Karakter Tsunami Pengertian Tsunami

24 Gambar 8. Karakteristik tsunami di lautan lepas saat mendekati pantai. Meijde 2005 Setelah sampai di pantai gelombang naikgelombang datang run up ke daratan dengan kecepatan tinggi yang bisa menghancurkan kehidupan di daerah pantai. Wilayah yang mempunyai dataran rendah bisa jadi tergenang. Kembalinya air laut setelah mencapai puncak gelombang run down bisa menyeret segala sesuatu kembali ke laut. Triatmodjo 1999. Kerusakan akibat tsunami diketahui dari survei pasca tsunami dengan memperhatikan karakteristik tsunami yang meliputi tinggi gelombang datang run up dan dampak yang ditimbulkan oleh tsunami. Run up tsunami didefinisikan sebagai elevasi air laut vertikal yang dapat dicapai oleh tsunami ke arah darat diukur dari muka air laut rata-rata MSL atau garis pantai saat tsunami Gambar 9. Estimasi hubungan antara gempabumi dengan ketinggian gelombang datang run up tsunami dapat ditunjukkan pada Tabel 3. 26 Kekasaran pantai berpengaruh terhadap tinggi tsunami USDA-NRCS, 1986. Keberadaan material permukaan dapat menunjukkan tingkat kekasaran pantai. Dampak positif kekasaran pantai adalah semakin padat material permukaan akan semakin besar energi tsunami yang terendam, sedangkan dampak negatif adalah semakin lepas material permukaan akan semakin besar kerusakan sarana dan prasarana berikut kehilangan jiwa. Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kondisi alam yang mempengaruhi perubahan gelombang pasang akibat tsunami: 1. geometri kelengkungan pantai, 2. topografi kemiringan pantai dan batimetri, 3. lokasi muara di pantai dan 4. kekasaran pantai. Pencatatan tsunami telah dikembangkan suatu hubungan antara tinggi tsunami di daerah pantai dan magnitudebesaran tsunami dinyatakan dalam m. Besaran tsunami bervariasi mulai dari m = -2.0 yang memberikan tinggi gelombang kurang dari 0,3 m sampai m = 5 untuk gelombang lebih besar dari 32 m, seperti tertera dalam Tabel 4. Tabel 4. Hubungan magnitudo dan tinggi tsunami di pantai Magnitude Tsunami m Tinggi tsunamiH meter 5,0 32 4,5 24-32 4 16-24 3,5 12 -16 3 8-12 2,5 6-8 2 4-6 1,5 3-4 1 2-3 0,5 1,5-2 1-1,5 -0,5 0,75-1 -1 0,5-0,75 -1,5 0,3-0,5 -2 0,3 Sumber : Iida 1963 Kejadian tsunami yang disebabkan oleh gempabumi di laut tergantung pada beberapa faktor yaitu: a. kedalaman pusat gempa epicentrum di bawah dasar laut h km, b.kekuatan gempa M yang dinyatakan dengan skala Richter dan c. kedalaman air di atas episentrum d m. dengan pemodelan numerik sehingga dapat dilakukan upaya mitigasi untuk mengeliminir kerusakan. Tabel 5. Hubungan antara magnitude tsunami m, ketinggian tsunami meter, dan skala kerugian No. Skala Magnitudo Ketinggian Tsunami Kerusakan 1. -1 50 cm Tidak ada 2. 0 1 m Sangat sekidit 3. 1 2 m Kerusakan sepanjang pantai dan kapal 4. 2 4 – 6 m Sedikit sampai di daratan dan kerugian dari segi manusia 5. 3 10 – 20 m Kerusakan yang nyata di garis pantai lebih dari 400 km 6. 4 30 m Kerusakan yang nyata di garis pantai lebih dari 500 km Sumber: Immamura dan Iida 1949 dalam Diposaptono 2008

2.5.2 Pemodelan Numerik Tsunami

UNESCO-IOC 2006 mendefinisikan pemodelan numerik tsunami adalah uraian matematis yang digunakan untuk menjelaskan tsunami yang telah diamati berdasarkan kejadian masa lalu beserta pengaruh-pengaruhnya. Pemodelan ini digunakan untuk memperkirakan bencana tsunami di masa mendatang. Pemodelan numerik tsunami oleh Borah 2007 dibagi menjadi tiga tahapan pemodelan yaitu : 1 Pembangkitan Generation Pada tahap pemodelan ini memperkirakan pembentukan ganguan permukaan laut akibat tenaga pemicu gempa bumi, meteor, letusan gunung api dasar laut yang menyebabkan deformasi di dasar laut. Data yang dibutuhkan dalam tahap ini yaitu data patahan panjang dan lebar patahan, besarnya strike, dip dan slip, kedalaman patahan, dislokasi dan magnitudo gempa. 2 Perambatan Propagation Perambatan gelombang tsunami menyebar ke seluruh wilayah dari sumber pembangkitnya, pergerakan tersebut dipengaruhi oleh batimetri dan parameter oseanografi. Data yang digunakan yaitu batimetri, 30 kelengkungan bumi earth curvature, dan parameter oseanografi seperti pasang surut, kecepatan dan arah arus laut. 3 Penggenangan Inudation Penggenangan terjadi karena perambatan gelombang yang mengenangi daerah pesisir akibat dari tinggi gelombang datangrun up. Data yang dibutuhkan yaitu batimetri di perairan dangkal, topografi daratan, morfologi pantai seperti muara, teluk, gumuk pasir dan lain- lain. Kerusakan akibat tsunami di pesisir dapat dilihat dari seberapa jauh genanganinundasi yang terjadi di pesisir dengan memperhatikan tinggi gelombang datang pada saat tsunami terjadi. Pada saat genanganinundasi terjadi maka akan menggenangi penggunaan lahan di daerah pesisir pantai, sehingga terjadi kerusakan di daerah pesisir. Penelitian ini, menggunakan model genanganinundasi sesuai perhitungan matematis Persamaan 4 dengan bantuan spasial analisis yang ada pada perangkat lunak SIG. Parameter yang digunakan adalah tinggi tsunami terburuk yang mungkin dapat terjadi akibat proses perambatan tsunami menurut skala Imamura- Iida. Tinggi gelombang datang run up dikombinasikan dengan aliran air yang mengalir di permukaan topografi yang kasar, sebagai contoh gumuk, vegetasi pantai, bangunan-bangunan, topografi yang tidak teratur, sungai-sungai dan semua tutupan lahan di permukaan merupakan unsur yang sangat penting untuk mengetahui seberapa jauh genangan yang mungkin terjadi Barryman 2006. Pendekatan variabel untuk menahan gelombang datang run up menggunakan model Berryman 2006 yaitu dengan koefisien kekasaran permukaan surface roughness coefficient. Uraian di atas diperjelas dengan menampilkan Tabel 6. Tabel 6. Nilai kekasaran permukaan untuk masing-masing jenis penutup lahan Jenis penutup lahan Koefisien kekasaran permukaan Lumpur, salju, lahan terbuka 0,015 Daerah permukiman 0,035 Pusat kota 0,1 Hutan 0.07 Sungai, Danau 0,007 Sumber: Berryman 2006 Menghitung jarak inundasi wilayah pesisir yang datang, persamaan yang digunakan untuk mengetahui jarak inundasi ke arah darat mengacu prakarsa Tsunami UK menggunakan persamaan 3. 2 3 4 n H 06 ,  maks X . …….................…………….………..……………..….…. 3 dimana : X maks = Jarak inundasi dari garis pantai ke arah darat H = Ketinggian gelombang tsunami di garis pantai n = Koefisien kekasaran permukaan Persamaan 3 oleh Hawke‟s Bay dan Wellington dimodifikasi untuk memasukkan variabel varisasi ketinggian permukaan Berryman 2006. Variasi ketinggian permukaan direpresentasikan oleh besarnya lereng. Persamaan modifikasi seperti terlihat pada Persamaan 4. S Sin 5 H n 67 1 13 2         loss H ...………….....................…………..................................... 4 dimana : H loss = Hilangnya ketinggian tsunami per 1 m dari jarak inundasi n = Koefisien kekasaran permukaan H = Ketinggian gelombang tsunami di garis pantai S = Besarnya lereng permukaan Koefisien kekasaran permukaan dibedakan berdasarkan jenis penggunaan lahan Putra 2008 yang merupakan hasil modifikasi dari klasifikasi kekasaran permukaan berdasarkan tipe penutup lahan yang dibuat Berryman 2006. Tabel 7 merupakan tabel kekasaran permukaan modifikasi Putra 2008. 2.6 Tingkat Kebencanaan, Integrasi Pengelolaan Pesisir di Daerah Bencana dan Analisis Bentuklahan untuk Bahaya Tsunami Perencanaan tata ruang berbasis bahaya tsunami sangat diperlukan pada wilayah yang rentan bencana. Penentuan tingkat kebencanaan dengan pendekatan dari wilayah yang tergenang pada penggunaan lahan, tinggi elevasi dan bentuklahan. 32 Tabel 7. Nilai kekasaran permukaan berdasarkan penggunaan lahan Jenis Penggunaan Lahan Koefisien Kekasaran Permukaan Empang 0,007 Laut 0,001 Rawa 0,015 Sungai 0,007 Tambak 0,010 Bukit Pasir 0,018 Hutan Rawa 0,025 Hutan Rapat 0,070 Rumput 0,020 Semak 0,040 Jalan Arteri 0,010 Jalan Kolektor 0,010 Jalan Lain 0,013 Jalan Lokal 0,013 Kebun 0,035 Ladang 0,030 PermukimanLahan Terbangun 0,045 Trotoar 0,015 Sawah 0,020 Tanah Kosong 0,015 Sumber: Putra 2008 Kejadian tsunami 26 Desember 2004 yang dibangkitkan dari gempabumi di Sumatera dengan kekuatan 9.0-9.3 MW mengakibatkan kerusakan di pesisir pantai India, Andaman dan kepulauan Nikobar, Indonesia, Sri Lanka, Malaysia dan Thailand, kejadian tsunami terjadi setelah dua jam kejadian gempa bumi. Dampak dari tsunami mengakibatkan kerusakan di sejumlah wilayah Lay et al. 2005. Tingkat kompleksitas masalah di wilayah pesisir menjadi perhatian khusus ICZM sebagai mekanisme pemerintah untuk mengetahui berbagai jenis aspek aktivitas manusia dan pengelolaannya. Pandangan World Bank terhadap ICZM sebagai pendekatan yang interdisplin dan intersektoral Xue et al. 2004. Selanjutnya, diadakan workshop bekerja sama dengan WWF, Wet Land international untuk konservasi pasca tsunami dan tantangan bahwa pendekatan ICZM adalah perlu untuk rekonstruksi. Sebagai contoh pasca tsunami di India dilakukan pengamatan wilayah yang terkena bencana. Akibat dari bencana tsunami sektor perikanan dan pariwisata menderita kerusakan parah yang berdampak pula pada terumbu karang sebagai objek wisata dan tempat kehidupan ikan karang. Rusaknya terumbu karang berdampak pula pada mata pencaharian penduduk yang hidup bergantung pada sektor pariwisata dan perikanan. Konflik penggunaan sumberdaya pesisir terjadi antar sektor dan pengelolaan yang tidak terintegrasi juga berdampak pada degradasi ekosistem pesisir Chua et al. 1997; Xue et al. 2004. Kejadian tsunami mengakibatkan kerentanan sumberdaya alam di pesisir. Kejadian bencana tidak dapat dielak, kerentanan dapat direduksi oleh perencanaan yang tepat Sonak et al. 2008. Kompleksitas pesisir meliputi dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pemulihanrekonstruksi di areawilayah bencana merupakan tantangan besar. Dengan demikian perlu memahami dinamika kompleksitas pesisir dan jenis-jenis tantangan yang dihadapi oleh beberapa stakeholder seperti kelangsungan dalam pengelolaan pesisir, tanggung jawab dan partisipasi komuniti. ICZM sebagai “proses dari pemerintahan yang terdiri dari legal dan kerangka kerja institusional untuk meyakinkan bahwa pembangunan dan rencana pengelolaan untuk pesisir diintegrasikan dengan lingkungan dan sasaran- sasaran sosial, dan dibangun secara partisipasi dari yang terkena bencana” Xue et al. 2004. Kerangka kerja pengelolaan ICZM digunakan untuk pesisir dan masalah-masalah kelautan lingkungan dan konflik-konflik untuk memperoleh pemanfaatan kesesuaian sumberdaya pesisir dalam pembangunan wilayah- wilayah. Namun terdapat sejumlah tantangan dan terdapat keterbatasan konsep ICZM. ICZM terdiri atas ekologi, institusional dan dimensi sosial-ekonomi. Peningkatan kelangsungan kegiatan ICZM, melalui beberapa faktor-faktor meliputi: 1. memerlukan hubungan manajemen untuk meningkatkan kondisi biofisik, 2. pentingnya peraturan partisipasi stakeholder dalam proses pengambilan keputusan, dan 3. kontribusi untuk pemulihan ekonomi dan mata pencaharian White et al. 2005. Terdapat peningkatan sosial dan pemanfaatan lingkungan yang dilakukan oleh masyarakat merupakan hal yang logis dalam pengelolaan pesisir secara berkelanjutan. Hal ini merupakan faktor yang utama dalam pengelolaan pesisir Christie et al. 2005. Pencapaian tujuan Integrated Coastal Management ICM memerlukan gambaran yang jelas dari kemajuan program yang disusun, kondisi lingkungan 34 dan pengaruh faktor-faktor anthropogenik memberikan tantangan yang signifikant Bowen dan Riley 2003. Konsep ICZM yang mencakup sasaran dan dasar integrasi pengetahuan lingkungan dan pengetahuan sosial. Dalam kenyataannya terdapat jarak komunikasi yang luas antara peneliti dengan disiplin ilmu yang berbeda, sebagaimana halnya antara berbagai stakeholder. Sebagai tambahan, pemecahan konflik antara tradisional dan industri masih perlu pemikiran. Lebih lanjut, pengoperasian ICM melalui serangkaian tahapan dan aksi dalam proses kebijakan harus tepat diperlukan dan pada tempat yang tepat Olsen 2003. Program ICM bersifat lokal maupun regional harus bertanggung jawab dan memberikan keuntungan pada pemilik stakeholder Bowen dan Riley 2003. Bentuk ICM yang tidak terintegrasi seperti kejadian tsunami di India dengan banyaknya korban akibat kejadian tsunami disebabkan tidak adanya sistem peringatan Tsunami di India karena Samudera Hindia jarang terjadi tsunami. Berbeda dengan Samudera Pasifik yang memiliki frekuensi aktivitas seismik lebih tinggi. Perjalanan waktu dari sumber gempa hingga terjadi tsunami yang mengakibatkan kerusakan di pesisir memerlukan waktu 5 hingga 30 menit. Sebagai contoh, tsunami terjadi 8 menit setelah gempa bumi yang terjadi di Hokkaido-Nansei-Oki pada 12 Juli 1993. Pada saat kejadian tsunami menerjang desa dengan ketinggian gelombang datang run up 12 m, di lokasi lain gelombang mencapai 5 hingga 10 m. Lokasi bencana dekat dengan sumber gempa dan peringatan tsunami terjadi 5 menit setelah gempa, merupakan sistem peringatan yang baik dengan tersedianya teknologi. Pada saat kejadian bencana korban sangat sedikit karena penduduk segera menyelamatkan diri berlari ke tempat yang lebih tinggi segera setelah merasakan getaran gempa bumi tanpa menunggu peringatan. Hal ini terjadi karena penduduk mengikuti program pelatihan penyelamatan dan informasi umum tentang bencana. Usaha-usaha rekonstruksi meliputi persiapan dalam masyarakat yang dapat meningkatkan ketahanan resilience komunitas pesisir terhadap tsunami dan bencana alam pesisir lainnya, dimana usaha tersebut memerlukan penyelesaian dalam waktu yang lama dalam skenario pasca tsunami Gambar 12.