– RPJM Aceh 2012-2017 | Kerangka Pendanaan

BAB IV - RPJM Aceh 2012-2017 | Permasalahan dan Tantangan Aceh 191 masyarakat dalam pengurangan risiko bencana, lemahnya koordinasi penanggulangan baik dalam fase tanggap darurat maupun dalam fase rehabilitasi dan rekonstruksi. 4.1.13. Penanganan pasca konflik yang terisolasi dari pembangunan reguler Berbagai dukungan pasca konflik yang berlangsung sejak 2005 sampai dengan saat ini telah menimbulkan ekslusifitas tersendiri. Banyak mantan kombatan dan korban konflik mengklaim bahwa mereka belum menerima bantuan. Namun disisi lain, sebagai kelompok, mantan kombatan dan warga sipil korban konflik tersebut sesungguhnya telah menerima bantuan reintegrasi yang lebih besar dibandingkan dengan warga sipil bukan korban. Bantuan yang bersifat tunai yang lebih mudah diakses bagi mantan kombatan dan warga sipil korban konflik dibandingkan dengan warga sipil bukan korban telah mengakibatkan perbedaan mencolok dalam upaya pembangunan kesejahteraan yang lebih luas. Di satu sisi proses perdamaian di Aceh dimotori oleh Pemerintah pusat dan daerah. Kondisi ini menyediakan banyak peluang unik namun juga terbatas berbagai keterbatasan dalam efektifitas program dan strategi pemerintah. Pemerintah tidak memiliki mata anggaran dan kelembagaan khusus untuk penangganan pasca konflik sehingga mendorong kelembagaan yang bersifat sementara adhoc untuk mengambil peran yang lebih dominan dengan menggunakan infrastruktur dan suprastruktur instansi yang lebih permanen. Namun disisi lain, perencanaan, pengelolaan dan pengawasan program-program pasca konfik menjadi sesuatu yang terpisahkan dari perencanaan tahunan pemerintah bahkan hingga saat ini pemerintah tidak memiliki rancang bangun terpadu komprehensif yang diimplementasikan untuk memperkokoh proses perdamaian Aceh. Pengalaman yang terbatas dikalangan birokrasi pemerintahan dalam penanganan pasca konflik telah mengakibatkan kepemilikan yang terbatas akan isu penguatan perdamaian itu sendiri. Upaya-upaya konsolidasi dan promosi perdamaian yang seharusnya menjadi keseharian birokrasi pemerintahan tidak sepenuhnya mampu diimplementasi dalam berbagai instasi dan organisasi, hal ini bahkan berdampak kepada minimnya ketersediaan system dan mekanisme bantuan reintegrasi yang dikembangkan. 4.1.14. Pemenuhan Hak dan Perlindungan Perempuan dan Anak Masih Rendah Berdasarkan data pada tahun 2011 yang bersumber dari BPP dan PA, terdapat 466 anak korban kekerasan yang ditangani oleh Pusat Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan dan Badan PP PA Kabupaten Kota. Dari unit PPA Polda, tahun 2010 terdapat 123 kasus anak berhadapan dengan hukum. Penanganan korban kekerasan yang dilakukan ditingkat masyarakat dan di pelayanan lainnya tidak terekam dengan baik, sehingga diyakini masih lebih banyak lagi anak dan perempuan korban kekerasan yang tidak terdeteksi. Sedangkan untuk kasus kekerasan terhadap perempuan terdapat 1.956 kasus. 192 BAB IV - RPJM Aceh 2012-2017 | Permasalahan dan Tantangan Aceh Menurut data dari Dinas Sosial Aceh terdapat 13.000 anak terlantar. Makin meningkatnya kasus pencabulan dan perkosaan serta traficking anak dan perempuan yang ditemukan menunjukkan masih lebih besar jumlah kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan yang tidak tertangani dan direkam dengan baik. 4.1.15. Perencanaan dan Penganggaran belum Responsif Gender dan belum Berbasis Pada Pemenuhan Hak Anak Perencanaan dan penganggaran di Aceh masih belum responsive gender dan belum berbasis pada pemenuhan hak anak. Hal ini terlihat dari minimnya keterlibatan perempuan dan anak dalam proses perencanaan pembangunan mulai dari tingkat gampong sampai dengan tingkat provinsi, sehingga kebutuhan-kebutuhan spesifik perempuan dan anak belum semuanya terakomodir dalam program-program pembangunan. Dana yang dialokasikan untuk pemberdayaan perempuan dan pemenuhan hak anak pada tahun 2010 hanya 0.15 dari total RAPBA, sementara permasalahan perempuan dan anak yang harus diselesaikan sangat besar. Sementara itu dana yang dialokasikan untuk program perbaikan gizi masyarakat dan peningkatan kesehatan ibu melahirkan dan anak pada tahun 2007 hanya 0,08 dari RAPBA 2007. Hal ini tidak signifikan dengan angka kematian ibu di Aceh yang masih relatif tinggi 238 100.000 kelahiran hidup melebihi rata-rata angka kematian ibu nasional 228 100.000 kelahiran hidup, dan target MDG’s 2015 sebesar 102 100.000 kelahiran hidup. Dalam bidang pendidikan sebagian besar dana dialokasikan untuk sekolah- sekolah formal, sedangkan perempuan dan anak masih banyak yang belum mempunyai akses pada pendidikan formal.

4.2. I su Strategis Pembangunan Aceh 2012 – 2017

4.2.1. Reformasi Birokrasi dan Tatakelola Pemerintahan Belum Optimal; I su strategis pembangunan di bidang reformasi birokrasi dan tatakelola pemerintahan difokuskan kepada 4 empat hal yaitu: 1 Pelaksanaan UUPA sebagai wujud MoU Helsinki; 2 pengelolaan keuangan daerah; 3 organisasi, tata kelola dan sumber daya aparatur; dan 4 kualitas pelayanan publik. Pelaksanaan UUPA sebagai wujud MoU Helsinki belum berjalan secara optimal, hal ini diindikasikan dengan belum selesainya beberapa peraturan perundang-undangan yang harus dibentuk agar UUPA dapat diimplementasikan, yaitu: 1 Peraturan Pemerintah PP; 2 Peraturan presiden Perpres; dan 3 Qanun. Peraturan Pemerintah yang harus diselesaikan sebanyak 9 sembilan, yang sudah ditetapkan sebanyak 3 tiga, 2 dua PP sedang dalam pembahasan dan penyelesaian, 4 empat belum ada draft, terhadap peraturan yang telah ditetapkan belum didukung dengan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaannya. Peraturan presiden yang harus ada sebanyak 3 tiga, 2 dua sudah ditetapkan menjadi Perpres dan 1