Akibat Akar Konflik.

243

5.29 Peneliti sedang memandu penghitungan hasil Analisis Gradient Pooling secara secret ballot terhadap skenario penyelesaian konflik status lahan Pekon Sukapura di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, Kabupaten Lampung Barat. (Sumber Photo: Nurka C Ningsih)

248

5.30 Grafik Gradient Pooling Hasil Perhitungan Secara Rahasia Tentang Dukungan Para Pihak Terhadap Beberapa Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan Pekon Sukapura. (Sumber: Diskusi para pihak selama semiloka dengan mengadopsi Teknik Gradient Polling– Chevalier (2003);

249

5.31 Skema Tahap-tahap Penting Dalam Skenario Pelepasan Lahan Kawasan Sesuai Prosedur (Sumber: Diskusi para pihak selama semiloka).

252

5.32 Nara sumber dari Fakultas Sosial Politik - Universitas Lampung memberikan analisis hukum dalam pengembangan tahap penting skenario pelepasan lahan kawasan hutan secara prosedural (Sumber photo: Peneliti)

254

5.33 Grafik Gradient Polling dukungan para pihak terhadap skenario pelepasan lahan sesuai prosedur Pekon Sukapura

255 5.34 Model Penelitian Penanganan Konflik Lingkungan yang

Dihasilkan.

258 5.35 Model Kelembagaan Penanganan Konflik Lingkungan 267


(28)

xxvii

DAFTAR

KOTAK

Kotak halaman

5.1 Mekanisme Pengaduan dan Penyelesaian di Dalam UU No.25/2009 tentang Pelayanan Publik.

142 5.2 Beberapa Platform Dialog dan Negosiasi Multipihak

Di Kabupaten Lampung Barat

167 5.3 Peran Serta Pihak Kecamatan (dan Desa) dalam Proses Kajian

Perubahan Status Kawasan Hutan, Kasus Pekon Sukapura Kecamatan Sumberjaya.

197

5.4 Beberapa LSM yang Melakukan Pendampingan Masyarakat Petani di Sekitar Kawasan Hutan Lindung Register 45b Bukit Rigis, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat.

211

5.5 Preferensi Bentuk Perundingan Yang Mencerminkan Oleh Pernyataan Responden

215 5.6 Pilihan-pilihan Bentuk Penanganan Sengketa Secara Alternatif

(Alternative Dispute Resolution) Berdasarkan Gaya Bersengketa Para Pihak


(29)

DAFTAR

LAMPIRAN

Lampiran halaman

1 Konflik-konflik Status, Kepemilikan, Dan Pemanfaatan Lahan Di Dalam Kawasan Hutan Di Propinsi Lampung, Tahun 1999. 2 Kuesioner Penelitian Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan

Kawasan Hutan.

3 Kuseioner Penelitian Conflict Management Style 4 Petunjuk Pengisian Tabulasi

5 Data Hasil Overlay Peta Penutupan Lahan Tahun 2000 dengan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Propinsi Lampung.

6 Raw Data responden (Soft copy) 7 Raw Data Responden (Soft copy) 8 Hasil Uji Statistik Pathway Analysis 8-A Tabulasi Analisis Deskriptif Akar Konflik

9 Daftar Kelompok Penerima Ijin HKM di Kabupaten Lampung Barat, Juni 2006.

10 Hasil Uji Statistika Analisis Nilai Tengah Berpasangan 10A Analisis Deskritif Gaya Mengelola Konflik

11 Form Konfrimasi Kesediaan Langsung/Berwakil 12 Matriks Perbedaan Kepentingan

13 Panduan Sistem Analisis Sosial dan Aplikasinya Dalam Upaya Penyelesaian Konflik


(30)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pertumbuhan penduduk demikian pesat berimplikasi terhadap deplesi sumberdaya alam. Semakin jumlah penduduk meningkat, semakin banyak kebutuhan hidup yang perlu dipenuhi dan dapat bersumber dari sumberdaya alam. Untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, pemerintah melaksanakan pengelolaan sumberdaya alam yang ditempuh dengan berbagai kebijakan dan mengimplementasikannya ke dalam program pembangunan. Di sisi lain, dalam kehidupan sehari-hari masyarakatpun mengelola sumberdaya alam sesuai dengan kebutuhan sosial dan ekonominya.

Satu di antara berbagai sumberdaya alam potensial yang masih menjadi sektor tumpuan masyarakat dan Pemerintah Indonesia saat ini adalah hutan. Dalam ekosistem hutan terdapat fungsi lingkungan yang mencakup fungsi ekologis, fungsi sosial, dan fungsi ekonomis. Selain itu, ekosistem hutan amat penting tidak hanya bagi kehidupan manusia namun juga bagi kelangsungan flora dan fauna di dalamnya. Berdasarkan UU RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi. Sesuai dengan U.U. tersebut, Pemerintah mengelola kawasan hutan berdasarkan fungsi pokoknya yaitu hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi.

Hutan lindung memiliki keterkaitan erat dengan fungsi lingkungan yang bersumber dari hutan. Fungsi lingkungan tersebut tercermin dari definisi hutan lindung yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan manusia untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Dari definisi yang terdapat di dalam U.U. RI Nomor 41 Tahun 1999 tersebut, maka dapat dikatakan bahwa fungsi lingkungan kawasan hutan lindung lebih ditekankan atas pertimbangan ekologis. Selain itu, dalam keterkaitannya dengan perubahan iklim global, hutan memiliki fungsi sebagai rosot karbon (Murdiyarso, dkk., 1998).

Dalam mewujudkan fungsi lingkungan tersebut, Pemerintah menetapkan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan upaya pengelolaan hutan secara lestari. Kenyataannya adalah bahwa saat ini banyak kawasan hutan dengan kemampuan dalam menyediakan fungsi lingkungan yang semakin menurun. Hal


(31)

dengan salah pengelolaan.

Masalah kebijakan pengelolaan kehutanan tidak terlepas dari masalah agraria dan penting untuk dibenahi dalam rangka mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari. Kebijakan tersebut ternyata terlalu kaku karena: (1) keliru dalam merumuskan masalah, (2) penyusunan kebijakan yang tidak partisipatif, (3) lemahnya sinkronisasi antara kebijakan dan implementasi di lapang, (4) lemahnya koordinasi lintas sektor, dan (5) lemahnya kemampuan aparatur. Selain itu, adanya cara pandang yang sempit para birokrat kehutanan yang memisahkan pembangunan kehutanan dengan pembangunan pertanian dan manusia menjadikan kebijakan pengelolaan hutan amat bersifat sektoral (Robinson. 1998). Akibatnya, produk kebijakan kehutanan gagal berfungsi (malfunction). Contoh produk kebijakan yang hingga kini masih belum menjadi dokumen publik dan lemah legitimasinya dalam mengatur pemanfaatan hutan adalah dokumen Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang seharusnya diharapkan dapat berfungsi menjadi dasar penetapan status dan perencanaan tataguna kawasan hutan negara.

Selain masalah kebijakan, masalah sosial ekonomi seperti pertumbuhan penduduk dan kemiskinan ditengarai menjadi penyebab lainnya sehingga hutan semakin tidak mampu menyangga fungsi lingkungan. Adanya tekanan penduduk ke dalam kawasan hutan diduga telah mengakibatkan tidak terkendalinya konversi hutan ke dalam bentuk penggunaan lainnya seperti lahan pertanian, perladangan dan permukiman. Ditambah dengan krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997 utamanya hingga saat ini semakin mendorong pergerakan penduduk masuk ke dalam kawasan hutan untuk bertahan hidup. Masalah tersebut menjadi semakin rumit ketika wilayah-wilayah hutan yang mendapat tekanan adalah wilayah yang berstatus kawasan hutan konservasi dan hutan lindung.

Terhadap masalah-masalah tersebut, pada dasarnya Pemerintah telah melakukan upaya penanganan yang diindikasikan oleh terjadinya perubahan orientasi kebijakan pembangunan kehutanan yaitu: (1) Pergeseran penekanan dari aspek ekonomi (orientasi pada laba/keuntungan) kepada suatu orientasi dengan penekanan keseimbangan aspek sosial, ekologis, dan ekonomi hutan; (2) Pergeseran dari kebijakan dan pengembangan hutan dengan penekanan pada pengelolaan hasil kayu, kepada suatu orientasi dengan penekanan pada


(32)

3

pengelolaan hutan multiguna yaitu bahwa, selain kayu, hutan dapat memberikan keuntungan lain seperti pengaturan hidrologis, produk hutan non-kayu lainnya, rekreasi, dan pengaturan iklim mikro; dan (3) Memberikan penekanan pada pembangunan kehutanan berbasis masyarakat (Community Based Forestry) untuk memperkuat perekonomian daerah dan memberdayakan masyarakat setempat/lokal (Hutabarat, 2001). Selain itu, pemerintah amat menyadari bahwa pengelolaan hutan secara lestari sulit dicapai dengan baik tanpa partisipasi masyarakat setempat.

Kebijakan dan orientasi kebijakan secara konkrit dituangkan ke dalam berbagai produk peraturan dan perundangan yang mengatur desentralisasi pengelolaan sumberdaya hutan. Diberikannya sejumlah kewenangan oleh Pemerintah kepada Propinsi dan Kabupaten/Kota seperti adanya UU Nomor 22 Tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan merupakan suatu contoh devolusi dan telah membentuk tatanan pemerintahan baru, termasuk dalam kebijakan dan pengaturan pengelolaan kehutanan. Selain itu, lahirnya kedua UU tersebut merupakan tanggapan terhadap tekanan sosial, ekonomi, dan politik baik dari dalam negeri maupun dari masyarakat internasional (Hutabarat. 2001). Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999, Pemerintah harus memberikan sebagian besar wewenangnya kepada Propinsi dan Kabupaten/Kota, terutama dalam lingkup kegiatan operasional. Namun hingga tahun 2001, sebanyak 11 buah Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)1 yang menindaklanjuti substansi UU Nomor 41 Tahun 1999 belum juga mendapat pengesahan menjadi Peraturan Pemerintah (PP). Hal tersebut menempatkan Pemerintah dalam posisi yang lemah karena:

1) UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah berlaku efektif Mei 1999; oleh karena berbagai RPP pengelolaan kehutanan belum disahkan, banyak pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota menyusun Peraturan Daerah (Perda) yang bersentuhan dengan pengelolaan kehutanan dengan

1

RPP-RPP tersebut yaitu: 1) Perencanaan Kehutanan, 2) Pengelolaan hutan, 3) Hutan Kota, 4) Hutan Adat, 5) Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan, serta Pelatihan dan Perluasan Hutan, 6) Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Hutan, 7) Reklamasi dan Rehabilitasi Hutan, 8) Perlindungan Hutan, 9) Pengawasan Hutan, dan 10) Hutan Kemasyarakatan, 11) Pengelolaan Dana Reboisasi (Sumber: Wawancara dengan Biro Hukum Departemen Kehutanan, 2002). Baru pada tahun 2002 telah dikeluarkan dua buah PP yaitu PP No. 34 Tahun 2002 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan, Dan PP No.35 Tahun 2002 Tentang Dana Reboisasi.


(33)

Tahun 1999;

2) Seringkali interpretasi tersebut melahirkan berbagai perbedaan visi, misi, dan konsep strategis antar-tataran pemerintah sehingga menimbulkan berbagai konflik; dan

3) Belum selesainya berbagai PP pengelolaan kehutanan yang mengatur lebih jauh tentang pelimpahan wewenang kepada masyarakat misalnya seperti hutan adat, hutan kemasyarakatan, dan derajat partisipasi masyarakat, turut menjadi sumber konflik akibat adanya gugatan-gugatan masyarakat terhadap pengelolaan kehutanan (baik gugatan tentang status dan tataguna hutan) yang belum dapat atau lambat ditangani oleh Pemerintah.

Kondisi Pemerintah bahkan semakin melemah ditambah oleh lunturnya kepercayaan masyarakat akibat memburuknya situasi sosial, ekonomi, dan politik serta kegagalan Pemerintah dalam menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa. Penyelesaian konflik yang tertunda dapat menyebabkan terjadinya eskalasi konflik yang semula mungkin masih dalam taraf tidak ada dan/atau konflik laten akhirnya berubah menjadi konflik terbuka. Menurut Agustino (2001), dalam keadaan Pemerintah terkesan lemah dan lambat dalam menyelesaikan konflik, maka konflik tersebut akan berpotensi anarkis dan menjadi pencetus disintegrasi bangsa, apalagi Negara Indonesia dicirikan oleh masyarakatnya yang pluralis. Saat ini, konflik-konflik yang bersumber pada ketimpangan dan ketidak-adilan pengelolaan sumberdaya alam, termasuk hutan, merupakan salah satu arena konflik yang frekuensinya relatif tinggi di samping konflik-konflik yang bersumber pada perbedaan ideologi politik golongan.

1.2. Perumusan Masalah

Gelombang reformasi 1998 dilatarbelakangi antara lain masalah konflik sosial dan munculnya gejala disintegrasi bangsa. Masalah konflik tersebut diantaranya disebabkan oleh: (1) kekuasaan eksekutif yang terpusat di masa lalu (sebelum diberlakukannya UU No./1999 tentang Pemerintah Daerah yang mengatur penyelenggaraan otonomi daerah), dan; (2) mekanisme hubungan pusat-daerah yang cenderung menganut sentralisasi kekuasaan sehingga menghambat penciptaan keadilan dan pemerataan hasil pembangunan.

Seperti telah dinyatakan dalam Sub-bab 1.1, pengelolaan sumberdaya alam termasuk hutan merupakan salah satu arena konflik yang terjadi di


(34)

5

Indonesia; Dan hal tersebut kembali ditegaskan di dalam RPJMN 2005-2009 untuk rencana-rencana penyelesaian; Namun demikian di dalam RPJMN 2010-2014 pemerintah mengakui bahwa hal tersebut masih belum diterjemahkan dalam bentuk program dan kegiatan yang nyata dan mempengaruhi ketidakjelasan hak dan kewenangan untuk mencapai pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan dan lestari. Pasca tahun 2005, data statistik kasus konflik konflik sumberdaya alam sulit diperoleh, namun pada umumnya masih berkisar pada konflik-konflik laten berdasarkan data tahun 1999 yang belum selesai ditangani. Bahkan beberapa aksus baru muncul, seperti kasus Register 45A anata masyarakat dengan PT Inhutani di Kabupaten Tulang Bawang, Kasus penolakan koversi kawasan hutan lindung Rawa Pacing menjadi perkebunan sawit, kasus enclave Pengekahan dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan di Kecamatan Bengkunat (tahun 2009) dan yang terkini (tahun 2011) adalah konflik kebijakan HTR-HKm-KDTI di yang keduanay berada di Kabupaten Lampung Barat.

Konflik dalam pengelolaan sumberdaya hutan erat kaitannya dengan bagaimana sumberdaya tersebut bisa dimanfaatkan bagi pembangunan masyarakat dan bagaimana kemudian distribusi manfaat tersebut menyebar secara adil dan merata. Menurut Buckles (1999), terdapat empat penyebab timbulnya konflik pengelolaan sumberdaya alam termasuk hutan yaitu:

(1) Adanya perbedaan akses antar aktor sosial dan/atau institusi terhadap pusat kekuasaan, yang memiliki akses biasanya menjadi yang paling mampu mengendalikan dan mempengaruhi keputusan pengelolaan sumberdaya alam menurut kehendaknya. Di dalam sentralisasi kekuasaan, aktor dan institusi di pusat biasanya yang paling berpengaruh karena kekuasaan berada di tangan mereka.

(2) Aktifitas manusia yang mengubah keseimbangan ekosistem di suatu wilayah dapat menimbulkan masalah lingkungan di wilayah lainnya (atau sering disebut dengan istilah negative externalities);

(3) Adanya peningkatan kelangkaan sumberdaya alam (natural resource scarcity) yang disebabkan oleh terjadinya perubahan lingkungan, pertumbuhan penduduk dan peningkatan permintaan, serta pola pendistribusian yang tidak merata; dan

(4) Sumberdaya alam dipergunakan oleh manusia bukanlah semata-mata sebagai material yang diperebutkan, namun juga untuk mendefinisikan


(35)

nelayan, penggembala), identitas etnis, perangkat gender, dan usia. Dimensi-dimensi simbolik sumberdaya alam tersebut membuat manusia menganut ideologi dan etik yang berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan penanganan konflik.

Konflik pengelolaan kawasan hutan banyak terjadi di berbagai daerah termasuk Propinsi Lampung. Pada rentang waktu 1998–1999 jumlah konflik pertanahan di Propinsi Lampung yang muncul ke permukaan adalah 380 kasus termasuk konflik pertanahan yang terjadi dalam pengelolaan kawasan hutan (Rencana Strategis Propinsi Lampung 2001-2005). Sebanyak 220 kasus muncul sepanjang Januari-September 1999 dan baru sebesar 20% telah diselesaikan baik melalui peradilan maupun di luar sistem peradilan dengan musyawarah dan mufakat (Gubernur Propinsi Lampung, 2000); sisanya belum ada penyelesaian dan bahkan cenderung semakin berlarut-larut. Hingga tahun 1999, terdapat sebanyak 43 kasus konflik pengelolaan kawasan hutan terjadi di Propinsi Lampung (Lampiran 1), sebuah contoh kasus diantaranya terjadi di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Kabupaten Lampung Barat. Konflik di kawasan tersebut dipicu oleh kegiatan masyarakat yang menggarap lahan di dalam kawasan menjadi lahan pertanian dan bahkan ada yang sudah tinggal secara permanen. Konflik di lokasi tersebut diduga telah melibatkan berbagai pihak dengan perbedaan kepentingannya masing-masing dan diduga berpengaruh terhadap fungsi lingkungan dari hutan.

Penyebab konflik pengelolaan sumberdaya hutan yang terjadi di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis memiliki kemiripan dengan pernyataan Buckles (1999) tentang sebab-sebab konflik dalam pengelolaan sumberdaya alam. Oleh karenanya penting untuk mengetahui hal-hal yang menjadi penyebab konflik dan apa saja akibat yang ditimbulkan terutama berkaitan dengan fungsi lingkungan dari hutan. Pertanyaan penelitian yang ingin diperoleh jawabannya dari konflik yang terjadi di lokasi adalah:

1) Dari perspektif kebijakan kehutanan, pengelolaan lingkungan hidup, agraria, tata ruang, dan otonomi daerah, bagaimanakah pelaksanaan penanganan konflik lingkungan dalam pengelolaan kehutanan di Propinsi Lampung khususnya di kawasan hutan lindung lokasi penelitian?

a. Apakah kebijakan-kebijakan tersebut bisa berjalan secara operasional?


(36)

7

b. Apakah secara struktural kebijakan tersebut diselenggarakan secara konsisten di setiap tataran pemerintah?

c. Adakah konflik yang ditimbulkan?

d. Apakah pelaksanaan kebijakan tersebut mampu memberi solusi untuk penanganan konflik? Ataukah sebaliknya justru mengeskalasi konflik? 2) Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi terjadinya konflik pengelolaan

kawasan hutan di lokasi penelitian?

3) Bagaimanakah gaya konflik yang dilakukan oleh masing-masing pihak yang terlibat konflik? Siapa sajakah pihak-pihak yang berkonflik? Apa tipe konflik yang terjadi dan bagaimana bentuk polarisasinya?

4) Sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah, bagaimanakah sebaiknya penanganan konflik yang berkaitan dengan pengendalian fungsi lingkungan dari hutan tersebut dilakukan/diputuskan?

1.3. Kerangka Pemikiran Pemecahan Masalah

Kondisi krisis yang dihadapi oleh Indonesia saat ini sangat kompleks dan bersifat multi-dimensional sehingga membutuhkan penanganan yang serius dan bersungguh-sungguh. Kegagalan pembangunan di masa lalu sebagai akibat dari sentralisasi sistem pemerintahan dirasakan menjadi satu diantara penyebab-penyebab lainnya termasuk belum terselenggarakan sistem pemerintahan yang baik (good governance).

Menghadapi hal tersebut, pemerintah secara bertahap melakukan langkah-langkah desentralisasi kewenangan berbagai sektor pembangunan. Langkah desentralisasi sistem penyelenggaraan pemerintahan dilakukan melalui kerangka kebijakan otonomi daerah. Hal tersebut diantaranya didukung oleh upaya desentralisasi kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, termasuk sumberdaya hutan. Dalam pengelolaan sumberdaya hutan, desentralisasi juga menyentuh pengelolaan kawasan hutan lindung.

Secara umum, hutan memiliki fungsi lingkungan yang meliputi fungsi ekonomis, fungsi sosial, fungsi ekologis, dan bahkan politis. Demikian pula halnya dengan fungsi lingkungan dari kawasan hutan lindung. U.U. Nomor 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Seiring dengan


(37)

dalam Sub-bab 1.1, pemerintah sedang berupaya mengembangkan sistem pengelolaan hutan dengan pendekatan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM), termasuk dalam pengelolaan kawasan hutan lindung, dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungannya.

Permasalahannya, dari berbagai kasus di lapang, pengelolaan kawasan hutan tersebut sering tidak sesuai dengan fungsi lingkungan (dalam arti luas) yang justru menjadi permintaan, kebutuhan, dan tuntutan masyarakat lokal2, khususnya masyarakat yang menggantungkan mata pencaharian dan hidupnya pada kawasan hutan. Tidak jarang ketidak-sesuaian tersebut menimbulkan berbagai konflik baik konflik land tenure (status dan kepemilikan lahan) maupun konflik akses pengelolaan lahan.

Konflik status dan kepemilikan lahan serta akses pengelolaan merupakan konflik lingkungan yang sering terjadi dalam pengelolaan kawasan hutan lindung. Proses penunjukkan dan penetapan status dan tataguna kawasan hutan tersebut yang diikuti dengan konstruksi tata batas dan zonasi kawasan, seringkali dilakukan secara “sepihak” oleh pemerintah tanpa memperhatikan interaksi yang terjadi antara komunitas masyarakat lokal dengan sumberdaya alam yang tersedia di dalam kawasan. Prosesnya cenderung dilakukan tanpa menyertakan partisipasi masyarakat terutama mereka yang telah tinggal menetap antar generasi di dalam dan atau sekitar hutan, yang membentuk komunitas, yang memiliki kesamaan mata pencaharian yang berkaitan dengan hutan, kesamaan sejarah demografi, keterikatan tempat tinggal, serta nilai-nilai kehidupan sosial. Di tingkat lapang, konflik tersebut seringkali ditangani oleh pemerintah melalui pendekatan represif berdasarkan peraturan/perundangan yang “berlaku” dan blueprint tanpa memperhatikan akar masalah yang menyebabkan mengapa masyarakat melakukan gugatan. Tidak jarang, pendekatan represif yang dilakukan tersebut justru malah menimbulkan kerusuhan-kerusuhan sosial yang tidak diharapkan. Gugatan status dan kepemilikan lahan dalam kawasan hutan yang berkaitan dengan hak masyarakat hukum adat atas lahan misalnya, merupakan suatu bentuk perjuangan identitas diri atau simbol sosial dari

2

Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan, masyarakat setempat (lokal) adalah kesatuan sosial yang terdiri dari warga negara Republik Indonesia yang tinggal di dalam dan atau sekitar hutan, yang membentuk komunitas, yang didasarkan pada kesamaan mata pencaharian yang berkaitan dengan hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal, serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama.


(38)

9

komunitas adat berkaitan. Sedangkan gugatan serupa yang datangnya dari masyarakat pendatang yang telah lama menetap, merupakan akibat dari “ketidak-benaran atau pemutarbalikkan” sejarah status dan kepemilikan lahan sebelum kawasan tersebut ditetapkan menjadi kawasan hutan negara.

Lemahnya upaya pemerintah dalam menyelesaikan konflik status kepemilikan dan akses pengelolaan lahan kawasan hutan cenderung berpotensi menyulut konflik-konflik lingkungan lainnya. “Pendudukan kembali” atas lahan gugatan yang dilakukan oleh komunitas tertentu biasanya cenderung diikuti oleh konversi lahan ke dalam bentuk penggunaan lain. Masalah lingkungan berikutnya akan timbul ketika konversi lahan tersebut menjadi suatu proses deforestasi tidak dapat balik (irreversible deforestation) yang menuju kepada degradasi hutan berikut fungsi lingkungannya dan berpengaruh negatif terhadap wilayah lainnya.

Seperti telah dinyatakan pada Sub-bab 1.2, menurut Buckles (1999) terdapat empat kelompok masalah yang mempengaruhi terjadinya konflik pengelolaan sumberdaya alam termasuk hutan yaitu (1) eksternalitas negatif, (2) kelangkaan sumberdaya alam, (3) ketimpangan distribusi penguasaan sumberdaya alam, dan (4) perbedaan etik lingkungan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan penanganan konflik.

Eksternalitas negatif terjadi karena sumberdaya alam tercakup (embedded) di dalam suatu lingkungan yang masing-masing komponennya saling berinteraksi sehingga aktivitas manusia yang mengubah keseimbangan ekosistem di suatu wilayah dapat menimbulkan pengaruh dan dampak lingkungan di wilayah lainnya (Buckles, 1999). Eksternalitas negatif juga mencakup faktor eksternal yang mengakibatkan seseorang mengelola sumberdaya alam yang menurut pendapat umum dilakukan secara tidak lestari misalnya konversi lahan hutan. Dikaitkan dengan kondisi lapang di lokasi penelitian, beberapa peubah eksternalitas negatif yang diduga menjadi penyebab seseorang memutuskan untuk mengkonversi lahan hutan adalah: (1) bencana alam antropogenik yang menimpa kegiatan pertanian di luar kawasan, (2) harga komoditas yang nantinya akan dibudidayakan di dalam kawasan, (3) informasi pasar yang berkaitan tentang kepastian harga komoditas, (4) pengaruh pasar yang berkaitan dengan kepastian akan aktor yang akan membeli/menampung komoditas yang dihasilkan, dan (5) ketersediaan sarana pendukung terutama jaringan transportasi ke bidang lahan yang dikonversi (lihat Sub-model A Gambar 1.1).


(39)

yang ketersediaannya tidak tak terbatas. Peningkatan pertumbuhan penduduk perlu diimbangi dengan ketersediaan berbagai bahan pokok seperti produk primer sektor pertanian secara memadai. Di daerah perdesaan terutama di negara-negara berkembang yang memiliki ciri negara agraris, umumnya ketersedian lahan adalah faktor penentu dan merupakan salah satu natural capital yang penting bagi kelangsungan kegiatan pertanian. Oleh karenanya,

kelangkaan sumberdaya lahan pertanian yang tersedia di perdesaan dapat

memicu terjadinya tekanan penduduk terhadap lahan yang diikuti oleh konversi lahan non-pertanian yang relatif masih subur (dan umumnya lahan tersebut adalah lahan hutan) (Buckles, 1999). Kelangkaan tersebut termasuk kelangkaan status kepemilikan lahan. Dari berbagai kasus, konflik lingkungan akan semakin mudah mencuat apabila ada desakan ekonomi seperti rendahnya pendapatan rumah tangga sehingga mendorong seseorang masuk ke dalam kawasan hutan diikuti dengan konversi lahan secara tak terkendali dan “ilegal” karena kawasan tersebut berdasarkan statusnya diperuntukkan sebagai kawasan hutan lindung. Di lokasi penelitian, peubah-peubah: (1) luas penguasaan lahan pertanian di luar kawasan, (2) status kepemilikan lahan pertanian di luar kawasan, dan (3) pendapatan rumah tangga diduga mempengaruhi persepsi responden bahwa kebutuhan lahan pertanian perlu ditingkatkan (Sub-model C Gambar 1.1).

Konflik lingkungan dalam pengelolaan sumberdaya alam terjadi karena sumberdaya alam tercakup di dalam suatu pembagian ruang sosial (shared social space) yang kompleks dan memiliki hubungan yang tidak merata yang terbangun oleh proses interaksi antar-aktor sosial sehingga terjadi ketimpangan distribusi penguasaan dan perbedaan akses (keterlibatan dan hak) individu dan/atau kelompok masyarakat dalam mengelola kawasan hutan (Buckles, 1999) sehingga menimbulkan ketimpangan struktural (Moore, 1996). Di dalam dimensi politik, aktor sosial yang memiliki akses terbesar ke pusat kekuasan biasanya menjadi yang paling mampu mengkontrol dan mempengaruhi keputusan pengelolaan sumberdaya alam3. Pada kondisi sebaliknya, aktor sosial yang jauh dari pusat kekuasaan biasanya cenderung menjadi komunitas

3

Contoh kasus di Sudan Utara, para tuan tanah yang umumnya memiliki status sosial seperti pengusaha, pegawai pemerintah, pensiunan jendral, dan politikus menggunakan “koneksinya” dalam memperoleh akses kedekatan dengan pemerintah untuk memperoleh pembukaan lahan di Pegunungan Nuba, Kordofan Selatan, dan bahkan sebaliknya, Pemerintah Sudan membantu mereka (secara diskriminatif) untuk memperoleh lahan yang terbaik (Buckles, 1999).


(40)

11

yang tersubordinasi dan lemah (powerless) (Fisher,S. 2001; Wijardjo, dkk. 2001; Fauzi, 2000; Borini dan Feyerabend, 2000; Robinson, 1998). Selain itu, mereka umumnya dicirikan sebagai kelompok masyarakat yang hampir tak pernah dilibatkan untuk berpartisipasi secara utuh dalam rangkaian proses perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, hingga pengendalian pengelolaan sumberdaya alam (Borini dan Feyerabend, 2000; Merchant, 1992). Kelompok masyarakat tersebut umumnya adalah mereka bermukim di dalam dan/atau di sekitar hutan dan bahkan memiliki keterikatan sejarah dengan perubahan status kawasan hutan tersebut (Wijardjo, dkk. 2001). Kelompok tersebut pada umumnya memiliki tingkat kesejahteraan sosial yang rendah serta lemah dalam pengetahuan terkini terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah spesifik yang belum terpecahkan misalnya konflik. Di lapang, ciri-ciri tersebut diduga terdapat pada kasus konflik yang diteliti. Berdasarkan kondisi yang ada, diduga tingkat ordinasi seseorang dipengaruhi oleh (1) tingkat partisipasi individu yang bersangkutan, (2) tingkat kesejahteraan sosial, dan (3) tingkat keberdayaan pengetahuan dalam penanganan konflik. (Lihat Sub-model B Gambar 1.1).

Ketimpangan struktural juga dapat diindikasikan oleh frekuensi keterlibatan seseorang secara aktif dalam menegosiasikan kepentingannya (Kriesberg, 1998). Seseorang pesengketa cenderung akan terlibat secara aktif apabila yang bersangkutan memiliki pemahaman dan/atau persepsi4 yang baik terhadap hal-hal yang berkaitan dengan segala peluang baginya sehingga memiliki posisi tawar yang kuat. Pada saat ini, berkaitan dengan konflik lingkungan dalam pengelolaan kawasan hutan lindung setidaknya diperlukan pemahaman tentang: (1) status kawasan hutan negara, (2) fungsi lingkungan suatu kawasan hutan, dan (3) desentralisasi pengelolaan kawasan hutan khususnya di Indonesia. Di lokasi penelitian ketiga faktor tersebut diduga mempengaruhi seseorang pesengketa untuk menegosiasikan kepentingannya. (Lihat Sub-model B Gambar 1.1). Di samping itu, ada faktor penting lainnya yaitu: (4) adanya tindakan represif dari pihak luar sehingga seseorang menjadi takut dan tidak mau bernegosiasi.

Selain itu, konflik lingkungan dalam pengelolaan sumberdaya hutan juga disebabkan oleh perbedaan persepsi para pihak dalam memandang fungsi hutan. Hal tersebut sesuai dengan pandangan Buckles (1999) bahwa konflik


(41)

antara sumberdaya alam sebagai sumber material versus sebagai simbol sosial. Di lokasi penelitian, yang diduga menjadi penyebab konflik adalah perbedaan persepsi atas hal-hal yang berkaitan dengan fungsi lingkungan dari hutan, pemahaman tentang kebijakan desentralisasi pengelolaan kawasan hutan, dan pemahanan tentang definisi status kawasan hutan. Pada kasus penelitian, peubah-peubah yang diduga menjadi penyebab perbedaan persepsi karena perbedaan karakteristik responden yaitu: (1) tingkat pendidikan, (2) lama tinggal di kawasan baik secara menetap atau tidak menetap, dan (3) kosmopolitansi seseorang dalam menerima pengetahuan dari luar.

Tabel 1.1 Keterangan Gambar 1.1 Bagan Alir Kerangka Pemikiran Hubungan Pengaruh Model Faktor-faktor Yang Menimbulkan Konflik Lingkungan

Sub-model A (Eksternalitas)

BAA = Bencana alam antropogenik (X1) HK = Harga komoditi (X2) IF = Informasi pasar (X3)

PP = Pengaruh Pasar (X4) SP = Sarana pendukung (X5)

KKLK = Keputusan Konversi Lahan Kawasan Oleh Responden (X6) Sub Model B (Persepsi dan ketimpangan struktural)

TKPR = Tingkat partisipasi responden (X7)

TKSS = Tingkat kesejahteraan sosial responden (X8) TKDR = Tingkat keberdayaan responden (X9) TKOR = Tingkat ordinasi responden (X10) LTRP = Tindakan represif oleh pemerintah (X11)

PKHN = Persepsi tentang status kawasan hutan negara (X12) PFLH = Persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan (X13)

PDPK = Persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan (X14) LPDN = Keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan negosiasi (X15) TPDR = Tingkat pendidikan pesponden (X16)

SKR = Lama tinggal di kawasan (X17) KR = Kosmopolitansi responden (X18) Sub Model C (Kelangkaan)

KTLP = Penguasaan lahan Pertanian di luar kawasan (X19)

TPDK = Status kepemilikan lahan pertanian yang dikuasai di luar kawasan (X20) PRR = Pendapatan Rumahtangga Responden Di Luar Kawasan (X21)

PKLT = Persepsi Tingkat Kebutuhan Lahan Pertanian tambahan (X22) Sub Model D (Etik Lingkungan)

PAR = Etik Antroposentris (X23) PER = Etik Ekosentris (X24)

PRTA = Manifestasi Etika Lingkungan (X25) ESKO = ESKALASI KONFLIK (X26)

4

Persepsi adalah proses kognitif yang terjadi pada seseorang dalam memahami dan menafsirkan informasi lingkungannya yang diperoleh melalui sensor indranya (Thoha, 1988).

5

Menurut Sarwono (1999), perbedaan persepsi antar individu dan/atau komunitas sosial disebabkan oleh adanya perbedaan-perbedaan dalam hal perhatian, harapan,


(42)

13

Gambar 1.1 Bagan Alir Kerangka Pemikiran Hubungan Pengaruh Model Faktor-faktor Yang Menimbulkan Konflik Lingkungan KTLP

KKLK SP

HK

IF BAA

LPDN PKHN

LTRP PFLH

TKOR

TKPR

TKDR TKSS

ESKO

PRR PKLT

TPDK

PDPK

Sub Model A: Eksternalitas

Sub Model B: Persepsi dan Ketimpangan Struktural

Sub Model C: Kelangkaan

SKR TPDR

KR

PAR

PER PRTA

Sub Model D: Etik Lingkungan


(43)

konflik pengelolaan sumberdaya alam. Menurut Merchant (1992), etik lingkungan adalah suatu keyakinan tentang keterkaitan antara tata sosial seseorang/kelompok terhadap kelestarian lingkungan hidup disekitarnya yang kemudian dimanifestasikan dalam praktik kehidupannya sehari-hari. Ada tiga etik lingkungan yang terdapat dalam hubungan antara manusia dengan lingkungan yaitu: (1) etik egosentris/antroposentris, (2) etik homosentris/sosiosentris, dan (3) etik ekosentris. Pandangan lain ada yang menyatukan etik egosentris dan homosentris ke dalam satu kelompok yang disebut etik antroposentris, sementara etik ekosentris tetap di dalam kelompok tersendiri. Di dalam penelitian ini, diduga praktik etik lingkungan yang terjadi pada suatu konflik dipengaruhi oleh etik antroposentris dan etik ekosentris seseorang/kelompok. (Lihat Sub-model D Gambar 1.1).

Penanganan konflik lingkungan dalam pengelolaan hutan bukan produksi memerlukan kajian awal terhadap data, informasi, dan fakta yang berkaitan dengan: (1) masalah-masalah penyebab konflik atau sering disebut dengan akar konflik, (2) pengetahuan tentang gaya konflik (conflict styles) yang dimanifestasikan oleh masing-masing pihak yang terlibat konflik, (3) tipe konflik, dan (4) polarisasi sifat konflik. Hubungan saling pengaruh antara keempat komponen tersebut kemudian menggambarkan suatu peta konflik.

Akar konflik merupakan perbedaan-perbedaan fundamental yang menyebabkan mengapa suatu konflik terjadi. Dari perbedaan tersebut, masing-masing pihak yang terlibat konflik umumnya memanifestasikan responnya terhadap konflik yang dihadapi melalui gaya konflik yang berkaitan dengan kepeduliannya terhadap kepentingan individu/kelompoknya sendiri dan/atau kepentingan individu/kelompok lainnya. Gaya konflik seseorang atau sekelompok masyarakat terhadap orang/kelompok pihak lain dapat berbentuk saling menghindar, menekan, kompromi, akomodasi, dan kerjasama. Tingkat perbedaan sasaran akan mempengaruhi perilaku para pihak yang berkonflik dan membentuk tipe-tipe konflik yang terjadi seperti apakah tipe konflik tersebut terbuka dan mudah diidentifikasi langsung atau konflik tersebut tertutup/laten sehingga memerlukan identifikasi khusus. Mengingat banyak pihak yang berkepentingan dengan pengelolaan kawasan hutan lindung, pihak-pihak yang memiliki kepentingan yang sama biasanya cenderung akan berkelompok, sedangkan yang memiliki kepentingan yang berbeda cenderung akan


(1)

2. Tehnik Memilih Skenario

(Alternatif Scenario)

Tujuan :

Menilai/menguji skenario-skenario alternative menuju masa depan ideal Tahapan :

1. Buatlah suatu daftar skenario ideal terpilih yang sudah disepakati. Bagian 1 : Kriteria Evaluasi, Skala dan Indikator

2. Diskusikan kriteria (wktu, biaya, SDM, dan keberlanjutan) yang dibutuhkan untuk menilai/menguji manfaat dari seluruh skenario; masukkan kedalam kolom 1.

3. Pada baris paling atas, masukkan skala maksimum yang akan digunakan untuk menilai/menguji pilihan-pilihan anda

4. Diskusikan bobot relatif dari masing-masing kriteria dan sesuaikan skala tiap-tiap kriteria tersebut (misalnya, skala dapat bervariasi dari 1 sampai 5, 1 sampai 7 atau 1 sampai 9).

5. Diskusikan dan masukkan indikator-indikator bagi seluruh kriteria ke dalam masing-masing ruang/sel (misalnya, biaya 1 sampai dengan 3 = kurang dari 100 ribu rupiah)

Tabel. Skenario Alternatif Untuk Opsi yang diinginkan (Preferred Options) untuk PELEPASAN SESUAI PROSEDUR (imajiner)

Kriteria

Skala (dapat bervariasi)

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Biaya (Rp.juta)

201-250

15l-200

101-150 51-100 l-50

Waktu (bln) 0-27 0-24 0-21 0-18 0-15 0-12 0-9 0-6 0-3

Ketersediaan SDM

Langk

a Sedikit

Banya k

Cukup Berlebi

han

Keberlanjutan (dilihat dari

dukungan semua pihak)

Tidak Mendu kung

Tidak mendu kung, tapi tidak mengh

alangi

Ragu-ragu

Setuju bersya rat

Mendu kung Penuh

6. Gambar sebuah tabel Penilaian/Pengujian Pilihan di bawah; masukkan daftar skenario ke dalam kolom-1 tabel di bawah.


(2)

7. Pada baris paling atas, masukkan daftar kriteria dan indikasikan nilai maksimumnya dalam tanda kurung.

8. Gunakanlah tiap-tiap kriteria untuk menilai/menguji pilihan-pilihan yang ada satu-persatu dan catat hasil perkiraan atau penilaian dalam masing-masing ruang/sel yang terkait; gunakan dua kolom terakhir untuk menjumlahkan nilai dan mencatat pemeringkatan terakhir satu persatu. Tabel. PENGUJIAN BEBEBARAPA SKENARIO PENYELESAIAN KONFLIK

STATUS LAHAN.

Pilihan

KRITERIA Peringkat

Biaya (max 7)

Waktu Ketersediaan SDM

Keberlanjut an

Jumlah Sesuai

Prosedur

5 6 3 9 23 1

Relokasi 1 1 4 1 7 3

Ukur Ulang

5 6 2 5 18 2

Tata Ruang

1 5 3 9 18 2

9. (Bisa dilakukan di lain waktu) Setelah merampungkan analisis, lanjutkan dengan Project Manager Analisis untuk merancang aktivitas apa yang dibutuhkan untuk menjalankan alternative apa yang dipilih; catat setiap keputusan atau kebijakan riset-aksi management yang tepat guna bgi setiap aktivitas (manusia/orang, tujuan-sasaran, jangka waktu,) metoda, informasi, sumberdaya.


(3)

3. Tehnik Pilihan yang dikehendaki dan Gradient Polling;

(Preferred Options and Gradient Polling)

Tujuan :

Menentukan tingkat dukungan yang layak/pantas sebagaimana diperlukan untuk mewujudkan suatu rencana atau mewujudkan pilihan yang diutamakan.

Tahapan :

1. Pilih dan rumuskan suatu rencana atau skenario pilihan tertentu yang jelas untu dipaparkan kepada kelompok dalam rangka mengantisipasi keputusan yang akan diambil.

Bagian I : Merumuskan Tingkat Dukungan yang Dibutuhkan

2. Ukur tingkat kesepakatan yang diperlukan untuk menjamin penerimaan usulan/proposal tersebut; anggota kelompok dapat mendiskusikan faktor-faktor yang menunjuk pada kebutuhan untuk memberikan dukungan penuh (enthusiastic), seperti yang dirangkumkan ke dalam daftar di bawah; hapus, formulasikan ulang atau tambahkan faktor-faktor lain bilamana perlu, dengan menggunakan formulasi yang cenderung mendukung pencarian dukungan penuh (ethusiastic support).

3. Isi table di atas, indikasikan nilai yang relevan bagi tiap factor sebagaimana berlaku utuk pilihan yang diutamakan atau rencana yang diusulkan; gunakan skala 1 s/d 9 bagi semua factor; atau variasikan skala enurut tingkat kepentingan tiap factor; kata-kata atau gambar dapat dipergunakan untuk merumuskan makna tiap nilai/angka

USULAN/SKENARIO: ……….. ………. SKALA YANG

DISARANKAN :

1= Salah (tidak berlaku), 9= Benar (berlaku sepenuhnya) KRITERIA PENGUKURAN/

PENILAIAN :

Keseluruhan Tingkat Kepentingan Hasil

(Taruhannya tinggi dan konsekuensi kegagalan sangat berat )

Nilai ... Keberlanjutan/Umur Hasil Yang Diharapkan

(Keputusan tidak dapat ditarik kembali)

Nilai ………. Kebutuhan Untuk Melibatkan Pemangku Kepentingan

(Banyak pemangku kepentingan akan terpengaruh secara signifikan)

Nilai ……….

Pemberdayaan Anggota Kelompok

(Pemangku kepentingan harus dilibatkan dalam keseluruhan proses)

Nilai………..

Nilai Prosentase (total score/maximum score) …………..% .


(4)

4. Untuk mengubahnya ke dalam nilai prosentase, jumlahkan total nilai dan bagi hasilnya dengan nilai maksimum (total dari semua nilai maksimum); semakin tinggi prosentasenya, semakin tinggi kebutuhan akan dukungan penuh sebagauimana diekspresikan melalui gradient polling

5. Sebelum melakukan pemungutan suara akhir atau mengambil keputusan, anggota kelompok mungkin ingin melakukan polling pendapat dan mendiskusikan tingkatan dukungan atau non dukungan berkenaan dengan usulan tertentu, dengan menggunakan skala kesetujuan terdiri dari (kurang lebih 9) gradients seperti :

Bagian II. Gradient Polling

SKALA DUKUNGAN

1 3 5 7 9

DUKUNGAN

Menolak Tidak suka, tetapi tidak akan meng

halangi

Ragu-ragu Setuju dengan catatan

Mendukung

Apabila akan dilakukan tingkat dukungan kolektif dari semua pihak, maka hitung nilai rata-rata dukungan = (Jumlah total nilai dukungan)/jumlah pihak = x.

Lalu masukkan nilai “x” tersebut ke dalam tabel berikut untuk memperoleh nilai dukungan kolektif semua pihak.

SKALA DUKUNGAN

1-2,5 2,6-4 4,1-5,5 5,6-7 7,1-9 DUKUNGAN

KOLEKTIF

Menolak Tidak suka, tetapi tidak akan meng

halangi

Ragu-ragu Setuju dengan catatan

Mendukung

6. Kecenderungan individual dipetakan ke dalam skala yang dipilih dapat dihitung dengan menggunakan satu dari empat metoda :

- Angkat tangan

- Pernyataan verbal (tanpa diskusi) - Penunjukkan kartu (card display)

- Perhitungan suara rahasia (secret ballot) TIPS FASILITATOR

7. Hasilnya dapat dicatatkan ke atas flipchart, dan seketika memberikan gambaran yang jelas tentang tingkat dukungan atau penolakan kelompok terhadap suatu usulan tertentu.

: Pada situasi konflik dimana masih terdapat kesungkanan pihak lemah kepada pihak kuat, sebaiknya menggunakan perhitungan suara rahasia.

TIPS FASILITATOR: Jika ada indikasi bahwa pernyataan dukungan para pihak ingin dirahasiakan, maka pada saat penayangan, lakukan kodifikasi terhadap pemangku sehingga identitasnya tidak diketahui oleh pemangku lain (yang tahu hanya fasilitator dan kerahasiaannya dijamin).


(5)

4. Tehnik pemantauan: Bagaimana Jika.... (What if)

Tujuan :

Membantu para pihak menghadapi faktor-faktor yang sulit diduga dalam mewujudkan pilihan yang diutamakan

Tahapan :

1. Buat daftar faktor-faktor INPUT kunci (forces) yang secara langsung berpengaruh terhadap pelaksanaan skenario karena faktor tersebut sulit diprediksi. Lalu pilih yang paling menjadi kunci. Misalnya:

• Judul: SKENARIO PELEPASAN KAWASAN • Daftar input penting:

• Ketersediaan Dana • Provokator/spekulan • Perubahan kebijakan

• Pilih faktor input terpenting tapi susah diprediksi: Ketersediaan Dana • Lalu ukur tingkat kesulitannya, misal:

( Ketersediaan dana: mudah di prediksi (10)  sulit diprediksi (1)) 2. Buat beberapa faktor yang mencirikan dampak positif dari skenario

terpilih, lalu pilih satu dampak positif yang diharapkan. • Judul: SKENARIO PELEPASAN KAWASAN • Daftar dampak positif:

• Kepastian pemilikan lahan bagi masyarakat. • Wilayah desa semakin definitif.

• Kerawanan sosial bisa dicegah. • Kerusakan lingkungan bisa dicegah. • Mencegah laju perambahan

• Dampak positif yang paling diharapkan: • Lalu ukur tingkat dampaknya, misal:

Kepastian pemilikan lahan bagi masyarakat.

( Dampak positif: Tinggi (10)  rendah (1))

3. Tempatkan kedua faktor tersebut sepanjang poros/garis vertikal dan horizontal pada matriks tunggal (lihat contoh di bawah), dengan kedua ujung dari masing-masing poros/garis merujuk pada hasil (outcomes) yang paling berlawanan (misalnya pemerintah yang baru terpilih versus pemerintahan yang sama dipilih kembali); matriks yang dihasilkan akan memuat empat kuadran yang mewakili atau menunjuk pada skenario-skenario yang paling berbeda, tidak pasti dan signifikan serta besar pengaruhnya terhadap suatu situasi atau rencana tertentu.


(6)

Gambar 1. Diagram Scatter But What if...?

4. Diksusikan posisi masing-masing skenario. Apabila pada posisi tersebut skenario memiliki indikator tidak pasti, maka diskusikan jalan keluarnya.

Pemilikan lahan, pasti Dana pasti tersedia

Dana tidak pasti tersedia Pemilikan lahan

tidak pasti

Dana pasti, pemilikan lahan pasti Dana pasti, pemilikan

lahan tidak pasti

Dana tidak pasti, pemilikan lahan tidak pasti

Dana tidak pasti, pemilikan lahan pasti 0

10 10

0