1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan pemberdayaan perempuan merupakan salah satu dari garapan pendidikan nonformal yang didalamnya terdapat usaha-usaha
pemberdayaan berupa penyuluhan, pelatihan ketrampilan dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki kaum
perempuan. Dalam UU No. 20 tahun 2003, pendidikan pemberdayaan perempuan adalah pendidikan untuk mengangkat harkat dan martabat
perempuan. Oleh karena itu pendidikan pemberdayaan perempuan juga merupakan salah satu usaha untuk mengatasi kesenjangan gender yang
masih terdapat di kehidupan masyarakat. Program pemberdayaan dapat dilakukan dengan pemberian pengetahuan dan ketrampilan sehingga
masyarakat dapat mengelola sumber daya yang tersedia di lingkungannya. Seperti misalnya jika disuatu tempat terdapat objek wisata, usaha
pemberdayaan perempuan yang dapat dilakukan dapat dengan pemberian ketrampilan mengelola makanan untuk pelengkap wisata kuliner, pelatihan
bahasa Inggris agar dapat berinteraksi dengan turis asing, dll. Pelatihan peningkatan kualitas layanan jasa kuliner bagi kaum
perempuan di Desa Wisata Bejiharjo, Karangmojo, Gunungkidul merupakan pelatihan yang termasuk dalam usaha pemberdayaan perempuan
dengan memanfaatkan sumber daya yang terdapat di lingkungan sekitar. Hal ini dikarenakan kawasan Desa Bejiharjo telah menjadi salah satu Desa
2
Wisata yang populer di D.I Yogyakarta. Dari data kepariwisataan DIY tahun 2015, obyek wisata yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan
adalah Pantai Baron, sedangkan desa wisata yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan adalah Bejiharjo dengan Goa Pindulnya.
Desa Bejiharjo mempunyai dua belas Goa alam yang semuanya memiliki keunikan, salah satunya adalah Goa Pindul. Kekhasan Goa Pindul
adalah cara menyusur goa yang lain dari wisata susur goa lainnya. Cara susur Goa Pindul sering disebut sebagai atraksi wisata cavetubing.
Cavetubing adalah cara menyusuri goa dengan menggunakan ban dalam kendaraan besar kemudian pengunjung duduk di atas ban tersebut dan
ditarik oleh pemandu wisata. Selain itu masih banyak objek wisata alam nature tourism di Bejiharjo diantaranya : susur Sungai Oyo, Goa Sie
Oyot, Mata Air Suroh, dan Jembatan Alam Kedung Buntung. Selain wisata alam di desa ini juga terdapat objek wisata sejarah, budaya dan pendidikan.
Objek wisata sejarah yaitu monumen Jendral Sudirman, objek wisata budaya berupa pagelaran Wayang Beber. Sedangkan wisata pendidikan
dikemas dalam bentuk layanan homestay bagi para pengunjung yang mayoritas anak-anak sekolah baik dari dalam maupun luar kota.
Data dari Dinas Pariwisata Kabupaten Gunungkidul menunjukkan pada tahun 2012, realisasi pendapatan daerah khususnya sektor pariwisata
melebihi dari anggaran yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pada awal penyusunan APBD ditargetkan sebesar Rp2,3 miliar, tetapi pada
pertengahan 2012 berdasarkan peningkatan jumlah pengunjung yang di luar
3
perkiraan, target kembali dinaikan menjadi Rp3,1 miliar. Ternyata di luar prediksi, realisasi retribusi tempat rekreasi dan olahraga Kabupaten
Gunungkidul tahun 2012 mencapai 135 persen dari anggaran atau sebesar Rp4,5 miliar, meningkat drastis dibandingkan tahun 2010 yang mencapai
Rp1,7 miliar. Pengembangan objek Wisata Goa Pindul yang terletak di Desa
Bejiharjo dimulai pada bulan Juni 2010. Pengembangannya murni dari warga masyarakat sekitar. Dalam waktu singkat, objek wisata Goa Pindul
mampu menjadi primadona wisata di Kabupaten Gunungkidul. Hal ini dikarenakan wisata cavetubing yang menjadi atraksi wisata andalan di Goa
Pindul merupakan atraksi wisata yang baru ditawarkan di Indonesia. Kunjungan para wisatawan ke Desa ini cukup menggembirakan khususnya
pada hari libur atau akhir pekan .
Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Goa Pindul pada musim liburan akhir tahun 2015 dan awal tahun 2016 mencapai
4.000 pengunjung per hari, jumlah ini meningkat sekitar 20-25 persen dibanding musim liburan tahun 2014 www.krjogja.com, 14012016.
Kunjungan para wisatawan sudah pasti memberikan dampak positif dalam peningkatan ekonomi masyarakat sekitarnya. Hal ini ditandai dengan
banyaknya pemuda yang sebelumnya tidak bekerja atau pengangguran ikut terlibat dalam kegiatan pemanduan wisata. Mereka banyak berprofesi
menjadi pemandu wisata, pemandu outbound, jasa fotografer, sopir, dan bekerja di kantor darma wisata yang kurang lebih sebanyak 9 kelompok.
4
Obyek wisata di Bejiharjo tentunya memberikan peluang-peluang usaha baru dalam penyedian layanan jasa kuliner. Tingginya jumlah
pengunjung terutama di hari libur dan akhir pekan dimana wisata kuliner baik makanan pokok, maupun makanan ringan atau cemilan menjadi faktor
lain penarik yang membuat para pengunjung lebih optimal menghabiskan waktu berliburnya. Terkait hal ini, Desa Bejiharjo memiliki banyak produk
kuliner yang perlu dioptimalkan. Sehingga potensi usaha kuliner yang tersedia belum mampu tereksplorasi dengan baik layaknya wisata alam Goa
Pindul. Hal ini bisa jadi dikarenakan masih rendahnya keinginan dan kemampuan warga sekitar untuk mengembangkan potensi-potensi usaha
kuliner di sekitar mereka. Apabila masyarakat dapat mengoptimalkan potensi alam yang ada
dan didukung dengan SDM yang berkualitas tentunya dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan mereka. Potensi alam yang memiliki nilai ekonomi
tinggi salah satunya adalah banyaknya tanaman ketela pohon di sekitar Bejiharjo. Data dari BPS Kabupaten Gunungkidul menyebutkan bahwa
pada tahun 2013 produksi ketela pohon Desa Bejiharjo sebanyak 12154.44 ton, jumlah ini paling besar dibandingkan desa lainnya di Kecamatan
Karangmojo. Akan tetapi sumber daya alam yang melimpah ini belum dapat dimanfaatkan secara maksimal. Ketela pohon kebanyakan hanya
dimanfaatkan sebagai makanan ternak, atau dijual setelah dijemur. Melimpahnya ketela pohon belum diimbangi dengan kemampuan mengolah
5
produk-produk kuliner yang berbahahan dasar ketela pohon menjadi produk olahan yang bernilai ekonomi lebih tinggi.
Potensi kuliner lainnya yang terdapat di daerah sekitar Bejiharjo yaitu adanya makanan khas warga masyarakat seperti nasi merah dan sayur
lombok ijo. Kemampuan mengolah makanan khas ini kebanyakan diperoleh dari resep turun temurun yang dipelajari secara otodidak oleh warga
setempat. Tidak adanya standar baku dalam resep, menyebabkan cita rasa makanan sering kali berubah-ubah atau tidak ajeg. Selain itu, penyajian
makanan lokal tersebut dalam hal pengemasan dan penyajiannya juga masih kurang menarik wisatawan. Hal ini tentu disayangkan, karena dapat
mengurangi minat wisatawan untuk dapat menikmati wisata kuliner di daerah objek wisata.
Tingginya jumlah pengunjung objek wisata di Bejiharjo belum dapat dimanfaatkan dengan baik oleh kaum perempuan di lingkup Desa Bejiharjo
dengan cara menyediakan berbagai olahan kuliner yang dapat dijual kepada wisatawan baik yang dikonsumsi langsung ataupun sebagai oleh-oleh. Salah
satu faktor yang dapat menyebabkan hal ini yaitu kekurangmampuan kaum perempuan Desa Bejiharjo dalam memproduksi dan memasarkan produk
kuliner. Kondisi ini didukung dengan belum tersedianya sentra-sentra produksi dan pemasaran produk kuliner yang dapat meningkatkan
pendapatan warga masyarakat. Sujarwo, dkk. 2014: 5 Layanan kuliner di objek wisata selama ini masih kurang
memuaskan pengunjung. Hal ini berkaitan dengan kualitas pelayanan yang
6
diberikan kepada pelanggan. Produsen mayoritas masih belum mengetahui standar minimal dalam memberikan pelayanan jasa kuliner kepada
pengunjung, sehingga masih terkesan kurang profesional. Selain itu, pelayanan juga termasuk dari segi tampilan makan, pengemasan, kebersihan
tempat, keramahan pelayan, dll. Pelaku usaha kuliner juga masih minim pengetahuan mengenai penanganan keluhan pelanggan serta komunikasi
yang efektif dengan pengunjung. Pelaku usaha kuliner sejatinya memiliki pengetahuan dan
ketrampilan dasar dalam bidang pelayanan jasa kuliner. Seperti menurut Berry Nasution, 2004: 57 menemukan bahwa ada lima penentu kualitas
layanan jasa. Kelimanya disajikan secara berurut berdasarkan nilai
pentingnya menurut pelanggan, yaitu:
1. Kehandalan reliability kemampuan untuk melaksanakan jasa yang dijanjikan dengan terpercaya dan akurat
2. Daya tanggap responsiveness kemauan untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat
3. Kepastian atau jaminan assurance pengetahuan dan kesopanan karyawan dan kemampuan mereka untuk
menimbulkan kepercayaan dan keyakinan. 4. Empati: kesediaan untuk peduli, memberi perhatian pribadi
bagi pelanggan 5. Berwujud atau bukti langsung tangibles penampilan fasilitas
fisik, peralatan, personil, dan materi komunikasi. Berdasarkan permasalahan di atas, pada tahun 2014 beberapa dosen
jurusan Pendidikan Luar Sekolah Universitas Yogyakarta melakukan pelatihan untuk kaum perempuan di Bejiharjo. Hal ini didukung karena
sudah seringnya terjadi kerjasama antar Jurusan PLS UNY dengan Desa Bejiharo, terkait juga dengan dua Labsite PLS UNY yang terdapat di Desa
7
ini. Program pelatihan yang dilaksanakan yaitu berupa pelatihan peningkatan kualitas layanan jasa kuliner.
Penyelenggaraan program pelatihan peningkatan kualitas layanan jasa kuliner bagi kaum perempuan di Desa wisata Bejiharjo, Karangmojo,
Gunungkidul merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan program pendidikan non formal. Pelatihan ini ditujukan untuk kaum perempuan
Desa Wisata Bejiharjo, Gunungkidul dengan harapan dapat meningkatkan kesadaran serta memberikan pengetahuan dan ketrampilan dalam
penyediaan layanan kuliner yang higienis dan berkualitas yang mendukung pada warga masyarakat Bejiharjo.
Tujuan kegiatan pelatihan adalah 1 membangun kesadaran mengenai layanan kuliner di obyek wisata yang higienis dan berkualitas;
dan 2 memberikan pengetahuan dan ketrampilan dalam penyediaan layanan kuliner yang higienis dan berkualitas yang mendukung pada
warga masyarakat di Bejiharjo Sujarwo, dkk., 2014: 11. Sasaran dari kegiatan ini adalah ibu-ibu pelakupenyedia jasa kuliner di Desa Wisata
Bejiharjo, khususnya kaum perempuan yang berada di Dusun Gelaran, Karangmojo dan terkoordinasi dengan kegiatan pariwisata Wira Wisata.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya perubahan perilaku dari para perempuan sebagai kelompok sasaran. Perubahan perilaku yang
terjadi adalah: a Anggota kelompok sasaran memperoleh pengetahuan dan ketrampilan baru dalam usaha wirausahanya di bidang kuliner; b Para
anggota kelompok sasaran termotivasi untuk mengembangkan usaha yang
8
lebih jauh; c Para anggota kelompok sasaran masih menyadari akan kebutuhan untuk meningkatkan ketrampilan di bidang kuliner di masa
yang akan datang. Akan tetapi pada penyelenggaraannya sendiri pelatihan ini masih menemui beberapa kendala, seperti kesibukan yang dimiliki oleh
beberapa anggota kelompok sasaran sehingga menyebabkan kurang optimalnya pembelajaran. selain itu, peralatan praktik yang digunakan
kurang mencukupi yang menyebabkan tidak semua warga belajar mendapatkan pengalaman belajar secara keseluruhan.
Selain masih ditemukannya beberapa faktor penghambat dalam pelatihan, sumber lain menyebutkan permasalahan yang berkaitan dengan
pendidikan dan pelatihan yang kerap muncul di Desa Bejiharjo. Dikutip dari jurnal yang disusun oleh Sujarwo Lutfi Wibawa 2013:166-177,
menyatakan bahwa: “Keterampilan yang pernah diperoleh meliputi: keterampilan
memasak, keterampilan membuat kripik singkong, selai pisang, dan emping mlinjo. Keterampilan yang diperoleh belum
dipraktikkan secara optimal untuk meningkatkan pendapatan. Sebagian besar mereka tidak mau menerapkan ketrampilan sebagai
bekal untuk meningkatkan pendapatan keluarga, bahkan lambat laun keterampilan tersebut telah dilupakan
.” Penelitian ini didasarkan dari pelatihan yang dilakukan oleh
Sujarwo, dkk untuk mengevaluasi dampak pelatihan secara eksplisit setelah 2 tahun. Dampak dari pelatihan ini dilihat dari dimensi kehandalan, daya
tanggap, kepastian atau jaminan, empati dan berwujud atau bukti langsung. Dengan demikian, dapat diketahui manfaat program pelatihan tersebut
khususnya bagi kaum perempuan yang menjadi kelompok sasaran.
9
B. Identifikasi Masalah