Definisi Afektif Ranah Afektif
14
seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. Ciri-ciri hasil belajar akan tampak pada peserta
didik dalam berbagai tingkah laku, seperti: perhatiannya pada mata pelajaran pendidikan agama Islam, kedisiplinannya dalam mengikuti pelajaran agama di
sekolah, motivasinya yang tinggi untuk mengetahui lebih banyak mengenai pelajaran agama Islam yang diterimanya, penghargaan atau rasa hormatnya
terhadap guru pendidikan agama Islam, dan sebagainya.
14
Sedangkan menurut Popham, ranah afektif menentukan keberhasilan belajar seseorang, orang yang tidak memiliki minat pada pelajaran tertentu sulit
untuk mencapai keberhasilan belajar secara optimal. Seseorang yang berminat dalam suatu pelajaran diharapkan akan mencapai hasil pembelajaran yang
optimal, oleh karena itu semua pendidikan harus mampu membangkitkan minat semua peserta didik untuk mencapai kompetensi yang telah ditentukan. Selain itu,
ikatan emosional sering diperlukan untuk membangun semangat kebersamaan, semangat persatuan, semangat nasionalisme, rasa social. Dan sebagainya. Untuk
itu, semua dalam merancang program pembelajaran, satuan pendidikan harus memperhatikan ranah afektif. Sikap dapat
15
didefinisikan “sebagai suatu kecendrungan untuk melakukan suatu respon dengan cara-cara tertentu terhadap
dunia sekitarnya, baik berupa individu-individu maupun objek-objek tertentu. Ranah afektif merupakan tujuan yang berhubungan dengan perasaan,
emosi, sistem nilai, dan sikap hati attitude yang menunjukkan penerimaan atau penolakan terhadap sesuatu. Tujuan afektif terdiri dari yang paling sederhanah,
yaitu memperhatikan suatu fenomena sampai kepada yang komplek yang merupakan faktor internal seseorang, seperti kepribadian dan hati nurani. Dalam
literatur tujuan afektif disebut sebagai, minat, sikap hati, sikap menghargai, sistem nilai serta kecenderungan emosi.
Perumusan tujuan instruksional pada kawasan afektif tidak berbeda jauh bila dibandingkan dengan ranah kognitif, tetapi dalam mengukur hasil belajarnya
jauh lebih sukar karena menyangkut kawasan sikap dan apresiasi. Di samping itu
14
Anas Sudjiono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, h. 54
15
Wayan Nurkanca dan P.P.N Sumartana, Evaluasi Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional, 1986, h. 275
15
ranah afektif sulit dicapai pada pendidikan formal, karena pada pendidikan formal perilaku yang nampak dapat diasumsikan timbul sebagai akibat dari kekakuan
aturan, disiplin belajar, waktu belajar, tempat belajar, dan norma-norma lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perilaku seperti itu timbul bukan karena
siswa telah sadar dan menghayati betul tentang kebutuhan akan sikap dan perilaku tersebut, tetapi dilakukan karena sekedar untuk memenuhi aturan dan disiplin saja
agar tidak mendapatkan hukuman. Contohnya: Setiap belajar bidang studi matematika, hampir seluruh siswa tingkat II
SMU selalu masuk ruang kelas lebih awal dan mereka umumnya begitu sungguh- sungguh mendengar dan mencatat uraian dan keterangan sang guru di depan
kelas. Sikap dan perilaku seperti ini mungkin sekali timbul karena guru killer.
Proses belajar mengajar dilakukan dengan situasi yang kaku dan tegang. Jadi bukan karena para siswa sadar dan tertarik pada pelajaran tersebut atau karena
faktor lain yang tidak memperkuat tujuan instruksional ranah afektif, ini suatu faktor bahwa melihat hasil belajar untuk kawasan afektif ini tidak semudah
melihat menilai kawasan lainnya. Oleh karena itu si penilai perlu berhati-hati dan teliti agar kesahihan dan keterandalan penilaian dapat dipertanggung jawabkan.
Hal ini perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh karena peranan kawasan afektif dalam bidang pendidikan sangat penting. Agar peranannya dapat
digunakan dengan tepat, maka satu-satunya cara yang baik untuk ditempuh adalah dengan menuliskan tujuan intruksional kawasan afektif sesuai dengan ketentuan.