Latar Belakang Strategi mitigasi tsunami berbasis ekosistem mangrove dalam aplikasi pemanfaatan ruang pantai timur Pulau Weh
Sebagaimana diketahui wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu wilayah yang unik
secara geologis, ekologis, dan merupakan domain biologis yang sangat penting bagi banyak kehidupan di daratan dan di perairan termasuk manusia Beatley et
al. 1994. Namun wilayah pesisir rentan akan bencana alam, sehingga diperlukan penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana untuk mengeliminasi kerusakan
jiwa dan materi. Salah satu wilayah pesisir yang memiliki sumberdaya hayati dan rentan
akan bencana gempa bumi dan tsunami adalah Pulau Weh. Pulau Weh memiliki keanekaragaman terumbu karang, ikan hias dan panorama pesisir pantai menjadi
daerah objek tujuan wisata bahari. Lokasi yang memiliki keaneka ragaman hayati berada di Pulau Rubiah sehingga berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian
No. 928KptsUm121982 tanggal 27 Desember 1982 perairan Pulau Rubiah dengan luas 26 km
2
ditetapkan menjadi Taman Laut sedangkan di Pulau Weh
Keterangan Kecepatan gerak dari lempeng
Kecepatan gerak dari lokasi tempat pengukuran monumen GPS antara tahun 1989 dan 2002
U
Gambar 1. Dinamika umum tektonik Indonesia diperlihatkan oleh respon Kep. Indonesia terhadap pergerakan relatif tiga lempeng bumi dari
data GPS Bock 2003
khususnya di sekitar Km Nol yang berada di ujung Barat Laut Pulau Weh ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam seluas 13 km
2
. Daya tarik wisata bawah laut seperti berbagai jenis terumbu karang, menjadi
rusak akibat bencana gempa bumi dan tsunami. Kerusakan yang umum terjadi adalah terangkatnya terumbu karang, terumbu karang patah dan pecah karena
gelombang. Kerusakan tidak hanya di ekosistem pantai, mangrove dan terumbu karang tetapi juga diikuti dengan kerusakan infrastruktur. Kerusakan
infrastruktur terjadi di kawasan wisata bahari sekitar pantai Iboih dan Pulau Rubiah. Bentuk kerusakan umumnya berupa rusaknya dermaga, bungalow,
pertokoan dan kedai makan. Berdasarkan saksi mata gelombang tsunami menerjang pesisir pantai terjadi sebanyak tiga kali, dengan variasi tinggi
gelombang datang run up antara 2 m sampai 5 m dan daerah genanganinundasi sejauh 30 m hingga 50 m dari garis pantai dan kedalaman inundasi antara 50 cm
hingga 1 m. Kerusakan ekosistem sumberdaya alam seperti contohnya terumbu karang,
tampak beberapa koloni terumbu karang ditemukan ada yang patah, terbalik dan mati tertutup sedimen. Komunitas karang yang paling banyak mengalami
kerusakan adalah karang keras. Umumnya kerusakan terumbu karang terjadi pada lapisan yang tidak padat, mudah lepas dan berada di lereng. Dapat pula terjadi di
perairan yang dangkal berada di cekungan antara dua pulau, terumbu karang rusak lebih besar dibandingkan yang berada di perairan lepas contoh di sekitar Pantai
Iboih Baird et al. 2005. Morfologi cekungan dasar laut yang terletak diantara dua pulau, menyebabkan energi yang dihempaskan semakin tinggi ketika
mencapai teluk dan lekukan pantai, berkumpulnya energi gelombang yang berasal dari laut lepas ketika gelombang masuk celah yang sempit Diposaptono dan
Budiman 2008. Selanjutnya kerusakan ekosistem mangrove akibat gelombang tsunami
terjadi di sekitar pantai Lam Nibong, pantai Lhut dan Teupin Layee. Kondisi mangrove tampak ada yang tumbang, patah, tercabut dari akarnya dan hanyut.
Jenis mangrove yang terdapat di lokasi tersebut antara lain Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Sonneratia alba, Xylocarpus granatum, Bruguiera
sexangula dan Bruguiera gymnorrhiza. Pasca tsunami masyarakat di sekitar
Pantai Iboih menanam mangrove spesies Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa dan Rhizophora apiculata, sesuai dengan keberadaan habitat mangrove
sebelumnya. Penanaman mangrove merupakan bantuan dari Japan Red Cross bekerja sama dengan PMI. Tujuan utama dari penanaman mangrove adalah untuk
perlindungan pantai dari tsunami. Dengan memperhatikan kondisi kerusakan akibat gempabumi dan tsunami
maka penataan wilayah pesisir perlu berbasis mitigasi bencana sesuai dengan pasal 56 Bab X dalam UU No. 27 tahun 2007 yang berisi: Dalam menyusun
rencana pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu, Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah wajib memasukkan dan
melaksanakan bagian yang memuat mitigasi bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan jenis, tingkat dan wilayahnya. Oleh karena itu
penelitian ini membahas Strategi Mitigasi Pemanfaatan Ruang Pesisir Pantai Timur Pulau Weh Berbasis Ekosistem Mangrove.