Efektivitas Pencapaian Tujuan Afektif Dalam Pembelajaran Ski Berbantuan Media Film Di Mts Nurul Ilmi Tangerang

(1)

DI MTS NURUL ILMI TANGERANG

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Untuk Memenuhi Persyaratan Akademik Program Kualifikasi Kependidikan dan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam

Oleh:

EUIS FATMAWATI 107011000414

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

DI MTS NURUL ILMI TANGERANG

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:

EUIS FATMAWATI 107011000414

Dosen Pembimbing

Yudhi Munadi, M.Ag NIP. 19701203 199803 1 003

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

(4)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : Euis Fatmawati

Tempat Tanggal Lahir : Tangerang, 24 Agustus 1998

Nim : 107011000414

Jurusan : Pendidikan Agama Islam

Judul skripsi : Efektivitas Pencapaian Tujuan Afektif Dalam Pembelajaran SKI Berbantuan Media Film Di MTs Nurul Ilmi Tangerang

Dosen Pembimbing : Yudhi Munadi, M.Ag

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.

Jakarta, 4 Januari 2013


(5)

i

Pendidikan Agama Islam “Efektivitas Pencapaian Tujuan Afektif Berbantuan Media Film pada Mata Pelajaran SKI di MTs Nurul Ilmi Tangerang”.

Media merupakan sumber-sumber belajar selain guru yang disebut sebagai penyalur atau penghubung pesan ajar yang diadakan atau diciptakan secara terencana oleh seorang guru atau pendidik.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui situasi pembelajaran siswa dan afeksi siswa saat dan sesudah pembelajaran dengan berbantuan media film.

Penelitian ini dilaksanakan di MTs Nurul ‘Ilmi Tangerang dari bulan Maret 2012. Yang dijadikan informan dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII dan dewan guru MTs Nurul “Ilmi Tangerang.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan observasi. Dengan melakukan wawancara dengan informan siswa diketahui bahwa pembelajaran dengan berbantuan media film dapat mengembangkan afeksi siswa dalam belajar. Dengan ditandai sikap siswa yang menerima, mendengar, dan memperhatikan guru yang menjelaskan pelajaran didepan kelas.


(6)

ii

Pendidikan Agama Islam “Efektivitas Pencapaian Tujuan Afektif Berbantuan Media Film pada Mata Pelajaran SKI di MTs Nurul Ilmi Tangerang”.

Media are sources of learning than teachers who called the dealer or connecting instructional messages held in a planned or created by a teacher or educator.

This study aims to determine the situation and affective student learning during and after the learning of students with media-assisted film. This study was conducted in MTs Nurul 'ILMI Tangerang from March 2012. Used as informants in this study were students of class VII and the teaching body MTs Nurul "Ilmi Tangerang.

The method used in this study were interviews and observation. By conducting interviews with informants note that students learning with media-assisted film can develop students' affective learning. With the attitude of the students indicated that receive, listen, and pay attention to the teacher explaining the lesson in the classroom.


(7)

iii

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Yang Maha Esa, Tuhan dan pencipta dan pemelihara alam semesta. Dan sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat-sahabat dan para pengikutnya yang setia sampai hari akhir nanti.

Teristimewa, ucapan terimakasih penulis curahkan kepada Ayahanda (H. Arsidi) dan Ibunda tercinta (Hj. Masminah) yang telah mendidik penulis dari buaian hingga sekarang yang selalu berjuang baik materil maupun moril hingga penulis dapat menyelesaikan kuliah. Terima kasih banyak atas kesabarannya, ketulusannya dan perjuangan ayahanda dan ibunda tercinta, penulis tidak akan dapat membalas jasanya. Semoga Allah selalu memberikan balasan yang lebih atas semua yang telah ayahanda dan ibunda berikan untuk penulis.

Salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan mencapai gelar sarjana Strata Satu (S1), di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta adalah membuat karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi. Oleh karena itu, penulis membuat skripsi dengan judul “Efektifitas Pencapaian Tujuan Afektif Dalam Pembelajaran SKI Berbantuan Media Film”.

Selama penyusunan skripsi ini tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang dihadapi dan dialami penulis, baik yang menyangkut pengaturan waktu, pengumpulan data, maupun biaya yang tidak sedikit, dan sebagainya. Namun denganakerja keras dan kesungguhan hati serta dorongan dan motivasi dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Yudhi Munadi, M.Ag, Sebagai Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing serta memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

2. Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi Nawawi, M.A., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan kesempatan untuk menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(8)

iv penyusunan skripsi ini.

4. Seluruh Dosen dan Asisten Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah membimbing dan mendidik penulis dengan memberikan bekal ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat.

5. Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah beserta stafnya, yang telah memberikan pelayanan dalam penyediaan buku-buku yang diperlukan penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi

6. Siti Huliah, SE Kepala Sekolah MTs Nurul Ilmi Tangerang beserta guru-guru, karyawan dan para siswa-siswi, yang telah memperkenankan penulis mengadakan penelitian dan terima kasih atas bantuan dan kesediannya memberikan data guna melengkapi penelitian ini.

7. Teristimewa, Hendri Heryandi, terimakasih telah memberikan motivasi, semangat, dan doa yang tulus kepada penulis.

8. Kakak-kakak dan adik tercinta yang senantiasa memberikan dukungan dan do’a kepada penulis.

9. Sahabat-sahabat PAI angkatan 2007 (terkhusus) Siti Humaeroh, Syifa Fauziyah, Dina Merliana, Reni Adhani, semangat dan keceriaannya tak terlupakan.

10.Serta segenap pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, terima kasih atas bantuan dan motivasinya kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Semoga segala kebaikan tersebut mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Semoga rahmat, taufiq dan hidayah-Nya selalu dilimpahkan pada kita semua sepanjang kehidupan kita.Amiin…

Jakarta, 4 Januari 2013

Penulis


(9)

v

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan Masalah ... 5

D. Perumusan Masalah ... 5

E. Tujuan Penelitian... .... 5

F. Kegunaan Penelitian ... 5

BAB II LANDASAN TEORI A. Efektifitas Pembelajaran ... 7

1. Pengertian Efektivitas ... 7

2. Prinsip-prinsip Efektifitas ... 12

3. Cara Mengetahui Keefektifan Hasil Belajar ... 12

B. Ranah Afektif ... 13

1. Definisi Afektif ... 13

2. Karakteristik ranah afektif... 15

3. Tingkatan Afektif ... 20

4. Peroses Pembentukan Sikap ... 25

C. Media Pembelajaran ... 27

1. Definisi Media ... 27

2. Pertimbangan Dalam Memilioh Media Pembelajaran ... 28

3. Fungsi Media Pembelajaran ... 29

4. Prinsip-prinsip Pemilihan dan Penggunaan Media ... 35

5. Media Berbasis Audio Visual ... 37

6. Jenis-jenis Film ... 38


(10)

vi

3. Manfaat Mempelajari Ski ... 42

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 43

B. Lokasi Penelitian ... 43

C. Pengumpulan Data ... 45

1. Sumber Data ... 45

2. Jenis Data ... 45

D. Validasi Data ... 46

E. Pengolahan dan Analisis Data ... 47

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Profil MTs Nurul Ilmi ... 48

1. Sejarah Berdirinya MTs Nurul Ilmi ... 48

2. Visi dan Misi ... 48

3. Sarana Dan Prasarana ... 49

4. Keadaan Guru... 50

5. Jumlah Siswa Menurut Tingkat dan Jenis Kelamin ... 53

B. Situasi Peroses Pembelajaran Berbantuan Media Film ... 53

1. Kegiatan Pendahluan Pembelajaran ... 53

2. Kegiatan Inti Pembelajaran ... 54

3. Kegiatan Penutup Pembelajaran ... 55

C. Deskripsi Hasil Lembar Soal Siswa ... 58

D. Gejala-gejala Psikologis-Afektif Siswa Pada Saat dan Setelah Mereka Mengikuti Pembelajaran Berbantuan Media Film ... 61

1. Penerimaan Siswa Terhadap Berbantuan Media Film ... 61

2. Reaksi Siswa Terhadap Pembelajaran dengan Berbantuan Media Film ... 62


(11)

vii

Ski Berbantuan Media Film ... 66 1. Penguasaan siswa terhadap bahan ajar yang dipelajari ... 67 2. Siswa merasa senang dalam proses belajar ... 67 3. Mengajar itu menghasilkan semua yang diinginkan untuk

tercapai ... 67

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 69 B. Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 71


(12)

viii

Table 4.1 Fasilitas Sekolah

Table 4.2 Keadaan Guru

Table 4.3 Jumlah Siswa

Table 4.4 Persentasi Hasil Afektif 1

Table 4.5 Persentase Hasil Afektif 2

Table 4.6 Persentase Hasil Afektif 3

Table 4.7 Persentase Hasil Afektif 4


(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembelajaran dapat dikatakan efektif jika mampu memberikan pengalaman baru kepada siswa membentuk kompetensi siswa, serta mengantarkan mereka ke tujuan yang ingin dicapai secara optimal. Hal ini dapat dicapai dengan melibatkan secara mendidik mereka dalam perencanaan, pelaksanaan dan penilaian pembelajaran. Seluruh siswa harus dilibatkan secara penuh agar bergairah dalam pembelajaran, sehingga suasana pembelajaran benar-benar kondusif dan terarah pada tujuan dan pembentukan kompetensi siswa.

Pembelajaran efektif menuntut keterlibatan siswa secara aktif, karena mereka merupakan pusat kegiatan pembelajaran dan pembentukan kompetensi. Siswa harus didorong untuk menafsirkan informasi yang disajikan oleh guru sampai informasi tersebut dapat diterima oleh akal sehat. Dalam pelaksanaannya, hal ini memerlukan proses pertukaran pikiran, diskusi, dan pedebatan dalam rangka pencapaian pemahaman yang sama terhadap materi standar yang harus dikuasai siswa.1

Kemampuan lulusan suatu jenjang pendidikan sesuai dengan tuntutan penerapan kurikulum berbasis kompetensi mencakup tiga ranah, yaitu kemampuan berpikir, keterampilan melakukan pekerjaan, dan perilaku. Setiap

1

Rusman, Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 20011), hal. 325


(14)

peserta didik memiliki potensi pada ketiga ranah tersebut, namun tingkatannya satu sama lain berbeda. Ada peserta didik yang memiliki kemampuan berpikir tinggi dan perilaku amat baik, namun keterampilannya rendah. Demikian sebaliknya ada peserta didik yang memiliki kemampuan berpikir rendah, namun memiliki keterampilan yang tinggi dan perilaku amat baik. Ada pula peserta didik yang kemampuan berpikir dan keterampilannya sedang/biasa, tapi memiliki perilaku baik. Jarang sekali peserta didik yang kemampuan berpikirnya rendah, keterampilan rendah, dan perilaku kurang baik. Peserta didik seperti itu akan mengalami kesulitan bersosialisasi dengan masyarakat, karena tidak memiliki potensi untuk hidup di masyarakat. Ini menunjukkan keadilan Tuhan YME, setiap manusia memiliki potensi yang dapat dikembangkan menjadi kemampuan untuk hidup di masyarakat.

Kemampuan berpikir merupakan ranah kognitif yang meliputi kemampuan menghapal, memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi. Kemampuan psikomotor, yaitu keterampilan yang berkaitan dengan gerak, menggunakan otot seperti lari, melompat, menari, melukis, berbicara, membongkar dan memasang peralatan, dan sebagainya. Kemampuan afektif berhubungan dengan minat dan sikap yang dapat berbentuk tanggung jawab, kerjasama, disiplin, komitmen, percaya diri, jujur, menghargai pendapat orang lain, dan kemampuan mengendalikan diri. Semua kemampuan ini harus menjadi bagian dari tujuan pembelajaran di sekolah, yang akan dicapai melalui kegiatan pembelajaran yang tepat.

Masalah afektif dirasakan penting oleh semua orang, namun implementasinya masih kurang. Hal ini disebabkan merancang pencapaian tujuan pembelajaran afektif tidak semudah seperti pembelajaran kognitif dan psikomotor. Satuan pendidikan harus merancang kegiatan pembelajaran yang tepat agar tujuan pembelajaran afektif dapat dicapai. Keberhasilan pendidik melaksanakan pembelajaran ranah afektif dan keberhasilan peserta didik mencapai kompetensi afektif perlu dinilai. Oleh karena itu perlu dikembangkan acuan pengembangan perangkat penilaian ranah afektif serta penafsiran hasil pengukurannya.2

2


(15)

Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya tersembunyi, tidak berada di dalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, indah dan tidak indah, layak dan tidak layak, adil dan tidak adil, dan lain sebagainya. Pandangan seseorang tentang semua itu tidak bisa diraba, kita hanya mungkin dapat mengetahuinya dari prilaku yang bersangkutan. Oleh karena itulah nilai pada dasarnya standar prilaku, ukuran yang menentukan atau kriteria seseorang tentang baik dan tidak baik, indah dan tidak indah, layak dan tidak layak, dan lain sebagainya, sehingga standar itu yang akan mewarnai prilaku seseorang. Dengan demikian, pendidikan nilai pada dasarnya proses penanaman nilai kepada peserta didik yang diharapkan oleh karenanya siswa dapat berprilaku sesuai dengan pandangan yang dianggap baik dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.3

Mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam merupakan mata pelajaran yang sangat penting bagi pendidikan Agama Islam, oleh karena itu siswa harus sungguh-sungguh dalam mempelajari mata pelajaran tersebut. Akan tetapi dewasa ini banyak sekali siswa yang tidak atau jarang memperhatikan mata pelajaran tersebut karena dianggap membosankan sehingga membuat siswa malas untuk mempelajari sejarah khususnya pada mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam. Oleh karena itu seorang guru harus bisa memasukan unsur media untuk memotivasi belajar siswa agar siswa tidak merasa bosan atau jenuh dengan mata pelajaran tersebut, sehingga tujuan pendidikan tersebut dapat tercapai.

Media merupakan sumber-sumber belajar selain guru yang disebut sebagai penyalur atau penghubung pesan ajar yang diadakan atau diciptakan secara terencana oleh seorang guru atau pendidik.4

Dunia pendidikan dewasa ini berkembang semakin pesat dan semakin kompleksnya persoalan pendidikan yang dihadapi bukanlah tantangan yang harus dibiarkan begitu saja, tetapi memerlukan pemikiran yang konstruktif demi tercapainya kualitas yang baik. Persoalan yang dimaksud di antaranya adalah

3

Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Peroses Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2005), cet ke 5 h. 274

4


(16)

bagaimana seorang guru menyampaikan pesan pendidikan melalui media Film (Audio Visual) agar siswa termotivasi dan tidak merasa bosan dengan materi yang disampaikan, khususnya materi pada mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam.

Media audio visual yaitu merupakan suatu cara menyajikan bahan pelajaran dengan menggunakan alat-alat atau media pengajaran yang dapat memperdengarkan atau memperagakan bahan-bahan tersebut, sehingga siswa dapat menyajikan secara langsung, mengamati secara cermat memegang atau merasakan bahan-bahan peraga tersebut.5

Di sini penulis menggunakan media audio visual yang berbentuk Film Dokudrama yaitu film-film dokumenter yang membutuhkan pengadegan. Dengan demikian kisah-kisah yang ada dalam dokudrama adalah kisah yang diangkat dari kisah nyata dari kehidupan nyata.6

Kemudian dalam hubungannya dengan kegiatan belajar, yang penting bagaimana menciptakan kondisi atau suasana proses yang mengarahkan siswa itu melakukan aktivitas belajar. Dalam hal ini sudah barang tentu peran guru sangat penting. Bagaimana guru melakukan usaha-usaha untuk dapat menumbuhkan dan memberikan motivasi agar anak didiknya melakukan aktivitas belajar dengan baik di perlukan peroses dan motivasi yang baik pula. Dalam hal ini motivasi sudah di katan baik apabila tujuan yang diinginkan sudah baik atau tercapai.7

Mengingat pentingnya suatu media Film (audio visual) dalam proses pembelajaran pada mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam agar dapat memberikan motivasi belajar siswa, guru diharapkan dapat menyajikan media audio visual yang berbentuk film sehingga siswa bersemangat dalam mengikuti mata pelajaran tersebut dan tercapainya tujuan pendidikan serta keefektifan siswa dalam mengikuti pembelajaran sesuai dengan apa yang diharapkan.

Bertitik tolak dari hal tersebut penulis mencoba untuk mengadakan penelitian yang hasilnya akan dituangkan dalam skripsi yang berjudul:

“Efektivitas Pencapaian Tujuan Afektif Dalam Pembelajaran SKI Berbantuan Media Film di MTs Nurul Ilmi Tangerang”.

5

Tayar Yusuf ,dan Drs. Syaiful Anwar, Metodologi Pengajaran Agama dan Bahasa Arab, (Jakarta:PT Raja Grapindo 1995), h. 78

6

Yudhi Munadi, Media Pembelajaran….h. 5

7

Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rajawali Pers 1986), h. 77


(17)

B. Identifikasi Masalah

1. Masalah afektif dirasakan penting oleh semua orang, namun implementasinya masih kurang.

2. dewasa ini banyak sekali siswa yang tidak atau jarang memperhatikan mata pelajaran SKI karena dianggap membosankan.

C. Pembatasan Masalah

1. Materi yang dijadikan bahan penelitian adalah materi Sejarah Kebudayaan Islam kelas VII di MTS Nurul Ilmi Tangerang.

2. Media yang dijadikan obyek penelitian adalah media audio visual yang berjenis film jadi, yang membahas tentang sejarah Nabi Muhammad saw di Mekah serta sistem perekonomian dan perdagangan pada masa Nabi Muhammad SAW.

D. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari pembahasan ini, yaitu:

1. Bagaimana situasi pembelajaran SKI dengan berbantuan media film? 2. Bagaimana pencapaian tujuan afektif dalam pembelajaran dengan

berbantuan media film pada bidang studi SKI di MTS Nurul Ilmi Tangerang?

E. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui situasi pembelajaran dengan berbantuan media film. 2. Untuk mengetahui efektifitas pencapaian tujuan afektif dalam

pembelajaran dengan berbantu media film pada mata pelajaran SKI di MTS Nurul Ilmi Tangerang.

F. Kegunaan Penelitian

1. Untuk memperoleh informasi yang akurat tentang Efektifitas pencapaian tujuan Afektif dalam pembelajaran dengan berbantu media film pada mata pelajaran SKI.


(18)

2. Sebagai bahan rujukan bagi pembaca atau peneliti selanjutnya.

3. Memperkaya perbendaharaan perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta


(19)

7

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Efektivitas Pembelajaran

1. Pengertian Efektivitas Pembelajaran

Kata “efektivitas” merupakan kata sifat dari kata “efektif” yang berarti ada

efeknya (akibat, pengaruh, kesan), manjur, mujarab, dapat membawa hasil, berhasil guna. Menurut pengertian bahasa, efektivitas berarti dapat membawa hasil, sehingga sesuatu dapat dikatakan efektif apabila berhasil dan dapat mencapai tujuan sebagaimana yang telah dirumuskan atau direncanakan sebelum melakukan hal tersebut. Efektifitas yang terdapat dalam Ensiklopedi Indonesia berarti, menunjukan tercapainya suatu tujuan. Suatu usaha dikatakan efektif jika usaha tersebut tercapai tujuannya.8 Dengan kata lain suatu pembelajaran bisa dikatakan efektif apabila telah memenuhi kriteria yang telah ditentukan hal tersebut terdiri dari tiga bagian, karena seorang guru harus dapat memilih metode yang tepat untuk mencapai tujuan.

Pertama, suatu pembelajaran dapat dikatakan efektif apabila memenuhi persyaratan utama keefektifan pengajaran, yaitu:

a. Presentase waktu belajar siswa yang tinggi dicurahkan terhadap KBM. b. Rata-rata perilaku melaksanakan tugas yang tinggi di antara siswa.

8

Hasan Sadily, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru, Van Hoev), jilid 2, h. 883


(20)

c. Ketetapan antara kandungan materi ajaran dengan kemampuan siswa (orientasi keberhasilan belajar) diutamakan.

d. Mengembangkan suasana belajar yang akrab dan positif.

Selain itu guru yang efektif adalah guru yang menemukan cara dan selalu berusaha agar anak didiknya terlibat secara tepat dalam suatu mata pelajaran dengan presentase waktu belajar akademis yang tinggi dan pelajaran berjalan tanpa menggunakan tekhnik yang memaksa, negatif atau hukuman. Selain itu guru yang efektif adalah orang-orang yang dapat menjalin hubungan simpatik dengan para siswa, menciptakan lingkungan kelas yang mengasuh, penuh perhatian, memiliki suatu rasa cinta belajar, menguasai sepenuhnya bidang studi mereka dan dapat memotivasi siswa untuk bekerja tidak sekedar mencapai suatu prestasi namun juga menjadi anggota masyarakat yang pengasih.

Kedua ada 5 variabel proses guru yang memperlihatkan keajegan hubungan dengan pencapaian tujuan, yaitu:

a. Dalam penyajian materi harus jelas.

b. Seorang guru harus memiliki kegairahan dalam mengajar. Agar siswa termotivasi dengan keaktifannya dalam mengajar.

c. Dalam proses pembelajaran guru harus mempunyai ragam kegiatan seperti metode atau media yang digunakan beragam tidak hanya terpaku pada satu metode atau media saja agar siswa tidak merasa jenuh ketika peroses pembelajaran berlangsung.

d. Perilaku siswa akan melaksanakan tugas dan kecekatannya. e. Kandungan bahan pengajaran yang diliput siswa.9

Salah satu strategi yang membantu siswa belajar dari teks tertulis dan sumber-sumber informasi yang lain adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan, sehingga siswa harus berhenti dari waktu ke waktu untuk menilai pemahaman mereka sendiri terhadap teks atau apa yang diucapkan oleh gurunya.

9

Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif, (Jakarta: Media Kencana, 2009), cet. 1, h. 20-21


(21)

Sedangkan efektivitas dalam kegiatan pembelajaran mengajar merupakan sesuatu yang membawa hasil dalam waktu yang memadai yang memungkinkan tercapainya tujuan intruksional sesuai standar yang telah ditentukan dengan jumlah siswa.

Maka salah satu prinsip efektivtas pengajaran yang baik adalah apabila di dalam proses belajar menggunakan waktu yang cukup sekaligus dapat membuahkan hasil (pencapaian tujuan instruksional) yang lebih tepat dan cermat secara optimal dengan waktu yang telah ditentukan dengan bobot materi pelajaran maupun tujuan instruksionalnya diharapkan dapat memberikan sesuatu yang berharga bagi peserta didik.

Pembelajaran efektif hanya mungkin terjadi jika didukung oleh guru yang efektif. Pakar pendidikan Gilbert H.Hunt sebagaimana yang dikutip oleh Rosyada, 2004:113) dalam bukunya efective teaching, menyebutkan ada tujuh kriteria yang harus dimiliki oleh seorang guru agar pembelajaran efektif, yaitu:

1. Sifat, guru harus memiliki sifat antusias, memberi rangsangan, mendorong siswa untuk maju, hangat, berorientasi kepada tugas dan pekerja keras, toleran, sopan, dan bijaksana, dapat dipercaya, fleksibel dan mudah menyesuaikan diri, demokratis, penuh harapan bagi siswa, bertanggung jawab terhadap kegiatan belajar

2. Pengetahuan, memiliki pengetahuan yang memadai dalam mata pelajaran yang diampunya, dan terus menerus mengikuti perkembangan dalam bidang ilmunya

3. Apa yang disampaikan, mampu memberikan jaminan bahwa materi yang disampaikannya mencakup semua unit bahasan, semua kompetensi dasar yang diharapkan siswa secara maksimal

4. Bagaimana mengajar, mampu menjelaskan berbagai informasi secara jelas dan terang, memberikan layanan yang variatif (menerapkan metode mengajar secara bervariasi), menciptakan dan memelihara momentum, menggunakan kelompok kecil secara efektif, mendorong semua siswa untuk berpartisipasi,memonitor bahkan sering mendekati siswa, mampu mengambil keuntungan dari kejadian-kejadian yang tidak terduga

5. Harapan, mampu memberi harapan kepada siswa, mampu membuat siswa akuntabel, dan mendorong partisipasi orang tua dalam memajukan kemampuan akademik siswanya

6. Reaksi guru terhadap siswa, mau dan mampu menerima berbagai masukan, risiko, tantangan, selalu memberikan dukungan kepada siswanya, konsisten dalam kesepakatan-kesepakatan dengan siswa

7. Manajemen, mampu menunjukkan keahlian dalam perencanaan, memiliki kemampuan mengorganisasikan kelas sejak hari pertama dia bertugas, cepat


(22)

memulai kelas, melewati masa transisi dengan baik, mampu memelihara waktu bekerja serta menggunakannya secara efisien dan konsisten, dapat meminimalisasi gangguan, memiliki teknik untuk mengontrol kelas, dapat memelihara suasana tenang dalam belajar, jika perlu memberi hukuman dalam bentuk yang paling ringan.10

Ketiga, Selain guru pembelajaran efektif juga perlu didukung oleh suasana dan lingkunag belajar yang memadai/kondusif. Oleh karena itu, guru harus mampu mengelola siswa, mengelola kegiatan pembelajaran, mengelola isi/materi pembelajaran, dan mengelola sumber-sumber belajar. Menciptakan kelas yang efektif dengan peningkatan efektifitas proses pembelajaran tidak bisa dilakukan secara persial, melainkan harus menyeluruh mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

Menurut Kenneth D. More, ada tujuh langkah dalam

mengimplementasikan pembelajaran efektif, yaitu: 1. Perencanaan,

2. Perumusan tujuan/kompetensi,

3. Pemaparan perencanaan pembelajaran kepada siswa,

4. Proses pembelajaran dengan menggunakan berbagai strategi (multistrategi, 5. Evaluasi,

6. Menutup proses pembelajaran, dan 7. Follow up/tindak lanjut.11

Jika pengajar membuat perencanaan pembelajaran sebelum mengajar kemudian mengaplikasikannya dalam kegiatan belajar mengajar dan mendapat output yang baik dari anak didiknya, maka dapat dikatakan bahwa sebagai pengajar ia telah memenuhi tujuan dalam pekerjaan tersebut, dan pekerjaan tersebut dapat dikatakan efektif.

Setiap proses belajar mengajar selalu menghasilkan pengetahuan, dan untuk mengetahui apakah tujuan belajar telah tercapai secara efektif atau tidak, maka dapat diketahui dengan tingkat prestasi belajar yang telah dicapai. Tingkat keberhasilan dibagi atas beberapa tingkatan/taraf, yaitu istimewa, baik sekali (optimal), baik (minimal), dan kurang.

10

Suyono dan Hariayanto, Belajar Dan Pembelajar ... h. 208-209

11

Rusman, Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru, hal. 325-326


(23)

a. Istimewa/maksimal: Apabila seluruh (100%) bahan pelajaran yang diajarkan itu dapat dikuasai oleh siswa

b. Baik sekali/optimal: Apabila sebagian besar (70-90%) bahan pelajaran yang diajarkan itu dapat dikuasai oleh siswa

c. Baik/minimal: Apabila bahan pelajaran yang dapat dikuasai oleh siswa kurang dari 60%.

Berdasarkan tingkat keberhasilan belajar mengajar, maka suatu kegiatan belajar mengajar memiliki tingkat efektifitas yang sangat baik, bila siswa dapat mencapai minimal 60% dari tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Suatu kondisi belajar yang optimal dapat tercapai jika guru mampu mengatur siswa dan sarana pengajaran serta mengendalikannya dalam suasana yang menyenangkan untuk mencapai tujuan pengajaran. Juga hubungan interpersonal yang baik antara guru dan siswa, merupakan syarat keberhasilan pengelolaan kelas.

Berdasarkan pengertian, bahwa efektivitas berkaitan dengan terlaksananya semua tugas pokok dengan baik, tercapainya tujuan, ketepatan waktu, dan adanya partisipasi aktif dari anggota dalam mencapai tujuan organisasi. Jelasnya bila sasarana atau tujuan telah tercapai sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya berarti pekerjaan tersebut efektif, dan jika tujuan dan sasaran itu tidak selesai dengan waktu yang ditentukan, maka pekerjaan itu tidak efektif.

Jadi berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa secara umum efektivitas berarti ketercapaian suatu tujuan yang telah direncanakan sebelumya. Dari beberapa pengertian di atas penulis dapat menarik kesimpulan

bahwa efektivitas dalam suatu kegiatan, berkenaan dengan “ketepatan sasaran dari

suatu proses yang direncanakan atau diinginkan dapat terlaksana atau tercapai”. Efektifitas dapat dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan dalam mencapai tujuan atau sasarannya. Efektivitas ini sesungguhnya merupakan suatu konsep yang lebih luas mencakup berbagai faktor baik di dalam maupun di luar diri seseorang. Dengan demikian efektifitas merupakan suatu konsep yang sangat penting, karena mampu memberikan gambaran mengenai keberhasilan seseorang dalam mencapai sasaran.


(24)

2. Prinsip-prinsip Efektifitas

Ada beberapa prinsip yang akan disebutkan dalam efektifitas pembelajaran di antaranya:

a. Efektivitas mengajar guru, terutama menyangkut jenis-jenis kegiatan belajar mengajar yang direncanakan apakah dapat dilaksanakan dengan baik

b. Efektivitas belajar murid, terutama menyangkut sejauh mana tujuan-tujuan pelajaran yang diinginkan telah dapat dicapai melalui kegiatan belajar mengajar yang di tempuh.12

3. Cara Mengetahui Keefektifan Hasil Belajar

Ada dua cara mengetahui keefektifan hasil belajar yang dikemukakan, yaitu menurut Kemp dan Diamond sebagai berikut:

a. Menurut Kemp bermula dari suatu pertanyaan: apa yang telah dicapai oleh siswa? Untuk menjawab pertanyaan ini harus diketahui berapa jumlah siswa yang berhasil mencapai seluruh tujuan belajar dalam waktu yang telah ditentukan. Spesifikasi jumlah tersebut dinyatakan dalam persentase. Maka dijumlahkanlah data hasil yang dicapai tiap siswa dari seluruh informasi yang telah dicapai oleh pengajar. Misalnya dari hasil tes (ulangan-ulangan yang pernah dilakukan), tugas-tgas atau latihan-latihan, dan juga dari catatan hasil pengamatan pengajar terhadap tingkah laku siswa sehari-hari.

Misalnya jumlah siswa 30 orang, bila seluruhnya (100%) dapat berhasil mencapai seluruh tujuan, maka hasilnya efektif. Tetapi bila hanya 27 siswa (90%) saja berhasil, apakah ini dapat dikatan efektif atau tidak, bergantung kepada standar kriteria keberhasilan yang sudah ditentukan oleh pegajar yang bersangkutan sudah tentu pengajar tidak akan menentukan standar 100% karena mungkin desain itu sendiri kurang sempurna. Jadi boleh saja 90% dikatakan efektif bila memang kriteria keberhasilan yang ditentukan 90%.

12

Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta: Bumi Aksara, 1992), cet. Ke 2, h. 126


(25)

b. Menurut Diamond keefektivan tidak diukur dengan persentase, tetapi diukur berapa segi dengan beberapa variasi variabelnya, misalnya.

1. Hasil belajar dikatakan efektif bila ditinjau dari segi siswa, kriteria keefktifannya dengan menggunakan variabel kira-kira sebagai berikut : a. Dengan biaya yang sama, tetapi hasil belajar meningkat

b. Dengan biaya yang kurang, tetapi hasil belajar sama c. Jumlah siswa yang gagal makin berkurang

d. Minat siswa bertambah

e. Dengan waktu yang terlalu lama, tetapi siswa dapat meraih lebih banyak kredit poni atau satuan kredit semester (SKS)

2. Hasil belajar dapat dikatakan efektif bila ditinjau dari segi sekolah, variabel nya sebagai berikut:

a. Jumlah siswa bertambah, tetapi sekolah tidak bertambah beban biayanya untuk honor pengajar

b. Waktu mengajar tidak terlalu banyak, tetapi makin banyak kesempatan bagi siswa untuk memilih spesialisasi, dan makin banyak pelajaran yang ditawarkan

c. Hubungan dengan siswa makin dekat dan frekuensi bimbingan makin tinggi, tetapi sekolah tidak menambah biaya pengeluaran tambahan untuk itu

3. Keefektifan ditinjau dari segi ruangan, variabelnya sebagai berikut:

a. Jumlah ruangan berkurang, tetapi semua perkuliahan maupun akomodasi seluruh siswa tertampung

4. Keefektifan ditinjau dari segi sumber belajar, variabelnya sebagai berikut: a. Makin bertambah jumlah siswa maupun pengajar yang memanfaatkan

sumber-sumber yang tersedia

b. Cara menggunakan sumber-sumber tersebut juga makin efesien 5. Keefektifan ditinjau dari segi masyarakat terhadap sekolah

a. Masyarakat makin menghargai dan menambah kepercayaan terhadap sekolah atau perguruan tinggi tersebut

b. Calon-calon siswa baru makin bertambah.13

B. Ranah Afektif 1. Definisi Afektif

Taksonomi untuk ranah afektif mula-mula dikembangkan oleh David. R. Krathwohl dan kawan-kawan (1974) dalam buku yang berjudul Taxonomy of Educational Objectivies: Affectivie Domain, Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap

13


(26)

seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. Ciri-ciri hasil belajar akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku, seperti: perhatiannya pada mata pelajaran pendidikan agama Islam, kedisiplinannya dalam mengikuti pelajaran agama di sekolah, motivasinya yang tinggi untuk mengetahui lebih banyak mengenai pelajaran agama Islam yang diterimanya, penghargaan atau rasa hormatnya terhadap guru pendidikan agama Islam, dan sebagainya.14

Sedangkan menurut Popham, ranah afektif menentukan keberhasilan belajar seseorang, orang yang tidak memiliki minat pada pelajaran tertentu sulit untuk mencapai keberhasilan belajar secara optimal. Seseorang yang berminat dalam suatu pelajaran diharapkan akan mencapai hasil pembelajaran yang optimal, oleh karena itu semua pendidikan harus mampu membangkitkan minat semua peserta didik untuk mencapai kompetensi yang telah ditentukan. Selain itu, ikatan emosional sering diperlukan untuk membangun semangat kebersamaan, semangat persatuan, semangat nasionalisme, rasa social. Dan sebagainya. Untuk itu, semua dalam merancang program pembelajaran, satuan pendidikan harus memperhatikan ranah afektif. Sikap dapat 15didefinisikan “sebagai suatu kecendrungan untuk melakukan suatu respon dengan cara-cara tertentu terhadap dunia sekitarnya, baik berupa individu-individu maupun objek-objek tertentu.

Ranah afektif merupakan tujuan yang berhubungan dengan perasaan, emosi, sistem nilai, dan sikap hati (attitude) yang menunjukkan penerimaan atau penolakan terhadap sesuatu. Tujuan afektif terdiri dari yang paling sederhanah, yaitu memperhatikan suatu fenomena sampai kepada yang komplek yang merupakan faktor internal seseorang, seperti kepribadian dan hati nurani. Dalam literatur tujuan afektif disebut sebagai, minat, sikap hati, sikap menghargai, sistem nilai serta kecenderungan emosi.

Perumusan tujuan instruksional pada kawasan afektif tidak berbeda jauh bila dibandingkan dengan ranah kognitif, tetapi dalam mengukur hasil belajarnya jauh lebih sukar karena menyangkut kawasan sikap dan apresiasi. Di samping itu

14

Anas Sudjiono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 54

15

Wayan Nurkanca dan P.P.N Sumartana, Evaluasi Pendidikan, (Surabaya : Usaha Nasional, 1986), h. 275


(27)

ranah afektif sulit dicapai pada pendidikan formal, karena pada pendidikan formal perilaku yang nampak dapat diasumsikan timbul sebagai akibat dari kekakuan aturan, disiplin belajar, waktu belajar, tempat belajar, dan norma-norma lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perilaku seperti itu timbul bukan karena siswa telah sadar dan menghayati betul tentang kebutuhan akan sikap dan perilaku tersebut, tetapi dilakukan karena sekedar untuk memenuhi aturan dan disiplin saja agar tidak mendapatkan hukuman. Contohnya:

Setiap belajar bidang studi matematika, hampir seluruh siswa tingkat II SMU selalu masuk ruang kelas lebih awal dan mereka umumnya begitu sungguh-sungguh mendengar dan mencatat uraian dan keterangan sang guru di depan kelas.

Sikap dan perilaku seperti ini mungkin sekali timbul karena guru killer. Proses belajar mengajar dilakukan dengan situasi yang kaku dan tegang. Jadi bukan karena para siswa sadar dan tertarik pada pelajaran tersebut atau karena faktor lain yang tidak memperkuat tujuan instruksional ranah afektif, ini suatu faktor bahwa melihat hasil belajar untuk kawasan afektif ini tidak semudah melihat menilai kawasan lainnya. Oleh karena itu si penilai perlu berhati-hati dan teliti agar kesahihan dan keterandalan penilaian dapat dipertanggung jawabkan. Hal ini perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh karena peranan kawasan afektif dalam bidang pendidikan sangat penting. Agar peranannya dapat digunakan dengan tepat, maka satu-satunya cara yang baik untuk ditempuh adalah dengan menuliskan tujuan intruksional kawasan afektif sesuai dengan ketentuan.

2. Karakteristik Ranah Afektif

Pemikiran atau perilaku harus memiliki dua kriteria untuk diklasifikasikan sebagai ranah afektif. Pertama, perilaku melibatkan perasaan dan emosi seseorang. Kedua, perilaku harus tipikal perilaku seseorang. Kriteria lain yang termasuk ranah afektif adalah intensitas, arah, dan target. Intensitas menyatakan derajat atau kekuatan dari perasaan. Beberapa perasaan lebih kuat dari yang lain, misalnya cinta lebih kuat dari senang atau suka. Sebagian orang kemungkinan memiliki perasaan yang lebih kuat dibandingkan yang lain. Arah perasaan


(28)

berkaitan dengan orientasi positif atau negatif dari perasaan yang menunjukan apakah perasaan itu baik atau buruk. Misalnya senang pada pelajaran dimaknai positif, sedangkan kecemasan dimaknai negatif.

Bila intensitas dan arah perasaan ditinjau bersama-sama, maka karakteristik afektif berada dalam suatu skala yang kontinum. Target mengacu pada objek, aktifitas atau arah ide dari perasaan. Bila kecemasan merupakan karakteristik dari afektif yang ditinjau, ada beberapa kemungkinan target. Peserta didik mungkin bereaksi ke sekolah, situasi sosial atau pembelajaran. Tiap unsur ini bisa merupakan target kecemasan. Kadang-kadang target ini diketahui oleh seseorang namun kadang-kadang tidak diketahui. Sering kali peserta didik cenderung sadar bahwa kecemasannya adalah tes.

Ada 5 lima tipe karakteristik afektif yang penting, yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai dan moral.

a. Sikap

Sikap merupakan suatu kencendrungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan serta menerima informasi verbal. Perubahan sikap dapat diamati dalam proses pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu. Penilaian sikap adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik, dan sebagainya.

Menurut Fishbein dan Ajzen (1975) sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep, atau orang. Sikap peserta didik terhadap objek misalnya sikap terhadap sekolah atau terhadap mata pelajaran. Sikap peserta didik ini penting untuk ditingkatkan (Popham, 1999). Sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, misalnya bahasa Inggris, harus lebih positif setelah peserta didik mengikuti pembelajaran bahasa Inggris dibanding sebelum mengikuti pembelajaran. Perubahan ini merupakan salah satu indikator keberhasilan pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran.


(29)

Untuk itu pendidikan harus membuat rencana pembelajaran termasuk pengalaman belajar peserta didik yang membuat sikap peserta didik terhadap mata pelajaran menjadi lebih positif.

b. Minat

Menurut Getzel (1966), minat adalah suatu disposisi yang terorganisir melalui pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus, aktivitas, pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 583), minat atau keinginan adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting pada minat adalah intensitasnya. Secara umum minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki intensitas tinggi. Penilaian minat dapat digunakan untuk:

1) mengetahui minat peserta didik sehingga mudah untuk pengarahan dalam pembelajaran,

2) mengetahui bakat dan minat peserta didik yang sebenarnya, 3) pertimbangan penjurusan dan pelayanan individual peserta didik, 4) menggambarkan keadaan langsung di lapangan/kelas,

5) mengelompokkan peserta didik yang memiliki minat sama,

6) acuan dalam menilai kemampuan peserta didik secara keseluruhan dan memilih metode yang tepat dalam penyampaian materi,

7) mengetahui tingkat minat peserta didik terhadap pelajaran yang diberikan pendidik,

8) bahan pertimbangan menentukan program sekolah, 9) meningkatkan motivasi belajar peserta didik. c. Konsep Diri

Menurut Smith, konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimiliki. Target, arah, dan intensitas konsep diri pada dasarnya seperti ranah afektif yang lain. Target konsep diri biasanya orang tetapi bisa juga institusi seperti sekolah. Arah konsep diri bisa positif atau negatif, dan intensitasnya bisa dinyatakan dalam suatu daerah kontinum, yaitu mulai dari rendah sampai tinggi.


(30)

Konsep diri ini penting untuk menentukan jenjang karir peserta didik, yaitu dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dapat dipilih alternatif karir yang tepat bagi peserta didik. Selain itu informasi konsep diri penting bagi sekolah untuk memberikan motivasi belajar peserta didik dengan tepat.

d. Nilai

Nilai menurut Rokeach (1968) merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Selanjutnya dijelaskan bahwa sikap mengacu pada suatu organisasi sejumlah keyakinan sekitar objek spesifik atau situasi, sedangkan nilai mengacu pada keyakinan. Pengembangan Perangkat Penilaian Afektif Target nilai cenderung menjadi ide, target nilai dapat juga berupa sesuatu seperti sikap dan perilaku. Arah nilai dapat positif dan dapat negatif. Selanjutnya intensitas nilai dapat dikatakan tinggi atau rendah tergantung pada situasi dan nilai yang diacu. Definisi lain tentang nilai disampaikan oleh Tyler (1973:7), yaitu nilai adalah suatu objek, aktivitas, atau ide yang dinyatakan oleh individu dalam mengarahkan minat, sikap, dan kepuasan. Selanjutnya dijelaskan bahwa manusia belajar menilai suatu objek, aktivitas, dan ide sehingga objek ini menjadi pengatur penting minat, sikap, dan kepuasan. Oleh karenanya satuan pendidikan harus membantu peserta didik menemukan dan menguatkan nilai yang bermakna dan signifikan bagi peserta didik untuk memperoleh kebahagiaan personal dan memberi kontribusi positif terhadap masyarakat.

e. Moral

Piaget dan Kohlberg banyak membahas tentang perkembangan moral anak. Namun Kohlberg mengabaikan masalah hubungan antara judgement

moral dan tindakan moral. Ia hanya mempelajari prinsip moral seseorang melalui penafsiran respon verbal terhadap dilema hipotetikal atau dugaan, bukan pada bagaimana sesungguhnya seseorang bertindak. Ranah afektif lain yang penting adalah:


(31)

1. Kejujuran: peserta didik harus belajar menghargai kejujuran dalam bertindak dengan orang lain.

2. Integritas: peserta didik harus mengikatkan diri pada kode nilai, misalnya moral, dan artistik.

3. Adil: peserta didik harus berpendapat bahwa semua orang mendapat perlakuan yang sama dalam memperoleh kependidikan. 4. Kebebasan: peserta didik harus yakin bahwa Negara yang

demokratis memberi kebebasan yang bertanggung jawab secara maksimal kepada semua orang.16

Moral berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap kebahagiaan orang lain atau perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri. Misalnya menipu orang lain, membohongi orang lain, atau melukai orang lain baik fisik maupun psikis. Moral juga sering dikaitkan dengan keyakinan agama seseorang, yaitu keyakinan akan perbuatan yang berdosa dan berpahala. Jadi moral berkaitan dengan prinsip, nilai, dan keyakinan seseorang.17

Pembelajaran afektif adalah strategi yang bukan hanya bertujuan untuk pendidikan kognitif saja, akan tetapi juga bertujuan untuk mencapai dimensi yang lainnya yaitu sikap dan keterampilan afektif berhubungan dengan volume yang sulit diukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam, afeksi juga dapat muncul dalam kejadian behavioral yang diakibatkan proses pembelajaran yang dilakukan guru. Sikap afektif erat kaitannya dengan

nilai yang dimiliki oleh seseorang, sikap “merupakan refleksi dari nilai yang

dimiliki, oleh karenanya pendidikan sikap pada dasarnya adalah pendidikan

nilai”.18

Keberhasilan pengembangan ranah kognitif tidak hanya akan membuahkan kecakapan kognitif, tetapi juga menghasilkan kecakapan ranah

16

http://zaifbio.wordpress.com/2009/11/15/ranah-penilaian-kognitif-afektif-dan-psikomotorik/www.goegle

17

http://zaifbio.wordpress.com/2009/11/15/ranah-penilaian-kognitif-afektif-dan-psikomotorik/www.goegle

18

Sofan Amri, Dkk. Konstruksi Pengembangan Pembelajaran, (Jakarta: Pestasi Pustaka, 2010), h. 208-209


(32)

afektif. Peningkatan ranah afektif ini, antara lain, berupa “kesadaran beragama

yang mantap”.19

Seorang siswa dapat dianggap berhasil secara afektif dalam belajar agama (khususnya agama Islam), apabila ia telah menyenangi dan menyadari dengan ikhlas kebenaran ajaran agama Islam yang ia pelajari, lalu menjadikannya sebagai sistem nilai diri. Kemudian, pada gilirannya ia menjadikan sistem nilai ini sebagai penuntun hidup, baik di kala suka maupun duka.

3. Tingkatan Afektif

Sikap seseorang bisa diramalkan perubahan-perubahannya, apabila seseorang telah menguasai bidang kognitif tingkat tinggi. Ada kecendrungan bahwa prestasi belajar bidang afektif kurang mendapat perhatian dari guru. Para guru lebih cenderung memperhatikan bidang kognitif semata, padahal dalam pendidikan agama Islam yang harus diperioritaskan adalah sikap atau perilaku siswa yang diharapkan sesuai dengan ajaran Islam.

Kompetensi siswa dalam bidang afektif terkait dengan kemampuan menerima, merespon, menilai, mengorganisasi, dan memiliki karakter.

Untuk memperoleh gambaran tentang ranah tujuan intruksional afektif secara utuh, berikut ini akan dijelaskan setiap tingkat secara berurutan berapa contoh kongkrit berikut ini:

a. Tingkat Receiving atau Menerima

Menerima disini adalah diartikan sebagai proses pembentukan sikap dan prilaku dengan cara membangkitkan kesadaran tentang adanya (stimulus) tertentu yang mengandung estetika.

Receiving atau attending (menerima atau memperhatikan), adalah kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang datang kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan lain-lain. Termasuk dalam jenjang ini misalnya adalah: kesadaran dan keinginan untuk menerima stimulus, mengontrol dan menyeleksi gejala-gejala atau rangsangan yang datang dari luar. Receiving atau attending juga sering

19


(33)

diberi pengertian sebagai kemauan untuk memperhatikan suatu kegiatan atau suatu objek. Pada jenjang ini peserta didik dibina agar mereka bersedia menerima nilai atau nilai-nilai yang di ajarkan kepada mereka, dan mereka mau menggabungkan diri ke dalam nilai itu atau mengidentifikasikan diri dengan nilai itu. Contah hasil belajar afektif jenjang receiving, misalnya: peserta didik bahwa disiplin wajib di tegakkan, sifat malas dan tidak disiplin harus disingkirkan jauh-jauh.20 b. Tingkat Tanggapan (responding)

Responding (menanggapi) mengandung arti “adanya partisipasi aktif”. Jadi kemampuan menanggapi adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengikutsertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya salah satu cara. Jenjang ini lebih tinggi daripada jenjang receiving.

Tanggapan atau jawaban (responding) mempunyai beberapa pengertian, antara lain:

1) Tanggapan dilihat dari segi pendidikan diartikan sebagai perilaku baru dari sasaran didik (siswa) sebagai manifestasi dari pendapatnya yang timbul karena adanya perangsang saat ia belajar.

2) Tanggapan dilihat dari segi psikologi prilaku (behavior psychology) adalah segala perubahan perilaku organism yang terjadi atau yang timbul karena adanya perangsang dan perubahan tersebut dapat diamati.

3) Tanggapan dilihat dari segi adanya kemauan dan kemampuan untuk bereaksi terhadap suatu kejadian (stimulus) dengan cara berpartisipasi dalam berbagai bentuk

Contoh hasil belajar ranah afektif responding adalah peserta didik tumbuh hasratnya untuk mempelajarinya lebih jauh atau menggali lebih dalam lagi, ajaran-ajaran Islam tentang perdagangan dan perekonomian pada masa Nabi.

20


(34)

c. Tingkat Menilai

Valuing (menilai atau menghargai). Menilai atau menghargai artinya memberikan nilai atau memberikan penghargaan terhadap suatu kegiatan atau obyek, sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, dirasakan akan membawa kerugian atau penyesalan. Valuing adalah merupakan tingkat afektif yang lebih tinggi lagi daripada receiving dan responding. Dalam kaitan dalam proses belajar mengajar, peserta didik disini tidak hanya mau menerima nilai yang diajarkan tetapi mereka telah berkemampuan untuk menilai konsep atau fenomena, yaitu baik atau buruk. Bila suatu ajaran

yang telah mampu mereka nilai dan mampu untuk mengatakan “itu adalah baik”, maka ini berarti bahwa peserta didik telah menjalani proses penilaian. Nilai itu mulai dicamkan (internalized) dalam dirinya. Dengan demikian nilai tersebut telah stabil dalam peserta didik.

Tanggapan menilai mempunyai beberapa pengertian, antara lain:

1) Pengakuan secara obyektif (jujur) bahwa siswa itu obyek, sistem atau benda tertentu mempunyai kadar manfaat.

2) Kemauan untuk menerima suatu obyek atau kenyataan setelah seseorang itu sadar bahwa obyek tersebut mempunyai nilai atau kekuatan, dengan cara menyatakan dalam bentuk sikap prilaku positif atau negatif.

Contoh hasil belajar efektif jenjang valuing adalah tumbuhnya kemampuan yang kuat pada diri peseta didik untuk berlaku jujur dalam berdagang, baik di sekolah, di rumah maupun di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

d. Tingkat Organization

Tanggapan organisasi mempunyai beberapa pengertian, antara lain: 1) Proses konseptualisasi nilai dan menyusun hubungan antar

nilai-nilai tersebut, kemudian memilih nilai-nilai-nilai-nilai yang terbaik untuk diterapkan.

2) Kemungkinan untuk mengorganisasikan nilai-nilai, menentukan hubungan antara nilai dan menerima bahwa suatu nilai itu lebih


(35)

dominan dibandingkan nilai yang lain apabila kepadanya diberikan berbagai nilai.

Contohnya:

Seorang siswa memutuskan untuk hadir pada pertemuan kelompok, walaupun pada jam yang sama di televisi ada program film horor yang menarik. Padahal ia seorang penggemar film tersebut.

e. Tingkat Karakterisasi (Characterization)

Karakterisasi adalah sikap dan perbuatan yang secara konsisten dilakukan oleh seseorang selaras dengan nilai-nilai yang dapat diterimanya, sehingga sikap dan perbuatan itu seolah-olah telah menjadi ciri-ciri prilakunya.

Organization (mengatur atau mengorganisasikan), artinya mempertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang universal, yang membawa pada perbaikan umum. Mengatur atau mengorganisasikan merupakan pengembangan dari nilai kedalam satu sistem organisasi, termasuk didalamnya hubungan satu nilai dengan nilai lain, pemantapan dan perioritas nilai yang telah dimilikinya.

Contoh nilai efektif jenjang organization adalah peserta didik mendukung penegakan disiplin nasional yang telah dicanangkan oleh Presiden Soeharto pada peringatan hari kemerdekaan nasional tahun 1995.21

Contohnya:

Sejak di sekolah lanjutan atas hingga tamat perguruan tinggi. Siti selalu belajar siang dan malam karena ia percaya bahwa hanya dengan belajar keras cita-citanya akan tercapai.

Berdasarkan pada kelima tingkatan yang dirumuskan oleh Bloom dan Krath Wool tersebut di atas, maka Romis Jowski dalam bukunya Producing Intrustion Sistem (1984). Mengelompokan aspek afektif tersebut menjadi dua tipe prilaku yang berbeda.

1. Reflek yang terkondisi (reflexsiv conditional ). Yaitu reaksi kepada stimuli khusus tertentu yang dilakukan secara spontan tanpa direncanakan terlebih dahulu tujuan reaksinya.

21


(36)

Contohnya:

Seseorang yang tiba-tiba meloncat-loncat kegirangan setelah ia melihat pengumuman hasil tes di satu departemen pada surat kabar yang menyatakan ia lulus seleksi.

2. Sukarela (foluntary)

Adalah aksi dan reaksi yang terencana untuk mengarahkan ke tujuan tertentu dengan cara membiasakan dengan latihan-latihan untuk mengontrol.

Contohnya:

Seorang pramuria, pada waktu sedang menerima tamu ia akan berprilaku begitu ramah dan menarik padahal ia adalah orang yang kaku dan judes. Namun demikian Peromis Jowski tidak merinci lebih lanjut aspek afektif bukanlah tipe-tipe prilaku yang berbeda tetapi merupakan perbedaan pentahapan dalam pengembangan prilaku.22

Mengacu kepada karakter dan daya hidup seseorang. Nilai-nilai sangat berkembang nilai teratur sehingga tingkah laku menjadi lebih konsisten dan lebih mudah diperkirakan. Tujuan dalam kategori ini ada hubungannya dengan keteraturan pribadi, sosial dan emosi jiwa.

Variable-variabel di atas juga telah memberikan kejelasan bagi proses pemahaman taksonomi afektif ini, berlangsungnya proses afektif adalah akibat perjalanan kognitif terlebih dahulu seperti pernah diungkapkan bahwa:

“Semua sikap bersumber pada organisasi kognitif pada informasi dan

pengatahuan yang kita miliki. Sikap selalu diarahkan pada objek, kelompok atau orang hubungan kita dengan mereka pasti di dasarkan pada informasi yanag kita peroleh tentang sifat-sifat mereka.”

Bidang afektif dalam psikologi akan memberi peran tersendiri untuk dapat menyimpan menginternalisasikan sebuah nilai yang diperoleh lewat kognitif dan kemampuan organisasi afektif itu sendiri. Jadi eksistensi afektif dalam dunia

22

Martinis Yamin, Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Gaung Persada Press 2004), cet ke 2 h.32-37


(37)

psikologi pengajaran adalah sangat urgen untuk dijadikan pola pengajaran yang lebih baik tentunya.23

Kelima jenis perilaku tersebut tampak mengandung tumpang tindih dan juga berisi kemampuan kognitif. Kelima jenis perilaku tersebut bersifat hierarkis. Perilaku penerimaan merupakan jenis perilaku terendah dan perilaku pembentukan pola hidup merupakan jenis perilaku tertinggi.24

Oleh karena itu kelima tingkatan afektif tersebut memiliki keterpaduan satu sama lain yang perlu diperhatikan oleh seorang guru, dengan demikian seorang guru tidak hanya menguasai bahan-bahan yang diajarkannya, keterpaduan kelima tingkatan tersebut yang telah dimiliki oleh siswa yang akan mempengaruhi pola kepribadian dan perilakunya, akan tetapi guru juga harus meyakinkan kepada para siswa akan manfaat bidang studi tersebut supaya siswa tidak hanya mampu dalam segi kognitif melainkan juga dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

4. Proses Pembentukan Sikap

a. Pola pembiasaan

Dalam proses pembelajaran di sekolah, baik secara disadari atau tidak, guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan. Misalnya, siswa yang setiap kali menerima prilaku yang tidak menyenangkan dari guru, misalnya perilaku mengejek atau perilaku yang menyinggung perasaan anak, maka lama kelamaan anak akan mengalihkan sikap negatif itu bukan hanya kepada gurunya itu sendiri, akan tetapi juga kepada mata pelajaran yang diasuhnya. Kemudian, untuk mengembalikannya pada sikap positif bukanlah pekerjaan mudah.

Belajar membentuk sikap melalui pembiasaan itu juga dilakukan oleh Skinner melalui teorinya operani conditioning. Proses pembentukan sikap melalui pembiasaan yang dilakukan Watson berbeda dengan proses pembiasaan sikap yang dilakukan Skinner. Pembentukan sikap yang dilakukan Skinner menekankan

23

http://arisandi.com/aspek-kecerdasan-kognitif-afektif-dan-psikomotorik/

24

Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002) cet k-2, h. 29


(38)

pada proses peneguhan respon anak, setiap kali anak menunjukkan prestasi yang baik diberikan penguatan (reinforcement) dengan cara memberikan hadiah atau prilaku yang menyenangkan. Lama kelamaan, anak berusaha meningkatkan sikap positifnya.

b. Modeling

Pembelajaran sikap seseorang dapat juga dilakukan melalui proses modeling, yaitu pembentukan sikap melalui proses asimilasi atau proses mencontoh.

Salah satu karakteristik anak didik yang sedang berkembang adalah keinginannya untuk melakukan peniruan (imitasi). Hal yang ditiru itu adalah perilaku-perilaku yang diperagakan atau didemonstrasikan oleh orang yang menjadi idolanya. Perinsip peniruan ini yang dimaksud dengan modeling. Modeling adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau orang yang dihormatinya.

Pemodelan biasanya dimulai dari perasaan kagum. Anaka kagum terhadap kepintaran orang lain, misalnya terhadap guru yang dianggapnya bisa melakukan segala sesuatu yang tidak bisa dilakukannya. secara perlahan perasaan kagum akan mempengaruhi emosinya dan secara perlahan itu pula anak akan meniru perilaku yang dilakukan oleh idolanya itu. Misalnya, jika idolanya (guru atau siapa saja) menunjukkan perilaku tertentu terhadap suatu objek, makan anak cenderung akan berprilaku sama seperti apa yang dilakukan oleh idolanya itu. Jika idolanya itu begitu telaten terhadap tanaman yang ada dihalaman sekolah, misalnya, maka anak itu juga akan memperlakukan seperti yang dilakukan idolanya terhadap tanaman tersebut; apabila idolanya selalu berpakaian rapi dan bersih, maka anak itu juga berperilaku seperti itu.

Proses penanaman sikap anak terhadap sesuatu obyek melalui proses modeling pada mulanya dilakukan secara mencontoh, namun anak perlu diberi pemahaman mengapa hal itu dilakukan. Misalnya, guru perlu menjelaskan mengapa kita harus telaten terhadap tanaman, atau mengapa kita harus berpakaian bersih. Hal ini diperlukan agar sikap tertentu yang muncul benar-benar disadari oleh suatu keyakinan kebenaran sebagai suatu sistem nilai.25

25

Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Peroses Pendidikan, …..h.


(39)

Media pembelajaran juga dapat meningkatkan dan mengembangkan imajinasi siswa, khususnya pada media film. Oleh karena itu media film memiliki pengaruh yang sangat penting pada daya khayal siswa.26

C. Media Pembelajaran

Proses belajar mengajar akan berjalan efektif dan efisien bila didukung dengan tersedianya media yang menunjang. Penyediaan media serta metodologi pendidikan yang dinamis, kondusif serta dialogis sangat diperlukan bagi pengembangan potensi peserta didik, secara optimal. Hal ini disebabkan karena potensi peserta didik akan lebih terangsang bila dibantu dengan sejumlah media atau sarana dan prasarana yang mendukung proses interaksi yang sedang dilaksanakan. Media dalam perspektif pendidikan merupakan instrumen yang sangat strategis dalam ikut menentukan keberhasilan proses belajar mengajar. Sebab keberadaannya secara langsung dapat memberikan dinamika tersendiri terhadap peserta didik. Dengan keterbatasan yang dimilikinya, manusia seringkali kurang mampu menangkap dan menanggapi hal-hal yang bersifat abstrak atau yang belum pernah terekam dalam ingatannya.

Untuk menjembatani proses internalisasi belajar mengajar yang demikian, diperlukan media pendidikan yang memperjelas dan mempermudah peserta didik dalam menangkap pesan-pesan pendidikan yang disampaikan. Oleh karena itu, semakin banyak peserta didik disuguhkan dengan berbagai media dan sarana prasarana yang mendukung, maka semakin besar kemungkinan nilai-nilai pendidikan mampu diserap dan dicernanya.27

1. Definisi Media

Definisi media menurut Gagne adalah sebagai “komponen sumber belajar

yang dapat merangsang siswa untuk belajar”.Sependapat dengan itu Yusuf Hadi

menuliskan, “media adalah segala sesuatu yang dapat merangsang terjadinya

26

Yudhi Munadi, Media Pembelajaaran…….. h. 46

27


(40)

peroses belajar pada diri siswa”, sementara itu, Briggs menyatakan, “media sebagai wahana fisik yang mengandung materi instruksional”.28

Media merupakan sumber-sumber belajar selain guru yang disebut sebagai penyalur atau penghubung pesan ajar yang diadakan atau diciptakan secara terencana oleh seorang guru atau pendidik. Kata media berasal dari bahasa latin, yakni medius yang secara harfiyahnya berarti „tengah‟, „pengantar‟, atau „pelantara‟. Dalam bahasa arab media disebut „wasail‟ bentuk jamak dari „wasilah‟ yakni sinonim alwast yang artinya juga „tengah‟ itu sendiri berarti

berada di antara dua sisi, maka disebut juga sebagai „perantara‟ (wasilah) atau yang mengantarai kedua sisi tersebut. Karena posisinya berada di tengah ia bisa juga disebut sebagai pengantar atau penghubung, yakni yang mengantarkan atau menghubungkan atau menyalurkan sesuatu hal dari satu sisi kesisi lainnya.29

Media dalam kontek pembelajaran adalah bahasanya guru. Bahasa guru dalam proses pembelajaran tersebut dapat secara verbal maupun non verbal. Bahasa verbal adalah semua jenis komunikasi yang menggunakan satu kata atau lebih, dan bahasa non verbal adalah semua pesan yang disampaikan tanpa kata-kata atau selain dari kata-kata-kata-kata yang kita gunakan. Dengan demikian proses penyampaian pikiran atau perasaan dapat dilakukan secara tatap muka (proses komunikasi primer) dan bisa dilakukan melalui saluran lain (proses komunikasi sekunder).30

2. Pertimbangan dalam Memilih Media Pengajaran:

Kegiatan pemilihan media pengajaran ini merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan proses penggunaan media pengajaran, karena apabila keliru dalam media pengajarannya, maka keberhasilannya proses berikutnya juga akan terpengaruh. Memilih media pengajaran harus dikaitkan dengantujuan intruksional, strategi, belajar mengajar yang akan digunakan dan sistem evaluasi yang akan digunakan. Media pengajaran sangat banyak ragamnya,

28

Soekartawi, Dkk, Meningkatkan Rancangan Intruksional (Intructional Design) Untuk Memperbaiki Kualitas Belajar Mengajar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 72

29

Yudhi Munadi, Media Pembelajaran……. h. 5-6

30


(41)

dari yang sederhana sampai yang kompleks, dari yang paling murah sampai yang paling mahal. Para ahli melalui berbagai penelitiannya, belum berhasil menemukan suatu media pengajaran yang paling baik yang dapat digunakan untuk segala jenis dan bentuk materi pengajaran serta segala situasi dan kondisi lingkungan. Setiap media disamping memiliki kelebihan juga memiliki kelemahan masing-masing.

3. Fungsi Media Pembelajaran

a. Fungsi Media Pembelajaran Sebagai Sumber Belajar

Media pembelajaran berfungsi sebagai sumber belajar. Maksud dari sumber belajar yaitu, sebagai penyalur, penyampai, penghubung dan lain-lain. Fungsi media pembelajaran sebagai sumber belajar adalah fungsi utamanya di samping fungsi-fungsi lain.

Media pembelajaran adalah bahasanya guru. Maka, untuk beberapa hal media pembelajaran dapat menggantikan fungsi guru, terutama sebagai sumber belajar.

Menurut Mudhoffir dalam bukunya mengatakan bahwa sumber belajar pada hakikatnya merupakan komponen sistem instruksional yang meliputi pesan, orang, bahan, alat, tekhnik dan lingkungan, yang mana hal tersebut dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Dengan demikian sumber belajar dapat dipahami sebagai segala macam sumber yang ada di luar diri seseorang (peserta didik) dan memungkinkan terjadinya proses pembelajaran.31

b. Fungsi Semantik

Yakni kemampuan media dalam menambah perbendaharaan kata (simbol verbal) yang makna atau maksudnya benar-benar dipahami anak didik (tidak verbalistik).

Bahasa meliputi lambang (symbol) dan isi (content) -yakni pikiran dan atau perasaan- yang keduanya telah menjadi totalitas pesan (message),

yang tidak dapat dipisahkan. Unsur dasar dari bahasa itu adalah "kata".

31


(42)

Kata atau kata-kata sudah jelas merupakan simbol verbal. Simbol adalah

sesuatu yang digunakan untuk atau dipandang sebagai wakil sesuatu lainnya. Jadi, gambar harimau dapat dipakai sebagai simbol keberanian, seperti digunakan oleh masyarakat Kota Bandung (Maung Bandung).

Padahal, harimau itu sendiri biasanya dirujukkan kepada binatang buas. Hubungan antara kata, makna dan perujukan menjadi amat jelas, yakni "makna" tidak melekat pada "kata"; "kata" hanya bermakna" bila telah dirujukkan kepada sejumlah referen. Manusialah yang memberi makna pada kata atau dalam konteks pendidikan dan pembelajaran, gurulah yang memberi makna pada setiap kata yang disampaikannya. Bila simbol-simbol kata verbal tersebut hanya merujuk pada benda misalnya Candi Borobudur, Big Ben di London, jantung manusia atau ikan paus, maka masalah komunikasi akan menjadi sederhana, artinya guru tidak terlalu kesulitan untuk menjelaskannya. la bisa menjelaskan kata verbal itu dengan menghadirkan foto Candi Borobudur dan Big Ben, mock up

jantung manusia, dan gambar ikan paus.

Bila kata tersebut merujuk pada peristiwa, sifat sesuatu, tindakan, hubungan konsep, dan lain-lain, misalnya kata iman, etika, akhlak, atau tanggung jawab, maka masalah komunikasi menjadi tambah rumit, yakni bila komunikasinya melalui bahasa verbal. Namun bagi guru yang kreatif dan mampu mendayagunakan media pembelajaran secara tepat hal itu dapat dengan mudah diatasi, yakni dengan memberikan penjelasan melalui bahasa dramatisasi, simulasi, cerita (mendongeng), cerita bergambar, dan lain-lain.32

c. Fungsi Manipulatif

Fungsi manipulatif ini didasarkan pada ciri-ciri (karakteristik) umum yang dimilikinya. Berdasarkan karakteristik umum ini, media memiliki dua kemampuan, yakni mengatasi batas-batas ruang dan waktu dan mengatasi keterbatasan inderawi.

32


(43)

Pertama, kemampuan media pembelajaran dalam mengatasi batas-batas ruang dan waktu, yaitu:

1) Kemampuan media menghadirkan objek atau peristiwa yang sulit dihadirkan dalam bentuk aslinya, seperti peristiwa bencana alam, ikan paus melahirkan anak, dan lain-lain.

2) Kemampuan media menjadikan objek atau persitiwa yang menyita waktu panjang menjadi singkat, seperti proses metamorfosis, proses berang-berang membangun bendungan dan sarangnya, dan proses ibadah haji.

3) Kemampuan media menghadirkan kembali objek atau peristiwa yang telah terjadi (terutama pada mata pelajaran Contoh fungsi manipulahr gambar sejarah), seperti peristiwa Haji Wada' yang dilakukan Nabi Muhammad SAW, invasi kaum muslimin ke Andalusia, masa kejayaan Islam masa Abbasiyah, invasi bangsa Mongol ke Bagdad, masuknya Islam ke wilayah Nusantara, dan lain-lain. Peristiwa- peristiwa sejarah itu dapat dituangkan dalam film, dramatisasi, dongeng (sandiwara program audio), cerita bergambar (komik), dan lain-lain

Kedua, kemampuan media pembelajaran dalam mengatasi keterbatasan inderawi manusia, yaitu:

1) Membantu siswa dalam memahami objek yang sulit diamati karena terlalu kecil, seperti molekul, sel, atom dan lain-lain, yakni dengan memanfaatkan gambar, film, dan lain-lain.

2) Membantu siswa dalam memahami objek yang bergerak terlalu lambat atau terlalu cepat, seperti proses metamorphosis. Hal ini dapat memanfaatkan gambar.

3) Membantu siswa dalam memahami objek yang membutuhkan kejelasan suara, seperti cara membaca Alquran sesuai dengan kaidah tajwid, belajar bahasa asing, belajar menyanyi dan bermusik, yakni dengan memanfaatkan kaset (tape recorder).


(44)

4) Membantu siswa dalam memahami objek yang terlalu kompleks, misalnya dengan memanfaatkan diagram, peta, grafik, dan lain-lain.

d. Fungsi Psikologis 1) Fungsi Atensi

Media pembelajaran dapat meningkatkan perhatian (attention)

siswa terhadap materi ajar. Setiap orang memiliki sel saraf penghambat, yakni sel khusus dalam sistem saraf yang berfungsi membuang sejumlah sensasi yang datang. Dengan adanya saraf penghambat ini para siswa dapat memfokuskan perhatiannya pada rangsangan yang dianggapnya menarik dan membuang rangsangan-rangsangan lainnya.

Dengan demikian, media pembelajaran yang tepat guna adalah media pembelajaran yang mampu menarik dan memfokuskan perhatian siswa. Dalam psikologi komunikasi, fenomena ini -ketika kita memperhatikan rangsangan tertentu sambil membuang rangsangan yang lainnya- disebut perhatian selektif/selective attention (Jalaluddin Rakhmat, 1985:67).33

2) Fungsi Afektif

Fungsi afektif, yakni menggugah perasaan, emosi, dan tingkat penerimaan atau penolakan siswa terhadap sesuatu. Setiap orang memiliki gejala batin jiwa yang berisikan kualitas karakter dan kesadaran. la berwujud pencurahan perasaan minat, sikap penghargaan, nilai-nilai, dan perangkat emosi atau kecenderungan-kecenderungan batin (Jahja Qahar, 1982:11).

Perlu diingat bahwa antara tingkah laku afektif dengan tingkah laku kognitif selalu berjalin erat. Pemisahan antara keduanya hanyalah perbedaan tekanan.

Media pembelajaran yang tepat guna dapat meningkatkan sambutan atau penerimaan siswa terhadap stimulus tertentu. Sambutan atau penerimaan tersebut berupa kemauan. Dengan adanya media

33


(45)

pembelajaran, terlihat pada diri siswa kesediaan untuk menerima beban pelajaran, dan untuk itu perhatiannya akan tertuju kepada pelajaran yang diikutinya. Hal lain dari penerimaan itu adalah munculnya tanggapan yakni berupa partisipasi siswa dalam keseluruhan proses pembelajaran secara suka rela, ini merupakan reaksi siswa terhadap rangsangan yang diterimanya. Apabila hal tersebut dilakukan secara terus-menerus, maka tidak menutup kemungkinan dalam jiwanya melakukan penilaian dan penghargaan terhadap nilai-nilai atau norma-norma yang diperolehnya, dan pada tingkat tertentu nilai-nilai atau norma-norma itu akan diterimanya dan diyakininya. Kemudian terjadilah pengorganisasian nilai-nilai, norma-norma, kepercayaan, ide, dan sikap menjadi sistem batin yang konsisten yang disebut sebagai karakterisasi (Krathwokl, Pada tingkat ini siswa dapat memperkuat falsafah hidupnya dan mempunyai nilai-nilai yang membimbing hidupnya.34

3) Fungsi Kognitif

Siswa yang belajar melalui media pembelajaran akan memperoleh dan menggunakan bentuk-bentuk representasi yang mewakili objek-objek yang dihadapi, baik objek itu berupa orang, benda, atau kejadian/peristiwa. Objek-objek itu direpresentasikan atau dihadirkan dalam diri seseorang melalui tanggapan, gagasan atau lambang, yang -dalam psikologi- semuanya merupakan sesuatu yang bersifat mental (WS. Winkel, 1989:42). Misalnya, seorang siswa yang belajar melalui peristiwa -seperti darmawisata-, ia mampu menceritakan pengalamannya selama melakukan kegiatan itu kepada temannya. Tempat-tempat yang ia kunjungi selama berdarmawisata tidak dibawa pulang; dirinya sendiri juga tidak hadir di tempat darmawisata itu saat ia bercerita kepada temannya tersebut. Tetapi, semua pengalamannya tercatat dalam benaknya dalam bentuk gagasan-gagasan dan tanggapan-tanggapan. Gagasan dan tanggapan itu dituangkan dalam kata-kata yang disampaikan kepada teman yang mendengarkan ceritanya. Dengan demikian, pengalamannya selama berkunjung ke

34


(46)

tempat-tempat darmawisata diwakilkan atau direpresentasikan dalam bentuk gagasan dan tanggapan yang kedunya bersifat mental. Jelaslah kiranya, media pembelajaran telah ikut andil dalam mengembangkan kemampuan kognitif siswa. Semakin banyak ia dihadapkan pada objek-objek akan semakin banyak pula pikiran dan gagasan yang dimilikinya, atau semakin kaya dan luas alam pikiran kognitifnya.35

4) Fungsi Imajinatif

Media pembelajaran dapat meningkatkan dan mengembangkan imajinasi siswa. Imajinasi (imagination) berdasarkan Kamus Lengkap Psikologi (C.P. Chaplin, 1993:239) adalah proses menciptakan objek atau peristiwa tanpa pemanfaatan data sensoris. Imajinasi ini mencakup penimbulan atau kreasi objek-objek baru sebagai rencana bagi masa mendatang, atau dapat juga mengambil bentuk fantasi (khayalan) yang didominasi kuat sekali oleh pikiran-pikiran autistik.

Pengarang cerita anak-anak, Dwianto Setyawan sebagaimana dikutip Tri Agung Kristanto (Shinta Rahmawati, 2001:15) menandaskan, orang dewasa seharusnya jangan mematikan imajinasi dan fantasi anak. Kalau anak-anak berfantasi tentang robot, pesawat angkasa luar atau cerita lainnya hendaknya jangan dilarang, lalu dipaksa untuk menyesuaikan dengan imajinasi dan fantasi yang dimiliki orang dewasa. Imajinasi dan fantasi yang dimiliki anak-anak berbeda dengan imajinasi orang dewasa.

Seniman Leonardo da Vinci, demikian menurut Tri Agung Kristanto (Shinta Rahmawati, 2001:16) adalah contoh orang yang memiliki imajinasi dan fantasi sangat tinggi. Jauh sebelum helikopter dan pesawat terbang ada sekarang, Leonardo da Vinci sudah menuangkannya dalam bentuk gambar.

5) Fungsi Motivasi

Motivasi merupakan seni mendorong siswa untuk terdorong melakukan kegiatan belajar sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Dengan demikian, motivasi merupakan usaha dari pihak luar dalam hal ini

35


(47)

adalah guru untuk mendorong, mengaktifkan dan menggerakkan siswanya secara sadar untuk terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran.

Guru dapat memotivasi siswanya dengan cara membangkitkan minat belajarnya dan dengan cara memberikan dan menimbulkan harapan. Donald O. Hebb (Aminuddin Rasyad, 2003:93) menyebut cara pertama dengan arousal dan kedua dengan expectancy. Yang pertama, arousal

adalah suatu usaha guru untuk membangkitkan intrinsic motive siswanya, sedangkan yang kedua expectancy adalah suatu keyakinan yang secara seketika timbul untuk terpenuhinya suatu harapan yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu kegiatan. Harapan akan tercapainya suatu hasrat atau tujuan dapat menjadi motivasi yang ditimbulkan guru ke dalam diri siswa. Salah satu pemberian harapan itu yakni dengan cara memudahkan siswa -bahkan yang dianggap lemah sekalipun dalam menerima dan memahami isi pelajaran yakni melalui pemanfaatan media pembelajaran yang tepat guna.36

e. Fungsi Sosio-Kultural

Fungsi media dilihat dari sosiokultural, yakni mengatasi hambatan sosiokultural antar peserta komunikasi pembelajaran. Bukan hal yang mudah untuk memahami para siswa yang memiliki jumlah cukup banyak (paling tidak satu kelas berjumlah + 40 orang). Mereka masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda apalagi bila dihubungkan dengan adat, keyakinan, lingkungan, pengalaman dan lain-lain. Sedangkan di pihak lain, kurikulum dan materi ajar ditentukan dan diberlakukan secara sama untuk setiap siswa. Tentunya guru akan mengalami kesulitan menghadapi hal itu, terlebih ia harus mengatasinya sendirian. Apalagi bila latar belakang dirinya (guru) baik adat, budaya, lingkungan, dan pengalamannya berbeda dengan para siswanya. Masalah ini dapat diatasi media pembelajaran, karena media pembelajaran memiliki kemampuan dalam memberikan rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman, dan menimbulkan persepsi yang sama.37

36

Yudhi Munadi, Media Pembelajaran…… 47

37


(48)

4. Prinsip-Prinsip Pemilihan Dan Penggunaan Media

Setiap media pengajaran memiliki kemampuan masing-masing, maka diharapkan kepada guru agar menentukan pilihannya sesuai dengan kebutuhan pada saat suatu kali pertemuan. Hal ini dimaksudkan jangan sampai penggunaan media menjadi penghalang peruses belajar mengajar yang akan guru lakukan dikelas. Harapan yang besar tentu saja agar media menjadi alat bantu yang dapat mempercepat/mempermudah pencapaian tujuan pengajaran.

Drs. Sudirman N. (1991) mengemukakan beberapa prinsip pemilihan media pengajaran yang dibaginya ke dalam tiga kategori, sebagai berikut:

a. Tujuan Pemilihan

Memilih media yang akan digunakan harus berdasarkan maksud dan tujuan pemilihan yang jelas. Apakah pemilihan media itu untuk pembelajaran (siswa belajar), untuk informasi yang bersifat umum, ataukah untuk sekedar hiburan saja mengisi waktu kosong. Tujuan pemilihan ini berkaitan dengan kemampuan berbagai media.

b. Karakteristik Media Pengajaran

Setiap media memiliki karakteristik tertentu, baik dilihat dari segi keampuhannya, cara pembuatannya, maupun cara penggunaannya. Memahami karakteristik berbagai media pengajaran merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki guru dalam kaitannya dengan keterampilan pemilihan media pengajaran. Di samping itu, memberikan kemungkinan pada guru untuk menggunakan berbagai jenis media pengajaran secara bervariasi. Sedangkan apabila kurang memahami karakteristik media tersebut, guru akan dihadapkan kepada kesulitan dan cenderung bersifat spekulatif.

c. Alternatif Pilihan

Memilih pada hakikatnya adalah peruses membuat keputusan dari berbagai alternatif pilihan. Guru bisa menentukan pilihan media mana yang akan digunakan apa bila terdapat beberapa media yang dapat diperbandingkan. Sedangkan apa bila media pengajaran itu hanya ada satu, maka guru tidak bisa memilih, tetapi menggunakan apa adanya. Dalam mengunakan media hendaknya guru memperhatikan sejumlah prinsip tertentu agar penggunaan media tersebut dapat mencapai hasil yang baik. Prinsip-prinsip itu menurut Dr. Nana sudjana (1991:104) adalah:


(49)

1) Menentukan jenis media dengan tepat artinya, sebaiknya guru memilih terlebih dahulu media manakah yang sesuai dengan tujuan dan bahan pelajaran yang akan diajarkan.

2) Menetapkan atau memperhitungkan subjek dengan tepat artinya, perlu diperhitungkan apakah penggunaan media itu sesuai dengan tingkat kematangan/kemampuan anak didik.

3) Menyajikan media dengan tepat artinya, tekhnik dan metode penggunaan media dalam pengajaran haruslah disesuaikan dengan tujuan, bahan metode, waktu, dan saran yang ada.

4) Menempatkan atau memperlihatkan media pada waktu, tempat dan situasi yang tepat. Artinya, kapan dan dalam situasi mana pada waktu mengajar media digunakan. Tentu tidak setiap saat atau selama proses belajar mengajar terus-menerus memperlihatkan atau menjelaskan sesuatu dengan media pengajaran.

Keempat prinsip ini hendaknya diperhatikan oleh guru pada waktu ia menggunakan media.38

Dengan demikian seorang guru harus benar-benar memperhatikan dan mempersiapkan perinsip-perinsip yang telah disebutkan di atas, agar proses pembelajaran dengan berbantuan media dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan yang diharapkan, jangan sampai dengan penggunaan media proses pembelajaran tidak sesuai dengan semestinya.

5. Media Berbasis Audio Visual

Media audio visual adalah penulisan naskah dan storyboard yang memerlukan persiapan yang banyak, rancangan, dan penelitian. Naskah yang menjadi bahan narasi disaring dari isi pelajaran yang kemudian disintesiskan kedalam apa yang ingin ditunjukan dan dikatakan. Narasi ini merupakan penuntun bagi tim produksi untuk memikirkan bagaimana video menggambarkan atau visualisasi materi pelajaran. Pada awal pelajaran media harus mempertunjukan sesuatu yang dapat menarik perhatian semua siswa.39

Media audio visual dapat dibagi menjadi dua jenis, pertama dilengkapi fungsi peralatan suara dan gambar dalam satu unit, dinamakan media audio visual

38

Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta : Rineka Cipta, 2010), h. 126-130

39


(1)

a b c d a b c d a b c d a b c d a b c d

1 1 1 1 1 1 4

2 1 1 1 1 1 2

3 1 1 1 1 1 4

4 1 1 1 1 1 3

5 1 1 1 1 1 4

6 1 1 1 1 1 3

7 1 1 1 1 1 3

8 1 1 1 1 1 5

9 1 1 1 1 1 5

10 1 1 1 1 1 4

11 1 1 1 1 1 5

12 1 1 1 1 1 4

13 1 1 1 1 1 5

14 1 1 1 1 1 2

15 1 1 1 1 1 4

16 1 1 1 1 1 4

17 1 1 1 1 1 4

18 1 1 1 1 1 4

19 1 1 1 1 1 3

20 1 1 1 1 1 5

21 1 1 1 1 1 5

22 1 1 1 1 1 4

23 1 1 1 1 1 3

24 1 1 1 1 1 1

25 1 1 1 1 1 3

26 1 1 1 1 3

27 1 1 1 1 1 2

28 1 1 1 1 1 3

29 1 1 1 1 1

30 1 1 1 1 1 5

31 1 1 1 1 1 3

32 1 1 1 1 1 4

33 1 1 1 1 1 3

34 1 1 1 1 1 3

35 1 1 1 1 1 2

AFEKTIF 1: Menerima No

Urut Siswa


(2)

a b c d a b c d a b c d a b c d a b c d

1 1 1 1 1 1 5

2 1 1 1 1 1 5

3 1 1 1 1 1 5

4 1 1 1 1 1 5

5 1 1 1 1 1 5

6 1 1 1 1 1 4

7 1 1 1 1 1 5

8 1 1 1 1 1 5

9 1 1 1 1 1 5

10 1 1 1 1 1 5

11 1 1 1 1 1 5

12 1 1 1 1 1 5

13 1 1 1 1 1 5

14 1 1 1 1 1 2

15 1 1 1 1 1 5

16 1 1 1 1 4

17 1 1 1 1 1 4

18 1 1 1 1 1 2

19 1 1 1 1 1 4

20 1 1 1 1 1 4

21 1 1 1 1 1 4

22 1 1 1 1 1 4

23 1 1 1 1 1 4

24 1 1 1 1 1 2

25 1 1 1 1 1 3

26 1 1 1 1 1 3

27 1 1 1 1 2

28 1 1 1 1 1 5

29 1 1 1 1 1 4

30 1 1 1 1 1 5

31 1 1 1 1 1 4

32 1 1 1 1 1 3

33 1 1 1 1 1 4

34 1 1 1 1 1 5

35 1 1 1 1 1 4

36 1 1 1 1 1 5

37 1 1 1 1 1 4

38 1 1 1 1 1 5

No Urut Siswa

AFEKTIF 2 TANGGAPAN (RESPONDING)


(3)

a b c d a b c d a b c d a b c d a b c d

1 1 1 1 1 1 5

2 1 1 1 1 1 4

3 1 1 1 1 1 4

4 1 1 1 1 1 4

5 1 1 1 1 1 4

6 1 1 1 1 1 4

7 1 1 1 1 1 4

8 1 1 1 1 1 4

9 1 1 1 1 1 3

10 1 1 1 1 1 4

11 1 1 1 1 1 3

12 1 1 1 1 1 3

13 1 1 1 1 1 4

14 1 1 1 1 1 3

15 1 1 1 1 1 4

16 1 1 1 1 1 5

17 1 1 1 1 1 2

18 1 1 1 1 1 3

19 1 1 1 1 1 4

20 1 1 1 1 1 4

21 1 1 1 1 1 4

22 1 1 1 1 1 4

23 1 1 1 1 1 4

24 1 1 1 1 1 2

25 1 1 1 1 1 3

26 1 1 1 1 1 2

27 1 1 1 1 1 1

28 1 1 1 1 1 3

29 1 1 1 1 1 2

30 1 1 1 1 1 5

31 1 1 1 1 1 2

32 1 1 1 1 1 2

33 1 1 1 1 4

34 1 1 1 1 1 2

35 1 1 1 1 1 2

No Urut Siswa

AFEKTIF 3 MENILAI


(4)

a b c d a b c d a b c d a b c d a b c d

1 1 1 1 1 1 5

2 1 1 1 1 1 4

3 1 1 1 1 1 4

4 1 1 1 1 1 5

5 1 1 1 1 1 4

6 1 1 1 1 1 3

7 1 1 1 1 1 4

8 1 1 1 1 1 5

9 1 1 1 1 1 4

10 1 1 1 1 1 3

11 1 1 1 1 1 4

12 1 1 1 1 1 4

13 1 1 1 1 1 4

14 1 1 1 1 1 4

15 1 1 1 1 3

16 1 1 1 1 1 3

17 1 1 1 1 1 3

18 1 1 1 1 1 4

19 1 1 1 1 1 4

20 1 1 1 1 1 4

21 1 1 1 1 1 4

22 1 1 1 1 1 4

23 1 1 1 1 1 3

24 1 1 1 1 1 4

25 1 1 1 1 1 3

26 1 1 1 1 1 2

27 1 1 1 1 1

28 1 1 1 1 1 4

29 1 1 1 1 1 3

30 1 1 1 1 1 4

31 1 1 1 1 1 4

32 1 1 1 1 1 2

33 1 1 1 1 1 3

34 1 1 1 1 1 2

35 1 1 1 1 1 4

36 1 1 1 1 1 4

37 1 1 1 1 1 4

38 1 1 1 1 1 4

No Urut Siswa

AFEKTIF 4 ORGANISASI


(5)

a b c d a b c d a b c d a b c d a b c d

1 1 1 1 1 1

2 1 1 1 1 1

3 1 1 1 1 1

4 1 1 1 1 1

5 1 1 1 1 1

6 1 1 1 1 1

7 1 1 1 1 1

8 1 1 1 1 1

9 1 1 1 1 1

10 1 1 1 1 1

11 1 1 1 1 1

12 1 1 1 1 1

13 1 1 1 1 1

14 1 1 1 1 1

15 1 1 1 1 1

16 1 1 1 1 1

17 1 1 1 1 1

18 1 1 1 1 1

19 1 1 1 1 1

20 1 1 1 1 1

21 1 1 1 1 1

22 1 1 1 1 1

23 1 1 1 1 1

24 1 1 1 1 1

25 1 1 1 1 1

26 1 1 1 1 1

27 1 1 1 1 1

28 1 1 1 1 1

29 1 1 1 1 1

30 1 1 1 1 1

31 1 1 1 1 1

32 1 1 1 1 1

33 1 1 1 1 1

34 1 1 1 1 1

35 1 1 1 1 1

No Urut Siswa

AFEKTIF 5 KARAKTERISASI


(6)