Analisis Pengeluaran Periodik Wajib dan Mengikat serta Prioritas Utama

190 BAB IV - RPJM Aceh 2012-2017 | Permasalahan dan Tantangan Aceh diabetes, hypertensi dan stroke sudah menjadi ancaman baru ditengah-tengah masyarakat. Angka kematian bayi dan angka kematian ibu pada saat melahirkan masih tinggi. Demikian juga dengan masalah gizi. Prevalensi gizi kurang dan buruk serta balita pendek masih tinggi. Kondisi kesehatan lingkungan yang belum baik memberi dampak negatif terhadap situasi kesehatan masyarakat. Disisi lain tingkat kesadaran masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat juga masih rendah. 4.1.12. Kualitas Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana Masih Rendah Kualitas lingkungan sangat dipengaruhi oleh tata guna lahan yang penggunaannya diatur sesuai dengan pola ruang. Pola ruang wilayah Aceh terdiri dari kawasan lindung seluas 2.708.550 Ha 47,7 dan Kawasan Budidaya seluas 2.934.602 Ha 52,3 . Hutan Aceh pada tahun 2008 seluas 3.523.925 Ha 60,37 dan pada tahun 2010 seluas 2.291.080 ha 40,36 . Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pengurangan luas kawasan hutan deforestasi sebesar 20,01 . Terjadinya deforestasi akibat adanya kebijakan yang lebih mementingkan aspek ekonomi dari pada aspek lingkungan untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi. Selain itu, faktor perilaku manusia juga menjadi permasalahan utama dalam kerusakan lingkungan, dimana sering sekali menganggap sungai dan sepadan sungai sebagai tempat pembuangan sampah dan kegiatan usaha pertnian yang dapat mengakibatkan penyempitan, sedimentasi dan penurunan kualitas air. Pembangunan yang tidak terpadu fragmented selama ini telah berakibat perubahan drastis negatif terhadap kondisi lingkungan sumber daya alam. Eksploitasi sumber daya alam tidak terbarukan pertambangan mineral, batubara, migas, dan galian C telah mengubah bentang alam tanpa terkendali. Terlebih lagi sumber daya alam terbarukan oleh deforestasi intensif legal and illegal logging untuk pembangunan fisik infrastruktur, transportasi, industri, perkebunan, pertanian, telah mengakibatkan penyusutan drastis tutupan vegetasi hutan terutama di Daerah Aliran Sungai DAS dan punahnya keanekaragaman hayati. Aceh merupakan wilayah dengan kondisi alam yang kompleks sehingga menjadikannya sebagai salah satu daerah berpotensi tinggi terhadap bencana, khususnya bencana alam. Tingkat resiko bencana alam yang terjadi setiap tahunnya sangat tinggi, terutama bencana banjir dan kekeringan. Sangat terbatasnya investasi infrastruktur tampungan penyimpanan air, telah berdampak pada keseimbangan hidrologi DAS, fluktuasi debit air di sungai menjadi sangat besar terutama pada musim hujan terjadi bencana banjir dan tanah longsor, sedangkan pada musim kemarau terjadi kekeringan dan kebakaran hutan. Sedangkan dalam hal penanggulangan bencana juga masih sangat lemah, terutama belum sistematis penaganannya, masih lemahnya kapasitas kelembagaan dan partisipasi BAB IV - RPJM Aceh 2012-2017 | Permasalahan dan Tantangan Aceh 191 masyarakat dalam pengurangan risiko bencana, lemahnya koordinasi penanggulangan baik dalam fase tanggap darurat maupun dalam fase rehabilitasi dan rekonstruksi. 4.1.13. Penanganan pasca konflik yang terisolasi dari pembangunan reguler Berbagai dukungan pasca konflik yang berlangsung sejak 2005 sampai dengan saat ini telah menimbulkan ekslusifitas tersendiri. Banyak mantan kombatan dan korban konflik mengklaim bahwa mereka belum menerima bantuan. Namun disisi lain, sebagai kelompok, mantan kombatan dan warga sipil korban konflik tersebut sesungguhnya telah menerima bantuan reintegrasi yang lebih besar dibandingkan dengan warga sipil bukan korban. Bantuan yang bersifat tunai yang lebih mudah diakses bagi mantan kombatan dan warga sipil korban konflik dibandingkan dengan warga sipil bukan korban telah mengakibatkan perbedaan mencolok dalam upaya pembangunan kesejahteraan yang lebih luas. Di satu sisi proses perdamaian di Aceh dimotori oleh Pemerintah pusat dan daerah. Kondisi ini menyediakan banyak peluang unik namun juga terbatas berbagai keterbatasan dalam efektifitas program dan strategi pemerintah. Pemerintah tidak memiliki mata anggaran dan kelembagaan khusus untuk penangganan pasca konflik sehingga mendorong kelembagaan yang bersifat sementara adhoc untuk mengambil peran yang lebih dominan dengan menggunakan infrastruktur dan suprastruktur instansi yang lebih permanen. Namun disisi lain, perencanaan, pengelolaan dan pengawasan program-program pasca konfik menjadi sesuatu yang terpisahkan dari perencanaan tahunan pemerintah bahkan hingga saat ini pemerintah tidak memiliki rancang bangun terpadu komprehensif yang diimplementasikan untuk memperkokoh proses perdamaian Aceh. Pengalaman yang terbatas dikalangan birokrasi pemerintahan dalam penanganan pasca konflik telah mengakibatkan kepemilikan yang terbatas akan isu penguatan perdamaian itu sendiri. Upaya-upaya konsolidasi dan promosi perdamaian yang seharusnya menjadi keseharian birokrasi pemerintahan tidak sepenuhnya mampu diimplementasi dalam berbagai instasi dan organisasi, hal ini bahkan berdampak kepada minimnya ketersediaan system dan mekanisme bantuan reintegrasi yang dikembangkan. 4.1.14. Pemenuhan Hak dan Perlindungan Perempuan dan Anak Masih Rendah Berdasarkan data pada tahun 2011 yang bersumber dari BPP dan PA, terdapat 466 anak korban kekerasan yang ditangani oleh Pusat Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan dan Badan PP PA Kabupaten Kota. Dari unit PPA Polda, tahun 2010 terdapat 123 kasus anak berhadapan dengan hukum. Penanganan korban kekerasan yang dilakukan ditingkat masyarakat dan di pelayanan lainnya tidak terekam dengan baik, sehingga diyakini masih lebih banyak lagi anak dan perempuan korban kekerasan yang tidak terdeteksi. Sedangkan untuk kasus kekerasan terhadap perempuan terdapat 1.956 kasus.